Dari pembicaraan kita sejauh ini, bisa dikatakan bahwa pengalaman religius merangkul sekaligus aspek-aspek subyektif dan obyektif, aspek-aspek rasional dan non rasional, tanpa subordinasi aspek yang satu terhadap lainnya. Pertanyaannya apakah yang klaim manusia atas pengalaman religius selalu benar? Ternyata pengalaman seperti pengalaman religius tidak hanya dihasilkan dari perjumpaan manusia dengan Yang Ilahi. Kuasa gelap juga bisa memberi pengalaman yang mirip sekali dengan pengalaman religius (quasi-religious). Kesulitan untuk membedakan ini diakui oleh Otto.788
Meskipun perasaan akan Yang Ilahi dalam perkembangannya yang tertinggi berbeda dari 'rasa takut akan setan,' namun dalam levelnya yang tertinggi tidak dipungkiri asal-usul atau kesamaannya. Bahkan ketika penyembahan akan 'setan-setan' sudah mencapai level yang lebih tinggi bagaikan menyembah allah-allah, allah-allah ini masih mempertahankan sesuatu dari dunia roh (numina) yang di dalam diri orang yang menyembah tertinggal sebagai perasaan 'gaib' dan 'dahsyat,' yang tetap bertahan bersama rasa mulia dan agung atau yang sudah dilambangkan melalui rasa agung itu.
Mengingat pada kasus-kasus tertentu, perbedaan antara menyembah Allah dan menyembah setan begitu halus, sungguh tepat bila Alkitab memberi tempat yang penting bagi "karunia untuk membedakan bermacam-macam roh" (1 Kor 12:10) dan memberi perintah untuk menguji roh-roh (1Yoh 4:1). Oleh sebab itu, pengalaman religius harus bisa diuji.