Resource > Jurnal Pelita Zaman >  Volume 10 No. 2 Tahun 1995 >  TORONTO BLESSING: SUATU TINJAUAN PENGALAMAN RELIGIUS > 
PENGESAHAN 

Dalam mengesahkan pengalaman religius ada dua sikap yang perlu dihindari.789 Sikap pertama adalah menolak pengesahan dari luar (self validating). Sikap ini didasarkan pada anggapan bahwa pengalaman religius merupakan komunikasi langsung dari Allah kepada seseorang secara individual. Orang mengklaim bahwa "hanya" dia yang mendapat visi atau wahyu, sementara orang lain dianggap "tidak tahu apa-apa." Atau bisa juga orang mengklaim bahwa tindakannya dilakukan karena "dorongan beban khusus dari Tuhan." Seorang pemimpin Kristen bisa jatuh ke dalam kecenderungan ini. Kalau ia seorang yang berkharisma untuk mempengaruhi orang lain, dengan mudah ia akan memiliki banyak pengikut. Kalau orang ini diberitahu bahwa ada sesuatu yang tidak beres, ia akan jalan terus dengan alasan bahwa "saya sendiri jelas" atau "motivasi saya murni." Sikapnya, kalau orang lain tidak mau ikut biar saja. Toh para nabi juga dulu bernubuat dan ketika tidak digubris, ia jalan terus.

Kelemahan dari sikap ini adalah pengalaman religius pribadi tidak terkontrol. Kalau memang visi atau beban itu adalah dari Tuhan dan harus dikerjakan bersama-sama, apakah salah kalau Tuhan juga memberi visi serupa kepada orang lain? Apakah keadaan umat Allah sudah begitu buruk, sehingga hanya segelintir kecil orang saja yang memiliki pengalaman religius yang istimewa? Tanpa mau menerima counter-check dari orang lain, orang itu dengan mudah akan merasa diri sebagai nabi atau juruselamat zaman ini (messianic syndrome). Di dalam kehidupan berjemaat klaim-klaim seperti ini mengandung nada arogan dan bisa manipulatif.

Sikap kedua adalah bahwa pengalaman religius hanya benar bila Alkitab membenarkan dan apabila Alkitab tidak menyebutkan, maka pengalaman itu tidak benar (Scripture-validating). Orang yang mengklaim seperti ini selalu mengecek setiap pengalaman atau peristiwa secara kaku berdasarkan ada atau tidak di dalam Alkitab seolah-olah Alkitab memuat daftar berbagai pengalaman religius yang sah. Alkitab dijadikan tolok ukur tertinggi bagi semua jenis pengalaman religius.

Di sini ada masalah. Tujuan utama Alkitab dilupakan. Kita tahu bahwa berita utama dari Alkitab adalah supaya orang dituntun ke dalam pengenalan akan Yesus Juruselamat, dan oleh karenanya memperoleh selamat (bdk. Yoh 20:31). Betul bahwa Alkitab mencatat banyak sekali pengalaman seperti pertobatan, mujizat, berbahasa lidah, kesembuhan, pertumbuhan rohani dst. Namun itu tidak berarti bahwa Alkitab mau berperan sebagai sebuah buku daftar pengalaman religius. Implikasinya, kita tidak bisa selalu memakai Alkitab untuk membenarkan atau menyalahkan sebuah pengalaman religius. Mungkin ada pengalaman religius yang tak pernah terjadi di dalam Alkitab. Kalau begitu, jangan-jangan orang yang menghakimi pengalaman religius orang lain, ia sendiri tidak memiliki pengalaman religius itu.

Dengan apa pengalaman religius bisa dipercaya? Pengalaman religius, perlu bisa dimengerti menurut suatu konteks rasional, moral dan kultural tanpa harus dijelaskan secara tuntas. Yang terakhir "tanpa harus dijelaskan tuntas" perlu digarisbawahi. Dalam mengecek pengalaman religius orang lain kita harus selalu ingat bahwa Allah itu tak terbatas, sehingga cara yang dipakai-Nya juga tak terbatas seperti yang ditegaskan oleh Evans.790

Karena Allah mahakuasa dan sama sekali bebas, maka Ia memiliki kemungkinan inisiatif yang terbesar. Nampaknya mustahil seseorang mengalami Allah kecuali Allah menghendaki hal itu terjadi. Dan nampaknya sulit atau juga mustahil bagi kita untuk mengatakan kapan Allah mau melakukan hal itu.

Ujian terhadap pengalaman religius perlu, karena pengalaman religius yang berdiri sendiri akan menghasilkan kekacauan dan kebingungan. Menghadapi situasi kacau dari pelaksanaan karunia-karunia rohani yang spektakuler di jemaat Korintus dari para kharis-maniak, rasul Paulus tidak berusaha memberikan kriteria teologis tentang validitas pengalaman-pengalaman itu. Ia hanya menasihatkan mereka tentang pentingnya ketertiban.

Sebab Allah tidak menghendaki kekacauan, tetapi damai sejahtera... Tetapi segala sesuatu harus berlangsung dengan sopan dan teratur. (1 Kor 14:33,40)

Dalam pengalaman religius harus ada keseimbangan di antara aspek rasional dan aspek non rasional supaya pengalaman itu dihayati secara utuh.791 Orang harus selalu mengkonsultasikan pengalaman religiusnya dengan aspek-aspek rasional, moral dan kultural yang ada, agar pengalaman itu tidak jatuh ke dalam fanatisme atau mistisisme sewenang-wenang.

Kirk Farnsworth menyebutkan dua macam kriteria, mencukupi (adequacy) dan cocok (appropriateness).792 Kriteria "mencukupi" menyangkut makna dan terdiri dari tiga unsur, yaitu bermakna (meaningfulness), berharga (worthwhileness) dan keutuhan (coherence). Kriteria "cocok" berhubungan dengan signifikansi dan juga terdiri dari tiga unsur, yaitu layak (worthiness), perubahan (conversion) dan cocok (compatibility).

Pengalaman religius harus bermakna dalam arti bila memperkaya dan melengkapi pengalaman sehari-hari; berharga dalam arti pengalaman itu menegaskan ulang kesadaran kita sebagai makhluk dan nilai eksistensi kita; koheren dalam arti meskipun pengalaman religius memiliki sisi non rasional, namun tetap ada signifikansi rasional, moral dan kultural.

Pengalaman religius bisa dilihat dari kelayakan obyek pengalaman itu bagi kepedulian dan penyerahan kita yang terdalam perubahan terjadi dalam perilaku dan sikap orang yang memiliki pengalaman religius; sebuah pengalaman religius harus cocok dengan kelompok acuan religius di mana orang itu berada (reference group). Di sinilah pentingnya persekutuan orang percaya. Apa yang dialami seseorang juga dialami oleh orang lain (intersubjective verification). Untuk orang yang mengaku punya pengalaman khusus seharusnya pengalaman itu juga diakui oleh orang Kristen lainnya. Maka kalau suatu pengalaman religius diterima dan berlaku umum di dalam suatu kelompok religius yang tidak bisa dikatakan bidat, prinsipnya adalah menerima dulu bahwa pengalaman itu benar sampai ada bukti yang lebih kuat yang dapat meragukan pengalaman itu. Kalau kita percaya bahwa Roh Kudus ada dengan salah satu manifestasi-Nya berbahasa lidah, kita harus dengan sangat hati-hati untuk menghakimi pengalaman itu di dalam diri seseorang sebagai hal yang di manipulasi. Kita boleh langsung meragukan suatu pengalaman religius, kalau jelas tahu bahwa apa yang dialami itu sebenarnya tidak ada atau kalau orang yang mengalaminya dalam kondisi yang meragukan seperti mabuk, emosi yang labil.

Akhirnya, dalam menilai sebuah pengalaman religius yang spektakuler hendaknya kita bisa membedakan mana yang menjadi inti pengalaman dan mana yang merupakan bumbu-bumbunya. Misalnya, ada seorang yang baru disembuhkan secara ajaib dari penyakit yang secara medis tersembuhkan. Dalam pengalamannya itu orang ini bersaksi bahwa Tuhan Yesus menyembuhkan dia melalui mimpi, di mana di dalam mimpi itu ia diajak berjalan jalan di sorga dan melihat Petrus yang berbaju biru dst. Inti dari pengalaman rohani ini adalah disembuhkan secara ajaib, sedangkan bumbu-bumbunya adalah tour di sorga dan perjumpaan dengan banyak orang dan hal. Terhadap inti dari pengalaman rohani kita tidak boleh terlalu cepat curiga, apalagi kalau faktanya memang betul. Namun terhadap detil pengalaman perlu di kaji secara kritis, karena setiap pengalaman religius bersifat subyektif. Barangkali untuk tidak jatuh ke dalam debat kontroversial, Rasul Paulus dengan amat hati-hati menceritakan pengalamannya diangkat ke tingkat ketiga sorga (2Kor 12:1-7).793 Baginya pengalaman spektakuler seperti itu bukan untuk disaksikan ke mana-mana, melainkan untuk menjadikannya seorang yang lebih menyadari apa arti hidupnya.



TIP #09: Klik ikon untuk merubah tampilan teks alkitab dan catatan hanya seukuran layar atau memanjang. [SEMUA]
dibuat dalam 0.04 detik
dipersembahkan oleh YLSA