Resource > Jurnal Pelita Zaman >  Volume 1 No. 1 Tahun 1986 >  GERAKAN KHARISMATIK: GERAKAN TRANSENDENTALISASI? > 
KHARISMATIK YANG KHARISMATIK DAN KHARISMATIK YANG TRANSENDENTALISTIS 

Apa yang menjadi reaksi anda yang pertama sekali ketika mendengar kata 'kharismatik? Apakah anda mempunyai kesan atau respons yang sama sekali negatif? Jikalau ya, maka kelanjutan daripada dialog kita akan menjadi kurang mesra. Kemungkinan ini disebabkan anda menolak tata ibadah, kebiasaan atau praktek karunia tertentu yang menonjol di dalam persekutuan-persekutuan Kharismatik. Tetapi harus diingat bahwa kata 'kharismatik' (huruf k kecil) mempunyai konotasi umum yang artinya 'berkarunia' (Yn. charisma, charismata). Jadi, Gereja, atau setiap orang Kristen khususnya, seyogyanya mempunyai ciri kharismatik, meskipun ia bukan salah seorang anggota persekutuan Kharismatik.

Maka, setiap orang Kristen harus memahami bahwa karunia-karunia Roh datangnya daripada Roh Kudus sendiri (I Kor. 12:4,7, 11). Roh Kudus memilih siapa yang dikehendakiNya untuk memperoleh karunia-karunia tertentu. Sebab itu, karunia yang kelihatannya paling lemah atau yang kurang diperlukan (menurut penilaian kita) juga penting, bahkan menurut Paulus, bisa menjadi paling dibutuhkan (I Kor. 12:22).

Dengan demikian setiap orang Kristen adalah unik di hadapan Tuhan dan manusia, karena kepada setiap orang Kristen diberikan paling sedikit satu macam karunia. Karunia anda dan karunia saya masing-masing unik. Sehingga, apabila kita tidak memiliki karunia-karunia tertentu yang dipunyai orang lain, kita tidak perlu iri apalagi sampai memaksa (Tuhan atau diri sendiri) supaya dapat. Kita boleh, tentu saja, mengharapkan atau memintanya kepada Tuhan (I Kor 12:31). Namun apabila kita tidak puas karena tidak didistribusikan lalu meniru-niru serta memalsukan karunia tertentu, kita berdosa besar di hadapan, Tuhan. Jikalau demikian, maka drama akhir zaman seperti yang digambarkan Matius 7:21-23 pasti akan terjadi, sebab pada titik inilah karunia-karunia tidak mampu melegalisir masuk tidaknya seseorang ke dalam kerajaan Sorga.

Sebaliknya, kitapun tidak boleh memaksa orang lain harus memiliki karunia yang sama seperti yang kita miliki, karena tidak mungkin semua orang memiliki karunia yang sama (I Kor. 12:28-30, pertanyaan retoris Paulus yang tidak perlu dijawab).

Nah, apabila semua prinsip umum di atas dapat kita setujui bersama, kita akan melihat satu titik lain lagi, yang merupakan titik krusial yang membedakan apakah seseorang bisa kita kategorikan sebagai Kharismatik yang kharismatik atau sebagai Kharismatik yang transendentalistis.

Paulus, hamba Tuhan yang full kharismatik itu, mengatakan demikian: "Aku akan berdoa dengan rohku, tetapi aku akan berdoa juga dengan akal budiku; aku akan menyanyi dan memuji dengan rohku, tetapi aku akan menyanyi dan memuji juga dengan akal budiku" (I Kor. 14:15). Apa maksudnya?

Sederhana saja. Bagi Paulus di dalam beribadah dan menyembah Allah orang Kristen harus menjaga keseimbangan fungsi roh dan fungsi rasionya. Dengan lain perkataan, di dalam berdoa atau menyanyi atau menyembah Tuhan, rasio kita tidak boleh diskors. Penalaran harus lancar. Bahasa harus jelas dan dapat dimengerti (perhatikan I Korintus 14:9 di mana Paulus memakai kata 'eusemos' yang artinya 'intelligible', 'clear', 'easily understood', jelas dan dapat difahami). Sebab apabila setiap orang Kristen hanya berdoa dan menyanyi di dalam roh secara mistis saja, orang lain tidak akan tahu apa yang kita katakan (14:16) dan ia "tidak dibangun olehnya" (14:17; azas manfaatnya nol).

Jelas di sini Paulus sangat berhati-hati din teliti sekali: orang Kristen harus tidak menjadi transendentalistis. Kekristenan tidak sama dengan mistisisme. Kekristenan menolak TM (Transcendental Meditation). Kekristenan tidak boleh kecipratan panteisme dengan segala bentuknya. Kekristenan, sekali lagi, bukan kebatinan.

Biarlah mereka yang masih betah bergerak di dalam lingkaran pengalaman transendentalistis seperti itu senantiasa mengingat satu hal, bahwa Kekristenan tidak dibangun di atas dasar pengalaman manusia. Kekristenan kita dan iman kita mengacu pada penyataan Allah yang objektif serta yang memadai, yaitu Alkitab. Kami katakan demikian karena ada salah satu pendapat yang sangat berbahaya yang selalu diajarkan di mana-mana oleh para penganut Kharismatik Transendentalistis, yaitu bahwa pengalaman mereka harus juga merupakan pengalaman Gereja atau seluruh umat Kristen masa kini. Apakah betul? Mestikah setiap orang mengalami pertobatan seperti Paulus (Kisah 9) sehingga baru dianggap benar-benar sungguh dan efektif pertobatannya? Haruskah setiap orang Kristen berglosolalia?

Pengalaman seseorang (sekalipun yang terjadi seperti yang tercatat dalam Alkitab) harus dibedakan dengan doktrin dan prinsip Alkitab secara keseluruhan. Tidak ada pengalaman manusia yang dapat menjadi patokan untuk menggantikan firman Tuhan. Sebaliknya, setiap bentuk pengalaman serta fenomena tingkah laku manusia harus diteliti melalui prinsip dasar firman Tuhan yang tidak pernah berubah.

Donald Bridge secara tepat dan objektif mengemukakan hal yang sama:

Umat Kristen dari segala aliran hendaknya selalu berjaga-jaga terhadap kecenderungan untuk memaksa orang lain mempunyai pengalaman menurut pola pengalaman mereka sendiri, betapapun berharga dan berartinya pengalaman mereka itu. Inilah yang selama ini merupakan salah satu dosa (!) yang senantiasa mengancam orang-orang Kristen Injili pada zaman sekarang. Dogmatisme semacam ini ... sebenarnya menghina Allah karena tidak mau mengakui keanekaragaman sifat manusia, dan dapat mengakibatkan kepahitan dan perpecahan. Memang sudah sewajarnya orang-orang menolak kediktatoran rohani semacam itu. (Karunia-karunia Roh dan Jemaat, Kalam Hidup, h. 165).



TIP #01: Selamat Datang di Antarmuka dan Sistem Belajar Alkitab SABDA™!! [SEMUA]
dibuat dalam 0.12 detik
dipersembahkan oleh YLSA