Resource > Jurnal Pelita Zaman >  Volume 1 No. 1 Tahun 1986 >  SINKRETISME DALAM PANDANGAN ALKITAB > 
IV. PENUTUP 

1. Dari uraian sebelumnya dijelaskan bahwa sinkretisme adalah suatu gejala umum (universal). Sebab manakala suatu agama, termasuk agama Kristen, keluar dari lingkungannya sendiri dan menjangkau lingkungan-lingkungan di luarnya, mau tidak mau mesti bersifat sinkretistis. Di mana di dalam pertemuan tersebut tidak akan mungkin dapat berkomunikasi dengan orang-orang yang hidup di dalam lingkungan berbeda tersebut tanpa menggunakan pengungkapan (ekspresi), bahasa dan konsep-konsep yang dalam beberapa hal dihubungkan dengan apa yang menyatu dengan dunia adat istiadat dan agama di mana orang-orang tersebut hidup.

Lebih-lebih jikalau agama Kristen ingin tumbuh, hidup dan berakar di dalam lingkungan yang baru tersebut dan bukan sekedar cangkokan yang asing dengan alam lingkungannya. Agama Kristen haruslah memberikan kemerdekaan secara bertanggung jawab kepada orang-orang dalam lingkungan baru tersebut untuk mengerti, meresapi, menghayati dan mengungkapkan (mengekspresikan) imannya kepada Kristus yang universal dan transenden itu sesuai dengan pribadinya, budayanya dan lingkungannya. Hal ini adalah sah dan memang telah terjadi di sepanjang perjalanan sejarah agama Kristen. Misalnya, ketika kekristenan dari Israel dengan latar belakang budaya Yudaistic dan Semitic memasuki dunia Yunani dengan budaya Hellenisticnya. Begitu pula dengan ke Eropa. Oleh karena itu sekarang ini kekristenan yang datang dari benua Eropapun juga bukan merupakan kekristenan yang steril dari latar belakang budaya Eropa, dan lingkungan di Indonesia juga bukan lingkungan yang kosong (vakum), melainkan lingkungan budaya dan dunia yang telah terbentuk selama berabad-abad dan kaya dengan beraneka ragam budaya, adat-istiadat, kepercayaan, suku dan bahasa.

Oleh karena itu sinkretisme yang sesungguhnya adalah bukan yang "phenomenological" itu, melainkan yang menyangkut "theological problem". Yaitu masalah adakah Kristus tetap diakui sebagai satu-satunya jalan dan itu telah cukup? ataukah masih perlu ditambah ini dan itu. Jikalau jawabannya negatif, memang di situlah gereja harus awas karena adanya gelombang sinkretisme yang serius.

2. Gereja-gereja di Indonesia adalah gereja-gereja yang berada di dalam proses pertumbuhan dan perkembangan seperti prosesnya terang yang sedang menerangi dan garam yang sedang menggarami, yang tidak boleh terpisahkan dan terasing dari dunia lingkungannya. Hal ini berarti gereja berada di dalam proses penyebaran, penerjemahan (translation), peralihan (transition), pengubahan (transformation), penyerapan (absorption) dan pengakaran. Yaitu penyebaran ide-ide, konsep-konsep yang bersumber dari keyakinannya tentang Tuhan, dunia, manusia dan seterusnya, ke sekelilingnya. Penerjemahan konsep-konsep dan ide-ide dari keyakinannya tersebut ke dalam pengungkapan - atau bahasa yang dimengerti oleh lingkungannya yang baru. Adanya ide-ide dan keyakinan baru tersebut mengakibatkan peralihan atau pengubahan dari tata hidup yang lama ke dalam tata hidup yang baru yang dijiwai dan dinafasi oleh isi yang baru tersebut. Sifatnya bisa mendasar, tetapi bisa pula hanya cabang kecil-kecil atau kulit-kulitnya saja; pertemuan, pengubahan dan pembaharuan isi dan jiwa yang lama dari adat budaya setempat ke dalam jiwa dan isi yang baru dari Injil. Hal ini bisa melalui inkulturasi, yaitu isi Injil yang dimasukkan ke dalam wadah dari budaya yang ada, bisa modifikasi dari wadah budaya yang ada, dan bisa pula memang sekaligus pengubahan dan pembaharuan isi dan wadah budaya yang ada. Penyerapan unsur-unsur dari konteks budaya dan adat setempat, seperti unsur-unsur yang sesuai dengan Injil, yang tidak bertentangan dengan Injil, yang bisa mempersiapkan penerimaan Injil, dan unsur-unsur yang bisa mengkayakan Injil. Sehingga Injil lebih bisa dimengerti dan diungkapkan sesuai dengan konteks setempat. Dan akhirnya supaya Injil tersebut makin berakar di bumi dan di dalam jiwa orang-orang yang berlatar belakang berbeda tersebut. Sehingga Injil bukan lagi dipandang sesuatu yang asing, lebih-lebih selalu diidentikkan dengan Belanda, penjajah (atau budaya barat), yang baunya aneh, warnanya aneh, penampakannya aneh dan tak pernah menjadi miliknya sendiri.

3. Di dalam situasi yang di dalam proses yang terus menerus tersebut, dalam menanggapi masalah "phenomenological Synkretisme" itu, gereja haruslah bersikap bijaksana. Lebih-lebih jikalau dihubungkan dengan metode dan strategi penginjilannya. Gereja hendaknya tidak selalu gampang bersikap negatif "asal larang terhadap segala unsur adat dan budaya setempat", sebaliknya juga tidak serampangan "asal terima" begitu saja, melainkan lebih dituntut untuk bersikap peka, positif, selektif dan kreatif. Secara positif selektif dan kreatif gereja bisa memulai, menggunakan dan memanfaatkan dari apa yang ada atau juga bisa mengikis, kalau mungkin melenyapkan apa yang ada yang dipandang membahayakan atau mengingkari iman Kristen, khususnya yang berhubungan dengan "Theological Problem" tersebut.



TIP #23: Gunakan Studi Kamus dengan menggunakan indeks kata atau kotak pencarian. [SEMUA]
dibuat dalam 0.04 detik
dipersembahkan oleh YLSA