Resource > Jurnal Pelita Zaman >  Volume 11 No. 2 Tahun 1996 >  BILA TIMUR BERTEMU BARAT > 
IV. PERJUMPAAN BARAT DAN TIMUR 

Kita di Indonesia harus mengakui bahwa pengaruh budaya Barat amat kuat. Dalam proses modernisasi ini kita banyak berkiblat ke Barat. Lalu apakah menjadi modern identik dengan menjadi Barat? Dalam hal ini antropolog senior Indonesia Koentjaraningrat membedakan antara modernisasi, penggunaan unsur-unsur kebudayaan Barat dan westernisasi.960

Modernisasi merupakan proses penyesuaian diri sesuai dengan konstelasi dunia di mana pada suatu saat kita hidup. Yang menentukan konstelasi biasanya bangsa atau negara adidaya pada waktu itu. Pada abad ke-2 SM sampai abad ke-2 kerajaan Romawi menentukan corak kehidupan ekonomi, politik dan kebudayaan dari kerajaan-kerajaan di sekitar Laut Tengah. Maka bangsa yang mau modern pada waktu itu harus menyesuaikan diri dengan kerajaan dan kebudayaan Romawi. Kemudian pada abad ke-4 sampai ke-10 kerajaan-kerajaan besar di India dan Tiongkok menentukan kerajaan-kerajaan di Asia Tenggara dan Timur. Lalu akhirnya, pada abad ke-20 ini negara-negara Eropa Barat, Amerika Serikat dan Canada merupakan negara-negara maju yang menentukan percaturan politik dan ekonomi dari negara-negara belum berkembang atau sedang berkembang. Untuk tidak sampai terdesak oleh kekuatan-kekuatan raksasa seperti teknologi dan ilmu pengetahuan, maka modernisasi merupakan suatu keharusan. Kalau perlu, seperti kata Sutan Takdir Alisyahbana, bukan cuma sekadar alih teknologi, tetapi teknologi itu harus disebut.

Westernisasi merupakan usaha meniru gaya hidup orang Barat secara berlebihan seperti terlihat dari gaya berpakaian yang tidak sesuai lagi dengan sikon Indonesia. Ini yang disebut dengan kebarat-baratan. Berbicara sering dicampur dengan kata-kata asing sementara memakai bahasa sendiri belum betul seperti terlihat di sebuah kios McDonald, "Bu, nasi satu dan ayam fried chicken! Dalam bergaul, berpesta, merayakan ulang tahun, nampak juga sikap kebarat-baratan. Namun ironisnya, kita tidak menghayati mentalitas Barat yang positif seperti hemat, disiplin, berani bertanggung jawab dalam kesulitan, bermutu dalam karya-karya, gigih dalam berusaha atau berinisiatif.961

Mentalitas meremehkan mutu terlihat pada waktu orang cepat gembira kalau pekerjaan selesai tanpa memikirkan bagaimana mutunya. Di Indonesia orang masih harus membayar mahal untuk mutu pekerjaan maupun pelayanan. Ada mental yang suka menerabas mencari jalan paling singkat untuk mencapai sesuatu tanpa melewati jalan normal yang panjang. Gejala pemalsuan skripsi dan joki di kalangan perguruan tinggi merupakan contoh yang jelas. Hamba Tuhan ingin cepat dikenal. Caranya? Meniru gaya pengkhotbah besar tertentu. Gejala mumpungisme merajalela, di mana orang mengeruk keuntungan sebesar-besarnya tanpa menjunjung tinggi unsur fairness dalam berusaha. Sebenarnya, mentalitas suka menerabas ini berdampak pada daya saing. Pemberian monopoli dan proteksi tanpa batas yang jelas kepada pihak swasta melemahkan daya saing produk yang lemah. Gula Indonesia, contohnya, dibandingkan dengan negara produsen gula di ASEAN yakni Filipina, Thailand dan Malaysia, sudah mutunya jelek, harganya lebih mahal.962 Mentalitas suka menerabas juga memberi peluang munculnya OKB (Orang Kaya Baru). Dengan modal kecil mereka berhasil mendapat kepercayaan yang amat besar dari bank-bank pemerintah.963 Akhirnya, muncul sifat tak disiplin atau hanya disiplin kalau ada yang mengawasi. Kalau tak ada pengawasan, peraturan dilanggar seenaknya. Orang menaati rambu lalu lintas karena ada polisi yang menjaga. Kalau tak ada polisi, jalan saja.

Sifat inisiatif tidak berkembang, karena amat tergantung pada atasan. Barangkali ini ada kaitannya dengan warisan zaman kolonial. Orang Indonesia pada waktu itu selalu merasa kurang mampu sewaktu membandingkan diri dengan penjajah kulit putih. Kemudian teori-teori antropologi dan kebudayaan Timur juga dimulai dan dikembangkan oleh orang Barat, sehingga kita begitu bergantung pada teori-teori asing tentang identitas bangsa kita sendiri. Padahal belum tentu itu benar. Singkatnya, kita berada pada posisi minder terhadap budaya Barat. Sampai sekarang rasa tidak mampu itu tetap melekat pada diri kita. Kita masih lebih percaya pada manajer asing kulit putih daripada orang kita sendiri yang kemampuan manajerialnya tidak kalah. Sifat inisiatif yang positif tidak berkembang dalam suatu budaya priyayi yang selalu meminta doa restu ataupun mohon petunjuk, sekalipun kegiatan itu sudah terprogram. Dahulu dalam kasus kredit macet di Bapindo oleh Golden Key Group, jalan keluar untuk mengatasi collapse dari Bapindo dipakai bantuan tenaga asing dari Citibank, yang sebenarnya kompetensi serupa sudah kita miliki. Namun kekurangan orang kita, tidak berani berkata "Tidak!" sedangkan orang asing bisa dan berani berkata demikian.

Sifat tidak bertanggung jawab terlihat bila hasil pekerjaan jelek atau ada problem, dengan mudah kambing hitam dicari-cari. Di Jepang, seorang menteri perhubungan bisa mundur dari jabatannya hanya karena kecelakaan lalu lintas. Begitu besar rasa tanggung jawab orang Jepang, sehingga layaklah dari mereka lahir apa yang kemudian dikenal dengan Total Quality Control dalam sistem produksi. Sifat tak mau bertanggung jawab ini juga nampak dalam perjanjian-perjanjian ekonomi. Orang mudah berkelit, atau lebih jelek lagi, seolah-olah tidak pernah ada perjanjian. Begitu beraninya orang berutang cuma karena ingin memiliki secara cepat sesuatu yang sebenarnya tidak urgen.

Jadi, westernisasi tidak sama dengan penggunaan unsur-unsur budaya Barat. Kita bisa mengambil cara berpakaian, sistem persekolahan, sistem administrasi penyelenggaraan negara, teknologi yang modern, tanpa kita harus kehilangan identitas sebagai orang Timur. Modernisasi tidak identik dengan westernisasi. Namun untuk menjadi bangsa yang betul-betul modern, tidak cukup cuma memakai unsur-unsur budaya Barat. Kita juga harus memiliki mentalitas Barat yang positif supaya bisa mengikuti laju modernisasi yang sangat pesat. Kalau bisa, mentalitas kita Barat, tapi hati kita Timur. Sampai sekarang ini kita tertinggal jauh dari bangsa Jepang yang porak poranda pada Perang Dunia II. Salah satu kendala besar adalah soal mentalitas. Kita tidak memiliki mentalitas modern untuk mengiringi modernisasi, cuma sikap kebarat-baratan yang diambil. Maka akhirnya modernisasi hanya peniruan apa yang telah Barat capai. Kita sendiri belum sampai berani berinovasi dan menggugat dominasi intelektualisme Barat.

Sebuah pertanyaan lagi, apakah perjumpaan Barat dan Timur ini tidak membahayakan identitas nasional? Kita sering bicara tentang kebudayaan nasional yang pada dasarnya bukan sekadar penjumlahan dari kebudayaan-kebudayaan daerah yang ada, melainkan sebagai kebudayaan yang nilai-nilai pokoknya diacu oleh seluruh warga negara Indonesia. Maka kebudayaan nasional juga disebut sebagai "puncak-puncak kebudayaan daerah," artinya kebudayaan nasional merupakan unsur-unsur kebudayaan daerah yang sudah bisa diterima oleh suku bangsa lain, selain dari suku bangsa yang menghasilkannya. Dengan demikian, kebudayaan nasional adalah kebudayaan baru yang nilai-nilai pokoknya diacu secara bersama oleh seluruh warga negara Indonesia. Kebudayaan nasional penting supaya warga Indonesia tidak kehilangan "akar" kebudayaan, terlebih dalam era globalisasi. Globalisasi melalui jaringan telekomunikasi modern telah menyebabkan perubahan sosial budaya yang cepat dan mendalam, yang pada gilirannya menimbulkan disintegrasi kebudayaan (disorientasi kultural). Namun kebudayaan nasional tidak bisa menarik diri dari pergaulan dengan budaya global. Mau tidak mau kebudayaan kita bersentuhan dengan budaya-budaya asing lainnya. Kalau terjadi hal ini, kebudayaan nasional tidak cukup hanya menerima, melainkan harus transformatif dengan tetap memperhatikan akar-akar kebudayaan sendiri.



TIP #26: Perkuat kehidupan spiritual harian Anda dengan Bacaan Alkitab Harian. [SEMUA]
dibuat dalam 0.21 detik
dipersembahkan oleh YLSA