Tak dapat disangkal bahwa gereja-gereja di Indonesia berada dalam suatu tatanan masyarakat majemuk yang sedang membangun. Gereja Tuhan terpanggil untuk ikut berperan serta dalam pembangunan nasional Indonesia. Gereja ditantang untuk menyatakan suara kenabiannya, yakni menghadirkan syalom Allah di bumi Indonesia. Berpijak pada basil Sidang Raya DGI (sekarang PGI) di Pematang Siantar tahun 1971, dijabarkan bahwa kesejahteraan dan perdamaian dalam pembangunan bangsa Indonesia tidaklah mungkin tercapai kalau rakyat tetap dalam kemiskinan. Oleh sebab itu, menurut sidang raya ini, Injil perlu dipahami dan diformulasikan ulang sebagai berita kesukaan yang nyata kepada orang-orang miskin atau pembebasan dari belenggu kemelaratan sebagai realisasi konkret datangnya rahmat Allah.797
Di satu sisi, gereja dari kalangan Injili kerapkali dicap sebagai kaum pietis, yang hanya memperhatikan sisi rohani manusia dan mengambil sikap acuh tak acuh terhadap kondisi dunia yang sedang terjadi. Di sisi lain, gereja-gereja yang membawa semangat oikumenikal dicap sebagai gereja liberal yang terlalu banyak menekankan sisi kemanusiaan dari pelayanan gereja dan membuat kebenaran Alkitab menjadi relatif.798
Benarkah kedua pendapat kontras tersebut mewakili kenyataan yang sedang terjadi saat ini (khususnya pada gereja-gereja Injili)? Apakah benar nilai-nilai spiritualitas Injili memisahkan diri dari pembangunan nasional Indonesia? Tulisan ini mencoba meluruskan permasalahan anggapan terhadap kaum Injili. Penulis yakin bahwa kaum Injili di Indonesia termasuk bagian integral dari masyarakat majemuk yang sedang membangun.