Resource > Jurnal Pelita Zaman >  Volume 7 No. 1 Tahun 1992 > 
FINALITAS KRISTUS 
Penulis: Joseph Tong152
 PENGANTAR

Ada banyak perkara misterius yang akan tetap tak terjawab dalam lingkup saintifik, filosofis, dan teologis. Masalah "iman" merupakan salah satu di antaranya. Kaum penganut empirisisme menganggap topik "iman" sebagai sesuatu yang absurd (tak masuk akal). Namun iman yang mereka. tolak, secara diam-diam (tapi pasti) telah menyatakan dirinya di dalam proses penolakan mereka. Sebab sekalipun seseorang dapat menyatakan dirinya tidak mempercayai apa-apa, namun toh dia sendiri mengikatkan diri kepada "iman" ketidakpercayaan itu. Kenyataannya, dalam suatu analisis sekunder, kita menemukan bahwa di bawah setiap pemikiran, alasan, tindakan, dan perilaku manusiawi apapun, terletak praanggapan paling penting yang presaintifik dari semua dalil: yaitu adanya determinasi dari kehendak manusiawi yang mengatur semua kegiatan manusiawi. Para filsuf (yang menghubungkannya pada proses bernalar) menyebutnya nalar ontologis yang membawahi pemikiran teknis dan praktis; para teolog (yang mengaitkannya pada totalitas atau realitas) menyebutnya sebagai komitmen (tekad yang mengikat) dari seseorang, direksi (arah) dari jiwa seseorang, atau kepedulian hidup seseorang yang paling komprehensif dan memuncak. Inilah titik di mana seseorang memulai nalarnya, dan suatu garis yang akan diikuti oleh seseorang selagi dia memandang realitas di sekelilingnya. Direksi ini adalah yang menentukan tujuan seseorang.

Di dalam konteks pembicaraan kita tentang Finalitas Kristus, (khususnya bagi orang yang secara fanatik dan absurd menyangkali karakter misterius dari iman seperti yang telah saya sebut di atas), saya tak mempunyai banyak hal untuk dikatakan selain ingin mendengarkan penjelasan darinya tentang bagaimana sistem pemikirannya teguh konsisten (sambil menolak titik berangkat pemikirannya). Tetapi terhadap seseorang yang mengakui perlunya dasar kesatuan (keutuhan) dari penalaran, dan yang ingin berpijak secara konsisten pada praanggapan tersebut, saya melihat kemungkinan dan keperluan untuk berdiskusi, bahkan sekalipun kita berdiri pada dasar yang berbeda dan berlawanan.

 KEBERATAN-KEBERATAN TERHADAP KLAIM KRISTIANI

Keberatan-keberatan yang muncul menentang klaim Kristiani pada kemutlakan dan finalitas Kristus datang dari dua macam orang, yaitu dari Sekularisme modern, dan dari orang yang berkepedulian religius. Terhadap keberatan yang muncul dari Sekularisme modern, saya akan membahasnya dalam sebuah risalah lain yang berkenaan dengan permasalahan Allah dan manusia. Artikel ini akan memusatkan perhatian pada persoalan dengan orang yang berkepedulian religius.

Di antara orang-orang yang berkepedulian religius, ada dua macam kelompok lagi, yaitu orang Kristen dan yang bukan. Keduanya mengajukan keberatan terhadap klaim finalitas Kristus, walau dasar yang dipergunakannya berlainan. Bagi orang Kristen yang menentang klaim sedemikian, G. Cook153 memberi mereka ciri sebagai akibat pengaruh dari "keterkejutan atas similaritas (kemiripan)", di mana orang Kristen sendiri menemukan sejenis prinsip-prinsip moral dalam tulisan-tulisan non Kristen, seperti ekspresi etis negatif dari Confusius yang berlawanan dengan Aturan Emas (Golden Rule) dari Injil: "Jangan memperlakukan orang lain apa yang engkau tidak ingin orang lain memperlakukan engkau." Mereka juga menemukan gagasan inkarnasi dari Dewa Ishvara dalam pribadi Krishna di dalam tradisi Hindu yang tercatat dalam buku suci mereka Bhagawad Gita; demikian pula hal yang sama dijumpai misalnya tentang "persaudaraan sesama insan" (the brotherhood of all men) yang berasal dari orang Buddhis dan Islam, dan seterusnya. Cook menyimpulkan bahwa:

Pengenalan yang sedikit tentang agama-agama non Kristen sangat mudah membiakkan kebingungan. Menanggapi kesejajaran-kesejajaran yang dimaksud atau duplikasi jenis ini, orang Kristen dapat jatuh pada relativisme yang menyimpang. Hal ini sering menimbulkan sikap ketakacuhan religius hingga "perkawinan" menuju suatu agama sintetis yang universal. Maka, bereaksi terhadap istilah-istilah "keterkejutan atas kemiripan", orang-orang Kristen dapat mengalami ketidakenakan karena terkeratnya pemahaman tentang keunikan atau kemutlakan iman mereka.154

Dalam kelompok ini, di samping orang-orang Kristen biasa, termasuk pula para teolog dan profesor filsafat agama yang menyatakan agama hanyalah suatu gejala psikologis atau sosiologis, dan menganggap pengalaman-pengalaman religius ini hanyalah sebagai esensi dari ilusi. John Oman membaginya dalam tiga jenis:

1. Tipe Hegelian, yang menganggap agama sebagai suatu bentuk sains yang primitif atau antropomorfis.

2. Tipe Schleiermacher, yang menganggap agama sebagai suatu produk perasaan ketergantungan yang absolut dari manusia, dan

3. Tipe Kantian, yang melihat agama sebagai sesuatu yang timbul dari keharusan untuk mempertahankan nilai-nilai moral dan sosial.155

Akibat dari pandangan ini secara tak terelakkan mengarah pada sikap merelatifkan klaim atas kemutlakan dan finalitas Kekristenan. Hal ini akan menjadi lebih jelas manakala seseorang melihat bagaimana jalan pemikiran Aliran Penelitian Historis Agama. Cave menggambarkannya:

Aliran itu menjadi lebih aktif dalam kesarjanaan daripada dalam teologia, dan orang-orang terpelajarnya telah berupaya meniadakan kekhasan Kekristenan dengan mengatakan bahwa sebenarnya tekanan tentang kekhasan itu sendiri berasal dari pengaruh Rasul Paulus dan bangsa non Yahudi yang bertobat dari Kekafiran lingkungannya, serta khususnya bidat misteri yang mengajarkan tentang Allah "Yang mati dan bangkit".156

Kecenderungan untuk merelativisir keunikan Kekristenan nampak menjadi lebih dapat diterima selama semangat modernitas menonjol. Selagi dunia berada di tengah-tengah kancah perang, rupa-rupa bencana, konflik-konflik rasial dan etis, manusia menjadi lebih rela mengeritik iman mereka dengan amat pedas agar memperoleh apa yang disebut "keberadaan bersama secara damai". Menghadapi tantangan sedemikian, tanggung jawab kita yang mendesak adalah menemukan jawaban kita bagi sesama orang Kristen sebelum kita dapat memberikan jawaban kepada dunia. Jikalau Kristus adalah Tuhan dan Juruselamat, dan memang Dia demikian, apa yang dituntut oleh pengakuan sedemikian atas diri kita selaku orang Kristen yang terpanggil?

Sedangkan mengenai keberatan-keberatan yang timbul dari kelompok religius non Kristen, kita menghadapi tantangan yang lebih besar yang belum pernah ada sebelumnya. Jikalau di dalam beberapa abad yang silam, agama-agama non Kristen tampaknya mengambil posisi yang pasif dan defensif, dewasa ini mereka tampil seperti pasukan tentara dengan segala kekuatan dan komitmen pada keyakinan non Kristen mereka. Disertai dengan nasionalisme, patriotisme, atau ambisi-ambisi politis, mereka telah meraih kekuatan yang amat dahsyat yang menuntut pengakuan. Saat kebangunan dari agama-agama non Kristen telah tiba. Mereka bahkan mengklaim kemutlakan dan superioritas: orang Islam mengklaim finalitas dari Al Qur'an serta menyatakan bahwa ajaran dan teladan dari Mohammad melebihi Kekristenan dan Yesus; Hinduisme telah mengubah sikap defensifnya menjadi ofensif; orang Buddhis mengklaim bahwa Buddhisme bukan sekedar sebuah agama, Buddhisme adalah sebuah "aktualitas"; dan Confusianisme dipuji sebagai suatu "jalan hidup" yang jauh lebih praktis daripada Kekristenan.

Pada saat Kekristenan di Barat sedang merosot akibat pengaruh-pengaruh Humanisme dan Sekularisme, keunikan iman Kristen jelas kehilangan makna kepentingannya. Misi Kristiani berada di antara dilema mengirim atau tidak mengutus para misionaris pada waktu banyak negara menutup pintu mereka. Jikalau misi Kristiani hanya berupa suatu upaya untuk membudayakan orang-orang kafir yang "tak beradab", untuk membawa apa yang disebut peradaban Barat yang maju, maka di sana tiada lagi tempat bagi Kekristenan, karena banyak kebudayaan telah menyatakan superioritas peradaban mereka melebihi Barat. Ini tentu saja bukan masalahnya apabila dilihat dari titik pandang Alkitabiah. Ketika Kristus mengutus gereja dengan perkataan: "Karena itu pergilah, dan jadikanlah sekalian bangsa muridKu", praanggapan yang mendasari pengutusan itu adalah proklamasi bahwa "segala kuasa di sorga dan di bumi telah diberikan kepadaKu". Sekalipun kita menghadapi keberatan tertentu, finalitas dari otoritas Kristus tetaplah senantiasa. Hanya melalui suatu pemahaman yang benar tentang otoritas itu, seseorang akan bertahan dalam imannya pada klaim Kristus tersebut serta menyatakan pengakuan iman tersebut di hadapan tantangan apapun.

 PERNYATAAN KRISTIANI

Sebelum menanggapi tantangan tersebut di atas, saya yakin adalah wajar bagi kita untuk kembali pada diskusi semula, yaitu mengenai komitmen iman, yang mengarahkan dan menentukan tujuan dari nalar dalam percakapan manusiawi. Perlu diperhatikan bahwa ada tiga cara melakukan analisis dan kritik filosofis, yaitu kritik yang transendental, imanen, dan netral. Kenyataannya. dalam konteks tonik diskusi kits. kritik transendental adalah tidak adil, kritik imanen tidak komprehensif, dan netral adalah tidak mungkin. Dalam membahas problem finalitas dan keabsolutan Kekristenan, saya akan menghindari posisi netral oleh karena fakta bahwa pendekatan netral nampaknya memperlakukan agama seolah sebagai suatu keutuhan yang objektif, padahal sama sekali tidak begitu. Agama berakar mendalam di hati setiap insan hidup. Karena itu, netral adalah suatu penipuan diri. Kritik transendental yang berarti menilai sistem filosofis lewat suatu keyakinan yang terkandung dan terikat lebih dulu, benar-benar merupakan suatu praktek yang tidak fair dan tak adil. Apa yang tersisa adalah bentuk kritik imanen, yang mengklaim bahwa satu-satunya jalan untuk mengerti sistem filosofis lainnya adalah mengikatkan diri secara total kepada sistem itu dan mulai dari dalam sistem itu guns menemukan nilainya. Saya yakin adalah munafik bagi saya sebagai seorang Kristen yang terikat (dengan kepercayaan Kristiani) akan menggunakan kritik imanen namun berpura-pura seperti seorang yang tidak percaya.

Dengan menyatakan posisi demikian, seseorang akan terheran bagaimana kita dapat melanjutkannya. Padahal kita tahu bahwa perspektif-perspektif yang berbeda selalu akan menghasilkan kesimpulan-kesimpulan yang berbeda pula. Namun, fakta menunjukkan bahwa berbicara tentang kebenaran religius, kita sama-sama menyadari adanya realitas terakhir, totalitas dari realitas, yang secara total bebas sendiri dari persepsi apapun, dan secara objektif berdiri di luar perspektif manusiawi. Realitas sedemikian tidaklah pasif, melainkan, ketika diperlakukan sebagai suatu objek penyelidikan, ia dengan aktif tampil sebagai sebuah subjek yang secara aktif menyatakan dirinya sendiri kepada kita. Pada pernyataan inilah kemungkinan diskusi antara orang Kristen dan non Kristen mengenai permasalahan Finalitas Kristus dan Kekristenan ditetapkan.

 KLARIFIKASI PENDEKATAN KRISTIANI

Jelaslah bahwa kita akan melanjutkan dengan menegaskan keyakinan kita dalam menyatakan finalitas Kristus, bahwa Ia adalah satu-satunya Juruselamat dan Tuhan semesta alam. Tidak diragukan lagi bahwa pernyataan sedemikian lebih berupa suatu deklarasi ketimbang suatu praktek rasional. Kenyataannya memang lebih berupa suatu pengakuan daripada suatu dialog, suatu proklamasi daripada suatu pembelaan. Sesungguhnya, demikianlah adanya, pernyataan tersebut merupakan suatu proklamasi dan deklarasi Kristiani, yang akan bertahan di hadapan semua tantangan. Pada saat kita sudah mengkualifikasikan posisi kita sedemikian, pendekatan-pendekatan berikut ini secara otomatis menjadi tak memenuhi syarat.

 PENDEKATAN UTILITARIAN

Yang dimaksud dengan istilah Utilitarian adalah pendekatan yang menyajikan Kekristenan dengan cara-cara membangkitkan minat utilitarian dari para lawan (supaya mereka melihat kegunaan dan kebaikan dari Kekristenan). Pertimbangkan argumen berikut ini yang biasa digunakan dalam pertemuan-pertemuan penginjilan.

Anda harus menerima Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamat. Sebab jikalau Kristus benar-benar adalah Tuhan dan Juruselamat, dengan menerima Dia, Anda akan menerima keselamatan dan hidup kekal bagi Anda sendiri yang mana agama-agama lain tak bisa menjamin {**}Anda. Namun apabila Dia bukanlah Juruselamat, walaupun sesungguhnya Dia memang demikian, maka Anda tetap tak kehilangan apa-apa dengan mengakui ketuhananNya, sebaliknya Anda bakal menikmati suatu kehidupan yang berarti dalam norma yang paling etis.

Saya tidak menyangkali impak psikologis yang terkandung dalam metode ini. Dalam batas-batas tertentu, metode itu begitu praktis dan hasilnya amat hebat. Banyak penginjil telah memakainya. Bahkan Billy Graham sudah menggunakan metode demikian di dalam pemberitaannya dalam Explo'73 di Dallas, Texas, dengan menyatakan bahwa meskipun hanya ada satu persen dari kemungkinan adanya sorga dan neraka, manusia seharusnya tetap percaya dalam Kristus, karena ia tak kehilangan apa-apa melainkan banyak yang diperoleh. Sayangnya, metode ini agaknya mirip dengan "polis asuransi". Metode ini baru manjur hanya pada waktu para penentang belum terikat pada satu sistem agama apapun. Namun metode tersebut akan menjadi bahan tertawaan dan menjadi sia-sia bila disampaikan kepada seseorang yang telah terikat pada suatu agama tertentu dan merasa terjamin, walau secara keliru, pada keselamatannya. Sesungguhnya, agama tidak seharusnya dievaluasi dari nilai praktis dan kegunaannya saja. Ontologi adalah mendasar pada evaluasi religius; sedangkan kebenaran adalah mutlak. Jika di sana hanya ada satu jalan yang benar sementara yang lainnya salah, maka keuntungan dan kegunaan hanya dapat menjadi suatu wujud yang memikat tanpa isi. Dengan demikian, pendekatan utilitarian dalam penyajian pernyataan Kristiani hanya melemahkan berita Injil.

 PENDEKATAN KOMPARATIF

Perkataan komparatif memerlukan kualifikasi, jika tidak ia akan menyesatkan kita. Dalam perbandingan, jikalau seseorang hanya memusatkan pikiran pada masalah superioritas atau inferioritas dari suatu entitas yang diperbandingkan, nyatalah, dia telah terikat pada suatu praanggapan bahwa di sana tak ada perbedaan kualitatif selain perbedaan kuantitatif di antara entitas yang didiskusikan. Orang Tionghoa selalu berkata: engkau jangan membandingkan seekor lembu dengan seekor kuda. Karena itu metode komparatif dibenarkan jika dan hanya jika entitas yang diperbandingkan berasal dari praanggapan yang sama, atau dari kualitas yang sama, seperti contoh-contoh kasus perbandingan dalam surat kiriman kepada orang Ibrani. Pertimbangkan argumen berikut ini:

... Yesus lebih bijak daripada guru-guru yang lain, (maka) agama Kristen lebih superior daripada agama yang lain dalam semua hal, dan oleh karenanya, berdasarkan prinsip ketahanan hidup dari yang paling cocok, Kekristenan seharusnya melampaui yang lainnya.157

Bruce menunjukkan bahwa metode demikian tidak memuaskan seseorang yang antusias (ingin percaya) pada agama lain. Kenyataannya, kesalahan dari argumen seperti itu dapat dilihat dari standar ganda di dalamnya, yang mencanangkan prinsip ketahanan hidup dari yang paling cocok (survival of the finest) dan upaya mengutamakan Kekristenan yang mungkin dapat dihapuskan oleh studi perbandingan yang menyusul pada kemudian hari. Di samping itu, posisi sedemikian sama sekali tidak menyediakan praanggapan Kristiani yang mendasar.

Titik yang paling krusial dalam metode ini terletak pada pertanyaan "Apakah kriteria dari otoritas yang terakhir?" Sebab jika soal adaptabilitas (hal dapat disesuaikannya) dan universalitas iman Kristen dijadikan patokan bagi finalitasnya, maka argumen ini menjadi gugur dengan sendirinya karena otoritas yang terakhir itu belumlah ditetapkan.

Kemiripan dan perbedaan antara Kekristenan dan agama yang lain adalah suatu fakta (namun tidak perlu merupakan suatu realitas). Mereka boleh ditimbang sebagai kesatuan wujud fenomenal tapi pasti bukan bersumber dari dasar yang sama. Secara mendasar, mereka merupakan fenomena dari dua dasar yang berbeda, dua komitmen kepercayaan yang secara khas berbeda. Tanpa menyadari fakta ini, metode perbandingan dalam studi agama menjadi tak bermakna. Satu-satunya jalan untuk membenarkan metodologi ini adalah mengakui adanya praanggapan-praanggapan presaintifik yang membawahi kedua sistem dan lebih jauh membandingkan mereka di dalam pengakuan tentang adanya satu Allah yang sejati. Studi perbandingan yang terlalu sederhana (untuk menunjukkan superioritas Kristus mengatasi guru-guru lain) hanya akan menurunkan derajatNya pada tingkat dari guru-guru lain tersebut, atau sebaliknya menaikkan derajat agama lain pada level di mana Kekristenan berdiri. Hasil dari studi komparatif ini secara tak terelakkan akan mengarah pada sinkretisme dan semangat untuk bertoleransi, yang akan lebih merusak ketimbang mendatangkan kebaikan dalam konteks pengesahan (peneguhan) iman Kristen.

 SINKRETISME

Berkenaan dengan agama non Kristen, H. Kraemer menunjukkan bahwa:

Agama-agama non Kristen bukan hanya terdiri dari gagasan-gagasan spekulatif mengenai tujuan kekal dari manusia. Akan tetapi, mereka, sekaliannya adalah sistem-sistem dan teori-teori kehidupan inklusif, yang berakar di dalam suatu dasar agama, dan karena itu pada saat yang bersamaan mengambil suatu sistem kebudayaan dan peradaban serta suatu struktur masyarakat dan negara yang tertentu.158

Di dalam konteks sedemikian, kita tidak boleh meremehkan agama-agama non Kristen. Jikalau seseorang melakukan studi perbandingan agama tanpa terikat pada praanggapan Kristiani, dengan tak terelakkan hasilnya akan bersifat sinkretistik. J. N. D. Anderson mendefinisikan sinkretisme sebagai "suatu usaha untuk memperpadukan, atau mempertemukan butir-butir atau praktek-praktek agama yang berbeda, yang secara luar biasa populer."159 Apa yang mereka coba lakukan adalah dengan jalan generalisasi untuk menarik kesimpulan dari hal-hal yang umum di antara agama Kristen dan non Kristen demi untuk membangun suatu sistem agama universal yang dapat diterima oleh semua pihak.

Jelaslah bahwa metode ini berdiri di alas suatu premis yang keliru, yakni hipotesis (praduga) bahwa semua agama hanyalah refleksi dari kebenaran yang universal dan satu itu. Hipotesis ini menolak dasar praanggapan Kristiani yang menekankan bahwa wahyu Allah di dalam sejarah adalah unik. Seperti halnya E. Troeltsch, mereka tentu akan menyebut klaim-klaim Kristiani sebagai suatu sikap fanatik yang naif. Bagi Troeltsch, "Sejarah tidak mengenal apapun yang mutlak; kita tidak menemukan apapun pada masa silam yang dapat disebut esensi Kekristenan. Perkara historis hanyalah bersifat relatif!"160 Di bawah klaim tanpa dasar seperti itu, semua agama akhirnya hanya merupakan fenomena dari hal yang sama. Tiada yang unik, tiada yang absolut, dan tiada sesuatu yang disebut final.

Sinkretisme adalah sia-sia karena berpraanggapan pada hal dapat dipertemukannya perkara yang tak bisa dipertemukan. Tentu saja agama bukan melulu suatu fenomena yang dapat dilihat dalam bidat-bidat, tata cara ibadah, dan sekedar gaya hidup yang dianut. Kenyataannya agama adalah suatu sistem atau filsafat hidup yang berakar dan ditentukan oleh hubungan seseorang dengan Allah, sang Pencipta. Di sana tiada alternatif lain, entah seseorang taat atau memberontak terhadapNya. Jikalau kita tidak melihat butir ini dalam studi agama, dengan pasti kita akan mengubah pokok pembahasan. Alasannya, pengamatan intuitif dan pengenalan seseorang akan Allah, khususnya di dalam lingkup pengetahuan eksistensial Yahudi, adalah dasar dari kehidupan seseorang yang akan menentukan makna dan nilai hidupnya; maka di bawah praanggapan sedemikianlah, tiada satu bentuk sinkretisme pun yang mungkin!

 PENGAKUAN IMAN KRISTIANI DI DALAM TANGGAPAN TERHADAP TANTANGAN ATAS FINALITAS KRISTUS

Kita telah sampai pada titik di mana suatu pengakuan harus diucapkan dan suatu pembelaan seharusnya dibuat. Kita menegaskan apa yang Yesus katakan: "Akulah Jalan, Kebenaran dan Hidup. Tak seorangpun sampai kepada Bapa kecuali melalui Aku!" Kita juga memproklamirkan apa yang diakui oleh rasul (Petrus) bahwa "Tak ada keselamatan di dalam siapapun, karena tak ada Nama lain di bawah kolong langit yang diberikan di antara manusia yang olehnya kita dapat diselamatkan."

Kita mengakui bahwa Yesus adalah satu-satunya Nama, di dalamNya manusia menemukan satu-satunya Jalan, Kebenaran, dan Hidup. Nama ini bukanlah yang digambarkan sebagai sesuatu yang diketahui di dalam diri semua orang yang merasakan kebajikan dan kuasanya; jalan ini juga bukan jalan seperti yang dimengerti sebagai Logos dari filsafat Gerika, atau Jalan (Tao) dari Taoisme dan Confusianisme. Sesungguhnya klaim tentang finalitas Kristus terletak di dalam Pribadi Kristus. Pribadi Kristus merupakan batu sandungan bagi semua agama lainnya, sebagaimana dikatakan oleh Bruce bahwa "Finalitas Kristus terletak pada Pribadi Kristus, dan bukan guru-guru agama lain, bukan alasan individual, atau gereja, atau bahkan Alkitab."161

Karena itu, proklamasi kita melenyapkan pembelaan bagi gereja, bahkan bagi Alkitab. Saya yakin inilah suatu butir yang penting. Gereja bisa gagal, demikian pula kehidupan Kristen, metode-metode Kristen, refleksi-refleksi Kristen, dan argumen-argumen Kristen, tetapi finalitas Kristus tetap bertahan selamanya. Oleh sebab itu, mungkin argumen bagi otoritas Kitab Suci gagal, otoritas Kristus tetap berjaya. Alkitab hanyalah suatu bentuk wahyu yang memuncak di dalam Pribadi Yesus Kristus. Gereja dan doktrin-doktrin Kristen hanyalah bayangan dari yang terakhir itu, Pribadi Kristus, "yang menampakkan diriNya kepada malaikat-malaikat, diberitakan di antara bangsa-bangsa yang tidak mengenal Allah; yang dipercayai di dalam dunia, diangkat dalam kemuliaan" (1Tim 3:16).

Saya akan melanjutkan dengan penjelasan dan diskusi mengenai finalitas Kristus dengan menguraikan secara rinci tentang ontologi dari wahyu. Saya akan membatasi garis pemikiran dalam menetapkan finalitas lewat anatomi tentang pentingnya serta kepastian adanya wahyu. Hal ini akan saya namakan sebagai suatu Pendekatan Wahyu terhadap problema finalitas Kristus.

 KRISTUS SEBAGAI WAHYU TERAKHIR DARI ALLAH

Iman Kristen mengungkapkan adanya tindakan Allah yang menyatakan diriNya sendiri dalam Penciptaan, dalam Kitab Suci, dan dalam Pribadi Yesus Kristus. Finalitas Kristus didasarkan pada bagian ketiga. Yesus mengatakan, "Sekiranya kamu mengenal Aku, pasti kamu juga mengenal BapaKu." Yohanes berkata, "Tidak seorangpun yang pernah melihat Allah; tetapi Anak Tunggal Allah, yang ada di pangkuan Bapa, Dialah yang menyatakanNya" (Yoh 14:7; 1:18).

Jikalau kebutuhan vital dari agama adalah supaya manusia menjadi yakin terhadap Allah, maka untuk mendapatkan pengenalan yang pasti akan kehendak dan karakterNya, kita memerlukan wahyu yang absolut. Kemutlakan wahyu kemudian menjadi dasar bagi klaim finalitas. Tatkala setiap agama berurusan dengan upaya peraihan realitas dalam totalitasnya (sebagai satu-satunya dasar dari sistem), jaminan atas pengetahuan itu menjadi sangat penting. Tanpa kepastian sedemikian, segala sesuatu menjadi relatif. Karenanya kita dapat menetapkan kemutlakan agama melalui penelitian klaim religius sambil merelasikannya dengan wahyu dari kebenaran yang mutlak.

Mengenai cara melihat adanya kebutuhan akan kebenaran yang absolut, terdapat dua kemungkinan; Manusia sebagai pencari, atau manusia sebagai penerima. Dalam hal manusia sebagai pencari, masalah akan timbul dalam arti bahwa si pencari telah terkondisi lebih dulu oleh perspektifnya, di mana perspektif itu sendiri adalah sesuatu yang harus dicari. Ini menjadikan manusia sebagai si pencari tidak mungkin. Karena itu, hasil dari pencarian manusia adalah sia-sia ketika kita memasukkan realitas secara keseluruhan. Usaha-usaha religius, di mana manusia menemukan kebenaran tertentu mungkin menjadi bernilai apabila ditinjau dari sudut kebajikan ilahi (seperti apa yang diekspresikan orang-orang Kristen dalam doktrin anugerah umum), namun nilai kaitannya menjadi minimal bila dibandingkan dengan tindakan penyataan Allah. Tingginya hikmat manusia masih sangat jauh dari kesempurnaan Ilahi.

Mengenai pernyataan manusia sebagai sang penerima kebenaran, hal ini hanya mungkin apabila kita telah menemukan bahwa wahyu ilahi mempunyai otoritas di atas pemikiran dan perspektif manusiawi. Tanpa penemuan ini wahyu ilahi tetap akan sia-sia karena ia tak dapat terjangkau oleh manusia. Dengan perkataan lain, karena agama adalah usaha manusia untuk memahami totalitas eksistensi (sementara manusia berhadapan dengan wahyu Allah), fungsi wahyu menjadi tidak dapat terjangkau, karena apa yang diwahyukan tidak berselarasan dengan pikiran manusia natural, kecuali hal terjangkaunya wahyu itu mendapatkan kepastian dan jaminan.

Dengan demikian, pemahaman akan totalitas eksistensi membutuhkan adanya wahyu khusus yang tak terkondisi lebih dulu oleh kondisi manusia natural untuk memberikan arah (yang benar) kembali kepada natur manusia. Inilah posisi di mana Pribadi Yesus Kristus akan berdiri secara khas dan unik sebagai Tuhan dan Juruselamat bagi umat manusia.

 PENTINGNYA SALIB KRISTUS

Oleh sebab usaha manusia tak dapat memahami totalitas eksistensi (karena telah terkondisi sebelumnya oleh pilihan dan keputusannya untuk menolak realitas itu sendiri), realitas pada akhirnya dimengerti dalam kondisi yang menyimpang dan Salah bentuk. Namun, realitas sebenarnya tak pernah terbentuk oleh penafsiran dan pengertian manusia; realitas akan melampaui dan menguasai semua penafsiran-penafsiran yang salah. Dari sudut religius, Allah sebagai Tujuan paling Akhir, sebagai Pribadi, Sang Pencipta, tentu akan berinisiatif menyatakan diriNya sendiri, juga membuat diriNya sendiri dikenal kepada setiap orang. Kemungkinan ini tak terletak dalam makhluk insani sebagai si penerima wahyu, namun terletak di dalam Satu Oknum yang telah memanggil kita untuk memberikan pertanggungjawaban kita. Oleh karena itu, tanpa inisiatif Allah, tiada pendamaian yang mungkin.

Dalam konteks ini kita dapat menyimpulkan bahwa satu-satunya jalan untuk membuat wahyu secara otoritatif dapat diterima oleh manusia adalah dengan jalan mendamaikan manusia dengan diri Allah. Karena pendamaian ini harus sesuai dengan sifat dan atribut ilahi, maka pendamaian harus berlangsung di dalam, konteks kasih dan keadilan. Inilah yang telah dilakukan oleh Yesus di atas Salib.

Di dalam kematian Kristus, keadilan Allah menemukan penggenapannya. Dan di dalam kebangkitanNya, Dia telah menyediakan jaminan kasih karunia keselamatan bagi orang-orang percaya. Dengan demikian, pengampunan dosa dijamin, serta hal dapat terjangkaunya wahyu juga dijamin.

Singkatnya, finalitas Kristus pada hakekatnya tak terletak pada pengajaranNya per se, walaupun Dia sungguh-sungguh mengajarkan etika terbaik; juga finalitas ini tak terletak dalam teladan kehidupanNya, walaupun Dia menjalani hidup yang paling kudus, melainkan di dalam kematian dan kebangkitanNya. Di dalam dua peristiwa inilah, Kristus sebenarnya memperdamaikan orang-orang berdosa dengan Allah dengan cara menanggung hukuman dosa-dosa seluruh dunia. Jurang antara Allah dan manusia menjadi terjembatani. Di dalamNya kita dapat "dengan penuh keberanian menghampiri takhta kasih karunia, supaya kita menerima rahmat dan menemukan kasih karunia untuk mendapat pertolongan kita pada waktunya" (Ibr 4:16). Paulus menyatakan, "Karena seluruh kepenuhan Allah berkenan diam di dalam Dia, dan oleh Dialah Ia memperdamaikan segala sesuatu dengan diriNya, baik yang ada di bumi, maupun yang ada di sorga, sesudah Ia mengadakan pendamaian oleh darah salib Kristus" (Kol 1:19, 20). Peristiwa salib yang terjadi sekali untuk selamanya telah menyingkirkan selubung sehingga memampukan kita melihat kemuliaanNya di mana Roh kehidupan dan kebebasan telah mengubah kita menjadi serupa denganNya.

 ROH KUDUS YANG TINGGAL DI DALAM

Butir ini memang khas ajaran Kristiani. Orang Kristen meyakini peristiwa Salib telah dimanifestasikan oleh pekerjaan Roh Kudus dalam hati manusia. Roh Kudus memimpin manusia supaya menerima dan menaati Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamat serta menjamin hubungan orang itu dengan Allah selaku anak angkatNya. Lebih jauh lagi Roh memberi kuasa kepadanya untuk hidup menurut kehendakNya dan membawanya masuk kedewasaan pengenalan akan Allah.

Tanpa pekerjaan Roh Kudus tersebut, manusia tak mungkin diubahkan. Dasar perspektif hidup yang salah, sebagaimana telah kita analisis, dapat menguasai segenap keberadaan manusia dan meluas ke seluruh pemikirannya, penalarannya, tindakannya, serta tingkah lakunya. Ketika pendamaian menjadi nyata dalam diri manusia, kuasa yang lama masih berpengaruh. Kita memerlukan kuasa lain yang dapat mengatasi kuasa yang lama itu. Karena itu, dalam konteks seperti ini, hal berdiamnya Roh Kudus dalam diri orang percaya menjadi krusial. Kelengkapan keselamatan dalam Kristus sebagaimana telah dinyatakan dalam Alkitab memenuhi kebutuhan sedemikian. Inilah keunikan dari keyakinan dan keselamatan Kristiani. Di dalam Kristus, tak ada yang namanya suatu proses pembentukan ulang, melainkan yang ada adalah suatu permulaan yang baru, suatu ciptaan baru. Hanya di dalam Dia, hidup menemukan nilai yang nyata pada saat Roh meneruskan apa yang telah dimulai olehNya.

Di dalam konteks pembahasan kita, kita telah mencapai titik pernyataan tentang finalitas Kristus dalam hal melihat realitas wahyu dan khasiatnya dalam konteks kehidupan dan karya Kristus. Sesungguhnya Kristus seperti yang dilihat di dalam Kekristenan adalah satu-satunya Pribadi yang menonjol pada wahyu yang terakhir dari Allah. Melalui hidup, kematian, kebangkitanNya dan pengutusan Roh Kudus, Ia telah membuktikan kebenaran Allah dan memungkinkan umat manusia datang kepadaNya. Di dalam inkarnasiNya, Ia meyakinkan kita akan prakarsa Allah menghampiri kita; di dalam kematianNya bagi dosa kita, Ia mendamaikan kita dengan Allah, sehingga membuat wahyu yang terakhir itu dapat sampai kepada kita; di dalam kebangkitanNya, Ia menjamin penebusan kita untuk menjadi anak-anak angkat Allah; serta akhirnya, dengan berdiamnya Roh Kudus dalam kita lewat karya Roh Kudus, Ia memastikan khasiat karyaNya dalam menyatakan Allah Bapa kepada kita dalam kesempurnaan rohNya adalah final, dan penyataanNya adalah mutlak. Ialah satu-satunya Tuhan dan Juruselamat.

 PERMASALAHAN-PERMASALAHAN PRAKTIS YANG MUNCUL DARI AGAMA-AGAMA NON KRISTEN

Pernyataan finalitas Kristus secara tak terelakkan lagi akan menimbulkan pertanyaan-pertanyaan tentang bagaimana kita akan menilai agama-agama non Kristen: Fungsi dan makna mereka, di samping problema kelangsungan dan nilai kebudayaan yang terkandung dalam sistem-sistem keyakinan itu. Permasalahan ini bisa dianalisis dari sudut pandang teologis, sosio antropologis, dan psikologis.

Karena meskipun semua agama, selain agama dari Kristus, adalah palsu pada inti (pengajaran)nya, tidak memperkenan Allah, dan tak mampu menyelamatkan, akan tetapi di dalam agama tersebut terdapat suatu pengakuan yang tak disadari tentang Allah. Beberapa di antara agama-agama tersebut mengangkat tingkat kesadaran moral manusia akan Realitas yang Tak terlihat itu.162

Dari sudut teologis, apabila teologia didefinisikan sebagai fungsi dari suatu komunitas religius agama (yang olehnya melayani kebutuhan komunitas itu), lalu bagaimana seharusnya agama non Kristen dievaluasi oleh sistem Kristiani, setelah Kekristenan menegakkan finalitasnya? Sebenarnya pekerjaan "menilai" adalah sama saja dengan terlibat dalam suatu proses memberi pertimbangan dalam analisis filosofis. Pada saat evaluasi filosofis didefinisikan sebagai suatu pendekatan kognitif terhadap realitas di mana realitas itu sendiri adalah objek, maka hal ini menjadikan evaluasi itu sendiri sebenarnya tidak ada (atau tidak berlangsung) serta tidak memiliki suatu objektivitas yang berdiri sendiri. Sebagaimana telah kita diskusikan dalam permulaan dari artikel ini bahwa netralitas adalah tak mungkin dalam pembahasan filosofis, maka yang disebut "objektivitas yang berdiri sendiri" adalah tidak ada. Namun kenyataannya kita melihat bahwa ikut sertanya subjek penilai terhadap objek adalah selamanya tidak dapat dihindarkan. Oleh sebab itulah nilai dari agama non Kristen tidak boleh ditetapkan melalui pernyataan finalitas Kekristenan tetapi melalui analisis pernyataan intensif dan motif dari agama tersebut. Sebenarnya agama-agama non Kristen mempunyai nilai tersendiri di dalam pernyataan mereka tentang kesadaran ilahi yang umum ada pada makhluk insani. Demikianlah, ketika kita mempelajari agama (non Kristen), agama itu akan membawa kita berhadapan dengan Realitas yang paling Akhir dan finalitas wahyu Allah, dan bukannya membawa kita tersesat dari Jalan yang sejati. Seperti yang disebutkan H. Stob:

Oleh karena itulah agama-agama non Kristen masih bernilai sejauh mereka ikut menyaksikan tentang kebodohan/ketidaktahuan manusia dan wahyu akhir dari Allah di dalam Kristus. Kadang-kadang kita bahkan boleh menggunakan istilah dari Paulus dalam melukiskan Taurat, yakni bahwa mereka adalah penuntun yang akan membawa kita kepada pengakuan akan kebodohan kita serta mempersiapkan kita untuk menerima finalitas Kristus.

Dari segi yang lain, kita melihat ada begitu banyak nilai-nilai sosio antropologis di dalam agama-agama non Kristen. Walaupun mereka berakar di dalam sikap manusiawi yang secara meluas telah berdosa pada Allah, namun manusia tak pernah ada dari diri mereka sendiri, seperti yang dikatakan Paulus, "di dalam Dia kita hidup, kita bergerak dan kita ada!" Karena itu kita percaya dalam wahyu umum dan anugerah umum yang menyediakan suatu cara yang baik bagi kita untuk melihat nilai sosio antropologis dan spiritual dari agama-agama non Kristen. Merangkumkan pandangan Kraemer, C. F. Hallencruetz menyatakan:

Ketika mengkomunikasikan Injil Kristiani, orang Kristen dapat "melepas" fenomena religius dari kerangka kerja tradisional mereka, sehingga mereka mampu merefleksikan atau mengekspresikan apa yang terkait dalam berita Kristiani; dan dengan demikian memadukannya di dalam konteks agama yang sangat berbeda yang dibangun Injil Kristiani tatkala ia menjadi pola yang utama dalam situasi religius.163

Orang Kristen tak boleh mengidentikkan Kebudayaan Barat dengan pemikiran Kekristenan. Memang benar Kekristenan membentuk peradaban Barat di dalam totalitasnya. Namun di dalam proklamasi Injil, tak seorang pun harus memberlakukan kebudayaan Barat atau tradisi-tradisinya sepertinya hendak menyingkirkan kebudayaan dan tradisi yang lain. Misionaris juga tidak perlu mencabut kebudayaan Lama sebagai suatu syarat untuk menaburkan benih Injil. Sebaliknya, dengan mengenali aspek sosio antropologis dari agama non Kristen, kita harus menahan diri dalam pemberitaan Injil Yesus Kristus serta membiarkan pendamaianNya memainkan peranan dalam hati orang percaya. Inilah karyaNya di dalam hati umatNya. Bangsa-bangsa adalah ladang-ladangNya. Dengan cara inilah finalitas Kristus selaku penyingkapan diri Allah akan menggantikan praanggapan-praanggapan kafir.

Sikap berhati-hati harus menjadi pegangan sewaktu finalitas Kristus dinyatakan di antara orang-orang yang mempunyai ikatan psikologis yang kuat terhadap individu-individu, keluarga, suku, etnisitas, atau keluhuran hubungan (keluarga) tertentu. Tuduhan yang dibawa oleh agama-agama non Kristen melawan Kekristenan adalah tanpa dasar. Namun terdapat banyak contoh di mana orang Kristen tidak lagi peka terhadap praktek keluhuran hubungan dari agama etnik tertentu, khususnya yang primitif dan yang berprinsip moral tinggi. Injil Kristus menuntut adanya keterikatan sepenuh hati kepada Kristus, dan di dalam konteks itu, harus ada kasih dan keadilan sejati baik bagi Allah maupun bagi manusia. Tak perlu mempergunakan sikap menyerang terhadap fakta dekatnya para petobat baru secara psikologis pada praktek-praktek lama. Kenyataannya adalah justru perasaan keterasingan membuat mereka cenderung berlindung dalam kumpulan orang, keluarga, suku-suku, dan etnisitas. Pembauran dari individu menuju pada kelompok yang lebih besar membuat manusia secara pribadi merasa lebih aman dan responsif. Jika seseorang dibawa ke dalam pemahaman akan Kekristenan dan pendamaian dari Kristus dalam arti yang sebenarnya, di sanalah ia akan melihat persekutuan yang nyata itu. Kristus adalah manusia yang riil itu yang di dalamNya kita harus dibaurkan. Problema emosional dan problema kedekatan psikologis boleh diuraikan melalui proklamasi finalitas Kristus secara wajar. Kristus menjanjikan Roh Kudus yang berdiam di dalam para pengikutNya justru untuk maksud itu. Kedekatan emosional seseorang lebih merupakan sesuatu yang menolong daripada sesuatu yang menghalangi proses pertumbuhan Kristiani. Pernyataan finalitas Kristus jangan sampai membuat manusia berpaling dari atau meninggalkan Kristus. Pernyataan itu malah seharusnya membuat mereka menyadari bahwa Kristus adalah pemenuhan dari kehausan religius mereka. Dialah jawaban yang telah diutus Allah bagi mereka.

Maka jelaslah bahwa hasil dari analisis sekunder menunjukkan fakta bahwa keberatan-keberatan terhadap finalitas Kristus bukan terletak di dalam aspek filosofis, sosiologis, antropologis, dan psikologis dari keberadaan manusia. Ia terletak di dalam level teologis dari penalaran manusia, yaitu level iman atau sistem keyakinan, yang daripadanya semua kegiatan manusia berdasar. Ini adalah suatu penolakan terhadap Realitas yang paling Akhir dengan berjanji setia pada realitas yang palsu! Tugas dari para apologet (pembela) Kristen tidak hanya bersifat menyerang pernyataan yang salah, tetapi untuk membawa mereka sampai pada pengenalan akan fakta yang sesungguhnya, yaitu bahwa mereka telah terkondisi lebih dulu oleh komitmen-komitmen non Kristen. Dari sinilah kita harus membiarkan mereka diperhadapkan pada kesalahan-kesalahan mereka sendiri. Lebih dari itu, kita harus membiarkan Realitas Terakhir itu, yaitu Allah yang kita imani dalam Yesus Kristus berbicara sendiri.

 KESIMPULAN

Tujuan dari artikel ini bukan hanya untuk menyingkapkan kebenaran seakan-akan kebenaran itu tak pernah mengungkapkan dirinya sendiri. Artikel ini bertujuan memperjelas beberapa pernyataan dan praanggapan Kristen yang mendasari klaim-klaim Kristiani kepada teman-teman non Kristen kita. Di pihak yang lain, artikel ini juga bermaksud memaparkan dasar keyakinan agama-agama non Kristen mengenai penolakan mereka terhadap finalitas Kristus, dan finalitas Kekristenan. Argumen-argumen teoretis yang terkait bisa mempunyai kekuatan dan kelemahannya, tetapi faktanya jelas, tak ada penafsiran manusiawi yang dapat betul-betul mencakup semua fakta, khususnya ketika fakta itu adalah Realitas Terakhir, Allah dan pengungkapan diriNya sendiri di dalam AnakNya Yesus Kristus. Kalaupun seseorang gagal menyingkapkan Realitas Terakhir atau interpretasi yang salah akan Realitas tersebut, Realitas yang Terakhir itu masih akan mampu menyatakan diriNya. Paulus mengatakan, "Sebab untuk itulah Kristus telah mati dan hidup kembali, supaya Ia menjadi Tuhan, baik atas orang-orang mati, maupun atas orang-orang hidup...." Sebab kita semua harus menghadap takhta pengadilan Allah. Karena ada tertulis: 'Demi Aku hidup, demikianlah firman Tuhan, semua orang akan bertekuk lutut di hadapanKu dan semua orang akan memuliakan Allah.' Demikianlah setiap orang di antara kita akan memberi pertanggungan jawab tentang dirinya sendiri kepada Allah" (Rm 14:9-12).

Memang perkataan tentang Salib adalah kebodohan bagi mereka yang akan binasa, karena ketika mereka diperhadapkan dengan realitas dan rekonsiliasi manusia terhadap Allah, mereka dengan sadar telah menindas undangan Kristus untuk keselamatan (yang mereka sendiri pergumulkan). Kebenaran itu demikian gamblang namun telah ditolak dengan argumen-argumen yang amat mendalam. Namun siapakah yang dapat berdiri di hadapanNya pada hari penghakiman? Segala argumen akan sia-sia ketika Sang Realitas menembusnya. Karena itu, apabila finalitas Kristus diproklamirkan, Roh Kudus akan berkarya secara misterius dan ajaib untuk membawa manusia kepada pertanyaan yang krusial: "Apakah pendapatmu sekarang tentang Yesus?" dan "Apa yang akan engkau perbuat denganNya?" Ini adalah perkara ketetapan hati, bukan penafsiran, suatu perkara komitmen, bukan argumen. Ini mengingatkan saya pada suatu kidung rohani:

Yesus sedang berdiri di ruangan Pilatus,

Ditinggalkan, dan dikhianati oleh semua;

Dengarkan! Apakah artinya panggilan yang tiba-tiba?

"Apa yang akan engkau perbuat dengan Yesus?"

Apa yang akan engkau perbuat dengan Yesus?

Engkau tidak dapat bersikap netral;

Suatu hari hatimu akan bertanya,

"Apa yang akan dilakukanNya dengan saya?

A.B. Simpson



TIP #14: Gunakan Boks Temuan untuk melakukan penyelidikan lebih jauh terhadap kata dan ayat yang Anda cari. [SEMUA]
dibuat dalam 0.03 detik
dipersembahkan oleh YLSA