Berkenaan dengan agama non Kristen, H. Kraemer menunjukkan bahwa:
Agama-agama non Kristen bukan hanya terdiri dari gagasan-gagasan spekulatif mengenai tujuan kekal dari manusia. Akan tetapi, mereka, sekaliannya adalah sistem-sistem dan teori-teori kehidupan inklusif, yang berakar di dalam suatu dasar agama, dan karena itu pada saat yang bersamaan mengambil suatu sistem kebudayaan dan peradaban serta suatu struktur masyarakat dan negara yang tertentu.158
Di dalam konteks sedemikian, kita tidak boleh meremehkan agama-agama non Kristen. Jikalau seseorang melakukan studi perbandingan agama tanpa terikat pada praanggapan Kristiani, dengan tak terelakkan hasilnya akan bersifat sinkretistik. J. N. D. Anderson mendefinisikan sinkretisme sebagai "suatu usaha untuk memperpadukan, atau mempertemukan butir-butir atau praktek-praktek agama yang berbeda, yang secara luar biasa populer."159 Apa yang mereka coba lakukan adalah dengan jalan generalisasi untuk menarik kesimpulan dari hal-hal yang umum di antara agama Kristen dan non Kristen demi untuk membangun suatu sistem agama universal yang dapat diterima oleh semua pihak.
Jelaslah bahwa metode ini berdiri di alas suatu premis yang keliru, yakni hipotesis (praduga) bahwa semua agama hanyalah refleksi dari kebenaran yang universal dan satu itu. Hipotesis ini menolak dasar praanggapan Kristiani yang menekankan bahwa wahyu Allah di dalam sejarah adalah unik. Seperti halnya E. Troeltsch, mereka tentu akan menyebut klaim-klaim Kristiani sebagai suatu sikap fanatik yang naif. Bagi Troeltsch, "Sejarah tidak mengenal apapun yang mutlak; kita tidak menemukan apapun pada masa silam yang dapat disebut esensi Kekristenan. Perkara historis hanyalah bersifat relatif!"160 Di bawah klaim tanpa dasar seperti itu, semua agama akhirnya hanya merupakan fenomena dari hal yang sama. Tiada yang unik, tiada yang absolut, dan tiada sesuatu yang disebut final.
Sinkretisme adalah sia-sia karena berpraanggapan pada hal dapat dipertemukannya perkara yang tak bisa dipertemukan. Tentu saja agama bukan melulu suatu fenomena yang dapat dilihat dalam bidat-bidat, tata cara ibadah, dan sekedar gaya hidup yang dianut. Kenyataannya agama adalah suatu sistem atau filsafat hidup yang berakar dan ditentukan oleh hubungan seseorang dengan Allah, sang Pencipta. Di sana tiada alternatif lain, entah seseorang taat atau memberontak terhadapNya. Jikalau kita tidak melihat butir ini dalam studi agama, dengan pasti kita akan mengubah pokok pembahasan. Alasannya, pengamatan intuitif dan pengenalan seseorang akan Allah, khususnya di dalam lingkup pengetahuan eksistensial Yahudi, adalah dasar dari kehidupan seseorang yang akan menentukan makna dan nilai hidupnya; maka di bawah praanggapan sedemikianlah, tiada satu bentuk sinkretisme pun yang mungkin!