Resource > Jurnal Pelita Zaman >  Volume 1 No. 1 Tahun 1986 >  SUATU SOROTAN TERHADAP TEOLOGI MODERN > 
III. PENGARUH MODERNISME DALAM TEOLOGIA 

Pengaruh filsafat dan cara berpikir manusia modern terasa sekali dalam bidang teologia. Khususnya pandangan naturalisme sangat mempengaruhi teolog-teolog modern, sehingga hal-hal dan ajaran-ajaran yang bersifat supra natural diubahkan begitu rupa supaya lebih bisa diterima oleh telinga orang modern. Sebetulnya banyak sekali aliran yang bisa dikategorikan teologia modern dengan tekanannya masing-masing, namun kesemuanya itu mempunyai beberapa persamaan baik di dalam presuposisi maupun di dalam beberapa doktrin utama yang mau diubahkan.

1. Evolusi

Kebanyakan teolog modern menerima evolusi menjadi 'World View'4 mereka. Sehingga tidak heran terjadi pertentangan yang tajam antara teolog Injili dan Liberal dalam hal ini. Pertentangan ini menjadi populer di barat dengan adanya dua kasus yang dipublikasikan secara luas, yaitu perdebatan antara Samuel Wilberforce dengan T.H Huxley pada tahun 1860 di Inggris, dan di Amerika karena kasus pengadilan Scopes, yaitu seorang guru yang mengajarkan evolusi dalam kelasnya. Teolog modern menerapkan filsafat evolusi dalam agama, antara lain mengatakan bahwa bentuk penyembahan (agama) merupakan proses dari cara penyembahan yang paling primitif (animisme), setelah melalui suatu perbaikan demi perbaikan akhirnya menjadi bentuk monotheisme kekristenan yang lebih bisa diterima oleh akal sehat. Juga terjadinya Alkitab melalui proses penyempurnaan oleh Bapa-bapa gereja sehingga menjadi kanon seperti yang kita punya sekarang, dengan demikian konsep penyataan dan pengilhaman menjadi kabur. Sebetulnya manusia sekarang banyak sekali yang terlalu cepat menelan evolusi sebagai ilmu yang absah, kami tidak akan membahas kelemahan-kelemahan evolusi dalam artikel ini, tetapi cukup kami katakan bahwa evolusi lebih tepat disebut sebagai filsafat daripada sebagai sains. Bapa Dr. Stanley Heath ada mengupas masalah ini dalam bagian wawancara daripada jurnal ini.

2 Meragukan Alkitab

Sejak abad 19, di kalangan Liberal muncul metode Kritik Sastra Tinggi (Higher Criticism) yang sampai sekarang menjadi salah satu ciri khas utama teologia modern. Metode ini dikembangkan berdasarkan presuposisi bahwa Alkitab adalah buku biasa yang mempunyai nilai karena mencatat banyak kesaksian atau pengalaman orang-orang suci Zaman dahulu, sehingga bisa menjadi keteladanan bagi kita. Namun data-data dalam Alkitab banyak sekali yang salah, karena itu Kritik Sastra Tinggi mencoba mencari siapa penulis-penulis Alkitab yang sesungguhnya, tanggal penulisan, komposisi dan sebagainya. Misalnya Pentateukh dikatakan tidak ditulis oleh Musa; Yesaya ditulis oleh beberapa orang, dalam Perjanjian Baru banyak perkataan atau ajaran yang sebetulnya tidak ajarkan oleh Yesus sendiri. Hal ini tentu saja meniadakan konsep pengilhaman oleh Allah terhadap para penulis Alkitab, sehingga kebenaran yang mereka tuliskan tidak mungkin salah, yang jelas sekali diajarkan dalam Alkitab (misalnya: II Tim. 3:16; I Pet. 1:21 dan sebagainya). Salah satu masalah utama di kalangan Barthianisme atau Neo Ortodoks adalah penerimaan mereka terhadap metode Kritik Sastra Tinggi, sehingga ada usaha untuk memulihkan beberapa doktrin fundamental dari kekristenan, tetapi dasarnya labil sekali, karena banyak data-data dalam Alkitab mereka sendiri tidak mempercayai kebenarannya.

3. Kristologi

Selaras dengan pandangan mereka yang tidak mempercayai hal-hal yang supranatural, maka kepercayaan ortodoks tentang Kristus yang berbau supranatural dibuang oleh mereka. Hal kelahiran Yesus dari anak dara, dwi - sifat Yesus sebagai manusia dan Allah, kebangkitan tubuh, juga mujizat-mujizat yang pernah dilakukan Yesus disangkalinya. Dengan demikian Yesus hanya menjadi teladan yang patut diikuti oleh manusia. Seorang tokoh liberal Adolf Van Harnack dalam bukunya "What is Christianity" yang terbit dalam bahasa Inggris pada tahun 1901, mengatakan bahwa Kristus bukan anak Allah yang berinkarnasi mati bagi dosa dunia, melainkan Dia adalah satu-satunya yang di dalam kehidupan kerohanian dan kesalehan-Nya menunjukkan kepada kita apa artinya menjadi anak Allah, dikatakan bahwa doktrin Kristologi yang dianut para teolog konservatif adalah penyimpangan yang terjadi belakangan. Sebetulnya kalau kita mengamati teologia modern ada suatu kontradiksi di dalam Kristologi mereka. Di satu segi mereka tidak mempercayai Yesus sebagai anak Allah, hal ini konsisten dengan presuposisi naturalisme mereka, tetapi di lain segi mereka juga tidak berani membuang Yesus sama sekali dari iman kepercayaan Kristen. Sebetulnya kesaksian dalam Alkitab jelas sekali, bahwa Yesus dan supranatural terkait menjadi satu. Di dalam logika yang sederhana, Paulus mengatakan kalau Yesus tidak bangkit maka - sia-sialah kepercayaan kita (I Kor. 15:17). Kaum modenisme (termasuk neo ortodoks!) kalau mau konsisten harus memilih apakah mereka menerima Yesus dengan kesaksian-kesaksian Alkitab tentang supranatural yang terkait dengan dirinya atau tidak sama sekali!

Justru di sinilah masalahnya, sering kali orang awam agak tertipu atau tidak sadar karena teolog modern memakai terminologi yang sama dengan kaum Injili, misalnya Pengakuan Iman Rasuli, tetapi sebetulnya yang mereka maksudkan di balik terminologi tersebut adalah sesuatu yang jauh berbeda dan bahkan sulit dikatakan apakah itu kepercayaan Kristen atau bukan.

4. Doktrin Allah

Allah yang dahulu transenden, sebagai Allah yang maha tinggi dan melampaui manusia, sekarang makin lama makin turun dan makin diidentikkan dengan manusia dan alam sekitarnya (imanen). Pada abad ke 19 dan awal abad 20 konsep Allah yang terkenal di kalangan liberal adalah pentheisme - Allah adalah segala sesuatu. Tetapi belakangan ini muncul konsep yang lebih baru yaitu panentheisme - Allah ada di dalam segala sesuatu. Tillich menyebutkan Allah sebagai 'being if self' (ada/keberadaan itu sendiri). Allah tidak perlu diperdebatkan ada atau tidak, karena Ia adalah keberadaan itu sendiri, manusia tidak usah mencari Allah di luar, tetapi dengan melihat kepada ke dalamnya sendiri, ia tahu bahwa dasar dari keberadaannya yang terdalam adalah Allah yang disebut 'ground of being'. Sebetulnya Allah yang digambarkan mereka bukan lagi merupakan obyek yang terpisah dari manusia, di mana kita bisa berdoa dan memohon kepada-Nya. Jauh sebelum kita, Feuerbach pernah mengritik orang Kristen yang dikatakan sebagai proyeksi manusia semata-mata, Schaeffer mengemukakan pilihan bagi orang Kristen, personal God (Allah Kaum Injili) atau 'devilish Din' (konsep Allah modernisme).5

5. Eskatologi

Di dalam eskatologi, pandangan tradisional tentang akhir Zaman, Yesus yang datang kedua kali sebagai Hakim tertinggi, kemudian mendirikan kerajaan baru, semuanya ditolak. Konsep kerajaan Allah yang akan datang diubah dan diartikan sebagai kerajaan Allah yang harus diwujudkan dalam dunia dan kehidupan sekarang ini. Orang Kristen harus menjadi rekan kerja Allah yaitu dengan memperjuangkan keadilan sosial, merombak tekanan struktur yang senantiasa merugikan orang miskin. Semua tema-tema atau istilah-istilah eskatologi dianggap sebagai simbol untuk menggambarkan situasi sekarang. Pandangan ini kita lihat dalam aliran Injil sosial dan yang lebih belakang ini yaitu Teologia Pembebasan. Sebetulnya pandangan bahwa orang Kristen perlu ambil bagian dalam memperjuangkan keadilan sosial itu sendiri tidak salah, tetapi kalau eskatologi sepenuhnya diartikan sebagai simbol yang menggambarkan situasi sekarang maka ini menyempitkan pengertian eskatologi itu sendiri. Di dalam konsep Alkitab, kita berjuang untuk meningkatkan kehidupan manusia sekarang, dengan menjadi garam dan terang, tetapi itu hanya suatu 'fore taste', di mana penggenapan daripada janji Allah itu akan terjadi pada waktu Yesus datang ke-2 kali nanti.

Kalau kelima point di atas kita telusuri kembali, maka jelas sekali bahwa akar daripada modifikasi doktrin kekristenan yang bersejarah itu terletak pada penolakan mereka akan supranatural. Iman masih ada tetapi samar-samar dan tidak diketahui. Pada Zaman sekarang banyak orang melihat ketidakkonsistenan modernisme, itulah juga sebabnya liberalisme yang pada abad 19 begitu populer sekarang tidak digemari. Di dalam kegagalan liberalisme tersebut, mereka hanya mempunyai dua alternatif, yaitu kembali kepada kekristenan yang bersejarah yang didasarkan pada Alkitab atau membuangnya sama sekali dan mengarah ke nihilisme (misal: Death of God Theology), tetapi rupanya ada alternatif ke tiga yang dipilih oleh modernisme, yaitu 'leap of faith'. Sekalipun mereka tidak mempercayai yang supranatural tidak apa, data-data dalam Alkitab mereka katakan salah juga tidak apa, karena iman mereka melebihi itu, meloncat kepada sesuatu yang sebetulnya mereka sendiri tidak ketahui, tidak bisa dikomunikasikan. Dengan demikian teologia menjadi anti teologia, sistim ini tidak bisa diverifikasikan, hanya bisa dipercayai. Pandangan ini menjadikan kepribadian manusia terpecah sebagaimana yang digambarkan oleh Schaeffer.6

Optimis buta terhadap makna hidup, didasarkan pada lompatan iman yang non-rasional. Rasional dan logis yang tidak memberi makna. Namun justru usaha ini adalah 'despair beyond despair' (suatu usaha keputusasaan yang dibangun di atas keputusasaan yang lain). Karena dengan pandangan modernisme ini, manusia tidak punya konsep kebenaran yang menyatu, individu bahkan tidak bisa berkomunikasi dengan dirinya sendiri, padahal salah satu sifat hakiki manusia adalah mahkluk rasional. Dan akhirnya mereka jatuh kepada yang disebut 'modern mysticism'.



TIP #25: Tekan Tombol pada halaman Studi Kamus untuk melihat bahan lain berbahasa inggris. [SEMUA]
dibuat dalam 0.03 detik
dipersembahkan oleh YLSA