Pada umumnya, tanpa disadari sepenuhnya, dalam hidup kita sesehari, termasuk dalam hal-hal yang sederhana, dapat saja terjadi ketegangan, pertentangan, bahkan permusuhan yang sengit. Hal itu disebabkan antara lain karena pada pihak-pihak yang berkepentingan sempat terjadi kesalahpahaman.
Kalau ketegangan, pertentangan, bahkan permusuhan dapat terjadi dalam perkara-perkara yang sederhana karena kesalahpahaman, apalagi dalam perkara-perkara yang lebih mendasar dan yang menyangkut agama serta kepercayaan.
Dalam peristiwa pembukaan Kongres Nasional Agama-agama di Indonesia dan Peringatan 100 Tahun Parlemen Agama-agama Sedunia oleh bapak Menteri Agama dr. H. Tarmidzi Taher, di Gedung Wanita, Yogyakarta yang diselenggarakan pada hari Senin, tanggal 11 Oktober 1993 yang lalu, Harian Suara Merdeka - edisi Selasa, 12 Oktober 1993 pada halaman XVI - memuat:
Dialog antar umat beragama merupakan suatu kebutuhan, bahkan mungkin suatu keharusan. Sebab globalisasi yang melanda kehidupan umat manusia memunculkan gejala pluralisasi, yaitu proses pemajemukan kecenderungan, orientasi, dan perilaku, termasuk dalam bidang keagamaan. Masing-masing menemukan kepercayaan diri dan berusaha mengartikulasikan diri ke pentas kehidupan. Gejala pluralisasi ini memungkinkan persinggungan dan persaingan yang seringkali memercikan api silang sengketa, konflik, bahkan perang, kata Menteri Agama. Lebih lanjut dikemukakan bahwa jika proses itu terjadi di kalangan kaum agamawan dan melibatkan sentimen keagamaan, maka permasalahannya menjadi lebih luas dan dalam. Akibatnya, pemecahan masalah menjadi kian sulit dan rumit ....
Oleh sebab itu, sebelum kita mencoba membahas permasalahan Teologia dan Penggembalaan, kita pun perlu memiliki pemahaman yang sama terlebih dahulu agar tulisan yang sesungguhnya menyangkut masalah yang sangat kompleks namun penting ini - tetapi yang hanya dapat dibahas secara ringkas dan serba terbatas ini - tidak akan menambah kerancuan dan kesalahpahaman yang memang sangat potensial dan sudah sempat sering terjadi di antara kelompok-kelompok tertentu. Kesalahpahaman tadi bukan hanya terjadi di antara kelompok agama yang berbeda bahkan kalau kita mau jujur telah terjadi juga di antara kelompok-kelompok yang sama tetapi berbeda denominasinya!
Kita yang sependapat dan memiliki keyakinan yang kuat bahwa Alkitab adalah firman Tuhan, yang sekali dan untuk selamanya telah diberikan Allah kepada kita, di segala tempat dan zaman, perlu mengakui bahwa Allah yang kekal dan tidak berubah tadi menyatakan kehendak dan rencana-Nya kepada manusia dalam situasi dan zaman yang berbeda dari kita.
Dengan kata lain, Allah tidak pernah berfirman kepada ruang hampa tetapi kepada orang, atau sekelompok orang, kepada suku atau bangsa tertentu, pada waktu dan tempat tertentu pula.
Oleh karena itu, kita (siapapun juga yang memang mau lebih bertanggung jawab) harus bergumul dan berupaya untuk mencoba memahami secara baik dan benar makna dan maksud firman Tuhan tadi yang telah diterima kepada pendengar atau penerimanya yang asli! Tugas itu sendiri bukan sesuatu yang mudah. Baru sesudah itu kita mencoba menggali dan kebenaran firman Allah yang disampaikan dan ditujukan kepada orang, atau orang-orang tertentu pada tempat dan masa tertentu bertentangan dengan situasi dan kita sekarang dengan segala kenyataan tentu saja kompleks dan tidak mudah. Teristimewa pada masa globalisasi sekarang ini.
Dengan kata lain, setiap upaya kita untuk berteologia, termasuk teologia penggembalaan harus dengan cermat memperhatikan kenyataan tadi! Sebagaimana pernah dikatakan oleh Dr. John Stott, apabila kita ingin mencari kehendak Allah pada zaman kita, maka kita harus bersedia dan siap untuk melihat dan menghubungkan penyatuan (revelation) sesuai dengan konteksnya, dengan kenyataan yang jelas serta berbeda pula (reality).
Dalam pemahaman semacam itulah tulisan ini mencoba menggumuli dan mengerti penggembalaan dalam arti yang umum dan seluas-luasnya dalam kerangka yang tidak bisa lain kecuali kerangka teologia.