Pengantar Jerusalem

KIDUNG AGUNG

PENGANTAR

Kidung Agung atau "Syir Hasy-syrim" ialah kidung yang unggul dan paling indah. Kitab in merupakan serentetan sajak yang memuliakan cinta kasih timbal balik antara seorang, laki-laki dan seorang perempuan. Mereka sekali waktu bertemu dan sekali waktu berpisah, saling mencari saling menemukan. Laki-laki itu disebut "raja" Kid 1:4 dan 12, atau "Salomo", Kid 3;7 dan 9; perempuan itu bernama "gadis Sulam", Kid 6:13. Nama perempuan itu dapat dihubungkan dengan nama Salomo atau dengan "gadis Sunem" yang berperan dalam riwayat raja Daud dan Salomo. 1Raj 1:3; 2:21-22. Oleh karena tradisi tahu bahwa Salomo menciptakan nyanyian-nyanyian, 1Raj 4:32, maka Kidung Agung juga dianggap sebagai karya raja itu, Kid 1:1. Sama seperti kitab Amsal. Pengkhotbah dan Kebijaksanaan Salomo dikatakan karangan Salomo, oleh karena dia itu orang bijaksana yang termasyur, demikianpun Kidung dikatakan karangannya. Karena judul itu maka Kidung Agung dimasukkan ke dalam kelompok kitab-kitab Kebijaksanaan. Oleh Alkitab Yunani Kidung Agung ditempatkan sesudah kitab Penglhotbah, sedangkan oleh terjemahan Latin, Vulgata, disisipkan antara kitab Pengkhotbah dan kitab Kebijaksanaan Salomo, jadi di antara dua "karya Salomo". Dalam Alkitab Ibrani Kidung Agung dimasukkan ke dalam bagian "Tulisan-tulisan", yakni dalam bagian ketiga kanon Yahudi yang juga paling muda usianya. Sesudah abad ke-8 Mas. Kidung Agung mulai dipakai dalam ibadat perayaan Paska Yahudi dan karena itu ia menjadi salah satu dari kelima "Megillot", yaitu gulungan-gulungan kitab yang dibacakan pada hari-hari raya.

Kitab yang tidak berbicara tentang Allah dan yang memakai bahasa cinta yang menyala-nyala itu, senantiasa mengherankan orang. Dalam abad pertama tarikh masehi timbul keragaman di kalangan orang Yahudi apakah kitab itu termasuk ke dalam Alkitab. Kesulitan itu dipecahkan dengan menyelidiki tradisi. Justru berdasarkan tradisi itulah Gereja Kristen menganggap Kidung Agung sebagai sebuah kitab kudus.

Tidak ada satu kitabpun dalam Perjanjian Lama yang ditafsirkan dengan cara yang begitu berlain-lain seperti Kidung Agung.

Tafsiran yang terbaru mencari asal-usul Kidung Agung dalam pemujaan dewi Isytar dan dewa Tammus dan dalam apa yang disebut "hierogami", artinya upacara- upacara perkawinan yang menurut kepercayaan diadakan oleh raja sebagai wakil dewa. Upacara semacam itu yang diambil dari adat orang-orang Kanaan kanon dilangsungkan juga dalam ibadat kepada Yahwe dahulu. Maka Kidung Agung tidak lain kecuali sebuah kitab ibadat semacam itu, walaupun dibersihkan dan disadur kembali. Tetapi teori yang menghubungkan Kidung Agung dengan ibadar dan mitologi itu tidak dapat dibuktikan kebenarannya dan sukar diterima. Agaknya mustahil bahwa seorang Yahudi yang percaya, begitu saja mengambil buah hasil suatu agama kesuburan untuk menjadikannya beberapa nyanyian cinta. Jikalau antara madah- madah yang ditujukan Usytar atau Tammus dan Kidung Agung ada persamaan ungkapan, maka sebabnya ialah: dua-duanya memakai bahasa cinta kasih.

Tafsiran alegoris (kiasan) jauh lebih tua usianya. Di kalangan orang Yahudi tafsiran itu umum diterima sejak abad ke-2 Mas: Kisah Allah kepada Israel dalam Kidung Agung digambarkan sebagai hubungan suami-isteri. Tema perkawinan yang sama memang oleh para nabi sudah diperkembangkan, mulai dengan nabi Hosea. Kendati pendapat lain yang dikemukakan oleh Teodorus dari Mopsueste, para pujangga Kristen, khususnya terpengaruh oleh Origenes, menurut garis-garis besarnya menuruti tafsiran Yahudi tersebut. Hanya kiasan perkawainan itu mereka mengetrapkannya pada pernikahan Kristen dengan Gereja atau pada persatuan mistik yang terjalin antara jiwa manusia dengan Allah. Sejumlah besar pentafir Katolik tetap mempertahankan tafsiran alegoris itu, walaupun dengan cara yang berbeda- beda. Mereka berpegang pada pikiran biasa, bahwa Yahwe adalah suami Israel, atau mengartikan urutan dalam lagu-lagu Kidung Agung sebagai cermin sejarah pertobatan Israel, kekecewaan dan pengharapannya. Menurut pendapat mereka maka kenyataan bahwa Kidung Agung termasuk Kitab Suci dan diinspirasikan oleh Allah membuktikan bahwa bukanlah cinta kasih keduniawian yang dipuji-puji, tetapi suatu yang lain. Tetapi kurang menyakinkan cara mereka membenarkan tafsiran alegoris itu, yaitu dengan menimbun-nimbun kata-kata dan kalimat-kalimat Kidung Agung yang sejalan dengan bagian-bagian dan nas-nas Alkitab yang lain. Cara semacam itu nempaknya terlalu dibuat-buat dan berlebih-lebihan.

Oleh karena itu beberapa ahli Kitab Katolik yang jumlahnya semakin meningkat menganut tafsiran harafiah. Kebanyakan ahli dewasa ini menganut tafsiran itu. Pengartian itu sesuai dengan tradisi yang paling tua juga. Tidak ada satu petunjukpun bahwa sebelum tarikh masehi Kidung Agung pernah ditafsirkan secara alegoris: naskah-naskah dari Qumran tidak tahu-menahu tentang tafsiran itu: Perjanjian Barupun tidak membenarkannya; orang-orang Yahudi dalam abad pertama Mas. menyanyikan Kidung Agung pada pesta-pesta pernikahan biasa dan mereka mempertahankan kebiasaan itu, walaupun dilarang Rabi Akiba. Kidung Agung sendiripun tidak memperlihatkan suatu maksud alegoris. Bila para nabi mempergunakan kiasan, maka mereka mengatakannya dengan jelas dan memberi kunci tafsiran alegorisnya, Yez 5:7; Yeh 16:2; 17:12; 23:4; 31:2; 32:2, dan lain- lain. Tetapi tidak demikian halnya dengan Kidung Agung. Tidak ada petunjuk satupaun bahwa orang harus mencari sebuah kunci buat membuka rahasia Kidung Agung dan menemukan sautu arti lain, dari pada jelas nampak dalam teks sendiri. Kitab ini memang merupakan sekumpulan nyanyian yang menjunjung tinggi cinta kasih timbal balik dan setia yang memperkokoh perkawinan. Kidung Agung menyatakan cinta kasih manusiawi sebagai sesuatu yang baik. Temanya ini bukanlah tema keduniaan melulu. Sebab Allah telah memberkati perkawinan yang tidak pertama-tama diartikan sebagai sebuah lembaga yang menjamin penerusan bangsa manusia, tetapi lebih-lebih sebagai persekutuan mesra dan mantap antara laki- laki dan perempuan, Kej 2. Terpengaruh oleh pandangan Yawista itu hidup seksuil didemitologisasikan dan didekati dengan sikap realis yang sehat. Di kalangan bangsa-bangsa negeri Kanaan hidup seksuil manusia diartikan sebagai cermin dari hubungan seksuil antar-dewa. Tetapi tidak demikianlah pandangan Kitab Suci. Cinta kasih manusiawi yang dikemukakan oleh Kidung Agung, dibicarakan juga oleh kitab-kitab Perjanjian Lama yang lain, misalnya dalam cerita-cerita kuno yang termaktub dalam kitab Kejadian dalam kisah mengenai Daud, dalam kitab Amsal dan dalam kitab Bin Sirakh. Dalam karangan-karangan ini cinta kasih itu diperbincangkan dengan nada ungkapan-ungkapan yang sangat berdekatan dengan nada dan ungkapan Kidung Agung. Oleh karena cinta kasih itu sesuatu yang baik, maka para nabi dapat memakai cinta kasih timbal balik antara suami isteri untuk menggambarkan hubungan Yahwe dengan Israel. Karenanya tidak ada keberatan sedikitpun bahwa sebuah kitab kudus memperbincangkan cinta kasih yang wajar dan baik itu. Tidak ada halangan kitab kudus semacam itu masuk ke dalam Alkitab. Bukan wewenang kita untuk menentukan batas-batas buat inspirasi ilahi.

Asal-usul Kidung Agung boleh dicari dalam pesta-pesta yang menyertai pernikahan, bdk Yer 7:34; 16:9; Mzm 45. Kidung Agung juga berdekatan dengan upacara-upacara dan nyanyian-nyanyian yang masih lazim pada orang-orang Arab di neregi Siria dan Palestina. Namun Kidung Agung bukanlah sebuah kumpulan lagu- lagu kerakyatan. Apapun juga pracontoh-pracontohnya ia kenal, pengarang Kidung Agung adalah seorang penyair orisinil dan seorang sastrawan sejati. yang paling serupa dengan Kidung Agung ialah lagu-lagu cinta dari negeri Mesir dahulu. Lagu- lagu itu merupakan sastera benar. Hanya tidak dapat dibuktikan, bahwa lagu-lagu Mesir itu langsung mempengaruhi Kidung Agung. Sama seperti bangsa-bangsa tetangganya, demikianpun bangsa Israel mempunyai puisi cintanya. Karena hidup dalam keadaan sama maka bangsa Israel memakai bahasa cinta dan gambaran-gambaran serta kiasan yang sama seperti yang dipakai bangsa-bangsa tetangganya.

Dalam Kidung Agung tidak ada suatu urutan jelas. Ia merupakan sebuah kumpulan nyanyian-nyanyian yang hanya bersatu dalam pokoknya yang sama, yaitu cinta kasih. Kalau ada terjemahan-terjemahan yang membagikan Kidung Agung menjadi lima sajak, maka pembagian semacam itu hanya menyarankan, bagaimana bagian-bagian yang lebih pendek dapat dikelompokkan. Tetapi dalam kelima sajak itu percuma saja dicari suatu kemajuan dalam pikiran atau aksi. Kumpulan lagu-lagu itu berupa sebuah "reportoir" Daripadanya orang dapat memilih lagi yang sesuai dengan keadaan dan selera para pendengar. Dan inilah sebabnya mengapa lagu-lagu itu sebenarnya hanya pelbagai "variasi" atas tema yang sama dan mengapa hal yang sama kerap kali terulang. Lagu-lagu itu tidak dimaksudkan untuk dibaca atau dinyanyikan berturut-turut.

Apabila ditolak teori yang mengartikan Kidung Agung secara alegoris dan yang mencari dalam Kidung Agung peristiwa-peristiwa manakah yang disinggungnya, maka sulit sekali menentukan waktu tergubahnya kitab itu. Beberapa ahli berpendapat bahwa Kidung Agung dikarang di zaman pemerintahan raja Salomo. tetapi oleh karena bahwa Ibraninya bercampur unsur-unsur bahasa Aram dan oleh karena dalam Kidung Agung terdapat sebuah kata Persia, Kid 4:13, dan sebuah kata Yunani, Kid 3:9, maka pasti sudah, bahwa kitab itu digubah di masa sesudah pembuangan, yaitu pada abad ke-5 atau ke-4 seb. Mas. Pasti juga bahwa Kidung Agung dikarang di negeri Palestina.

Dengan tidak memperhatikan tradisi yang menghubungkan Kidung Agung dengan raja Salomo, orang bijak yang termasyur itu, tafsiran harafiah kitab itu benar dalam menempatkannya di tengah-tengah kitab-kitab Kebijaksanaan. Sama seperti kitab-kitab itu Kidung Agungpun memikirkan keadaan manusir dan menyoroti salah satu aspek yang penting. Dengan caranya sendiri Kidung Agung mengajar bahwa cinta kasih yang mendekatkan pria kepada wanita dan sebaliknya, adalah sesuatu yang suci dan luhur. Ia menghalau unsur-unsur mitologis yang melekat pada cinta kasih itu dan membebaskannya baik dari belenggu puritanisme maupun dari erotisme yang berlebih-lebihan. alangkah baiknya kalau ajaran Kidung Agung dewasa inipun tetap diperhatikan manusia. Di samping arti harafiahnya, Kidung Agung tetap boleh diterapkan pada persekutuan yang terjalin antara Kristus dan Gereja (pengetrapan semacam itu tidak dilakukan Paulus dalam Efesus 5), atau pada persatuan jiwa manusia dengan Allah yang mengasihi. Pengetrapan semacam itu membenarkan caranya para mistisi, teristimewa Yohanes dari Salib, memanfaatkan Kidung Agung.

KITAB KEBIJAKSANAAN SALOMO

PENGANTAR

Kitab Kebijaksanaan Salomo yang ditulis dalam bahasa Yunani termasuk kelompok kitab-kitab Deuterokanonika. Sejak abad kedua Mas kitab dipakai oleh para bapa Gereja. Kendati beberapa keraguan dan perlawanan, khususnya dari pihak Santo Hieronimus, kitab Kebijaksanaan Salomo diakui oleh Gereja Katolik sebagai tulisan yang diinspirasikan sama seperti kitab-kitab yang termaktub dalam Alkitab Ibrani.

Dalam bagiannya yang pertama, Keb 1-5, kitab Kebijaksanaan Salomo menampilkan peranan Hikmat-kebijaksanaan dalam nasib-manusia dan membandingkan satu sama lain nasib orang-orang benar dan orang-orang fasik, baik dalam hidup sekarang ini maupunsesudah kematian. Bagian kedua, Keb 6-9, menguraikan asal dan kodrat Hikmat-kebijaksanaan serta jalan-jalan untuk memperolehnya. Bagian terakhir, Keb 10-19, memuliakan karya Hikmat-kebijaksanaan dan Allah dalam sejarah bangsa terpilih. Kecuali dalam pendahuluan yang dengan singkat berkata tentang awal-mula sejarah dunia, bagian terakhir ini memusatkan perhatiannya pada peritiwa dalam sejarah itu, yakni pembebasan bangsa Israel dari negeri Mesir. Bagian yang penyimpanga dari pokok inti itu, yakni, Keb 13-15, dengan pedas pengecam pemujaan berhala.

Raja Salomo dianggap sebagai pengarang kitab Kebijaksanaan. Dalam Keb 9:7-8, 12 raja itu jelas ditunjuk, walaupun namanya tidak sampai disebut-sebut. Maka judul Yunani kitab itu ialah "Kebijaksanaan Salomo". Salomo angkat bicara sebagai raja Keb 7:5; 8:9-15, dan ia meminta perhatian rekan-rekan raja, Keb 1:1; 6:1-11, 21. Hanya jelaslah semuanya itu sarana kesusasteraan melulu, yang mempertalikan karya kebijaksanaan ini dengan nama orang bijak yang utama di Israel, sama seperti kitab Pengkhotbah dan Kidung Agung dipertalikan dengan raja itu. Seluruh kitab itu sebenarnya langsung ditulis dalam bahasa Yunani, termasuk bagian pertama, Keb 1-5, yang oleh sementara ahli dengan kurang tepat dianggap aselinya ditulis dalam bahasa Ibrani. Seluruh kitan rapi tersusun, sedangkan juga gaya bahasanya tetap sama. Bahasa Yunaninya lancar dan perbedaharaan kata agak kaya, sedangkan juga banyak kemungkinan dari seni berpidato Yunani gampang dimanfaatkan.

Pengarangnya pasti seorang yahudi, yang sungguh percaya kepada "Allah nenek moyang", Keb 9:1, dan ia bangga karena termasuk "bangsa suci" dan "keturunan yang tak bercela", Keb 10:15. Tetapi jelaslah pula bahwa pengarang seorang Yahudi yang terpengaruh oleh kebudayaan Yunani. Perhatiannya yang khas pada peristiwa-peristiwa dari sejarah keluarga dari negeri Mesir, caranya ia memperlawankan orang-orang Mesir dan orang-orang Israel, dan caranya mengecam pemujaan bintang-bintang membuktikan bahwa penulis Kebijaksanaan Salomo hidup di kota Aleksandria di Mesir. Di zaman wangsa Ptolomeus kota itu menjadi pusat kebudayaan Yunani dan juga kota penting bagi orang-orang Yahudi di perantauan. Pengarang Kebijaksanaan Salomo mengutip Alkitab menurut terjemahan Septuaginta yang dikerjakan di Mesir. Karenanya jelaslah bahwa pengarang hidup waktu terjemahan itu sudah dikenal. Tetapi ia tidak mengenal karya Filo dari Aleksandria (th 20 seb. Mas-th 54 Mas). Di lain dihak Filsuf Yahudi yang keyunanian itu rasa-rasanya tidak mendapat inspirasi dari Kitab Kebijaksanaan Salomo. Namun demikian ada banyak persamaan antara karya Filo dengan kitab Kebijaksanaan yang dua-duanya berasal dari lingkungan yang sama dan tidak mungkin terlalu berjauhan waktunya satu sama lain. Tidak dapat dibuktikan bahwa Perjanjian Baru menggunakan Kebutuhan, tetapi mungkin sekali Paulus terpengaruh olehnya, juga ditinjau dari segi sastera, sedangkan Yohanes mengambil alih beberapa gagasan untuk mengungkapkan pikirannya tentang Firman Allah. Boleh jadi kitab Kebijaksanaan dikarang pada pertengahan kedua abad pertama sebelum Mas. Maka kitab Kebijaksanaan menjadi kitab yang paling muda usianya dalam Perjanjian Lama.

Pertama-tama pengarang memperuntukkan kitabnya bagi orang-orang Yahudi, yaitu orang-orang sebangsa yang kesetiaannya digoncangkan oleh gengsi kebudayaan di Aleksandria: kemasyuhran mazhab filsafahnya, kemajuan di bidang ilmu pengetahuan, daya tarik berbagai agama "misteri", ilmu nujum, pemujaan dewa (wahyu) Hermes atau agama-agama kerakyatan yang mempesonakan. Tetapi caranya pengarang kadang-kadang menyajikan bahannya menyatakan bahwa juga ingin didengar oleh orang-orang bukan Yahudi. Mereka mati diantaranya kepada Allah yang mengasihi semua manusia. tetapi ini hanya tujuan sampingan saja. Kitab Kebijaksanaan lebih-lebih mau membela dari pada merebut.

Mengingat lingkungan, kebudayaan dan maksud tujuan pengarang, tidak mengherankan bahwa di dalam kitabnya ditemukan banyak persamaan dengan alam pikiran Yunani. Hanya persamaan itu jangan dilebih-lebihkan. Berkat pendidikan Yunaninya pengarang menggunakan banyak kata abstrak dan jalan pemikirannya lancar, hal mana tidak mungkin dalam rangka perbendaharaan kata dan tata bahasa Ibrani. Dari pendidikan Yunani itupun pengarang mengambil sejumlah istilah filsafah, rangka- rangka pengelompokan dan pokok pemikiran yang dipersoalkan oleh mazbah-mazbah filsafah. Tetapi pinjaman-pinjaman yang terbatas itu tidak menunjukkan terikatnya pengarang pada salah satu ajaran filsafah tertentu. Pinjaman-pinjaman itu hanya dimanfaatkan untuk mengungkapkan pikiran yang berasal dari Perjanjian Lama. Tentang sistem-sistem filsafah dan spekulasi-spekulasi ilmu nujum pengarang Kebutuhan agaknya tidak tahu lebih banyak dari pada setiap orang yang berpendidikan di kota Aleksandria di zaman itu.

Pengarang Kebijaksanaan bukan seorang filsul, bukan pula seorang ahli Ilmu ke- Tuhanan. Ia tetap seorang bijaksana di Israel. Sebagaimana para pendahulunya, pengarang Kebijaksanaanpun mengajak orang mencari Hikamat-kebijaksanaan yang berasal dari pada Allah dan dapat diperoleh dengan berdoa. Hikmat-kebijaksanaan itu merupakan sumber kebajikan dan menganugerahkan segala berkat. Oleh karena pandangannya lebih luas dari pada pandangan para pendahulunya maka pengarang Kebutuhan menggabungkan Hikmat-Kebijaksanaan dengan kemajuan-kemajuan di bidang ilmu pengetahuan, Keb 7:17-21; 8:8 Persoalan mengenai pembalasan yang begitu menyibukkan para bijaksana dahulu, bdk Pengantar umum, dapat dipecahkan oleh Kebijaksanaan. Dengan bertumpu pada ajaran yang bersumber pada Plato mengenai perbedaan antara jiwa dan badan dan tentang kekekalan jiwa, pengarang Kebijaksanaan menegaskan, bahwa Allah, menciptakan manusia untuk kebakaan, Keb 2:23, dan bahwa ganjaran atas kebijaksanaan justru kebakaran yang menjamin suatu tempat dekat pada Allah, Keb 6:18-19. Segala sesuatu yang terjadi di bumi ini hanya merupakan persiapan bagi hidup lain di mana akan hidup bersama dengan Allah, sedangkan orang-orang fasik akan mendapat hukumannya, Keb 3:9- 10. Pengarang tidak menyebut kebangkitan badan. Namun tampaknya ia menerima kemungkinan kebangkitan, tetapi dengan merohanikannya. Dengan demikian ia mau mendamaikan pengertian Yunani tentang kebakaran dan ajaran Alkitab yang mengarah pada kebangkitan badan (Daniel).

Baik bagi pengarang Kebijaksanaan maupun kbagi para pendahulunya, Hikmat- kebijaksanaan adalah suatu sifat Allah. Hikmat-kebijaksanaan itulah yang sejak penciptaan mengatur segala-galanya dan membimbing peristiwa-peristiwa sejarah. Mulai bab 11 segala sesuatu yang dahulu dikatakan tentang Hikmat-kebijaksanaan langsung dihubungkan dengan Allah sendiri. Adapun sebabnya ialah: Hikmat- kebijaksanaan itu sama dengan Allah dalam menyelenggarakan alam semesta. Memang Hikmat-kebijaksanaan adalah "pancaran murni dari Kemuliaan Yang Mahakuasa... pantulan cahaya kekal.... dan gambar kebaikanNya", Keb 7:25-26. Dengan demikian Hikmat-Kebijaksanaan nampaknya terpisah dari Allah, namun sekaligus pancaran hakekat ilahi. Namun agaknya pengarang Kebijaksanaan dalam hal ini tidak maju lebih jauh dari pada pengarang-pengarang kitab-kitab kebijaksanaan yang lain, bdk Pengantar Umum. Iapun tidak memandang Hikmat-kebijaksanaan sebagai pribadi. Namun demikian seluruh bagian kitab yang membicarakan hakekat Hikmat-Kebijaksanaan, Keb 7:22-8:8, merupakan suatu kemajuan di bidang perumusan dan suatu penadalaman gagasan-gagasan yang sudah ada dahulu.

Dalam renungannya tentang masa lampau bangsa Israel, Keb 10-19, pengarang Kebijaksanaan sudah mendapat pendahuluan dalam diri Bin Sirakh, Sir 44-50; bdk juga Mzm 78, 105, 106, 135, 136. tetapi dalam dua hal pemikirannya benar-benar baru. Pertama-tama ia mencari sebab-musabab kejadian-kejadian dan menggariskan semacam filsafah keagamaan mengenai sejarah. Ini hanya mungkin dengan menafsirkan kembali teks-teks Kitab Suci, misalnya uraiannya mengenai belas kasihan Allah terhadap bangsa Mesir dan bangsa-bangsa Kanaan, Keb 11:15-12:27. Pengarang terutama menyesuaikan suatu rentetan perbadingan yang memperlawankan nasib malang orang-orang Mesir dan untung bangsa Israel. Guna mengemukakan pendapatnya dengan lebih tegas pengarang menambah ceritera Kitab Suci dengan macam-macam hal buatannya sendiri; ia menghubungkan satu sama lain peristiwa- peristiwa yang berlain-lain dan tidak segan memperbesar kejadian-kejadian. Ini sebuah contoh ulang dari penafsiran berupa midrasy yang diperkembangkan para rabi Yahudi.

Cita rasa manusia berubah sudah dan kitab Kebijaksanaan memang sudah menua. Tetapi bagiannya yang pertama, Keb 1-9 sampai sekarang merupakan santapan rohani bermutu tinggi bagi orang-orang Kristen. Ibadat Gereja secara luas memanfaatkan bab-bab itu.

Teks Kitab Kebijaksanaan termuat dalam empat naskah besar, yakni: Vaticanus (B, abad keempat Mas), Alexandrinus (A. abad kelima Mas) dan Codex Ephraemi rescriptus (C, abad kelima Mas) dan dalam sejumlah besar naskah lain yang kurang penting. Naskah yang paling baik ialah Vaticanus yang menjadi landasan bagi terjemahan ini. Teks ini lazimnya disebut "textus receptus" (teks yang umum diterima). Tanda "lat" dalam catatan menunjuk kepada terjemahan Latin kuno, Italia, yang juga terdapat dalam Vulgata tetapi tidak diperbaiki oleh Hieronimus.

KITAB BIN SIRAKH

PENGANTAR

Kitab Bin Sirakh ini menjadi bagian dari Alkitab Yunani, tetapi tidak termasuk kedalam Alkitab Ibrani. Oleh karenanya Sirakh termasuk ke dalam kelompok kitab- kitab Deuterokanonika yang oleh Gereja katolik diterima sebagai Kitab Suci. Meskipun demikian Sirakh aselinya dikarang dalam bahasa Ibrani. Santo Hieronimus mengenalnya dalam bahasa aseli dan Sirakh juga dikutip oleh para nabi Yahudi. Dalam tahun 1896 kira-kira dua pertiga dari sebuah naskah Ibrani kitab Sirakh ditemukan di antara sejumlah besar kepingan macam-macam naskah yang bertanggalkan abad-abad pertengahan dan berasal dari bekas Sinagoga Yahudi di kota Kairo, Mesir. Dalam tahun 1946 di belas benteng Masalah ditemukan sejumlah tulisan yang berasal dari awal abad pertama sebelum Masehi. Di antaranya juga bagian besar kitab Sirakh, yakni Sir 39:27-44:17, dalam bahasa Ibrani. Kalau teks-teks Ibrani tersebut dibandingkan dengan terjemahan Yunani dan Siria, maka terlihat bahwa sejak dahulu beberapa gubahan Sirakh beredar.

Hanya teks Yunani saja diakui oleh Gereja Katolik sebagai Kitab Suci. Terjemahan kami ini mengikuti teks Yunani yang tersedia dalam tiga naskah, yakni Sinaiticus, Alexandrinus dan Vaticanus (S, A, B). Teks ini disebut sebagai teks umum. Hanya dalam catatan-catatan akan disajikan beberapa variasi teks Ibrani.

Dalam bahasa latin kitab Sirakh berjudul liber "Ecclesiasticus". Judul itu baru ditetapkan di zaman belakangan (Siprianus) dan tentu dimaksudkan sebagai penegasan bahwa kitab itu secara resmi dipakai oleh Gereja Kristen yang dalam hal itu berbeda dengan Sinagoga (agama Yahudi). Dalam bahasa Yunani (bdk keterangan yang tercantum dalam Sir 51:30) kitab Sirakh berjudul: Kebijaksanaan Yesus bin Sirakh. Nama pengarangnya sekali lagi disebut dalam Sir 50:27. ahli-ahli modern menyebut kitab Sirakh Bin Sirakh, atau "Siracide" sesuai dengan bentuk Yunani dalam nama itu. Dalam kata pengantarnya anak cucu pengarang menjelaskan bahwa ia menterjemahkan kitab moyangnya ke dalam bahasa Yunani setelah ia tiba dan bertempat tinggal kitab moyangnya ke dalam bahasa Yunani setelah ia tiba dan bertempat tinggal di negeri Mesir pada tahun ke-38 pemerintahan raja Euergetes. Catatan ini hanya dapat menyangkut raja Ptolomeus VII Euergetes dan tahun pemerintahannya yang disebut ialah tahun 132 sebelum Masehi. Maka Yesus bin Sirakh sendiri hidup dan menulis di sekitar tahun 190- 180. Dalam teks kitab sendiri ada keterangan yang membenarkan tanggal tersebut. Sebab berdasarkan kenangan-kenangan pribadi, bin Sirakh menyusun sebuah lagu pujian mengenai besar Simon, Sir 50:1-21. Simon itu ialah Simon II yang baru meninggal dunia sesudah tahun 200.

Pada waktu itu, yakni dalam tahun 198, negeri Palestina beralih tangan dan dijajah oleh wangsa Seleukus dari negeri Siria. Penerimaan adat-istiadat asing artinya pengyunanian, didukung oleh sebagian golongan pemuka Yahudi. Tidak lama kemudian Antiokhus Epifanes (tahun 175-163) berusaha memaksakan pengyunanian itu dengan kekerasan. Bin Sirakh melawan kebaharuan-kebaharuan yang mengancam itu dengan kekuatan tradisi. Ia adalah seorang penulis yang mencintai baik hikmat- kebijaksanaan maupun hukum Taurat. Ia penuh semangat terhadap Bait Allah serta upacara-upacaranya. Juga menjunjung tinggi jabatan imamat, tetapi pun terdidik oleh Kitab Suci, tegasnya kitab para nabi dan teristimewanya oleh kitab-kitab Kebijaksanaan. Bin Sirakh sendiri ingin memberi pengajaran hikmat kepada semua orang yang mencari, Sir 33;18; 50:27. Bdk kata pengantar penterjemah Yunani.

Dalam gaya sasteranya Sirakh serupa dengan karya-karya para bijaksana dahulu dan merekalah yang menjadi contoh bagi Sirakh. Kalau bagian kitab yang memuji kemuliaan Allah dalam alam, Sir 42:15-43:33, dan dalam sejarah, Sir 44:1- 50:29, dikecualikan, maka Sirakh tidak lain susunannya dari pada kitab Amsal dan kitab Pengkhotbah. Berbagai pokok diutarakan tanpa aturan atau aturan dan kerap kali terulang. Pokok-pokok itu berperan sebagai semacam kerangka untuk menampung berbagai pepatah pendek yang sedikit banyak mengenai pokok yang sama. Pada kitab sendiri ditambah dua lampiran, yaitu nyanyian syukur, Sir 51:1-12, dan sebuah sajak tentang hal mencari Hikmat-kebijaksanaan, Sir 51:13-30. Teks Ibrani bagian terakhir ini tersisipkan ke dalam sebuah naskah kitab mazmur yang ditemukan dalam sebuah gua di dekat Qumran. Ini menyatakan bahwa sajak tersebut beredar tersendiri sebelum ditambahkan pada kitab Bin Sirakh.

Seperti gaya sasteranya, demikianpun ajaran Sirakh bersifat tradisionil. Hikmat kebijaksanaan yang diajarkan Bin Sirakh berasal dari Tuhan: awal kebijaksanaan ialah takut akan Tuhan. Kebijaksanaan mendidik kaum muda dan menjamin kebahagiaan. Mengenai nasib manusia dan soal pembalasan Sirakh memperlihatkan ketidakpastian dan keraguan seperti juga terdapat dalam kitab Amsal dan kitab Pengkhotbah. Pengarang yakin bahwa ada pembalasan; ia merasakan betapa penting saat kematian yang tragis, tetapi ia belum mengerti, bagaimana Allah akan membalas setiap orang sesuai dengan perbuatan, bdk Pengantar umum. Pikiran- pikiran pengarang mengenai hakekat Hikmat-kebijaksanaan ilahi, Sir 24:1-22, melanjutkan rabaan yang sudah terdapat dalam kitab Amsal dan kitab Ayub, bdk Pengantar umum.

Akan tetapi Sirakh mengemukakan suatu gagasan yang baru dengan menyamakan Hikamt-kebijaksanaan dengan hukum Taurat yang diumumkan Musa, Sir 24:23-24. Hal yang sama terungkap dalam sajak kebijaksanaan yang tercantum dalam Bar 3:9- 4:4. Berlainan dari pendahulu-pendahulunya Bin Sirakh menggabungkan Hikmat- kebijaksanaan dengan aliran yang mempelajari hukum Taurat. Ia terlebih melihat kesetiaan pada hukum terletak dalam praktek ibadah yang ketat, Sir 35:1-10. Bin Sirakh sungguh-sungguh pencinta upacara.

Berlainan lagi dari para bijaksana dahulu, Bin Sirakh juga merenungkan sejarah suci, Sir 44:1-49:16. Ditampilkannya tokoh-tokoh Perjanjian Lama, mulai dengan Henokh sampai dengan Nehemia. Tiga tokoh di antaranya, yaitu Salomo (meskipun orang bijak yang pertama). Rehabeam dan Yeroboam dikecamnya, sama seperti dikecam oleh kitab sejarah (Raja-raja) yang berpedoman kepada gagasan-gagasan kitab Ulangan. Dan sama seperti kitab sejarah tersebut Bin Sirakh mengutuk semua raja, kecuali Daud Hizkia dan Yosia. Namun demikian Bin Sirakh bangga atas masa lampau bangsanya. Dengan asyik ia membicarakan orang-orang suci dan mengingatkan kepada Allah karya besar yang dilakukanNya dengan perantaraan mereka. Dengan Nuh, Abraham, Yakub, Musa, harun, Pinehas dan Daud Allah telah mengikat suatu perjanjian. Perjanjian itu tentu saja menyangkut seluruh bangsa, tetapi juga menjamin hak-hak istimewa bagi beberapa keluarga, khususnya keluarga-keluarga imam. Pengarang menjunjung tinggi jabatan imamat; dalam deretan para leluhur diberikannya tempat istimewa kepada Harun dan Pinehas; deretan itu diakhirinya dengan lagu pujian bersemangat terhadap seorang sezamannya, yaitu imam besar Simon. Mengingat masa sekarang Bin Sirakh dengan hati agak rindu mengenangkan kemuliaan dan kejayaan masa yang lampau. Berbicara tentang para Hakim dan para Nabi kecil ia mengungkapkan pengharapannya semoga "tulang-belulang mereka bertunas dari dalam kuburnya", Sir 46:12, 49:10, artinya: semoga mereka mempunyai pengganti-pengganti. Ia menulis karyanya di ambang pemberontakan yang dilancarkan para Makabe. Seandainya Bin Sirakh masih hidup pada waktu itu, niscaya keinginan hatinya sudah terkabul.

Meskipun menonjolkan gagasan perjanjian dalam Sejarah Suci, namun Bin Sirakh hampir-hampir saja tidak memberi perhatian kepada pengharapan akan keselamatan yang akan datang. Memang benar dalam doanya, Sir 36:1-17, ia mengingatkan kepada Allah janji-janjiNya dahulu dan memohon belas kasihanNya terhadap Sion ialah Yerusalem, dan supaya suku-suku Yakub dikumpulkanNya kembali. Akan tetapi ucapan kenabian yang bernafaskan nasionalisme semacam itu merupakan kekecualian dalam karya Bin Sirakh. Sebagaimana sesuai dengan orang yang sungguh bijaksana, Bin Sirakh tampaknya bertumpu pada keadaan nyata bangsanya yang terhina namun tanang. Ia yakin bahwa pembebasan akan datang, tetapi pembebasan itu berupa ganjaran atas kesetiaan pada hukum Taurat dan bukan karya seorang Mesias- penyelamat.

Bin Sirakh adalah saksi paling akhir dari aliran kebijaksanaan di Palestina yang tampil dalam Kitab Suci. Ia seorang wakil sejati dari para "hasidim", yaitu orang-orang mursyid dalam agama Yahudi, bdk 1Mak 2:42. Tidak lama lagi mereka akan membela keyakinannya terhadap penganiayaan dari pihak raja Antiokhus Epifanes. Di masa yang suram itu mereka akan mempertahankan kelompok-kelompok kecil para setiawan di Israel.

Di kalangan mereka itulah pemberitaan Kristus akan berbuah. Walaupun tidak diterima ke dalam daftar kitab-kitab suci, namun kitab Bin Sirakh sering dikutip dalam karangan-karangan para rabi. Dalam Perjanjian Baru surat Yakobus mengambil alih sejumlah besar ungkapannya; Injil Matius beberapa kali menyinggung Sirakh dan sampai sekarang ibadat Gereja menggemakan Hikmat-kebijaksanaan yang kuno itu.




Artikel yang terkait dengan Kidung Agung:


TIP #25: Tekan Tombol pada halaman Studi Kamus untuk melihat bahan lain berbahasa inggris. [SEMUA]
dibuat dalam 0.03 detik
dipersembahkan oleh YLSA