Masalah yang timbul dari pernyataan tersebut adalah bahwa kalimat itu diucapkan kepada kaum awam tanpa penjelasan tentang maksudnya. Kalimat tersebut diucapkan dalam suatu doa plus rekomendasi "dalam nama Tuhan Yesus". Tambahan lagi kalimat tersebut berisi ungkapan lain seperti "roh judi", "roh zinah", yang disejajarkan dengan "roh teologia".
Sang pendeta benar dari segi seperti yang saya katakan di atas, namun ia keliru apabila dilihat dari segi yang lain. Seharusnya ia sedikitnya menyadari bahwa teologia memang adalah suatu pembicaraan secara rasional tentang Allah dan pekerjaanNya. Orang Kristen yang sungguh-sungguh dan rendah hati mau belajar tentang Allah dan karyaNya akan menemukan bahwa pengetahuannya tentang Allah tidak pernah lengkap (exhaustive, comprehensive). Makin mengenal makin merasa kurang mengenaL Paradoks ini menuntun pada pencarian yang tidak habis-habisnya, dan seorang Kristen tidak akan pernah "kebanjiran" pengetahuan tentang Allah. Jadi, keliru sekali kalau "pelajaran" tentang Allah dan karyaNya harus ditengking oleh seorang pendeta dengan nama Putra Allah, Tuhan Yesus sendiri.
Teologia tidak perlu "dihalau", malah ia harus dihadirkan. Sang pendeta keliru di dalam asumsinya tentang teologia sehingga sampai-sampai ia perlu "mengusir"nya. Mungkin ia berpraanggapan bahwa semua bentuk dan isi teologia adalah hasil dari rasio semata-mata yang mencoba mengerti tentang Allah dan karyaNya. Teologia seperti ini hanya mengandalkan intelek perse untuk mengenal Allah serta manusia. Dalam hal ini sang pendeta bukanlah orang yang pertama berpendapat demikian. Sejarah gereja pernah mencatat bahwa Tertullian, yang hidup antara 160-220 Masehi, pernah mempermasalahkan rasio atau filsafat yang dianggapnya telah mengotori iman atau teologia.
Bagi Tertullian, pengetahuan yang murni tentang Allah (yang digambarkannya dengan istilah "Yerusalem", yaitu untuk melukiskan sumber datangnya wahyu) tidak dapat dimengerti oleh rasio/pikiran/filsafat (yang digambarkan dengan istilah "Athena", yaitu untuk melukiskan sumber/pusat kekuatan filsafat Yunani).278 Dunia akademi tidak boleh "dikawinkan" bahkan harus dijauhkan dari dunia gereja, demikian kira-kira pendapat Tertullian.
Tidak terlalu jauh dari pandangan ekstrim di atas adalah pandangan dari M. Luther. Menurut Luther, rasio adalah wanita tuna susilanya Iblis. Alasannya, kesetiaan rasio harus dipertanyakan karena rasio lebih banyak meragukan firman Allah, seperti halnya kesetiaan manusia tuna susila yang tidak mudah setia kepada satu pasangan saja.279 Tidak heran pula apabila Luther begitu keras terhadap pribadi yang mengajarkan filsafat seperti Aristoteles, yang disebutnya sebagai "orang kafir yang buta", "pengarang dongeng anak-anak", dan "pembinasa ajaran saleh".280 Sweeping generalization (pandangan pukul rata) seperti ini tentu saja tidak objektif.
Baiklah, kita harus mengakui bahwa manusia memang cenderung mengandalkan rasio semata-mata di dalam berteologia. "I think; therefore I exist" dari rumusan Cartesian seakan-akan sudah merupakan ungkapan di dalam alam bawah sadar bahwa "berpikir" (baca: berfilsafat) adalah nomor satu, sedangkan "percaya" (baca: berteologia) tidak diperlukan lagi. Akibatnya, ada orang yang diam-diam merasa tidak perlu dituntun oleh sumber teologia yang berkonotasi supranatural, oleh karena ia merasa rasionya sudah cukup memberikan tuntunan. Yang diperlukan adalah argumentasi, bukan otoritas. Tradisi dan komitmen tidak perlu; yang perlu adalah tesis dan komentar.
Rasionalisme seperti di atas bukan hanya terdapat di kalangan filsafat Barat saja, sebab sejarah pernah mencatat seorang filsuf Arab yang bernama Ibnu Rushd (1126-1198), atau yang biasa disebut Averroes, juga mempunyai reaksi yang antipati terhadap agama dan teologia di Arab pada waktu itu.281 Menurut Averroes, kebenaran yang absolut tidak akan dijumpai di dalam wahyu atau teologia manapun kecuali di dalam karya tulis (filsafat) Aristoteles.282 Agama dan teologia adalah tidak lain merupakan kebenaran filsafat yang dibuat sedemikian rupa supaya dapat diterima oleh manusia yang imajinasinya lebih kuat dari rasionya. Maka, pada akhirnya yang dianggap ada hanyalah "Athena".
Apabila yang terjadi adalah seperti di atas, maka layaklah kita mencampakkan filsafat atau teologia yang rasionalistik itu dari perbendaharaan pikiran kita. Sang pendeta ada benarnya apabila (dan hanya apabila) teologia telah direndahkan menjadi sekedar filsafat atau pemutaran otak manusia saja. Hal ini sesuai dengan peringatan rasul Paulus di dalam Kolose 2:8: "Hati-hatilah supaya jangan ada yang menawan kamu dengan filsafatnya yang kosong dan palsu menurut ajaran turun temurun dan roh-roh dunia, tetapi tidak menurut Kristus". Bolehlah keadaan seperti di atas sekali-kali dikoreksi, namun juga tidak perlu sampai mempergunakan "jurus maut" berupa tengkingan yang menggeneralisir sifatnya.
Tetapi masalahnya adalah: Dapatkah kejadian di atas (yaitu usaha merendahkan teologia dan mengagungkan fiLsafat) menghasilkan output yang bisa disebut sebagai "teologia sejati" atau sebagai "filsafat sejati". Penulis merasa kejadian di atas tidak dapat disebut sebagai "teologia" atau "filsafat" yang sejati, karena berfilsafat secara benar sebetulnya tidak pernah terlepas dari aktivitas berteologia; demikian pula sebaliknya. Alasannya; iman dan rasio sebetulnya tidak bertentangan dan dapat berkompatibel atau berselarasan satu dengan lainnya.
Apalagi, jika kita mengakui bahwa Allah adalah Pencipta alam dan makhluk, baik teolog maupun filsuf harus mengakui adanya ketergantungan setiap manusia kepada Allah serta adanya kemampuan khusus yang dapat Allah berikan.
Apabila kita membuat asumsi bahwa setiap kebenaran berasal dari Allah, maka kebenaran filsafat dan teologia tidak akan bertentangan satu dengan lainnya. Tambahan pula baik filsafat maupun teologia harus mempergunakan rasio di dalam prosedur pemikiran atau proses penalarannya. Dari segi yang lain, baik filsafat maupun teologia sama-sama dapat melulu mengandalkan rasio sehingga menjadi rasionalistik. Singkatnya, filsafat dapat menjadi pseudo filsafat (yaitu filsafat semu, yang sesungguhnya bukan filsafat sejati), demikian pula teologia menjadi pseudo teologia.
Pada saat yang bersamaan harus diakui bahwa memang terdapat perbedaan starting point antara teologia (yang mulai dengan wahyu Allah) dengan pendekatan filsafat (yang lebih sering mempertanyakan wahyu dan eksistensi Allah). Tetapi, harus diakui pula bahwa terdapat banyak persamaan di antara keduanya di dalam memaparkan masalah-masalah, misalnya tentang kebenaran, Allah, dunia, dan manusia. Dengan perkataan lain, baik teologia maupun filsafat sama-sama merupakan disiplin yang mengandung unsur rasionalitas koherensi, dan inteligibilitas.
Hal ini tidak berarti tidak ada filsuf atau aliran filsafat yang terang-terangan menentang Kekristenan; demikian pula harus diakui cukup banyak teolog yang menghasilkan teologia yang sumbang karena terlalu rasionalistik. Tetapi, ekstrim yang hanya meninggikan teologia, atau sebaliknya, yang hanya mengagungkan filsafat, seharusnya tidak perlu terjadi. Problem memang bisa timbul apabila teolog ingin meneologiakan filsafat, atau sebaliknya, filsuf ingin memfilsafatkan teologia.
Yang jelas adalah satu hal, bahwa filsafat dapat membantu teolog mengembangkan pemikiran yang kritis melalui sarana teknik-teknik analisis yang ada dalam filsafat.283 Penting sekali bagi seorang teolog untuk mengenal perbedaan antara argumentasi yang meyakinkan dan argumentasi yang lemah. Ia juga harus mampu memaparkan dan menguraikan prasuposisi yang jelas terbuka maupun yang tersembunyi. Ia juga harus mampu membuat implikasi dari pemikiran yang ada, serta merelasikan suatu konsep dengan konsep yang lainnya secara jelas.284 Selanjutnya, fiLsafat juga berfungsi sebagai sarana yang menyediakan skema atau kerangka agar teolog dapat menyalurkan wahyu Allah dengan media komunikasi yang relevan sehingga isi daripada wahyu tersebut dapat dimengerti menurut situasi zaman kini.
Sejarah teologia mencatat bahwa usaha seperti ini telah kerapkali dikerjakan oleh berbagai kalangan. Misal, ide-ide dari Platonisme pernah dipakai oleh Agustinus untuk mempertajam teologianya; demikian pula Aquinas dengan Aristotelianismenya, Bultmann dengan eksistensialismenya, dan teologia Pembebasan dengan Marxismenya. Terlepas dari penyimpangan-penyimpangan yang pernah terjadi di dalam pandangan teologia di atas, filsafat tetap berfungsi memberikan sumbangsih bagi teologia seperti yang diuraikan di atas. Tidaklah bijaksana apabila oleh karena melihat adanya penyimpangan-penyimpangan yang sudah pernah terjadi maka kemudian filsafat dicurigai dan dienyahkan secara total. Filsafat tetap vital sebagai sarana yang penting untuk membantu proses pemikiran atau penalaran serta melakukan pembuktian-pembuktian tertentu (sekalipun perlu juga diakui bahwa kontribusi filsafat akan memberikan produk eklektis yang kondisional dan terbatas). Namun, perlu juga dicatat bahwa filsafat yang pada instansi terakhirnya tidak memberikan kontribusi apa-apa untuk perkembangan teologia dan tidak membawa kemuliaan bagi Allah adalah sia-sia. Tentang hal ini Agustinus pernah mengatakan dengan tepat, bahwa "All that are called philosophers are not lovers of the true wisdom". Maksudnya, oleh karena filsuf adalah philos-sophos (pencinta hikmat), dan Allah adalah satu-satunya hikmat (sophia) yang benar, maka seharusnyalah "A truephilosopher is a lover of God".
Sampai di sini terlihatlah bahwa baik teologia maupun filsafat tidak saling bertentangan. Keduanya adalah esensial dan bersifat komplimentari atau saling melengkapi di dalam proses penelitiannya. Teologia menuntun seorang percaya untuk berani menaklukkan dirinya kepada iman kepercayaan setelah menyadari keterbatasan dirinya sebagai manusia, karena hanya dengan berbuat demikian rasionya beroperasi dengan kritis untuk mengenal yang benar. Di dalam proses itu juga ia akan melewati pengalaman-pengalaman yang rasional sifatnya, seperti misalnya, melihat perbuatan atau kehadiran Allah di dalam alam (Mzm 19:2), peristiwa sejarah umat manusia (Kis 17:26), atau di dalam dirinya sendiri (Flp 4:13).


untuk merubah tampilan teks alkitab menjadi per baris atau paragraf. [