Resource > Jurnal Pelita Zaman >  Volume 15 No. 1 Tahun 2000 > 
TEKSTUALITAS DAN INTRATEKSTUALITAS DALAM HERMENEUTIKA POSTLIBERALISME 
Penulis: Andreas Himawan
 PENDAHULUAN

Perkembangan hermeneutika dalam gerakan teologi postmodern, seperti yang dapat disimak dari kalangan postliberalisme,1497 memperlihatkan beberapa kecenderungan yang menarik. Gerakan teologi postmodern ini jelas berkaitan erat dengan perkembangan apa yang disebut sebagai "the linguistic turn" yang mendominasi wacana filsafat postmodern. Karena itu, teori-teori dan kritik-kritik kesusastraan (literary crittism and literary theory) telah menjadi salah satu faktor utama di dalam interpretasi dan evaluasi teologi masa kini.1498 Perkembangan teologi postmodern ini juga memperlihatkan kecenderungan kembali kepada hermeneutika Karl Barth, yang melihat test formatif kekristenan sebagai "a strange new world within the Bible". Pada satu pihak, pengaruh teori kesusastraan telah mendorong pemakaian reader responses critism. yang melihat proses membaca sebagai proses penciptaan makna, dan di bawah pengaruh tokoh seperti Stanley Fish, teolog-teolog saat ini banyak berbicara mengenai interpretive communities. Pada pihak lain, di bawah pengaruh Karl Barth. orang-orang dalam gerakan yang sama terdorong untuk mengutamakan teks formatif kekristenan sehingga mereka menganjurkan pembacaan yang realistic (realistic reading) terhadap narasi-narasi Alkitab dan melihat narasi-narasi ini dapat menciptakan satu dunia realita yang lebih nyata daripada dunia yang kita kenal dengan panca indera kita. Teologi postliberal adalah salah satu dari gerakan teologi postmodern yang mementingkan teks dan mengutamakan pembacaan realistic tersebut. Memang, dalam kalangan teolog postliberal sendiri terlihat juga kecenderungan mengikuti alur Stanley Fish. seperti yang dilakukan oleh Stanley Hauerwas. George Lindbeck sendiri, yang bersama Hans Frei dianggap sebagai pionir gerakan postliberalisme, juga memperlihatkan kecenderungan menempatkan interpretive communities sebagai pencipta makna (dan bahkan kebenaran) teks. Dalam tulisan ini saya akan berfokus hanya pada penekanan mereka pada teks, dan memperlihatkan beberapa penyimpangan dari pandangan Barth tentang tekstualitas. Dan memperlihatkan bahwa antara mementingkan teks qua teks dan mementingkan komunitas pencipta kebenaran teks berjarak sangat tipis.

 HERMENEUTIKA DAN TEOLOGI INTRATEKSTUAL

Hermeneutika intratekstual, yang kemudian dikembangkan oleh George Lindbeck menjadi teologi intratekstual adalah salah satu sumbangsih pemikiran Hans Frei. Bagi Frei, dunia simbolik yang diciptakan oleh narasi-narasi Alkitabiah, secara hermeneutika haruslah ditempatkan sebagai yang lebih utama dibandingkan dunia pengalaman inderawi. Frei mengatakan, dengan mengutip Eric Auerbach, bahwa narasi Alkitab tidaklah sama dengan sebuah novel, misalnya epik Homerik yang hanya sekedar mengundang pembacanya untuk sejenak melupakan realitas mereka sendiri. Narasi Alkitab justru mencoba mengatasi realitas kita. Kita sebagai pembaca yang harus menyesuaikan hidup kita dengan dunia simbolik narasi itu, dan merasakan bahwa diri kita adalah bagian dari struktur sejarah universal dunia tersebut.1499 Karena itu, hermeneutika bukanlah suatu usaha menyesuaikan dunia simbolik Alkitab ke dalam kategori-kategori ekstratekstual, dan juga bukan suatu usaha mencari sesuatu di luar atau di atas dari dunia linguistik tersebut apakah pengalaman religius atau kebenaran-kebenaran histories, tetapi suatu usaha mendeskripsikan dunia simbolik yang diciptakan oleh narasi-narasi Alkitab itu, yang pada gilirannya menjadi semacam kerangka interpretatif untuk melihat dunia inderawi kita. Narasi-narasi Alkitab dianggap mampu mengkonstruksi dan membentuk suatu dunia nyata yang melaluinya komunitas Kristen melihat realitas inderawi. Jadi dalam pengertian Frei, narasi Alkitab mempunyai keutamaan dalam arti ia menjadi semacam kategori hermeneutika terhadap Alkitab.

Secara meyakinkan Frei berargumentasi mengenai pembacaan realistic dan hermeneutika intratekstual ini dalam bukunya. The Eclipse of Biblical Narratives.1500 Menurut Frei dalam sejarah gereja sampai abad ke 17, pengkotbah-pengkotbah dan penafsir-penafsir senantiasa melihat ke depan ke dunia nyata yang dibentuk oleh kisah-kisah Alkitab. Dan, dunia nyata ini pula yang memberi makna dan realitas bagi kehidupan Kristen. Tetapi, demikian Frei berargumentasi, sejak abad ke 18, dan ini adalah zaman yang berada di bawah pengaruh zaman pencerahan, terjadi suatu pembalikan hermeneutika yang radikal. Penafsiran semata-mata menjadi usaha menyesuaikan cerita Alkitab ke dalam suatu dunia lain yang mempunyai kisahnya sendiri. Realitas pembaca, yakni dunia modern, dianggap sebagai realitas yang utama yang kepadanya dunia Alkitab harus menyesuaikan diri. William Placher mengatakan hermeneutika demikian memandang narasi-narasi Alkitab dapat dianggap real hanya bila cerita-cerita itu dapat disesuaikan dengan kerangka pemikiran orang-orang modern.1501

Dalam kerangka pemikiran modern ini. Narasi Alkitab hanya dapat dimengerti bila dimasukkan ke dalam dua kategori; narasi itu adalah sejarah, atau narasi itu mengandung pelajaran-pelajaran moral. Metode-metode histories kritis yang baru digunakan untuk menyeleksi narasi-narasi mana yang histories yang dapat melewati standar metode tersebut. Dan bila hal ini ternyata sulit dilakukan, maka narasi Alkitab, seperti yang juga dikatakan oleh Placher, akhirnya semata-mata dianggap sebagai membawa rujukan-rujukan idealistic dengan mengajarkan hal-hal moral, dengan memberikan lambang-lambang pengalaman rohani, atau menyajikan potensi-potensi eksistensi manusia.1502 Bagi Frei, apapun idealismenya, apakah mencari kebenaran histories atau kebenaran moralistik, dengan mengabaikan karakter naratif dari Alkitab, hermeneutika modern telah merusak makna Alkitab baik melalui reinterpretasi maupun revisi.1503 Karena itu, dia mengajukan pembacaan cara ketiga terhadap narasi Alkitab; baca kisah-kisah itu sebagai kisah-kisah yang tidak punya arti lain selain apa yang ingin dikatakan oleh kisah-kisah itu. Secara hermeneutika, pembaca demikian selaras dengan sifat naratif Alkitab, di mana tindakan hermeneutika dilakukan adalah semata-mata untuk mendiskripsikan dunia Alkitab sebagai suatu dunia dengan integritas linguistiknya sendiri sama halnya dengan sebuah karya kesusasteraan yang mempunyai suatu dunia yang konsisten dalam standarnya sendiri, suatu dunia yang hanya dapat kita peroleh melalui melakoninya. Tetapi berbeda dengan dunia lakon lainnya, dunia narasi Alkitab adalah suatu dunia bersama dimana kita semua bisa hidup, bergerak, dan berada.1504

Bila hermeneutika intratekstual diberi pengertian sebagai usaha mendeskripsikan dunia simbolik Alkitab yang terbentuk melalui narasi-narasi Alkitab, maka teologi intratekstual adalah suatu kelanjutan teologis yang hermeneutika tersebut. George Lindbeck mengatakan, "Dunia Alkitab mampu menyerap alam semesta ini. Dunia Alkitab ini memberikan suatu kerangka interpretif yang melaluinya orang-orang Kristen menjalani kehidupannya dan memahami realitas".1505 Karena itu, dalam satu kalimat yang kemudian menjadi sangat terkenal, dia mengartikan teologi intratekstual sebagai teologi yang "redescribes reality within the scriptural framework rather than translating scripture into extrascriptural categories. It is the text, so tos speak, wich absorbs the words, rather than the word the text.1506 Hermeneutika maupun teologi dalam arti intratekstual jelas sangat mementingkan teks sebagai suatu sistim semiotic. Tidak heran kalau teolog-teolog postliberal umumnya mengambil posisi Karl Barth yang memandang narasi-narasi Alkitab sebagai "the strange new word within the Bible". Makna religius, bagi Lindbeck, tidak ditemukan di luar teks atau di luar sistim semiotic. Makna selalu bersifat imanen di dalam teks atau di dalam sistim semiotic tersebut.1507 Dalam artian ini, teologi sangat bersifat deskriptif, yakni deskriptif teologis terhadap apa yang operatif di dalam sistim semiotic. Hermeneutika, dalam pola ini, jelas telah bergeser dari pencarian historical truth, atau autorial intention, atau authorial motivation kepada final produce, yakni kepada teks itu sendiri.

Perkembangan ini jelas bukan sesuatu yang khas teologi postliberal. Hermeneutika umum telah pula menggeser fokus utama mereka di dalam proses interpretasi, dari author ke teks dan bahkan kemudian ke reader. Fokus kepada teks ini, pada waktu bersamaan, juga dipopulerkan oleh Bevard S. Childs, seorang sarjana Alkitab, yang juga adalah rekan Frei dan Lindbeck di Yale University, yang menekankan pendekatan kanonikal hermeneutika Alkitabiah. Perkembangan ini menarik dan disambut cukup gembira oleh kalangan Injili. Alkitab tidak lagi dilihat sebagai ceceran-ceceran pengalaman religius yang kebetulan terkomplikasikan dalam satu kitab. Alkitab kini dilihat dalam posisinya sebagai suatu final product, suatu kanon, dan suatu teks konstitutif dan normatif yang utuh. Tidak lagi pada tempatnya menerapkan "pisau cukur" Ockham pada Alkitab, karena yang tercukur habis seringkali adalah janggut Harun.

 BEBERAPA KOMENTAR

Tetapi beberapa komentar dapat diajukan kepada model hermeneutika intratekstual ini. Hermeneutika yang seharusnya teologis, telah menjadi hermeneutika yang terlalu formal. Misalnya, dalam hal tekstualitas, pandangan kaum postliberal, khususnya dalam Lindbeck, teks itu telah menjadi suatu sistim tertutup yang diisi hanya oleh penanda (signitiers).

Pertanyaan-pertanyaan penting mengenai histories, referensi, dan antologi dieksklusifkan karena dianggap, pertama, tidak sesuai dengan karakter naratif suatu kisah realistic, dan kedua, tidak mencerminkan kesetiaan teologis yang bersifat intratekstual. Teks yang menjadi self-refrential dan otonom.1508 Dalam hal ini, beberapa teolog postliberal, walaupun mengakui diri dan diakui sebagai pelanjut-pelanjut dari konsep Barth mengenai tekstualitas, sesungguhnya hanya menerima secara parsial konfirmasi Barth terhadap "the strange new word within the Bible" tersebut.

Salah satu kritik tajam kepada Lindbeck datang dari sejawatnya di dalam kubu postliberalisme, yakni Ronald Thiemann. Dia mengatakan Lindbeck terlalu berfokus pada teks dan tekstualitas dalam artian formal, dan terlalu sedikit berbicara mengenai hal-hal teologis, bahkan hampir tidak berbicara tentang Allah. Karena itu menurut Thiemann, bahaya dari pendekatan fokus hermeneutika demikian adalah pembicaraan tentang teks menggantikan wacana tentang Allah. Teks berdiri di tempat dimana seharusnya Allah yang berdiri.1509 Hal ini dapat terjadi peda program teologi dan hermeneutika Lindbeck karena kurangnya perhatian pada konsep wahyu atau penyataan melalui teks. Barth memang menekankan tekstualitas, tetapi kembali mengutip Thjemann, tanpa doktrin penyataan, suatu doktrin yang sangat sentral dalam Barth, segala wacana tentang tekstualitas, intratekstualitas, dan self-interpreting teks menjadi mubazir dan kehilangan kekuatan teologisnya.1510 Bahkan Brevard S. Childs yang sangat mengutamakan tekstualitas, mengkritik Lindbeck pada poin penting tersebut. Dia mengatakan "Lindbeck dengan yakin mengutip frase Karl Barth tentang 'the strange new word eithin the Bible', seolah-olah Barth sedang membayangkan sebuah komunitas iman yang ditarik masuk ke dalam semesta ciptaan Alkitab. Hal ini sesungguhnya tidak sesuai dengan maksud Barth. Bagi Barth, yang terutama, Alkitab menyaksikan suatu realitas di luar teks, yakni Allah, dan melalui teks Alkitab, pembaca dikonfirmasikan dengan Firman Allah yang adalah Yesus Kristus."1511

Yang penting dari kritik ini adalah bahwa teks, dalam hal ini teks Alkitab bukanlah suatu entitas tertutup yang bersifat self-refrential dan otonom. Dan karena itu realitas tidak dapat di reduksi menjadi teks. Kritik yang sama dapat ditujukan kepada kalangan penganut konsep wahyu preposisional yang menghadapi bahaya mereduksi wahyu ilahi menjadi semata-mata menjadi pernyataan-pernyataan proposisional. Keyakinan bahwa teks Alkitab adalah Firman Tuhan tidak mengurangi fakta bahwa teks itu tidak menunjuk kepada dirinya sendiri. Teks itu mendapatkan wibawa dan otoritas bukan semata-mata (dan terutama) karena teks tersebut dapat membangun suatu dunia simbolik yang koheren. Dan bukan pula Karena ia diterima sebagai suatu teks normatif oleh satu komunitas. Kebenaran dari teks (the truth of statement) tergantung sepenuhnya pada referensi, yakni kesetiaan dan ketepatan dalam menunjuk kepada suatu realitas ontologis (the truth of being). Thomas Torrance mengemukakan hal ini dengan cara berikut.

Pernyataan-pernyataan Alkitab adalah benar, bukan karena pernyataan-pernyataan itu menangkap kebenaran di dalam diri mereka sendiri, tetapi Karena mereka menunjuk kepada kebenaran di luar mereka. Pernyataan-pernyataan itu benar dalam artian mereka secara setia menunjuk kepada kebenaran - karena itulah pernyataan-pernyataan Alkitab perlu dimengerti dan ditafsirkan menurut realitas yang mereka tunjuk, bukan sebaliknya.1512

Penulis yang sama, dalam buku yang lain, pernah menulis sebuah kalimat (yang rupanya agak sulit diterjemahkan tanpa kehilangan kekuatan dan keindahan kalimat tersebut) tentang kemustahilan mereduksi being ke dalam pernyataan. "No more than you can picture in a picture how a picture pictures what it pictures. without reducing everything to a picture, can you state in statements how statements are related to being without reducing everything to statements"1513

Pada dasarnya, hermeneutika intratekstual yang dikembangkan oleh postliberalisme menggeser terlalu jauh fokus teologis sehingga kecenderungan menjadi hermeneutika formalistic tidak dapat dihindarkan. Bila referensi, antologi, dan juga historisitas menjadi unsur-unsur yang terlalaikan, maka tidak heran bila makna esensial tekstualitas menjadi hilang. Bila diterapkan dalam suatu komunitas yang nyata, yang berlandaskan hidup bukan hanya pada suatu sistim semiotic, tetapi juga pada keyakinan dan kebenaran, maka kecenderungan formalistic itu, agar dapat menjadi praktis, akhirnya menjadi pragmatis.

Hal ini jelas terlihat dalam program teologi postliberal dalam wacana mereka tentang kebenaran Linbeck, misalnya, pada satu pihak memang menekankan teks atau sistim semiotic, tetapi pada pihak lain, dalam proses hermeneutika, teks rupanya bukan suatu identitas obyektif yang stabil. Ia tidak direlatifkan oleh obyek referensinya (sebagaimana di dalam Barth atau Torrance), tetapi dalam Linbeck, ia direlatifkan oleh disposisi pembaca atau pengajar teks. Dalam memunculkan makna dan kebenaran. peranan pembaca sangat definitif. Dalam konteks inilah, teologi postliberal, dalam tradisi Wittgensteinian dan Austinian, menekankan kebenaran sebagai pervormative truth atau apa yang Linbeck sebut sebagai intrasystemic truth.1514 Wacana ini tidak lagi memandang kebenaran sebagai sesuatu yang substantif dan ontologis, tetapi, lebih dalam pengertian kategori dan pragmatic. Pernyataan Kristen dianggap benar bila pernyataan itu, pertama, koheren dengan kategori-kategori sistim semiotic atau the web of beliefs komunitas Kristen, dan kedua, koheren dengan the form of life atau total relevant context dari komunitas tersebut, yakni sistim praktis yang telah "menumbuh" dalam komunitas itu. Pernyataan Christus est Dominus, misalnya, bagi Linbeck adalah kalimat tanpa makna dan bahkan tanpa kebenaran bila diteriakkan pleh seorang prajurit perang salib ketika ia sedang memenggal kepala musuhnya. Dalam konteks perbuatan tersebut, yang jelas kontradiktif dengan konsep ketuhanan Kristus dalam narasi kekristenan, pernyataan Christus est Dominus adalah salah. Secara kategorial, kalimat itu benar, tetapi secara intrasistimik, kalimat itu salah.1515 Dalam satu kalimat yang sangat kuat, dia mengatakan bahwa pernyataan religius "acquires the prepositional truth of ontological correspondence only insofar as it is a performance, an act or deed, which helps create that correspondence".21

Bila pengertian ini ditarik cukup ekstrim, maka pengertian intratekstualitas dalam postliberalisme menjadi semacam pembenaran bagi peran komunitas untuk memberi makna dan kebenaran pada teks. Hal ini dapat terjadi karena teks tidak mendapatkan kekuatan dari realitas atau ontologi yang ditunjuk. Teks memang tidak stabil dalam menangkap kebenaran, tetapi ia dapat menjadi penunjuk (signifer) kepada kebenaran (signified). Pada Barth. tidak ada kekuatiran apakah teks, yang adalah bahasa manusia. mampu berkorespondensi dengan ontologi yang bersifat ilahi. Korespondensi ini dapat tercipta bukan karena disposisi komunitas Kristen, tetapi karena wahyu ilahi di dalam Yesus Kristus.

Kategori wahyu inilah yang tidak terdapat dalam kebanyakan teolog postliberal, sehingga perbincangan tentang teks, pada satu pihak, menjadi sangat otonom dan self-referential, dan pada pihak lain, menjadi kehilangan kekuatan ontologis teologis dan tergantikan oleh suatu nuansa yang dekat pada teologi natural. Maka Barth dapat berkata bahwa kebenaran Injil tidak terkondisikan oleh kesaksian manusia. "It would be the truth even if it had no witness....It is the truth even though its human witnesses fail. It does not live by Christians, but Christians by it".1516 Hermeneutika yang setia pada teologi Kristen bukan saja menerima teks Alkitab sebagai teks kanonikal yang mampu membentuk satu sistim semiotic yang dapat menjadi "tata bahasa" bagi kehidupan religius Kristen, tetapi hermeneutika yang terutama memandang melalui teks tersebut kepada obyek referensinya, dan menemukan Allah Tritunggal yang mewahyukan diri-Nya. Dengan Allah itulah, dan bukan dengan teks tentang Allah itu, kita dapat hidup, bergerak, dan berada.



TIP #01: Selamat Datang di Antarmuka dan Sistem Belajar Alkitab SABDA™!! [SEMUA]
dibuat dalam 0.03 detik
dipersembahkan oleh YLSA