Dasar etika situasi adalah kasih. Baginya kasih saja yang selalu baik.598 Kasih di dalam etika situasi adalah kasih responsif, kasih sebagai respon syukur atas apa yang Allah telah lakukan bagi kita khususnya di dalam hidup dan kematian Yesus Kristus. Kristus menjadi pusat etika. Ketika kita menuruti perintah Allah, itu berarti Kristus sedang mengambil rupa manusia kita.599
Fletcher menguraikan keunggulan kasih di atas segala sesuatu yang lain di dalam enam proposisi. Di dalam ketiga proposisi yang pertama ia menegaskan bahwa hanya ada sate hal yang baik di dalam dirinya sendiri, itulah kasih.600 Kasih adalah fungsi iman secara horisontal, sama seperti doa adalah fungsi iman secara vertikal. Maka kasih berhak menjadi satu-satunya norma yang menentukan keputusan orang Kristen.601 Lalu dengan mengasihi otomatis orang sudah berbuat adil, karena keadilan merupakan kasih yang didistribusikan.602
Fletcher melihat norma-norma dan kasih selalu bertentangan. Demi supremasi kasih atas norma-norma ia berkata,
Kita mau mengikuti prinsip-prinsip dan peraturan-peraturan asalkan mereka melayani kasih .... bisa saja dan sering terdapat konflik di antara kasih dan norma. Mereka tidak bisa menjadi mitra; paling-paling, kasih hanya memakai norma apabila kelihatannya berguna.603
Jelaslah bahwa meskipun etika situasi mengabaikan kemutlakan semua norma, namun ada sebuah norma mutlak yang tetap dipegang yaitu kasih.604 Maka tidak bisa dikatakan bahwa etika situasi jatuh ke dalam kehidupan tanpa norma sama sekali (antinomianisme). Hanya hukum kasih yang selalu harus berlaku dalam setiap kasus. Norma-norma konkret lain harus mengalah bila bertentangan dengan hukum kasih.605 Tepatnya, etika situasi ada di antara legalisme dan antinomianisme.606
Proposisi keempat, kasih menghendaki kebaikan sesama lepas dari apakah kita menyukai orang itu atau tidak.607 Kasih tidak sama dengan rasa suka, rasa sayang atau simpati. Bagi etika situasi semua itu bukan kasih melainkan perasaan yang berakar pada cinta diri. Lawan dari perasaan-perasaan baik ini adalah rasa benci. Sedangkan lawan dari kasih agape adalah sikap acuh tak acuh, tidak mau tahu dan tidak peduli. Kasih tidak mengharapkan balasan. Dengan kasih kita bisa mengasihi yang tidak menarik dan yang tidak kita sukai.
Proposisi kelima, hanya tujuan yang baik boleh menghalalkan cara apapun (finis sanctificat media). Sesuatu yang baik untuk dilakukan dalam sebuah kasus belum tentu akan selalu baik dalam setiap kasus tergantung pada situasinya dan apakah tindakan itu akan mengerjakan kasih atau tidak. Misalnya membunuh adalah jahat. Namun apabila kita terpaksa membunuh seorang perampok ganas yang sedang menyandera korban, tindakan itu malah bisa baik. Mencuri adalah jahat. Namun mencuri senjata dari seorang pembunuh adalah perbuatan baik.
Proposisi keenam, keputusan-keputusan yang berdasarkan kasih dibuat menurut situasi, bukan menurut rumusan-rumusan normatif baku.608 Maka etika situasi bicara kasus per kasus dan tidak bertolak pada norma-norma dan prinsip-prinsip umum.
Etika Kristiani atau teologi moral bukan sebuah pola hidup menurut peraturan-peraturan melainkan suatu usaha yang terus-menerus untuk mengaitkan kasih dengan sebuah dunia kenisbian melalui sebuah penyelesaian kasus per kasus yang mengacu pada kasih; tugasnya adalah demi Kristus selalu menghasilkan strategi dan cara mengasihi.609
Situasi sebagai fakta selalu relatif. Inilah segi indikatif yang mendasari perintah untuk mengasihi. Perintah mengasihi sesama adalah imperatif. Jadi, rumus etika situasi atau apa yang normatif (apa yang wajib dilakukan) adalah indikatif ditambah dengan imperatif (normatif/kewajiban= indikatif/situasi + imperatif/perintah untuk mengasihi).610
Jika kita melihat etika situasi dari problem etika tampaklah bahwa sistem etika itu hanya merupakan sebuah bentuk dari usaha untuk mendefinisikan apa itu yang secara moral baik. Di dalam etika ada masalah yang sulit dipecahkan yaitu bagaimana menentukan apa yang benar-benar baik. Nominalisme berpendapat bahwa sesuatu itu baik hanya kalau Allah memandangnya baik (Ockham, Scotus, Descartes dll.). Dalam pengertian ini, karena Allah sendiri memerintahkan untuk membunuh seperti dalam beberapa kasus di dalam PL, membunuh bisa dibenarkan walaupun bertentangan dengan perintah eksplisit "jangan membunuh."
Bertentangan dengan ini adalah realisme. Menurut paham yang kedua ini, sesuatu itu baik bukan karena Allah menghendaki hal itu, melainkan karena sesuatu itu memang pada dasarnya baik. Perintah "jangan berzinah," misalnya, adalah baik karena perzinahan akan menggerogoti hubungan loyalitas yang sebenarnya harus ada pada pasangan yang resmi.
Dalam hal ini karena etika situasi tidak mau membatasi diri dengan hukum-hukum normatif yang eksplisit dan hanya memegang prinsip umum "kasih." Di dalam etika situasi tidak ada perbuatan yang baik karena dilakukan sesuai dengan norma-norma tertentu, melainkan itu baik sejauh berakibat baik dan itu buruk sejauh itu berakibat,buruk. Etika situasi tidak mau berada di dalam kesulitan yang mengharuskan kita memilih realisme atau nominalisme. Apakah hubungan seks di luar nikah selalu salah? Etika situasi menjawab, "Tidak tahu." Tergantung situasinya. Maka etika situasi tidak bisa disodorkan dengan pertanyaan apakah sesuatu itu Salah atau benar. Ia selalu minta sebuah kasus konkret.
Etika situasi tidak bersifat kategoris melainkan hipotetis.611 Tidak ada sesuatu yang baik di dalam dirinya. Contoh etika kategoris adalah "menolong orang adalah baik." Titik. Namun etika hipotetis tidak akan berkata begitu. Menolong orang memang baik. Namun itu tidak baik, jika yang ditolong adalah seorang perampok yang sedang melarikan diri.
Bagaimana bila mengasihi orang lain bertabrakan dengan kewajiban mengasihi diri sendiri? Menurut Fletcher, orang tidak boleh membuang diri dan menganggap diri tak berharga. Malahan cinta diri harus dilakukan dengan bertanggung jawab.