jiwa orang berdosa itu: atau jiwanya sendiri.

Malah lebih dari itu: merendahkan hukum Allah berarti merendahkan Allah sendiri, pembikin hukum itu.

Mengadjar itu suatu tugas mulia. Tetapi berat tanggung-djawabnja.

Pembatja-pembatja surat Jakobus ketika itu menderita banjak susah, terutama dalam lapangan ekonomi dan sosial.

Tetapi, apa sebab mereka tak menundjukkan tjinta sematjam itu kepada orang miskin djuga?

Dengan lidah orang dapat menipu banjak. Tetapi jang mengekang lidahnja, sempurnalah orang itu.

Lidah itu sebagai api. Ia bisa membangkitkan napsu, jang dapat menghanguskan seluruh djalan hidup manusia.

Bahwa lidah itu memang djahat, terbukti dari kenjataan bahwa disamping memudji, ia menghodjat Allah djuga.

Orang Jahudi lazimnja lekas bersumpah, sekalipun ketjil sadja perkaranja.

Mereka harus hilangkan kebiasaan buruk itu.

Dengan berbuat demikian, mereka memperoleh keampunan atas dosa-dosanja sendiri jang banjak itu.

Pembimbing-pembimbing itu bukan saja tak tekun dalam doa, tetapi djuga dalam hal-hal lain.

Orang kristen mungkin berkata bahwa melajani orang kaja-kaja itu hanja sekedar memenuhi hukum tjinta kepada semua.

Allah, laksana seorang suami jang penuh tjemburu, jang mau supaja djiwa orang beriman itu semata-mata untuk Dia.

Bitjara djahat dan menghukum orang lain, itu melawan hukum Allah. Siapa berbuat demikian, memandang rendah hukum Allah.

Hidup dan kerdja itu sendiri bukan dosa. Tetapi berlebih-lebihan membanggakan hidup dan kerdja itulah jang dosa.

Para hartawan berdosa karena sudah berfoja-foja dalam pesta-pesta. Sebagai sapi mereka itu menambunkan diri, sedia untuk dibantai pada hari kiamat kelak.

Doa dari orang-orang jang berkumpul sekitar petiduran si sakit, akan membawa selamat abadi, malah kesembuhan kembali daripada orang sakit itu.