Resource > Jurnal Pelita Zaman >  Volume 1 No. 1 Tahun 1986 >  SINKRETISME DALAM PANDANGAN ALKITAB > 
III. SINKRETISME DALAM PANDANGAN ALKITAB 

Di dalam Kitab-kitab Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru dapat kita lihat betapa Alkitab selalu menolak sinkretisme dalam arti yang sesungguhnya itu. Oleh karena itu di sepanjang sejarah umat Allah di dalam Alkitab tersebut, penuh dengan pergumulan melawan sinkretisme. Penolakan Alkitab terhadap sinkretisme itu jelas dari protes nabi-nabi Allah terhadap praktek ibadah kepada Baal, upacara/ibadat Babylonia, Assyria dan serangan penulis-penulis Perjanjian Baru terhadap ibadah Hellenistik dan ibadah Gnostik di Antiokhia, Efesus, Korintus, Kolose, Roma, dstnya.

Pergumulan terhadap sinkretisme tersebut, pertama-tama nampak di dalam pertemuan orang-orang Israel dengan orang-orang atau bangsa-bangsa di tanah Kanaan yang menyembah Baal, misalnya orang Sikhem menyembah Baal Berit (Hak. 8:33; 9:46), orang Moab menyembah Baal Peor (Bil. 25:3; Ul. 4:3; Hos. 9:10), orang Filistin menyembah Baal Zebub (II Raja 1:2), dllnya.

Di dalam pertemuan mereka dengan suku-suku penyembah Baal tersebut banyak dari antara orang Israel yang terpengaruh dan ikut menyembah dewa mereka Baal, disamping penyembahan mereka kepada YHWH. Bagi mereka JHWH saja dirasa belum cukup memenuhi keselamatan mereka, sehingga perlu ditambah lagi dengan penyembahan kepada Baal. Baalisme di Israel ini mencapai puncaknya pada zaman pemerintahan raja Omri, Ahab dan anak-anak Ahab dari Israel Utara yang meresmikan agama Baal sebagai agama nasional.

Dalam situasi demikian tampillah nabi-nabi Allah yang menentang praktek ibadat Baal tersebut, misalnya seperti nabi Elia, Elisa dan Hosea. Penyembahan mereka kepada JHWH disamping kepada Baal dan berhala-berhala lainnya itu secara mengharukan digambarkan dalam kitab Hosea seperti perkawinan Nabi Hosea dengan Gomer isterinya, yang menjadi pelacur. Isteri nabi Hosea itu terus menerus melakukan perzinahan dengan laki-laki lain, sampai rusak badannya dan menjadi budak belian, sehingga mengakibatkan kesedihan dan penderitaan nabi Hosea yang tetap setia. Demikian itulah yang dilakukan bangsa Israel yang melakukan perzinahan rohani antara JHWH dan Baal serta berhala-berhala lainnya sehingga menimbulkan kemarahan dan kesedihan Tuhan.

Kedua, gelombang sinkretisme yang lebih tinggi dan rumit lagi sifatnya melanda Israel kira-kira seabad sebelum pembuangan yaitu yang mengambil bentuk dalam cara-cara ibadat, adat istiadat dan budaya Babil dan Assur.

Saat itu ibadah asing diperkenalkan di Bait Suci Yerusalem, berarti walaupun JHWH disembah, tetapi Dia bukan lagi satu-satunya Tuhan yang menentukan nasib dan masa depan keselamatan Israel. Dia kini menjadi bagian dari Pantheon/kuil dan salah satu dari illah yang banyak jumlahnya itu.

Misalnya ibadah kepada Matahari atau Shamas, orang-orang Babil dengan kereta matahari (II Raja 23:11), gambar Asherah yang diidentifikasikan dengan Astarte (II Raja 21:3) Ratu Surga, ibu Tuhan Sang pemberi hidup alam (Yer. 7:18; 44:17), dstnya.

Sinkretisme tersebut ditentang dengan keras oleh nabi-nabi, seperti nabi Yeremia (Yer. 2:18; 2:21; 2:23; 2:25-27). Sebagai hasil dari tegoran Yeremia itu Raja Yosia mengadakan suatu reformasi secara menyeluruh dengan memusatkan kebaktian di Bait Suci Yerusalem pada tahun 622 yang terkenal dengan reformasi Deuteronomist.

Ketiga, di dalam Perjanjian Baru, ketika Injil keluar dari Israel, dari lingkungan Yahudi dan mulai menjangkau Yunani, lingkungan Hellenistis dan Gnostik di situ bertemu pula Injil dengan penyembahan dewa-dewa asing seperti penyembahan Isis dan Sarapis dari Mesir, Cybele dan Attis dari Syria, Mithra dari Persia dan aliran-aliran filsafat seperti Stoiki, Epicuri dan Gnostik.

Menghadapi Sinkretisme yang lebih tinggi dan ruwet ini, sikap para rasul di dalam Perjanjian Baru tidak hanya begitu saja langsung menolak dan menyerang seperti dalam Perjanjian Lama, melainkan juga berkembang lebih hati-hati, bijaksana dan kreatif. Bagi mereka perhatian yang utama adalah bagaimana membawa dan mengkomunikasikan Injil kepada orang-orang Yunani itu. Oleh karena itu sikap mereka ini juga tak terpisahkan dengan metode mereka tentang Pekabaran Injil.

1. Di Samaria, Simon Magus seorang tukang sihir yang dibaptiskan oleh Filipus berpikir bahwa kuasa Roh Kudus yang ada pada para rasul itu tidak beda dengan kekuatan yang dimilikinya. Oleh karena itu ia meminta kuasa semacam itu dari Rasul Petrus dan Yohanes. Tetapi dijawab Petrus bahwa Pikiran yang ada dalam benak Simon itu harus dibuang jauh-jauh.

Roh Kudus adalah karunia Tuhan, karunia yang diberikan kepada mereka yang bertobat dan harus digunakan dalam kehendak dan pelayanan kepada Tuhan. (Kisah Rasul 8:12.)

2. Di dalam kunjungan Rasul Paulus ke Efesus, orang-orang Efesus yang percaya kepada Dewi Artemis digerakkan oleh Demetrius, menolak kedatangan Rasul Paulus. Karena Rasul Paulus mengajarkan bahwa apa yang dibuat oleh tangan manusia bukanlah dewa dan tidak mempunyai kekuasaan apa-apa. Pengajarannya ini bisa merugikan usaha Demetrius sebagai tukang membuat kuil-kuilan Dewi Artemis dari Perak. (Kisah Rasul 19:26.)

3. Di Athena, ketika menghadapi orang-orang yang menyembah berhala di mana di salah satu mezbahnya bertuliskan: "Kepada Allah Yang tidak dikenal" Paulus justru menggunakannya sebagai titik tolak untuk pekabaran Injilnya. Paulus mengerti, dan bisa menghargai Hellenisme serta memahami pikiran dan kebudayaan mereka. Di sini Paulus tidak mau dituduh membawa dewa-dewa asing kepada orang-orang Athena, melainkan mengabarkan, Injil ke dalam pikiran serta hati mereka dengan bertitik tolak dari apa yang ada pada mereka dan menggunakan cara-cara pengungkapan yang mereka pahami. Paulus mengatakan bahwa Allah yang tidak mereka kenal itulah yang saat ini diberikan kepada mereka. Ia menghormati kepercayaan orang-orang Athena oleh karena itu ia tidak mulai dengan kecaman dan konflik, melainkan menggunakannya untuk menerangkan pesan yang ingin disampaikan.

4. Di dalam suratnya kepada Jemaat Kolose yang digerogoti oleh pencampuradukan Iman Kristen dengan tahyul, "gugontuwon" kepercayaan dan ajaran sesat, sehingga bagi banyak orang Kolose dirasakan Kristus saja belum cukup untuk menyelamatkan mereka; Rasul Paulus mengatakan bahwa Yesus Kristus adalah kepenuhan KeAllahan dan kita telah dipenuhi di dalam Dia. Oleh karena itu tetaplah hidup di dalam Dia, berakar dan dibangun di dalam Dia (Kolose 2:6-7). Dengan ungkapan "hidup di dalam Dia, berakar dan dibangun di dalam Dia" tampaknya Rasul Paulus memaksudkan bahwa: Gereja Tuhan itu seperti benih tanaman yang disebar untuk tumbuh dan berbuah di tempatnya masing-masing di mana Kristus juga sudah ada di sana.

Bukan sekedar cangkokan atau tanaman pot-potan yang terputus dan asing dari lingkungannya. Untuk bisa tumbuh dalam lingkungannya dengan baik haruslah berakar dan makan minum dari Kristus sendiri sebagai dasar Gereja yang ada di sana itu.



TIP #27: Arahkan mouse pada tautan ayat untuk menampilkan teks ayat dalam popup. [SEMUA]
dibuat dalam 0.03 detik
dipersembahkan oleh YLSA