Resource > Jurnal Pelita Zaman >  Volume 2 No. 1 Tahun 1987 > 
ETIKA INJILI DI TENGAH RELATIVISME 

Pengantar:

Ibu Pdt. Dorothy I Marx adalah seorang Hamba Tuhan keturunan Yahudi yang berasal dari Jerman. Beliau pertama kali melayani di Indonesia pada tanggal 7 Januari 1957 sebagai utusan Injil di bawah naungan OMF. Sejak itu beliau dengan setia melayani di Indonesia. Pada tahun 1965 ditahbis menjadi Pdt. GKI, disamping itu beliau banyak bergerak di kalangan mahasiswa dan mengajar di perguruan tinggi antara lain: di UK Maranatha, ITB, IKIP Bandung dan juga menulis buku-buku bacaan rohani antara lain: Di dalam bidang Etika dengan judul "ITU KAN BOLEH?". Pada tahun 1983 beliau mengambil study lanjutan Theologia di Universitas Tubingen Jerman Barat. Satu hal yang patut di catat sebagai pengungkapan bebannya bagi orang Indonesia yaitu pada tahun 1983 beliau sudah secara resmi menjadi Warga Negara Indonesia. Kali ini redaksi Jurnal Pelita Zaman memperoleh kesempatan untuk mewawancarai beliau, yang dilakukan melalui kontak pribadi pada bulan Agustus 1986 di Jakarta oleh Ev. Lily L. Efferin. Kemudian dilanjutkan dengan surat-menyurat, dan bentuk akhir dari pada wawancara ini direkam oleh Ibu Pdt. Dorothy I. Marx sendiri dan dikirimkan langsung dari Jerman.PZ: Belakangan ini ada beberapa buku yang membahas mengenai 'Etika Injili' (Evangelical Ethic). Sebetulnya apa yang dimaksud dengan Etika Injili itu sendiri, maksudnya apakah ada arti atau perbedaan khusus dengan Etika Kristen yang sudah lazim?DM: Tentang pertanyaan mengenai Etika Injili (Evangelical Ethic), terlebih dahulu kita perlu menjelaskan istilah Etika dan juga istilah Injili. Etika adalah suatu ilmu pengetahuan yang membahas tentang moral, nilai-nilai dalam masyarakat, kebiasaan-kebiasaan, tingkah laku, dan motivasi-motivasi yang menggerakkan tingkah laku kita tersebut. Mengenai istilah Injili sebenarnya saya lebih suka kalau kita mendasarkan segala pemikiran etis kita pada Etika Kristen dan bukan pada Etika Injili. Oleh karena seakan-akan Etika Injili itu dimaksud untuk mempunyai suatu nilai yang lebih tinggi dari pada Etika Kristen, dan dalam hal ini saya tidak setuju. Etika Kristen adalah etika yang berasal dari Injil Kristus dan kalau dari Injil Kristus, maka latar belakangnya adalah Perjanjian Lama dan Firman Tuhan yang Tuhan Yesus ketahui, pelajari, praktekkan dan ajarkan. Dapat kita simpulkan bahwa Etika Kristen adalah etika yang berdasarkan Alkitab, etika yang berdasarkan seluruh Firman Allah yang terkandung di dalam Alkitab. Maka kalau kita sekali lagi membedakan antara Etika Kristen dan Etika Injili dan menginginkan untuk lebih menitikberatkan pada Etika Injili, maka saya menarik kesimpulan seakan-akan etika yang mau diajarkan hanya berdasarkan perjanjian Baru dengan tidak mempertimbangkan seluruh latar belakang Perjanjian Lama dan hal itu saya anggap salah. Saya lebih suka kalau kita memegang istilah Etika Kristen. Karena kita mengetahui adanya banyak cabang etika. Misalnya Etika Sosial, Etika Medis, Etika Politis, Etika Pribadi, Etika dalam Masyarakat, Etika Pancasila dan lain-lain. Maka Etika Kristen, atau sebagaimana saudara ingin mengatakannya Etika Injili dan sekali lagi saya tekankan, saya ingin memakai istilah Etika Kristen, seluruh cabang-cabang etik ini di mana kita membutuhkan norma dan nilai tingkah laku dan cara-cara berpikir dan bertindak yang sesuai dengan kehendak Allah. Itu berarti bahwa seluruh pemikiran kita berdasarkan den bertitik tolak pada Firman Allah. Izinkanlah saya menambahkan sesuatu tentang istilah Injili. Karena belakangan ini saya melihat perbedaan yang dimaksudkan, misalnya antara gereja Kristen atau gereja Injili, dan di sini ada 3 (tiga) hal yang saya ingin tekankan. Kalau kita menginginkan perbedaan Injili untuk menitikberatkan pada pusat Injil (mengabarkan tentang Tuhan Yesus Kristus yang datang ke dunia untuk menghapuskan dosa, untuk mati bagi umat manusia dan bangkit pula, agar kita dapat diampuni dan dapat menerima anugerah Allah, dapat lahir baru, menjadi manusia baru) tentu saya akui semuanya itu dan saya setujui dengan segenap hati. Terkadang istilah Injili itu juga di pakai karena adanya kekuatiran, yaitu dalam banyak gereja titik beratnya bukan lagi pada hal-hal yang tadi saya sebutkan. Tetapi titik beratnya sudah digeser pada hal-hal lain, sehingga yang diutamakan adalah masalah masalah politik, masalah ekonomi, masalah sosial dan sebagainya. Dan Injil sendiri tidak lagi dianggap penting dan pemberitaan Injil di mana orang disuruh untuk bertobat tidak lagi dipentingkan. Hal ini jelas tidak benar. Tetapi di pihak lain adanya kemungkinan bahwa tekanan injili yang kurang tepat dalam gereja-gereja. Misalnya kita terlalu menjadi individualistis dan tidak lagi melihat posisi kita di dalam tubuh Kristus, sehingga kita mengasingkan diri dari gereja atau masyarakat dan menjadi kelompok eksklusif. Dalam hal ini jelas saya tidak setuju. Karena Tuhan Yesus yang menempatkan kita di dunia, di masyarakat, di dalam bangsa masing-masing, juga memberikan kita tanggung jawab sepenuhnya terhadap negara dimana kita boleh tinggal di dalamnya dan terhadap masyarakat sekeliling, terhadap masyarakat umum, terhadap segala masalah-masalah yang berkenaan dengan masalah masyarakat, politik dan sebagainya. Itu tidak berarti bahwa kita melalaikan Injil, tetapi hal itu berarti bahwa kita menjadi manusia yang sungguh-sungguh bertanggung jawab dalam keseluruhannya. Kita sebagai musafir di dunia. Tetapi oleh Tuhan kita di tempatkan di sini untuk menjadi wakil-wakilnya dalam segala aspek dan situasi yang kita temui dalam masyarakat dan dalam dunia pada zaman di mana kita hidup sekarang ini.

PZ: Ada orang Kristen yang menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan yang baik. Ada orang Kristen lain yang begitu ketat dalam perilaku kehidupannya, sehingga gaya hidup Kristen selalu diidentikkan dengan tidak merokok, menonton, berdansa dan sebagainya. Bagaimana pandangan Ibu dalam hal ini?

DM: Saya ingin menekankan pada bagian pertama mengenai menghalalkan segala cara. Dalam hal ini perlu kita mengerti apa artinya tujuan baik. Karena istilah baik itu sendiri dapat dijelaskan dengan macam-macam nilai. Misalnya kalau saya di tolong oleh seseorang, karena saya menyogok dia, maka dia menolong saya. Mungkin saya pulang ke rumah, saya bilang orang itu baik sekali, dia menolong saya. Saya memberi nilai baik, tapi siapa yang menentukan nilai baik?. Lebih baik dalam hal ini kita mendengarkan ayat Firman Allah yang saya ambil dari Amsal 28:4. Yaitu: "Orang yang mengabaikan hukum memuji orang fasik, tetapi orang yang berpegang pada hukum menentangnya". Saya sangat suka dengan ayat ini, karena di sini membahas - tentang nilai baik. Orang yang mengabaikan hukum memuji orang fasik, sebagaimana seakan-akan orang fasik itu orang-orang baik, tetapi yang memuji orang-orang itu adalah orang-orang yang telah meninggalkan atau di sini dikatakan mengabaikan hukum. Bagian kedua dari ayatnya, "tapi orang yang berpegang pada hukum menentang orang-orang fasik". Nilai, baik itu diambil dari hukum atau sebagaimana pertanyaan pertama sudah kita tekankan bahwa nilai baik itu diambil dan berdasarkan Firman Allah. Jadi kalau kita memberi nilai secara relatif, Firman Allah yang memberikan nilai baik secara absolut. Kalau kita melakukan sesuatu atau menginginkan sesuatu dan akhirnya tujuannya baik dan kita merasa demi tujuan yang baik ini boleh kita jalankan segala macam, maka kita sungguh melanggar. Karena yang baik itu, baik dalam keseluruhannya dan baik itu bukan hanya tujuan akhir, tetapi juga cara mencapainya. Tuhan tidak membutuhkan bantuan dari pihak kegelapan, kalau kita ingin melakukan sesuatu bagi Tuhan yang baik di dalam terang. Kita tidak perlu terlebih dahulu minta tolong kepada iblis atau pihak kegelapan untuk mencapai tujuan yang baik ini, karena Tuhan Yesus pernah mengatakan bahwa kalau iblis memerangi iblis maka rumahnya pasti akan jatuh. Maka terang itu terang, dan gelap itu gelap, dan keduanya tidak dapat dicampurkan. Kalau kita boleh memakai segala jalan untuk mencapai tujuan yang baik, maka kita sampai pada suatu etik: BDB, LDL, MDM, JDC, dan SDS.

BDB: adalah Bohong Demi Bisnis, jelas tidak mungkin.

LDL: adalah Licin Demi Lancar atau Melicinkan Demi Melancarkan, saya kira jelas maksudnya.

MDM: adalah Magik Demi Maju, semua tujuannya baik; tetapi jalannya tanda tanya.

JDC: adalah Jimat Demi Cinta.

SDS: adalah Senyum Demi Solider.

Kalau kita melihat kompromi-kompromi semuanya ini, saya kira saya tidak perlu banyak memberikan penjelasan, tapi ini semuanya tidak di dalam terang. Kristus mengajar kita untuk meninggalkan segala sesuatu yang gelap dan berjalan pada jalan terang, pada jalan kebenaran, pada jalan kejujuran, pada jalan ketulusan dan betul-betul mengikuti Plan Tuhan Yesus. Tuhan Yesus tidak pernah melakukan sesuatu yang tujuannya baik, tetapi caranya tidak baik. Maka kitapun tidak boleh melakukan hal itu. Tapi pasti akan timbul pertanyaan-pertanyaan misalnya: Bagaimana kalau saya dengan bohong dapat menolong seseorang, kalau saya jujur dan kalau saya benar, maka saya mungkin akan mengakibatkan sesuatu yang buruk bagi dia. Saudara tidak perlu memberitahukan segala sesuatu bagi seseorang, tetapi tetap prinsipnya berlaku. Tidak perlu saya membohongi seseorang untuk mengatakan sesuatu yang baik. Misalnya kalau saya ditanya di Rumah Sakit oleh seorang pasien: apa pasti saya akan mati, apa saya pasti akan bagaimana, apa penyakit saya sudah, tidak tertolong?. Saya kira dalam hal ini boleh saya senantiasa mengajak dia memandang Tuhan, yang selalu memegang kehidupan kita dalam tanganNya. Saya tidak perlu untuk berbohong dan mengatakan oh tidak, mungkin engkau akan mati, karena ini tidak akan menolong dia. Tetapi saya perlu mengatakan kepadanya bahwa tidak ada diantara seseorang yang tahu pasti kapan dia meninggal dunia. Sebaliknya kita semua siap dengan sudah hidup di dalam Tuhan dan sudah mengetahui bahwa dosa-dosa kita diampuni oleh karena darah Kristus. Namun jika kadang-kadang kita berbuat salah untuk menolong seseorang, misalnya kalau kita mau menolong seseorang yang dikejar orang gila atau dikejar-kejar dalam situasi perang, di mana orang-orang yang tidak bersalah juga dibunuh dan hal-hal seperti itu. Lalu kita hanya ada dua pilihan. Kalau kita memberitahu 'Ya' orang itu ada pada saya, maka kita menyerahkan orang itu untuk dibunuh, atau kalau kita katakan saya tidak tahu orang itu ada di mana, maka saya tidak memberitahukan kebenaran. Jika saya mengambil jalan kedua ini dan saya tidak benar demi menolong orang itu, hal ini bagaimanapun tidak menjadi benar atau tidak menjadi baik karena bohong tidak bisa menjadi baik dan tidak dapat menjadi benar. Namun demikian saya barangkali harus memutuskan sesuatu hal di antara dua yang dua-duanya jelek. Mungkin saya memilih satu dari keduanya itu, yang lebih baik dari pada yang satu lagi. Dan dengan demikian mengambil suatu keputusan etis dengan mempertimbangkan nilai-nilai abadi, tapi saya harus tahu bahwa saya tidak berbuat sesuatu yang baik dan saya tidak berbuat sesuatu yang benar.

Bagian kedua dari nomor dua ini yang menanyakan masalah orang Kristen, apakah Kristen itu boleh diidentikkan dengan tidak merokok, menonton, berdansa dan sebagainya, maka bagaimana, caranya kita harus menjawab pertanyaan ini. Barangkali saya akan memberi contoh dari pada seorang pendeta yang pernah ditanya seorang yang bertobat di dalam gerejanya. Anak itu seorang penggemar berdansa, lalu dia datang kepada pendeta itu, dan dia bertanya kepada beliau. Apa saya boleh berdansa atau tidak, sekarang saya mau ikut Tuhan Yesus dan sudah percaya kepadaNya. Maka pak pendeta itu dengan bijaksana menjawab anak itu seperti berikut: Jika kamu dengan berdansa bisa lebih mengasihi Tuhan Yesus, berdansalah, jika dengan tidak berdansa lebih mengasihi Tuhan Yesus, janganlah berdansa. Jadi masalahnya itu diambil bukan dari sudut persoalannya, misalnya rokok atau dansa atau menonton dan sebagainya, bukan itu 'an sich' yang di nilai, tapi semuanya ini di nilai dalam hubungannya dengan Tuhan. Apa yang kita lakukan, yang menolong kita untuk lebih dekat dengan Dia itulah yang kita lakukan. Apa yang justru menghalangi kita untuk lebih dekat dengan Dia untuk lebih mengasihi Dia dan mengikuti Dia dengan sepenuhnya, semuanya itu kita lepaskan.PZ: Di dalam buku Brownlee 'Pengambilan Keputusan Etis' ada dibahas tentang tiga jalan atau aliran etika, yaitu Etika Akibat (Tujuan, teleologis), Etika Kewajiban dan Etika Tanggung Jawab. Nampaknya beliau lebih cenderung kepada Etika Tanggung Jawab, atau mencoba merangkum ketiganya yang di gambarkan seperti pengemudi mobil yang harus mengambil keputusan-keputusan dengan cepat. Tindakannya tidak dapat dimengerti hanya dengan melihat tujuannya atau hanya dengan melihat peraturan lalu lintas tertentu, melainkan sebagai jawaban dan tanggapan terhadap kendaraan-kendaraan lain, atau kalau ada anak di tengah jalan dan sebagainya (h. 38). Bagaimana pandangan Ibu tentang ini, apakah sedikit banyak tidak ada unsur relatif didalamnya?

DM: Mengenai buku Brownlee 'Pengambilan Keputusan Etis' saya mengatakan, saya tidak tahu; buku itu, maka halaman 38 pun saya tidak ketahui juga, dan saya akan menjawab sebagaimana saya berpikir dan tidak berdasarkan buku beliau itu. Yang pertama mengenai Etika Akibat (Tujuan, teleologis), artinya saya melakukan sesuatu yang baik tetapi motivasi saya tidak baik. Saya ingin mencapai suatu tujuan yang mungkin bersifat egoistis, materialistis, pokoknya saya berbuat yang baik demi tujuan yang tidak murni. Maka ini adalah etika yang jelas nilainya bukan yang tinggi. Kalau kita kembali pada penjelasan etis, yang pertama kita tekankan pada suatu perbuatan etis ialah motivasinya harus baik dan murni. Sedangkan kalau motivasi kita adalah kurang baik dan Salah atau duniawi demi kita melakukan yang sangat baik, maka kita sudah beralih kepada masalah-masalah dunia. Kalau boleh saya katakan di sini bahwa tiga hal yang perlu kita ketahui jika kita membicarakan soal duniawi. Pertama dunia itu selalu mementingkan apa yang menguntungkan dan apa yang menyenangkan dari pada yang baik atau yang benar. Jadi kalau saya berbuat sesuatu yang baik demi keuntungan pribadi saya, maka saya sekarang mencari keuntungan dan keuntungan itu sebagai nilai utama. Saya sudah berbuat sesuatu yang sifatnya duniawi. Yang ke dua, dunia selalu mengutamakan apa yang saya bisa dapatkan dari pada apa yang saya berikan. Etika akibat senantiasa untuk mendapatkan sesuatu, yang sekali lagi sudah ke arah dunia. Yang ke tiga tentang duniawi itu, adalah untuk memperoleh sebanyak mungkin, tetapi dengan usaha sesedikit mungkin. Bukan masalah efisiensi yang dibicarakan disini, tetapi sekali lagi soal keuntungan, keenakan dan sebagainya, namun ingin mengambil sebanyak-banyaknya. Seperti kita memberikan beberapa rupiah untuk loto atau lotre tapi kita mengambil ribuan, itu adalah jelas bukan Kristen, tetapi duniawi. Jadi di dalam hal ini kita perlu pikirkan bahwa etika itu selalu mempunyai akibat yang baik, tidak usah lagi disebut demikian. Tapi kalau kita memakai istilah etika akibat atau etika tujuan, namun mempunyai tujuan yang kurang baik, maka adalah kontradiksi dan etika akibat itu jelas kita tidak setuju. Ada yang mengatakan dalam perjanjian lama seluruh buku-buku hikmat, misalnya: Amsal Salomo itu adalah etika akibat atau hikmat duniawi. Kita berbuat yang baik demi untuk memperoleh segala sesuatu yang baik dari Tuhan dan hidup sejahtera dan sebagainya. Pendapat itu adalah keliru dan kita tidak dapat menerimanya. Jika kita memikirkan mengenai etika kewajiban, maka perlu kita bertanya siapa yang memberikan kewajiban itu. Di sinipun kita dapat melihat batas-batas yang diberikan, seperti orang Farisi bertanya: Saya harus mengasihi siapa, sampai di mana saya boleh mengambil batas-batas, di mana saya boleh tidak mengasihi lagi, mana batasnya saya harus mengasihi dan sebagainya. Kewajiban itu selalu bersifat relatif, oleh karena manusia yang memberikan kewajiban. Tetapi kalau Tuhan yang mewajibkan, maka kita tidak mempunyai standard yang sama, karena Tuhan Yesus pernah mengatakan: Bilamana kamu harus pergi satu mil dengan seseorang untuk mengangkat barangnya, maka pergilah dua mil dengan dia. Maka kita tahu bahwa di dalam Kristus itu standar-standar duniawi jauh dilampaui karena bukan soal apa yang wajib yang menjadi norma dan nilai buat saya, melakukan apa yang benar dihadapan Allah, yang merupakan perbuatan kasih. Tuhan Yesus menilai segala sesuatu dengan kasih dan kasih itu sifatnya atau ciri khasnya adalah pengorbanan. Maka kalau saya menjawab tentang etika kewajiban, ya, memang betul etika kewajiban kita setujui. Tetapi apa artinya kewajiban? siapa yang memberi kewajiban itu? dan apa maksudnya saya harus bertindak hanya di dalam rangka kewajiban? atau saya dihadapan Allah harus melampaui kewajiban yang ada karena kasih. Sekali lagi kasih itu melebihi batas-batas yang diberikan oleh manusia dan standar-standar kita adalah kasih Kristus yang mengorbankan dirinya sendiri untuk kita semua. Etika Tanggung Jawab, setiap sifat etik dengan sendirinya sudah merupakan etika yang bertanggung jawab karena saya manusia bermoral. Tuhan sudah menempatkan saya dalam suatu alam yang bermoral, menciptakan saya sebagai suatu makhluk bermoral. Tuhan memberi kepada kita tanggung jawab dan adalah tanggung jawab kita untuk menjawab tanggungan yang Tuhan berikan. Itupun sudah saya singgung dalam bagian B yang tadi. Kalau saya bertanggung jawab kepada Tuhan, maka tindakan-tindakan saya semua diambil dengan mempertimbangkan standar-standar, perintah dan hukumnya. Seluruh kehidupan kita bertanggung jawab. Maka Etika Tanggung Jawab adalah kehidupan yang normal. Dalam segala hal kita bertanggung jawab karena tidak ada barang apapun yang boleh kita lakukan di luar rasa tanggung jawab. Sebagai milik Kristus kita bertanggung jawab di dunia ini bukan hanya atas diri saya sendiri, tetapi juga atas saudara saya atas masyarakat dan sebagainya. Saya bertanggung jawab, maka dengan sendirinya Etika Tanggung. Jawab ini adalah etika yang kita pegang. Yang jelas bahwa kita tidak menyetujui unsur-unsur relatif di dalam etik, baik itu etika yang sifatnya kewajiban atau etika yang sifatnya akibat atau etika yang sifatnya tujuan itu. Semua itu adalah relativisme, dan tanggung jawab itu melepaskan kita dari pada relativisme. Jika tanggung jawab itu adalah tanggung jawab yang kita terima dari Allah dan jawaban yang kita berikan kepada yang menanggungkannya itu adalah jawaban kita kepada Tuhan, maka sekali lagi dalam hal ini kita bertindak dengan dasar nilai yang mutlak yang sudah dibahas tadi.

PZ: Apakah Ibu setuju dengan Etika Situasi dari Joseph Fletcher bahwa tidak ada norma yang mutlak untuk kehidupan moral. Nilai kehidupan yang tertinggi ialah kasih, yang merupakan pertimbangan utama dalam setiap tindakan, sehingga pertimbangan-pertimbangan lain benar dan salah bisa sekunder. Do You Agree? if not why?DM: Mengenai Etika Situasi dari Joseph Fletcher yang norma-normanya tidak mutlak dalam kehidupan moral, dikatakan: "Nilai kehidupan yang tertinggi adalah kasih, yang merupakan pertimbangan pertama dalam setiap tindakan, sehingga pertimbangan-pertimbangan lain benar dan Salah bisa sekunder". Dalam hal ini apakah kita setuju atau tidak, mungkin kalau saudara sudah mengetahui tentang buku 'Itu Kan Boleh', di situ Etika Situasi ditolak keras-keras. Etika Situasi menolak etika yang mutlak dan mengatakan bahwa tidak ada suatu nilai yang tetap, tetapi nilai-nilai itu ada pada setiap zaman, dan sesuai juga dengan sistim zaman atau suasana zaman, maka harus ditinjau kembali, dengan kata lain Etika Situasi menolak adanya peraturan-peraturan yang Tuhan berikan. Etika Situasi menolak adanya Firman Allah sebagai dasar bagi pemikiran etis. Etika Situasi mau menyesuaikan diri dengan situasi zaman. Kalau toh mereka mengatakan "bahwa nilai tertinggi adalah kasih", marilah kita terlebih dahulu memikirkan tentang konsep kasih yang sebenarnya. Ada berbagai jenis kasih yang Tuhan karuniakan kepada manusia dan diantaranya adalah kasih yang sifatnya emosional, sifatnya natural. Dalam hal ini juga termasuk adalah kasih seksual. Tapi yang dibicarakan dalam Alkitab pada umumnya adalah kasih yang berdasarkan keputusan atau kasih yang diambil dengan kemauan seseorang yang diterjemahkan dalam bahasa Yunani istilah Agape. Dan Agape itu yang diperintahkan dan jika diperintahkan berarti bahwa kita bisa mengambil suatu sikap apakah mau mentaati atau menolak perintah tersebut. Etika yang dibicarakan dalam etika situasi sebenarnya sama sekali tidak menyangkut Agape ini, tetapi merupakan etika Filia, Eros, etika yang sifatnya emosional. Maka Fletcher juga mengusulkan bilamana dua orang saling mengasihi, tidak usah mengikat kehidupan mereka dalam pernikahan tetapi boleh juga hidup bersama, karena lebih baik kita hidup bersama di dalam kasih dari pada kita diikat dalam pernikahan tanpa kasih. Apa artinya dan bagaimana sifatnya kasih Agape ini? Kasih Agape merupakan perintah dari Tuhan atau berasal dari Allah kepada manusia. Karena kasih Agape itu dicurahkan oleh Roh Kudus di dalam hati orang-orang, dan kasih inilah dasar dari pada kasih yang dapat kita berikan pada sesama manusia. Jadi bilamana kita disuruh untuk mengasihi orang-orang yang sebenarnya kurang cocok atau orang-orang yang kurang simpatik dan sebagainya, kemungkinannya ada, hanya kalau kita hidup di dalam kasih terhadap Kristus. Satu hal lagi, kasih terhadap sesama itu bukan hanya berasal dari Tuhan Yesus dikaruniakan kepada kita tetapi kasih terhadap sesama itu juga datang dari apa yang disebut komitmen. Dalam suatu pernikahan tidak mungkin dua orang menikah dalam keadaan emosi atau saling senang tanpa suatu komitmen. Komitmen itu janji dan yang perlu di pahami adalah bahwa kasih itu bukannya menciptakan komitmen, tapi sebaliknya komitmen justru meneguhkan dan menciptakan kasih yang lebih teguh. Seringkali kita tidak mengasihi seseorang karena kita salah bereaksi terhadap orang tersebut. Kadang-kadang kita marah punya perasaan benci atau marah karena selalu dalam kehidupan kita, tanpa kita sadari, kita segera bereaksi terhadap seseorang dan menilai sesuatu situasi atau menyenangi seseorang itu berdasarkan reaksi tersebut. Yang perlu kita pelajari dan yang diperintahkan oleh Tuhan dalam hal mengasihi seseorang itu, ialah kita harus belajar untuk melampaui perasaan kita sendiri, melampaui reaksi kita sebagai dasar pemikiran atau sebagai dasar sikap kita terhadap sesamanya. Kita belajar memikirkan situasi dan keadaan seseorang yang justru kita tidak sukai. Karena kadang-kadang masalah-masalah yang dia gumuli adalah kesusahan yang dihadapinya. Latar belakang yang sulit dan rumit dan banyak problem-problem yang dialami, yang dipegang dan dipikulnya itu. Maka bilamana kita selalu bereaksi berdasar kesan dan emosi kita, kita salah. Kasih itu menolak reaksi-reaksi egois seperti itu dan memerintahkan kita untuk memikirkan terlebih dahulu orang itu sebagai sesama kita, mengasihi dia dalam hal ingin mengerti orang itu atau ingin mengetahui keadaannya dan juga menolong dia. Kasih itu sebenarnya adalah suatu keinginan yang sungguh-sungguh untuk mengusahakan 'Summum Bonum' bagi seseorang dalam arti nilai baik yang tertinggi bagi dia. Di dalam Etika Situasi segala sesuatu yang "sifatnya kasih" itu dikatakan baik. Maka bilamana dua orang saling mengasihi dan dirasakan adalah baik bilamana mereka itu mengikat pernikahan di luar pernikahan (bilamana mereka itu berhubungan seksual berdasarkan persetujuan mereka berdua karena saling mengasihi) itu yang dikatakan benar karena itu yang terbaik untuk ke dua belah pihak. Jadi nilai baik itu diambil atas persetujuan ke dua orang itu, nilai baik berdasarkan situasi dari pada keadaan seseorang. Atau contoh lain misalnya: Bilamana seseorang dalam keadaan frustrasi kemudian dia pergi ke daerah hitam untuk melepaskan ketegangan itu, ini adalah baik buat dia. Dalam Etika Situasi, dia menyetujuinya karena itu adalah kasih bagi dia. Tidak berarti dia hidup di daerah hitam, dan tidak berarti bahwa selalu dia harus berbuat demikian. Tapi pada saat itu, pada keadaan itu, pada titik itu adalah baik buat dia. Itu adalah kasih bagi dia untuk memberikan kesempatan pada dia agar secara psikologis akan tertolong. Apa benar dia tertolong secara psikologis itu? Jelas kita langsung menolak karena masalah-masalah yang akan timbul setelah mereka hidup dalam keadaan moral yang salah, yang Tuhan larang, adalah masalah-masalah yang sangat besar sekali yang tidak mungkin saya bahas saat ini. Namun demikian perlu kita tambahkan bahwa efeknya bukan baik bagi dia tapi efeknya adalah buruk dalam banyak hal. Kalau kita simpulkan tentang Etika Situasi, maka yang menjadi pokok adalah, apa itu benar atau salah? siapa yang menentukannya?. Etika Situasi menolak kalau Allah menentukannya dan Etika Situasi menuntut bahwa manusia yang menentukannya, bahwa manusia yang memberi nilai benar dan salah. Nilai baik dan buruk yang disebut kasih ini semua berasal dari manusia. Dan kalau demikian kita kembali lagi kepada masalah tanah Eden, dimana manusia pada saat permulaan sudah ingin menentukan segala nilai. Dengan demikian ia mau menjadi seperti Allah, ingin mengetahui baik dan Salah, baik dan buruk, benar dan salah. Dan justru dia jatuh dari kedudukan pertama dimana dia dapat hidup dalam persekutuan yang indah. Disitulah dia jatuh dalam dosa dengan akibat yang sampai hari ini kita gumuli dan kita hadapi, persoalan dan kesulitan yang tidak ada habis-habisnya.

PZ: Bagaimana visa meyakinkan masyarakat bahwa Etika Injili "is the best in this permissive (serba boleh) society", seringkali kita ditertawakan? Apalagi pengaruh sekularisme, humanisme, sehingga manusia menjadi cenderung otonomi.DM: Permisif dalam arti, bahwa tambah hari standard etis yang dulu pernah dipegang dan nilai-nilai etis yang sebenarnya itu, disesuaikan dengan tuntutan-tuntutan orang yang sekarang hidup di luar pengenalan akan Allah. Orang-orang yang hidup justru hidup dengan pemikiran humanistis, sekularistis, materialistis, di mana nilai-nilai ditentukan bukan dari Allah, tapi dari standard dan tuntutan-tuntutan lain. Bagaimana caranya kita dapat meyakinkan orang-orang bahwa yang kita pegang, yang kita percayai, apa yang kita yakini itu adalah kebenaran? Ya, kalau kita sendiri mengatakan sesuatu dengan mulut, tetapi kita hidup seperti orang lain, maka jelas kita tidak meyakinkan siapapun. Tetapi bilamana kehidupan kita, tingkah laku kita, pembawaan kita itu sesuai dengan kesaksian kita, bilamana seluruh eksistensi kita merupakan suatu kesaksian, maka kita dapat menjadi garam dan terang dalam masyarakat! Adalah keyakinan saya bahwa Indonesia harus dibantu. Justru kita ini sebagai orang-orang Kristen harus betul-betul mengasihi masyarakat kita dengan suatu kehidupan yang penuh disiplin, suatu kehidupan yang berdasarkan suatu ketaatan sungguh-sungguh kepada Tuhan, suatu kehidupan yang berdasarkan perintah-perintah dan janji-janji Allah, suatu kehidupan yang mau bertanggung jawab sebagai anggota kerajaan Allah dan warga negara Indonesia. Kita dituntut pada saat ini untuk mengasihi negara kita dengan sungguh-sungguh dan menjadi orang-orang yang dapat di contoh. Juga kita harus pahami bukan kita yang dapat menarik, bukan apapun dari kita ini yang dapat menarik. Tetapi Kristus di dalam kita mempunyai daya tarik yang besar sekali.

PZ: Sebagai tambahan terakhir, himbauan apakah yang ingin Ibu sampaikan kepada umat Kristen di Indonesia, sehubungan dengan makin kompleksnya masalah-masalah etis dalam abad teknologi modern ini?DM: Yang menjadi himbauan kami pada saat ini untuk orang-orang Kristen di Indonesia, yang paling penting adalah bahwa kita tidak menyesuaikan diri dengan keburukan-keburukan yang ada, keburukan-keburukan yang bukan hanya di Indonesia, tapi diseluruh dunia. Keburukan yang timbul dari materialisme, ialah keburukan yang justru lepas dari pada Allah. Manusia tidak lagi mengetahui iman, tidak lagi mempunyai pengharapan pada Tuhan, tetapi mempunyai pengharapan terhadap diri sendiri dan merasa bahwa dia harus memperjuangkan untuk diri sendiri dan dia harus melakukan segala sesuatu dengan usaha kekerasan dirinya sendiri. Maka kita ini, nomer satu harus hidup dalam ketaatan Yesus Kristus. Orang-orang yang ingin mengenal Kristus dengan sungguh-sungguh dan orang-orang yang menerima dari Tuhan Yesus standard kehidupan yang dia berikan, yaitu Firman sebagai Firman yang mutlak. Dalam keadaan negara yang sulit, kita tidak ikut untuk menjatuhkan negara kita dengan kelemahan-kelemahan yang ada pada saat ini yang kita ketahui. Seringkali kita tutup mata karena kita sendiri membutuhkan sesuatu dan berjalan pada jalan yang salah. Masalah pungli dan lain-lain, masalah korupsi, masalah-masalah hidup secara jujur. Saudara sekalian, hal ini tidak mudah, hal ini merupakan suatu hal yang hebat sekali di mana kita ambil keputusan bahwa kita akan percaya dan hidup dengan doa. Bilamana kita dikuatkan dalam hidup doa, dalam hidup percaya, saya yakin bahwa kita orang-orang Indonesia boleh hidup jujur dan benar pada zaman sekarang. Tidak mungkin Tuhan Yesus memberikan kepada pengikut-pengikutnya, suatu standard yang tidak cocok lagi untuk abad 20 atau akhir abad 20, tapi standar-standar yang kekal sampai dengan hari Tuhan Yesus datang kembali. Maka himbauan saya adalah bahwa kita harus hidup dekat dengan Tuhan, dekat dengan saudara-saudara kita yang kita kasihi; tetapi bukan untuk menjadi eksklusif, bukan menjadi seorang yang hidup sendiri untuk senang-senang secara rohani, untuk lari sana lari sini untuk mendapatkan makanan rohani, kemudian hidup berdiri sendiri, tetapi tidak mencerminkan semuanya itu dalam masyarakat. Sebaliknya kita harus menjadi orang-orang yang mengasihi sesama kita yang mau hidup buat dia, yang mau berkorban, yang mau menyatakan apa artinya menjadi milik Kristus. Sebagai orang-orang yang bertanggung jawab, sekali lagi, bukan hanya dalam Kerajaan Allah, bukan hanya dalam gereja, tetapi justru dalam masyarakat, dengan demikian lingkungan kita akan melihatnya dan akan bertanya. Jika kehidupan kita tidak mempunyai daya tarik, dengan kata lain, jika Tuhan Yesus tidak mencerminkan kehidupannya melalui kita, maka tidak akan ada orang-orang yang akan bertanya kepada kita. Petrus mengatakan dalam I Petrus 3:15 bahwa kita harus selalu bersedia untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang ditujukan kepada kita tentang apa artinya mempunyai iman, tapi sekali lagi jika kehidupan kita tidak menimbulkan pertanyaan, maka kesaksian kita tidak akan hidup. Maka adalah penting sekali bahwa kita masing-masing meningkatkan kehidupan kita dalam Kristus, tapi bukan dengan tujuan untuk puri di situ, melainkan untuk kemudian menyatakan hal itu dalam lingkungan kita masing-masing. Saya yakin bahwa kontribusi kita yang paling penting pada saat ialah supaya cara berpikir diseluruh negara - kita dan mentalitas dari pada masyarakat kita dapat ditingkatkan mencapai suatu tingkat pengertian dan pemikiran yang lebih tinggi. Tingkat pemikiran yang lebih tinggi, nah lebih tinggi dari pada apa?. Tingkat pemikiran lebih tinggi adalah kalau seseorang mempunyai mental Kristus. Rasul Paulus mengatakan dalam I Korintus 2 dan 16 bahwa mental itu kita miliki di dalam Tuhan Yesus. Namun demikian kita harus akui dari pihak gereja den dari pihak orang Kristen seringkali tidak nampak adanya mental Kristus. Maka adalah betul-betul satu tanggung jawab setiap orang yang mengatakan diri pengikut Tuhan Yesus, bahwa dia akan menguji kehidupannya, menguji dirinya sendiri, apakah dia hanya omong belaka, tetapi eksistensinya sebenarnya tidak sesuai dengan apa yang dia, katakan. Adalah suatu tanggung jawab kita yang sangat besar. Saya harap dengan kita hidup ketat dalam Firman Tuhan, yaitu dalam batas yang Tuhan berikan tetapi dengan hidup yang tidak terbatas dalam apa yang kita berikan pada sekeliling kita dan dalam masyarakat, maka dengan demikian kita yang diberkati bisa menjadi orang-orang yang menjadi berkat bagi masyarakat, gereja, keluarga dan bagi kemuliaan nama Tuhan, dan itu yang akhirnya menjadi hal-hal yang paling penting.



TIP #17: Gunakan Pencarian Universal untuk mencari pasal, ayat, referensi, kata atau nomor strong. [SEMUA]
dibuat dalam 0.03 detik
dipersembahkan oleh YLSA