Pertanyaan: 228. Apakah rasa sakit yang ditanggung oleh Sang Juruselamat di Bukit Kalvari itu bersifat fisik atau mental?
Rasa sakit adalah hal yang sulit diukur. Kesedihan Yesus akan selalu menjadi salah satu peristiwa yang menakjubkan dan membingungkan dalam cerita dunia. Tidak mungkin membaca Alkitab dengan mendalam, terutama setelah kita mengenal Yesus secara pribadi dan mengamati kekuatan luar biasa yang dimiliki oleh fakta-fakta penderitaan dan kematian-Nya atas jiwa-jiwa manusia, tanpa menyadari bahwa pasti ada penderitaan yang jauh lebih dalam daripada yang dapat dijelaskan oleh fakta-fakta semata tentang penghinaan, penolakan, penyiksaan, dan kematian-Nya. Jika kita mempertimbangkan rasa sakit fisik semata, kita harus mengakui bahwa orang lain juga mungkin telah menanggung rasa sakit yang sama, meskipun kita juga harus mengakui bahwa ada hampir tak terbatas tingkat kerentanan terhadap rasa sakit. Luka yang hanya menyebabkan sedikit rasa sakit bagi seseorang dengan temperamen dan organisasi tertentu mungkin sangat menyiksa bagi seseorang yang lebih sensitif dan peka. Tetapi penderitaan sebenarnya yang dialami Yesus pasti berbeda dari rasa sakit fisik atau mental. Ada nada yang waras, nada moral dalam penderitaan-Nya yang menjadikannya sama sekali di luar pemahaman kita. Matius, Markus, dan Lukas semuanya mencatat fakta bahwa saat Ia mati, Ia berseru dengan suara keras. Itu terlihat aneh dari apa yang kita ketahui tentang keberanian tak tergoyahkan Yesus. Pasti ada penderitaan yang tak terukur dan tak terbayangkan di balik seruan itu. Demikian juga doa-Nya di taman untuk pembebasan pada saat terakhir. Pasti ada penderitaan yang tak terbatas di depan-Nya yang memaksa-Nya meminta jalan lain. Kita mendapatkan petunjuk yang paling jelas dalam doa yang menyedihkan dari kayu salib: Allah-Ku, Allah-Ku, mengapa Engkau meninggalkan Aku? Pasti ada pemutusan yang pasti, sadar, dan menyiksa dalam kasih abadi yang mengikat Bapa dan Anak bersama-sama. Mungkin ada kebenaran yang lebih dalam daripada para perumus kredo kuno yang diketahui dalam kata-kata aneh itu: Dia turun ke neraka. Tidak--dari semua kesedihan di dunia, kesedihan Yesus saat Ia berada di atas salib dan saat tubuh-Nya berbaring di kubur, adalah unik. Kedalamannya, lamanya, tidak ada yang dapat diketahui. Mereka menghitung jam yang Ia habiskan di atas salib dan jam di kubur. Tetapi betapa lamanya penderitaan rohani yang Ia alami mungkin tidak akan pernah kita ketahui. Tetapi, puji Tuhan! itu cukup untuk mengguncang setiap jiwa yang bertobat yang mendengarnya menjadi kehidupan baru, kehidupan di mana dosa dibenci dan kebenaran dicintai, kehidupan di mana Juruselamat yang disalibkan dan bangkit adalah Terang yang kekal dan harapan serta sukacita yang tak pernah berakhir.
Question: 228. Was the Pain the Saviour Suffered on Calvary Physical or Mental?
Pain is a difficult thing to measure. The sorrow of Jesus will always be one of the awe-inspiring, baffling events of the world story. It is impossible to read the Bible deeply, particularly after one has become personally acquainted with Jesus and observed the amazing power that the facts of his suffering and death possess over human souls, without realizing that there must have been far deeper anguish than can be accounted for by the mere facts of his humiliation, rejection, torture and death. If we consider the merely physical pain we must acknowledge that others have apparently borne as much, though we must also acknowledge that there are almost infinite degrees of susceptibility to pain. A wound which will cause little pain to a man of a certain temperament and organization may be excruciating to one of finer and more acute sensitiveness. But the real agony of Jesus must have been different from either physical or mental. There is a sane note, a moral note in his suffering that puts it altogether beyond our comprehension. Matthew, Mark and Luke all record the fact that as he died he cried out with a loud voice. That seems strange from what we know of the dauntless courage of Jesus. Some immeasurable, inconceivable suffering must lie back of that cry. So also his appeal in the garden for deliverance at the last hour. There must have been an infinite anguish ahead to compel him to ask for another way. We get the clearest hint in the grievous prayer from the cross: "My God, my God, why hast thou forsaken me?" There must have been some definite, conscious, agonizing break in the eternal love which had bound the Father and the Son together. Perhaps there was deeper truth than the ancient for-mulators of the creed knew in those strange words: "He descended into hell." No--of all the griefs in the world that of Jesus while he was on the cross and while his body lay in the grave, is unique. Its depth, its duration, none can know. They counted the hours he spent on the cross and the hours in the grave. But what eternities of spirit anguish he underwent we may never know. But, praise God! they were enough to shock every penitent soul that hears of it into a new life, a life in which sin is hated and righteousness loved, a life of which the crucified and risen Saviour is the eternal Light and the never-failing hope and joy.