Teks Tafsiran/Catatan Daftar Ayat
 
Hasil pencarian 1 - 20 dari 69 ayat untuk tidak tahan lagi AND book:[1 TO 39] AND book:18 (0.004 detik)
Pindah ke halaman: 1 2 3 4 Selanjutnya
Urutkan berdasar: Relevansi | Kitab
  Boks Temuan
(1.00) (Ayb 34:31) (endetn: (lagi))

ditambahkan.

(0.97) (Ayb 42:11) (ende: kesita)

ialah sebuah mata uang, jang tidak diketahui lagi harganja.

(0.91) (Ayb 22:21) (ende)

jakni: tidak dengan berontak lagi lawan penjelenggaraan Allah, jang memang adil.

(0.87) (Ayb 34:23) (endetn: djangka waktu)

diperbaiki. Tertulis: "lagi".

(0.85) (Ayb 15:22) (ende: tersimpan)

Walau rupa2nja si djahat tidak dihukum, tetapi itu se-mata2, agar supaja ia nanti dihukum dengan lebih keras lagi.

(0.82) (Ayb 14:13) (ende)

Disini tiada diadjarkan orang akan bangkit lagi. Tetapi Ijob mau mengungsi ketempat dimana Allah tiada. Nah, Allah ada disurga dan diatas bumi, dan Ijob mengira dipratala Ia tidak berada.

(0.82) (Ayb 9:24) (jerusalem: oleh siapa lagi?) Oleh karena sepenuh-penuhnya percaya pada penyelenggaraan Allah yang merangkum segala-galanya, maka Ayub tidak segan-segan melemparkan kepada Allah tanggung jawab atas segala pengalaman yang menjengkelkan, Ayu 9:22-24.
(0.80) (Ayb 6:7) (jerusalem: memualkan bagiku) Ayu 6:7 ini dalam naskah Ibrani sangat sukar dimengerti. Terjemahan dikira-kirakan saja (berdasarkan a.l. terjemahan Latin Vulgata). Tetapi maksud ayat ini ialah: Ayub merasa muak terhadap hidup yang malang, seperti dalam penderitaannya tidak ada nafsu makan lagi. Sahabat-sahabat Ayub tidak sanggup mengerti perasaan Ayub.
(0.79) (Ayb 15:14) (jerusalem: Masakan manusia bersih....) Elifas mengulang pikirannya dahulu, 4.17, dan pikiran Ayub, Ayu 14:4+. Tetapi diberinya arti lain. Kenajisan dasari manusia tidak lagi dianggap sebab mengapa manusia rapuh dan tidak tetap Ayu 4:17-19, dan iapun tidak memaafkan manusia yang mau tidak mau bersalah, Ayu 14:1-4. Sebaliknya, kenajisan dasari itu menjadi sumber dosa berat yang memuncak dalam kefasikan.
(0.79) (Ayb 27:19) (endetn: sekali lagi)

diperbaiki menurut terdjemahan Junani dan Syriah. Tertulis: "dikumpulkan".

(0.78) (Ayb 32:1) (jerusalem: Maka ketiga orang...) tiba-tiba (dalam bab 32-37) muncul seorang tokoh baru, Elihu, yang dalam pembicaraan Ayub dengan ketiga sahabatnya sekali-kali tidak tersinggung dan dalam bagian penutup kitab, bab 38-42, tokoh ini juga tidak berperan lagi. Dalam jalan pikirannya, peristilahan dan gaya bahasanya tokoh ini menyilang pembicaraan-pembicaraan lain yang tampil dalam kitab Ayub. Ada bagian dalam uraiannya yang mendahulukan apa yang nanti dikatakan Tuhan. Nampaknya pidato-pidato Elihu ini diselipkan ke dalam kitab Ayub setelah selesai dikarang: penulisnya lain dari penulis Ayub
(0.77) (Ayb 23:1) (sh: Di manakah Allah pembelaku? (Sabtu, 18 Desember 2004))
Di manakah Allah pembelaku?

Seorang anak diejek teman-temannya sebagai anak haram. Ia pulang ke rumah sambil menangis. Ia bertanya kepada ibunya. Sang ibu menjawab, "Nak, ucapan teman-temanmu tidak benar. Ayahmu memang telah tiada tetapi ibu ada di sisimu."

Pada pasal ini, perasaan Ayub mirip dengan perasaan anak tersebut yaitu membutuhkan kepastian. Ayub sepertinya tidak tahu harus bagaimana lagi menjawab dakwaan Elifas. Ia merasa tidak ada gunanya berbantah-bantah lagi dengan sahabatnya itu, yang tidak lagi mendukungnya. Oleh karena itu, Ayub mengarahkan pengharapannya kepada Allah. Ayub mengharapkan Allah bersedia mendengarkan pembelaan dirinya, bahkan berkenan pula menjawabnya (ayat 3-7). Ayub yakin bahwa ia tidak bersalah. Ayub juga yakin kalau Allah memeriksanya, maka Allah pun akan menemukan demikian (ayat 10-12). Persoalan yang muncul di sini adalah adanya perbedaan kepastian antara Ayub dengan anak tersebut. Kalau anak itu mendapatkan jawaban pasti dan langsung dari kata penghiburan ibunya, maka Ayub meragukan dapatkah ia bertemu dengan Allah (ayat 8-9)? Apakah Allah mau menerima semua pertanyaannya? Kalau Allah memang sudah menetapkan bahwa ia patut menerima dan mengalami penderitaan itu. Apakah mungkin Allah mau berubah pikiran (ayat 13-17)? Mungkinkah Allah menjadi pembelanya? Berbagai pikiran dan harapan itu berkecamuk menyedot Ayub ke dalam pusaran kecemasan.

Bergumul dengan penderitaan baik secara fisik maupun rohani memang tidak mudah. Penderitaan ini bertambah berat kalau orang-orang terdekat tidak bersimpati dengan penderitaan kita, malahan melontarkan berbagai gosip dan fitnah yang salah. Apalagi kalau yang tidak bersimpati itu adalah keluarga sendiri. Saat Anda merasa sendiri di tengah penderitaan, lebih baik Anda mencari Allah sebagai pembela. Meskipun mungkin Anda sempat meragukan kesediaan Allah membela, ingatlah bahwa Allah tidak pernah meninggalkan Anda.

Bersyukur: Syukur kepada Allah, sebagai anak Tuhan kita memiliki Yesus yang akan membela perkara kita di hadapan Allah.

(0.77) (Ayb 40:1) (sh: Berdiam sejenak (Minggu, 18 Agustus 2002))
Berdiam sejenak

Kita teringat lagi perkataan Yahweh dalam 38:1 yang menyatakan bahwa Ia akan menanyai Ayub. Allah menuduh bahwa Ayub telah mengaburkan desain-Nya melalui ketidaktahuan Ayub. Situasinya sekarang berubah: Yahweh telah memberikan Ayub hak yang unik untuk belajar dari-Nya secara langsung tentang karya-Nya yang begitu luas cakupannya.

Tibalah waktunya bagi Yahweh untuk menanyakan pertanyaan itu lagi. Ia menyatakan-Nya dengan bahasa hukum, seperti istilah yang digunakan Ayub dalam 31:35, "surat tuduhan", suatu istilah hukum. Ayub telah berbantah dengan Allah dan telah membuat tuduhan hukum terhadap-Nya (istilah berbantah dalam ayat 35 seharusnya diterjemahkan dengan lebih keras: menegur, mengoreksi).

Ayub sekarang harus berespons kepada Allah setelah ia mendapatkan pengetahuan yang baru ini. Ayub memang menjawab (ayat 36-38), tetapi jawabannya tidak memuaskan. Ia tidak dapat menyangkali kebenaran yang telah diungkapkan Allah. Ayub tertegun di hadapan kehadiran Allah yang begitu blakblakan, sehingga ia harus mengakui kerendahannya secara tulus. Namun, ia tidak pernah meragukan kuasa Allah. Ayub hanya meragukan keadilan Allah. Sekarang pun Ayub tetap merasa tidak bersalah atau menjadi fasik seperti yang dituduhkan teman-temannya. Ayub juga tidak menarik kasusnya. Ia hanya mengatakan bahwa ia tidak tahu bagaimana harus menjawab Allah dan ia dengan demikian akan terus berdiam diri.

Renungkan: Mengakui ketidaktahuan kita dan sejenak berdiam diri di hadapan penderitaan akan lebih baik daripada merasa tahu dan terburu-buru menegur Allah.

(0.76) (Ayb 15:1) (full: ELIFAS, ORANG TEMAN, MENJAWAB. )

Nas : Ayub 15:1

Dalam pasal Ayub 15:1-21:34 keempat peserta percakapan melanjutkan perdebatan mereka, mengembangkan apa yang telah mereka katakan sebelumnya, hanya dengan lebih gigih lagi. Ayub dengan tabah berpaut kepada Allah, sedangkan pada saat bersamaan mempertahankan ketidaksalahannya serta tetap menegaskan bahwa penderitaannya itu tidak adil (mis. Ayub 16:19-21).

(0.76) (Ayb 17:1) (full: SEMANGATKU PATAH. )

Nas : Ayub 17:1

Sebagai orang yang sudah hancur hati, Ayub percaya bahwa sebentar lagi ia akan mati. Ia memandang dirinya sebagai orang yang ditinggalkan Allah dan menjadi sasaran cemoohan rekan-rekannya. Ayub tidak bisa berbuat apa-apa selain tabah di dalam keyakinannya bahwa ia benar (ayat Ayub 17:9), mempertahankan keyakinannya akan keadilan Allah, sekalipun semua situasi kelihatan bertentangan (Ayub 16:19-22).

(0.76) (Ayb 1:13) (sh: Tetap saleh (Kamis, 25 November 2004))
Tetap saleh

Babakan berikut dalam kehidupan Ayub lebih lagi membuat kita tidak percaya bahwa ia bisa demikian. Bukan saja saleh dan takut akan Allah bisa seiring terjadi dengan menjadi kaya dan berhasil; saleh dan tetap memuliakan Allah pun bisa seiring terjadi ketika Ayub tidak lagi punya apa-apa. Padahal bila sedikit saja kesulitan muncul dalam hidup orang lain, entah sudah bagaimana reaksi mereka terhadap Tuhan? Protes, sungutan, ancaman, atau apa lagikah biasanya reaksi Anda terhadap Tuhan ketika susah menyapa Anda?

Satu per satu milik Ayub dirampas Iblis darinya dengan menggunakan alat-alat seperti perampokan (ayat 14-15), kecelakaan (ayat 16), dan bencana alam (ayat 18-19). Menurut sang penutur kisah ini, malapetaka-malapetaka itu dan pelaporannya kepada Ayub tidak terjadi dalam selang waktu yang lama tetapi berturut-turut dalam waktu hampir bersamaan. Jika itu terjadi pada kita, kemungkinan besar kita akan mengalami lumpuh perasaan dan gelap pikiran. Bahkan, jika hanya oleh kesulitan kecil saja kita sudah mencak-mencak di hadapan Allah, kemalangan dahsyat seperti yang Ayub alami ini mungkin sekali akan membuat kita murtad.

Betapa menakjubkan gambaran tentang reaksi Ayub dalam penderitaannya itu. Ayub tidak protes, tidak bersungut, tidak menantang Allah, tetapi mengucapkan suatu pengakuan iman dan pujian yang sangat dalam kebenarannya. "Tuhan yang memberi, Tuhan yang mengambil, terpujilah nama Tuhan!" (ayat 21). Bagaimana mungkin terjadi pengakuan dan pujian demikian dalam kemalangan, seandainya Ayub menganggap harta dan anak-anaknya itu adalah miliknya? Bagaimana ia dapat tetap benar merespons kemalangan andaikata ia selama ini menjalani hidup yang tidak benar? Bagaimana mungkin ia bersyukur dalam kesulitan apabila ia tidak pernah mensyukuri kebaikan Allah sepanjang hidupnya? Bagaimana semua ini mungkin bila ia tidak terus menerus belajar meninggikan Tuhan dan tahu diri di hadapan-Nya?

Renungkan: Jangan kaitkan kerohanian dengan kondisi tertentu. Jadikan Allah pusat hidup entah bagaimana pun kondisi Anda.

(0.76) (Ayb 16:1) (sh: Kebenaran di atas kenyataan (Senin, 29 Juli 2002))
Kebenaran di atas kenyataan

Sekali lagi kita membaca teriakan Ayub yang memilukan, "Semangatku patah, umurku telah habis, dan bagiku tersedia kuburan" (ayat 17:1,11). Hidup Ayub tidak selalu penuh penderitaan, bahkan di masa lampau ia pernah mencicipi kehidupan yang baik, (ayat 16:12) tetapi kemudian semuanya lenyap (ayat 14,15). Kita semua merindukan ketenteraman dan kesejahteraan; kehilangan kedua hal ini akan membuat kita kehilangan keseimbangan hidup. Sekuat-kuatnya kita, niscaya kita akan terhuyung-huyung dan kehilangan pegangan. Kita tidak dapat melihat secercah sinar, kita hanya mampu memandang malam yang kelam.

Dietrich Bonhoeffer, seorang pendeta berkebangsaan Jerman yang terkenal dengan bukunya, The Cost of Discipleship, pernah berjalan "terhuyung-huyung" dalam kegelapan hidup karena menentang kekejaman Hitler. Ia ditangkap dan pada akhirnya dihukum gantung, meski ia bukan orang Yahudi. Di penjara, orang hanya mengenalnya sebagai seseorang yang tegar. Namun, dengan jujur ia mengakui bahwa di dalam sukmanya, ia gelisah dan tidak tenteram. Ia berjuang untuk tegar, namun ia pun dapat terguncang.

Ayub pun berupaya keras untuk tetap berharap walau berharap telah menjadi sebuah perjuangan, bukan lagi penghiburan. Ia berseru, "Meskipun begitu orang yang benar tetap pada jalannya dan orang yang bersih tangannya bertambah-tambah kuat" (ayat 17:9). Saya tidak tahu apakah itu yang Ayub alami - bertambah kuat- namun itulah yang ia proklamasikan sebagai pernyataan imannya. Ia menolak untuk mengubah kebenaran menjadi serupa dengan kenyataan. Bagi Ayub, kebenaran tetap kebenaran kendati tidak sesuai dengan kenyataan.

Dalam mengarungi laut penderitaan, kita harus berjuang keras untuk tetap berpegang pada kebenaran firman Tuhan walau kenyataan terlihat berbeda. Firman Tuhan adalah sauh yang menancap di dasar laut sehingga sebesar apa pun ombak bergulung di permukaan, perahu kehidupan kita tidak akan terseret oleh ombak yang menggunung.

Renungkan: Kita tidak selalu dapat memahami kenyataan hidup, tetapi kita selalu dapat mempercayai kebenaran firman-Nya.

(0.76) (Ayb 25:1) (sh: Kesimpulan keliru (Senin, 5 Agustus 2002))
Kesimpulan keliru

Ucapan Bildad memperlihatkan bahwa mereka telah kehabisan ide untuk membantah perenungan-perenungan Ayub yang sedemikian dalam dan menantang. Bildad kini tidak lagi mengulang pokok tentang penghukuman Allah atas orang jahat. Juga sesudah pernyataan, di ayat 2, Bildad melanjutkan bukan dengan pernyataan tetapi dengan pertanyaan. Semua ini makin mengokohkan kesimpulan bahwa para sahabat Ayub telah tidak mampu lagi memojokkan Ayub dengan teori-teori mereka.

Kini Bildad mengutarakan pemikiran yang sebenarnya juga telah ditegaskan Ayub sebelumnya dan yang kelak akan dinyatakan Allah sendiri kepada Ayub secara luas dan dalam. Dalam susunan puitis yang indah, Bildad memaparkan tentang kebesaran Allah dan keterbatasan manusia. Kebesaran Allah ditekankan dalam dua bagian paralel (ayat 2,3 dan 5). Lalu keterbatasan dan ketidak-berartian manusia diparalelkan juga di ayat 4 dan 6. Dengan kata lain, di hadapan Allah yang mahabesar, manusia kecil dan tidak berarti, karena itu tidak dapat membenarkan diri sendiri.

Argumen Bildad adalah dengan mengkontraskan manusia dengan makhluk-makhluk surgawi. Apabila terang makhluk-makhluk surgawi menjadi suram dibandingkan dengan terang kemuliaan Allah, maka siapakah dari isi bumi ini yang dapat menyatakan dirinya benar. Menurut Bildad, manusia hanya seperti cacing yang hina dan tak berarti. Kesimpulan ini bertentangan dengan yang dipahami Ayub dan didengungkan pemazmur (ps. 8) dan yang ditegaskan Allah kelak di akhir kitab ini. Justru karena Allah mahabesar dan manusia terbatas, maka Allah dapat memberikan perhatian tanpa batas pada manusia. Di dalam perhatian serta kasih sayang Allah itulah, manusia menemukan arti bagi dirinya dan makna bagi hidupnya. Manusia memang terbatas dan telah jatuh ke dalam dosa, namun itu tidak berarti bahwa manusia turun status menjadi binatang.

Renungkan: Pemahaman teologis yang sempit dan kepalang tanggung tidak dapat memahami realitas hidup dengan benar dan tidak mungkin memberikan harapan bagi orang yang sedang menderita.

(0.76) (Ayb 40:1) (sh: Ayub Takjub dan Takzim (Selasa, 20 Desember 2016))
Ayub Takjub dan Takzim

Setelah membaca gugatan panjang Tuhan yang tersaji dalam tujuh puluh satu ayat (Ayb. 38:1-39:33), penulis kitab menyanyikan replik atau jawaban Ayub atas gugatan Tuhan tersebut.

Terhadap para sahabatnya, Ayub berani berbantah, berdebat, dan beradu berargumentasi dengan sengit.Saat Tuhan menantang Ayub, justru respons yang diberikan Ayub menjadi berbeda, "Bersiaplah engkau sebagai laki-laki! Aku akan menanyai engkau supaya engkau memberitahu Aku" (Ayb. 38:3). Kita mesti membayangkan bahwa sikap Ayub ini bukan sebuah reaksi spontan yang muncul seketika, setelah Tuhan melancarakan berbagai pertanyaan gugatan yang keras dan tajam kepadanya.

Ayub pasti kaget bahwa Tuhan menginterupsi perdebatannya dengan para sahabatnya dengan melontarkan pelbagai pertanyaan yang dahsyat. Melalui pertanyaan tersebut, Tuhan menyatakan siapakah diri-Nya. Tampaknya, Ayub sejenak merenung dan menyimak dengan serius apa-apa yang dikatakan Tuhan. Ayub menyelidiki dengan cermat berbagai hal yang diungkapkan Tuhan dengan panjang lebar. Sebagai seorang yang jujur dan beriman kepada Tuhan, Ayub melakukan introspeksi diri. Setelah merenungkannya secara mendalam, Ayub takjub dan takzim. Ia terdiam dan tidak dapat berkata-kata (speechless). Apa pun pertanyaannya, Ayub hanya bisa memberikan jawaban bahwa segala sesuatu yang ada di balik alam semesta dan yang terus bergerak hanya Tuhan. Mengenai dirinya, Ayub tidak ikut andil dalam apa pun dalam mengaryakan pekerjaan Tuhan. Kesadaran Ayub terlihat dari pernyataannya yang jujur dan rendah hati, "Sesungguhnya, aku ini terlalu hina ; jawab apakah yang dapat kuberikan kepada-Mu? Mulutku kututup dengan tangan" (Ayb. 39:37). Menutup mulut dengan tangan menggambarkan sikap takjub dan kekaguman yang luar biasa.

Alkitab suka menggunakan kata "takjub dan takzim" sebagai ekspresi dan ungkapan "takut akan Tuhan". Sikap hati seperti itu merupakan tindakan yang tepat, ketika kita menyadari kebesaran dan keagungan-Nya. [SS]



TIP #31: Tutup popup dengan arahkan mouse keluar dari popup. Tutup sticky dengan menekan ikon . [SEMUA]
dibuat dalam 0.06 detik
dipersembahkan oleh YLSA