Resource > Jurnal Pelita Zaman >  Volume 15 No. 1 Tahun 2000 >  TEKSTUALITAS DAN INTRATEKSTUALITAS DALAM HERMENEUTIKA POSTLIBERALISME > 
HERMENEUTIKA DAN TEOLOGI INTRATEKSTUAL 

Hermeneutika intratekstual, yang kemudian dikembangkan oleh George Lindbeck menjadi teologi intratekstual adalah salah satu sumbangsih pemikiran Hans Frei. Bagi Frei, dunia simbolik yang diciptakan oleh narasi-narasi Alkitabiah, secara hermeneutika haruslah ditempatkan sebagai yang lebih utama dibandingkan dunia pengalaman inderawi. Frei mengatakan, dengan mengutip Eric Auerbach, bahwa narasi Alkitab tidaklah sama dengan sebuah novel, misalnya epik Homerik yang hanya sekedar mengundang pembacanya untuk sejenak melupakan realitas mereka sendiri. Narasi Alkitab justru mencoba mengatasi realitas kita. Kita sebagai pembaca yang harus menyesuaikan hidup kita dengan dunia simbolik narasi itu, dan merasakan bahwa diri kita adalah bagian dari struktur sejarah universal dunia tersebut.1499 Karena itu, hermeneutika bukanlah suatu usaha menyesuaikan dunia simbolik Alkitab ke dalam kategori-kategori ekstratekstual, dan juga bukan suatu usaha mencari sesuatu di luar atau di atas dari dunia linguistik tersebut apakah pengalaman religius atau kebenaran-kebenaran histories, tetapi suatu usaha mendeskripsikan dunia simbolik yang diciptakan oleh narasi-narasi Alkitab itu, yang pada gilirannya menjadi semacam kerangka interpretatif untuk melihat dunia inderawi kita. Narasi-narasi Alkitab dianggap mampu mengkonstruksi dan membentuk suatu dunia nyata yang melaluinya komunitas Kristen melihat realitas inderawi. Jadi dalam pengertian Frei, narasi Alkitab mempunyai keutamaan dalam arti ia menjadi semacam kategori hermeneutika terhadap Alkitab.

Secara meyakinkan Frei berargumentasi mengenai pembacaan realistic dan hermeneutika intratekstual ini dalam bukunya. The Eclipse of Biblical Narratives.1500 Menurut Frei dalam sejarah gereja sampai abad ke 17, pengkotbah-pengkotbah dan penafsir-penafsir senantiasa melihat ke depan ke dunia nyata yang dibentuk oleh kisah-kisah Alkitab. Dan, dunia nyata ini pula yang memberi makna dan realitas bagi kehidupan Kristen. Tetapi, demikian Frei berargumentasi, sejak abad ke 18, dan ini adalah zaman yang berada di bawah pengaruh zaman pencerahan, terjadi suatu pembalikan hermeneutika yang radikal. Penafsiran semata-mata menjadi usaha menyesuaikan cerita Alkitab ke dalam suatu dunia lain yang mempunyai kisahnya sendiri. Realitas pembaca, yakni dunia modern, dianggap sebagai realitas yang utama yang kepadanya dunia Alkitab harus menyesuaikan diri. William Placher mengatakan hermeneutika demikian memandang narasi-narasi Alkitab dapat dianggap real hanya bila cerita-cerita itu dapat disesuaikan dengan kerangka pemikiran orang-orang modern.1501

Dalam kerangka pemikiran modern ini. Narasi Alkitab hanya dapat dimengerti bila dimasukkan ke dalam dua kategori; narasi itu adalah sejarah, atau narasi itu mengandung pelajaran-pelajaran moral. Metode-metode histories kritis yang baru digunakan untuk menyeleksi narasi-narasi mana yang histories yang dapat melewati standar metode tersebut. Dan bila hal ini ternyata sulit dilakukan, maka narasi Alkitab, seperti yang juga dikatakan oleh Placher, akhirnya semata-mata dianggap sebagai membawa rujukan-rujukan idealistic dengan mengajarkan hal-hal moral, dengan memberikan lambang-lambang pengalaman rohani, atau menyajikan potensi-potensi eksistensi manusia.1502 Bagi Frei, apapun idealismenya, apakah mencari kebenaran histories atau kebenaran moralistik, dengan mengabaikan karakter naratif dari Alkitab, hermeneutika modern telah merusak makna Alkitab baik melalui reinterpretasi maupun revisi.1503 Karena itu, dia mengajukan pembacaan cara ketiga terhadap narasi Alkitab; baca kisah-kisah itu sebagai kisah-kisah yang tidak punya arti lain selain apa yang ingin dikatakan oleh kisah-kisah itu. Secara hermeneutika, pembaca demikian selaras dengan sifat naratif Alkitab, di mana tindakan hermeneutika dilakukan adalah semata-mata untuk mendiskripsikan dunia Alkitab sebagai suatu dunia dengan integritas linguistiknya sendiri sama halnya dengan sebuah karya kesusasteraan yang mempunyai suatu dunia yang konsisten dalam standarnya sendiri, suatu dunia yang hanya dapat kita peroleh melalui melakoninya. Tetapi berbeda dengan dunia lakon lainnya, dunia narasi Alkitab adalah suatu dunia bersama dimana kita semua bisa hidup, bergerak, dan berada.1504

Bila hermeneutika intratekstual diberi pengertian sebagai usaha mendeskripsikan dunia simbolik Alkitab yang terbentuk melalui narasi-narasi Alkitab, maka teologi intratekstual adalah suatu kelanjutan teologis yang hermeneutika tersebut. George Lindbeck mengatakan, "Dunia Alkitab mampu menyerap alam semesta ini. Dunia Alkitab ini memberikan suatu kerangka interpretif yang melaluinya orang-orang Kristen menjalani kehidupannya dan memahami realitas".1505 Karena itu, dalam satu kalimat yang kemudian menjadi sangat terkenal, dia mengartikan teologi intratekstual sebagai teologi yang "redescribes reality within the scriptural framework rather than translating scripture into extrascriptural categories. It is the text, so tos speak, wich absorbs the words, rather than the word the text.1506 Hermeneutika maupun teologi dalam arti intratekstual jelas sangat mementingkan teks sebagai suatu sistim semiotic. Tidak heran kalau teolog-teolog postliberal umumnya mengambil posisi Karl Barth yang memandang narasi-narasi Alkitab sebagai "the strange new word within the Bible". Makna religius, bagi Lindbeck, tidak ditemukan di luar teks atau di luar sistim semiotic. Makna selalu bersifat imanen di dalam teks atau di dalam sistim semiotic tersebut.1507 Dalam artian ini, teologi sangat bersifat deskriptif, yakni deskriptif teologis terhadap apa yang operatif di dalam sistim semiotic. Hermeneutika, dalam pola ini, jelas telah bergeser dari pencarian historical truth, atau autorial intention, atau authorial motivation kepada final produce, yakni kepada teks itu sendiri.

Perkembangan ini jelas bukan sesuatu yang khas teologi postliberal. Hermeneutika umum telah pula menggeser fokus utama mereka di dalam proses interpretasi, dari author ke teks dan bahkan kemudian ke reader. Fokus kepada teks ini, pada waktu bersamaan, juga dipopulerkan oleh Bevard S. Childs, seorang sarjana Alkitab, yang juga adalah rekan Frei dan Lindbeck di Yale University, yang menekankan pendekatan kanonikal hermeneutika Alkitabiah. Perkembangan ini menarik dan disambut cukup gembira oleh kalangan Injili. Alkitab tidak lagi dilihat sebagai ceceran-ceceran pengalaman religius yang kebetulan terkomplikasikan dalam satu kitab. Alkitab kini dilihat dalam posisinya sebagai suatu final product, suatu kanon, dan suatu teks konstitutif dan normatif yang utuh. Tidak lagi pada tempatnya menerapkan "pisau cukur" Ockham pada Alkitab, karena yang tercukur habis seringkali adalah janggut Harun.



TIP #22: Untuk membuka tautan pada Boks Temuan di jendela baru, gunakan klik kanan. [SEMUA]
dibuat dalam 0.08 detik
dipersembahkan oleh YLSA