Di dalam kisah penciptaan manusia adalah ciptaan satu-satunya yang berupa Allah (Kej 1:26). Metafora yang dipakai untuk jati diri manusia disini adalah "gambar dan rupa" Allah. Metafora ini mempunyai latar budaya yang menarik. Di Timur Dekat Kuno seorang raja penakluk mendirikan panji, tanda, atau gambar dan rupa mereka di daerah taklukannya untuk menandakan bahwa daerah itu adalah milik raja itu. Dengan latar budaya ini jelas kehadiran manusia di dunia ini, pertama sekali untuk memproklamasikan sekali lagi bahwasanya dunia ini adalah milik Allah. Namun lebih lanjut lagi, manusia di dalam kebersamaannya (pria dan wanita) bertujuan untuk mengatur dunia ini. Manusia dengan terhormat diikutsertakan di dalam karya penciptaan Allah yang kini bersifat memelihara sesuai dengan kemampuan yang telah dikaruniakan kepadanya.514
Yang berbeda dari kisah penciptaan Timur Dekat kuno, Mesopotamia misalnya, adalah manusia diciptakan karena para dewa sudah letih bekerja dan mereka membutuhkan manusia untuk melakukan pekerjaan mereka. Dengan demikian di dalam konsep agama Timur Dekat kuno, manusia adalah budak para dewa dan bekerja adalah sebuah beban hidup. Tetapi tidak demikian dengan gambaran manusia di dalam Kej 1-2. Manusia memiliki martabat yang luhur sebagai gambar dan rupa Allah. Ia berdaulat untuk melakukan apa yang baik terhadap ciptaan sesuai dengan maksud penciptaan. Manusia rohani adalah manusia pekerja, yang material namun tidak materialistik!
Karena diciptakan dalam kebersamaan dan bukan secara individualistik, maka dalam mengemban tugas sebagai gambar dan rupa Allah itu tidak boleh ada dominasi seksual (pria terhadap wanita), ras atau golongan (kaya terhadap yang miskin, mayoritas terhadap yang minoritas). Kalau dunia mau ditata dengan baik, tidak boleh ada diskriminasi dalam keikutsertaan membangun dan mengelola dunia ini. Hal ini tidak harus dipahami bahwa semua orang harus berkedudukan dan menikmati hal yang sama. Berdasarkan kapasitas dan tanggung jawab yang berbeda kita masing-masing memiliki posisi dan peran yang berbeda pula. Namun sekali lagi, perbedaan ini tidak membenarkan adanya dominasi dan eksploitasi dari satu orang atau kelompok atas orang atau kelompok lain.
Dalam kedudukan manusia sebagai mitra yang potensial ini manusia, sebagai contoh, ikut menentukan jalannya proses kejadian seorang manusia. Coba kita bayangkan bila setiap sel telur dari seorang wanita menjelma menjadi kehidupan baru, seorang ibu bisa melahirkan puluhan anak. Di sini manusia ikut mengatur dan menentukan setiap kelahiran melalui kontrasepsi yang tidak menggugurkan kandungan.
Contoh lain, berkat kemajuan dalam bioteknologi manusia sekarang sudah berhasil mengantisipasi keadaan bayi yang akan lahir, apakah ia normal atau akan cacat. Ini penting sekali. Menurut penelitian dari 1988-1990 di RSAB "Harapan Kita" kasus cacat bawaan jumlahnya 5 s/d 8 per seribu kelahiran hidup. Umumnya adalah cacat kepala besar yang menyebabkan aliran cairan di otak tersumbat.
Tetapi bila mitra potensial ini menyalahgunakan kepercayaan dan kuasa yang diberikan kepadanya, ada bahaya yang besar. Khususnya ini terjadi apabila manusia menganggap dirinya sebagai "khalik" pencipta dan melupakan kedudukan yang sebenarnya di alam semesta sebagai "makhluk" dari Allah pencipta. Dengan kemampuan manusia sekarang, manusia bisa memproduksi ratusan manusia dari benih orang seperti Hitler. Sungguh sulit dibayangkan apabila pada suatu hari bermunculan pemimpin-pemimpin dunia seperti Hitler. Walau kita tak mau masuk lebih jauh ke dalam diskusi seputar etika biomedis, kiranya berita di dalam PL sudah jelas bahwa manusia tetap manusia, mitra Allah dalam memelihara kelangsungan dunia ciptaan demi kesejahteraan bersama. Kalau begitu, membentuk manusia berkualitas moral lebih penting dari pada potensinya.