Setelah diadakan pengkajian dan penelitian melalui suatu riset di perpustakaan dan juga melalui diskusi dengan pelayan-pelayan gereja yang terdiri dari: para hamba Tuhan, majelis gereja dan cendikiawan Kristen, dapat diperoleh pengertian yang jelas dan sifatnya agak menyeluruh tentang terjadinya 'stagnasi' dalam pelayanan, secara jujur harus diakui bahwa tidak seorang pun yang menyukai 'stagnasi.' dengan demikian telah menjadi jelas bahwa 'stagnasi' dalam pelayanan bukan merupakan masalah 'like' atau 'dislike' dari seseorang atau kelompok, tetapi 'stagnasi' adalah merupakan akibat dari kegagalan para pemimpin Kristen yang disebabkan oleh kekurangan atau ketidaksiapan seseorang dalam menunaikan tugas kepemimpinannya. Masalah krusial ini harus diungkap dan didekati dari semua aspek kehidupan manusia, seperti: I. aspek teologis; 2. aspek psikologis; 2. aspek filosofis; 4. aspek dogmatis; 5. aspek organisatoris yang meliputi pengetahuan managerial -- perencanaan, pengorganisasian, pelayanan dan pengawasan; 6. aspek partisipatif; 7. aspek komunikatif; 8. aspek dialogis praktis; 9. aspek interaktif, 10. aspek apresiatif; 11. aspek berpikir kritis, analitis dan realistis; 12. aspek pastoral yang kondusif, 13. aspek moral etis; dan 14. aspek loyalitas. Alkitab mengarisbawahi tentang pentingnya semua aspek tersebut dalam hidup bergereja dan bermasyarakat melalui tri tugas panggilan bergereja -- persekutuan, bersaksi dan melayani. Perjanjian Lama secara menyeluruh dan mendasar memberikan informasi yang sangat lengkap dan komprehensif tentang semua aspek tersebut. Dalam Perjanjian Baru, melalui kehidupan Yesus Kristus sendiri, juga Petrus, Paulus dan Yohanes telah memberikan gambaran yang lengkap dan terpadu tentang perlunya semua aspek tersebut di atas untuk menjalankan tugas pelayanan agar tidak mengalami stagnasi. Petrus secara terpisah, dalam keterbatasannya telah menyumbangkan suatu konsep pelayanan yang sangat ideal, yang secara terus-menerus dapat dikembangkan, dimodifikasi dan diaplikasikan secara tepat guna menurut waktu dan konteksnya. Dalam 2Pet 1:5-8, Petrus memberikan bimbingan yang jelas tentang sifat dan sistem pelayanan terpadu. Ternyata tugas melayani itu tidak sederhana dan otomatis, tetapi membutuhkan suatu persiapan yang kompleks, membutuhkan waktu dan kematangan dalam hal iman, pengetahuan, penguasaan diri, ketekunan, kasih terhadap semua saudara dan semua orang. Tanpa dukungan elemen-elemen tersebut seseorang itu tidak akan mampu mengeluarkan buah kebajikan atau perbuatan baik (virtue). Iman kepada Yesus Kristus harus dilengkapi dengan pengetahuan (knowlegde dan science) dengan disertai sistem kontrol yang kuat baik yang timbul dari dalam dan dari luar, dengan disiplin yang tinggi dan disertai hati yang tulus (mendahulukan kepentingan organisasi daripada kepentingan pribadi), dengan prinsip pelayanan kepada semua orang (sesama saudara seiman dan lainnya) untuk melakukan tindakan kebajikan secara murni. Sejak dari awal, Petrus telah melandasi falsafah hidup pelayanannya dengan pengetahuan baik yang bersifat keterampilan yang dapat diperoleh melalui studi nonformal maupun ilmu pengetahuan yang bersifat akademis. Dalam hal ini Petrus secara implisit telah berbicara tentang teks (iman) dan konteks (di mana iman dijabarkan dan diaplikasikan). Hal yang paling lemah dalam kehidupan manusia untuk sepanjang zaman -- penguasaan diri atau pengawasan diri, disoroti secara tajam. Untuk hal yang sama ini, rasul Paulus memerintahkan secara eksplisit kepada anak rohaninya Timotius untuk melakukan tindakan kontrol yang ketat terhadap dirinya sendiri sebagai tindakan preventif, "Awasilah dirimu sendiri dan awasilah ajaranmu!" (1Tim 4:16). Kalau disimak secara serius dan teliti, ternyata hal inilah yang menyebabkan timbulnya "stagnasi total" dalam semua bentuk organisasi. Kedisiplinan dan ketulusan juga merupakan bagian yang integral dari sistem pengawasan yang melekat -- suatu istilah yang berkembang dalam masyarakat luas, menjadi populer belakangan ini, dan dijadikan alat kontrol untuk pemberantasan sistem korupsi yang sedang melanda kehidupan masyarakat, baik di dalam maupun di luar gereja. Kata 'kebajikan' dapat dikaitkan dengan pembangunan manusia secara utuh, seharusnya dipadukan dengan kata 'kasih' atau 'agape' yang dipergunakan oleh rasul Paulus dalam 1 Kor 13:13. Apapun yang dilakukan oleh seseorang apabila tidak dilandaskan atas 'agape' atau 'kasih Allah' hasilnya hanya akan bersifat filantropis, yang kemungkinan besar hanya untuk kepentingan pribadi dan kebanggaan diri sendiri atau yang lebih bersifat negatif yaitu untuk kemuliaan diri sendiri yang lebih menjurus kepada 'vested interest.' Kalau hal ini sudah melanda kehidupan berorganisasi, maka tindakan-tindakan seseorang akan lebih bersifat manipulatif, eksploitasi dan dominatif. Dalam konteks ini, kedudukan merupakan hal yang lebih penting dari tujuan organisasi. Akibat fatal yang akan dialami oleh organisasi adalah stagnasi total, meskipun bukan itu sesungguhnya yang mereka harapkan, namun hal itu telah menjadi kenyataan karena para pemimpin tidak dapat menahan diri di atas landasan kasih. Tujuan yang indah hanya menjadi slogan yang tidak pernah menjadi kenyataan.
Mengenai hal ini, Petrus mengungkapkan dengan jelas, apabila seseorang memiliki semua aspek itu, baru akan dapat mencapai hasil yang telah digariskan. Tetapi sebaliknya, apabila tidak memiliki kesemuanya itu, dapat dikategorikan sebagai orang buta yang tidak mengenal lingkungannya dan yang sangat ironis kepicikannya akan membuat seseorang menjadi kerdil dan jiwa penggembaraannya akan berakhir pada jalan buntu, akibat dari kesalahannya sendiri. Melihat dengan seksama dan juga dengan mata kritis, dapat disimpulkan bahwa kemacetan-kemacetan yang terjadi dalam gereja dan lembaga-lembaga kristiani lainnya, pada umumnya karena sebab yang sama.
Memang harus diakui, pada akhir abad kedua puluh ini, gereja-gereja dan lembaga-lembaga kristiani telah dikelola oleh orang-orang yang profesional dalam bidangnya. Semua disiplin ilmu teologia -- bidang biblika, sistematika, historika dan praktika, sudah dikuasai dan diamalkan dalam masyarakat gereja. Namun yang menjadi kenyataan yang dapat dilihat oleh masyarakat umum adalah terjadinya kemacetan-kemacetan hampir pada semua aras organisasi, baik yang menjadi pelaku yang menyebabkan kemacetan dan para penonton yang menjadi suporter sama-sama merasa sedih dan kehilangan, karena telah disadari oleh semua pihak yang terlibat, untuk mencairkan kebekuan ini dibutuhkan waktu lama, dan dalam proses yang tidak menentu ini akan menghambat semua organisasi untuk berpacu dengan kemajuan. Yang dicapai bukan kemajuan dan keberhasilan, tetapi sebaliknya yaitu kemunduran dan keputusasaan. Bagaimanapun harus diakui, bahwa yang menciptakan 'benang ruwet' ini bukanlah Allah tetapi adalah manusia yang menamakan diri para pemimpin yang didukung oleh situasi dan kondisi yang telah di renda oleh golongan tertentu yang memang menginginkan hal itu terjadi.
Hal-hal yang secara potensial dapat menyebabkan stagnasi total dalam organisasi akan dikelompokkan sesuai dengan golongannya, dengan tujuan untuk memudahkan, mencari jalan pemecahannya, dan hal-hal tersebut adalah sebagai berikut:
1. Aspek teologis
- Masuknya sekularisme di dalam gereja.
- Banyaknya pemimpin gereja yang belum lahir baru.
- Kurang berperannya Roh Kudus dalam kehidupan bergereja.
- Kurang mengerti dan mendalami pengajaran Alkitab secara benar.
- Merohanikan hal-hal yang sebenarnya tidak rohani.
- Hilangnya visi dan misi pada pemimpin gereja.
- Bergesernya pedoman bergereja -- dari Alkitab kepada pengetahuan manusia.
2. Aspek psikologis
- Terlalu lamanya hamba Tuhan dalam satu jemaat ketergantungan kepada kepandaian dan pengalaman.
- Perasaan puas dan bangga dengan apa yang ada.
- Sulit mengampuni dan melupakan kesalahan orang lain.
- Kurang menyadari akan kelemahan yang dimiliki.
- Memiliki perasaan sensitif yang berlebih-lebihan.
- Selalu berputar-putar dengan masalah kecil.
- Sudah terlalu jenuh dengan masalah sehingga menjadi apatis.
3. Aspek filosofis
- Tertutup atau tidak mau terbuka dengan hal-hal baru.
4. Aspek dogmatis
- Kurangnya bergantung kepada Tuhan dan tidak hidup dalam doa.
- Membuka diri dalam sinkretisme dan kompromi dengan kuasa kegelapan.
5. Aspek organisatoris
- Belum adanya manageman gereja yang mantap.
- Terlalu manusia sentris, penekanan kepada managemen manusia.
- Tidak mempunyai perencanaan yang matang, bergantung kepada intuisi, yang mengakibatkan tindakan rekayasa.
- Peraturan-peraturan berfungsi sebagai hiasan, sedangkan kehidupan berorganisasi lebih cenderung berdasarkan intuisi.
6. Aspek partisipatif
- Belum adanya kerja sama di antara pemimpin.
- Tertumpunya pekerjaan pelayanan pada pundak seseorang.
- Para pemimpin belum menyadari tugas dan tanggung jawabnya.
- Kurangnya dana untuk pelaksanaan program.
7. Aspek komunikatif
- Terjadinya ketegangan antara para pemimpin gereja.
- Terlalu menekankan kepada primordialisme, sehingga tidak mampu hidup yang bersifat lintas budaya.
8. Aspek dialogis praktis
- Tidak adanya kesatuan dan persekutuan antara para pemimpin gereja.
- Tidak tahan menerima kritik dari orang lain.
- Kurang adanya keterbukaan, yang menimbulkan asas praduga dan tafsiran yang kurang tepat.
9. Aspek interaktif
- Karunia-karunia rohani dalam jemaat tidak dikembangkan.
10. Aspek apresiatif
- Merasa lebih rohani dari orang lain.
- Tidak menempatkan orang sesuai potensinya.
- Mau menang sendiri dan selalu menganggap orang lain yang salah.
- Kurang menghargai orang lain, karena merasa diri lebih hebat.
11. Aspek berpikir kritis, analitis dan realistis
- Kurangnya pemimpin yang berjiwa besar dan berpikir positif.
- Terlalu banyak berorientasi ke dalam atau kurang melihat keluar.
- Kurang peka dan kritis dengan tanda-tanda zaman.
- Tidak mampu bersaing dengan sesama yang berhasil.
12. Aspek pastoral kondusif
- Penyelesaian suatu masalah yang tidak tuntas.
- Kesalahan seorang pendeta yang tidak diselesaikan dengan baik.
13. Aspek moral etis
- Terlalu mudah mengikuti arus, sehingga kurang konsisten dengan iman Kristen.
- Terlalu santai sehingga tidak mempunyai kedisiplinan.
- Terlalu ambisius yang tidak didukung oleh kemampuan yang dimiliki, sehingga mudah mengorbankan prinsip.
14. Aspek loyalitas
- Terlalu murah terhadap diri sendiri sehingga begitu mudah memaafkan diri sendiri
- Tidak mengikuti peraturan yang berlaku.