Resource > Jurnal Pelita Zaman >  Volume 8 No. 2 Tahun 1993 >  SENI DAN KEKRISTENAN DALAM ERA GLOBALISASI > 
I (SATU) 

Dalam kumpulan sajaknya 'Blues Untuk Bonnie' yang diterbitkan oleh Pustaka Jaya Jakarta '71, penyair Willy Bordus Rendra (WS Rendra) menampilkan 13 (tiga belas) judul puisi yang kesemuaannya bergaya ekspresif dan liris. Rendra semakin menampakkan dirinya di jalurnya yang khas, karya-karyanya jelas mengacu dan berangkat dari masalah sosial. Yang tentu saja kalau kita simak dari kumpulan-kumpulan sebelumnya terjadi suatu pergeseran. Walau masih tetap ada di jalur dunia cinta, yang tadinya antara dua individu yang dimabuk asmara (sebagaimana umumnya seorang yang sudah masuk dunia dewasa/berumur) berlainan jenis. Kini beralih antara individu bahkan kelompok individu yang ada di masyarakat umum. Rendra dengan pengamatannya yang cermat dan lewat kepekaan rasa indra dan wawasan intelektualnya menyaring dan mengkristalisasikan apa yang terjadi di dalam kelompok masyarakatnya. Apa yang telah menjadi gejala umum dan menggeser suatu nilai-nilai budaya, yang disimak Rendra sudah tak manusiawi lagi. Kontradiktif.

Sajak Rendra tersirat dan tersurat ekspresif, menyuarakan suatu keresahan yang dirasakannya. Keresahan yang ditangkap dari apa yang dilihat, diamati, diresapi dan masuk dalam perenungannya. Yang kemudian mengendap, mengental. Yang lantas menggugah pilihannya dalam bentuk sajak bebas. Sajak-sajaknya lantas terasa sekali begitu penuh ekspresi. Dan tampil dengan siratan penuh perasaan yang begitu halus dan mampu menyodok perasaan siapa saja yang membaca sajaknya. Bahkan seringkali pula terasa bahwa sajak-sajaknya yang ekspresif dan liris itu menyuarakan suatu protes. Manyuarakan suatu pemberontakan terhadap ketidakadilan, kepincangan-kepincangan yang terjadi di dalam masyarakat. Sajak-sajak Rendra, sajak yang penuh dengan tema kemanusiaan. Sajak yang memanusiakan manusia, yang terjadi karena Rendra memang memiliki rasa kasih dan peduli pada sesama umat, pada apa yang terjadi di alam kehidupan jagat kasih dan peduli pada sesama umat, pada apa yang terjadi di alam kehidupan jagat raya. Sajaknya adalah juga cermin jiwa pribadinya. Yang mulai terbentuk dan membentuk dirinya sejak kecil. Ajaran kasih yang telah jadi pondasi dan benteng yang kemudian membentuk karakteristik pribadinya dalam menangkap dan menggumuli kehidupan.

Karakteristik sajak Rendra, berkarakteristik khas ajaran kasih yang peduli akan sesamanya. Yang mengasihi orang lain, sama takarannya dengan mengasihi dirinya sendiri. Terpateri dalam diri sikap pribadi Rendra firman Allah yang berbunyi:

"Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu". Lalu, "Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri". Sebagai hukum yang terutama bagi setiap umat manusia.

Rendra memang sejak kecil hidup di lingkungan dan di gembleng mental intelektualitasnya secara Nasrani. Rendra sadar benar bahwa seorang umat Nasrani, paling tidak harus memiliki sikap pribadi dalam realita kehidupan masyarakatnya, yang mencerminkan ajaran atau hukum kasih yang terutama di atas. Rendra menyadari benar ajaran dalam Injil adalah menghargai sesama manusia sebagai umat Allah singkatnya memanusiakan manusia. Sikap peduli akan sekitarnya dengan segala kepekaan yang dimilikinya adalah manusiawi. Ajaran kasih adalah ajaran menghargai suatu nilai-nilai kehidupan yang teramat manusiawi. Karena itulah saat Rendra melihat, menyimak adanya suatu kepincangan ia mengangkatnya ke permukaan dengan cara dan gayanya yang khas sebagai seorang seniman. Sebagai seorang penyair, Rendra menuliskan dan mempublikasikannya lewat karya seni puisinya. Kalau kita simak lebih jauh lagi tidak hanya dalam tiga belas judul puisi yang terdapat dalam kumpulan puisi Rendra "Blues Untuk Bonnie", memiliki nafas kristiani. Bahkan boleh dikatakan hampir dari kesemua sajak-sajak yang ditulis Rendra baik yang diumumkan secara sendiri-sendiri di berbagai media masa maupun dari sejak kumpulan puisi pertamanya: "Balada Orang-Orang Tercinta" (1957), "Rendra: Empat Kumpulan Sajak" (1961), "Blues Untuk Bonnie" (1971), "Sajak-Sajak Sepatu Tua" (1972), maupun "Potret Pembangunan dalam Puisi", merupakan suatu kesaksian Rendra.

Sajak-sajak Rendra bahkan juga garapan drama-drama Rendra kalau kita simak adalah merupakan jawaban pada lengkingan jerit kesakitan, teriakan minta tolong, kesaksian demi keselamatan kehidupan dan pemberontakan terhadap apa yang mengancam kepenuhan kehidupan. Penemuan jati dirinya yang berkembang melalui sajak bergaya ekspresif dan liris, dengan gapaian gelap dari bawah sadar, kecemasannya pada ancaman maut, keterpencilan dan kesepian. Juga penghayatannya yang ekstatis dari ancaman maut, keterpencilan dan kesepian. Juga penghayatannya yang ekstatis dari puncak-puncak eksistensi dan potensi manusia. Indentifikasi manusia dengan alam semesta pada Rendra lebih dari metafora atau imajinasi pribadi biasa. Pendekatan diri kepada segala ciptaan Tuhan bagi dia merupakan suatu cara untuk mendekatkan dirinya kepada Tuhan sendiri. Cinta kasih kepada makhluk-makhluk Tuhan, terutama mereka yang paling membutuhkannya, akan berlanjut dengan cinta kasih kepada sang Pencipta. Hanya dengan solidaritas dengan lingkungan alam, budaya dan kosmos, manusia dapat merasa dekat dengan Tuhan. Rendra dalam berkarya seni banyak diilhami oleh ajaran agama Katolik (baca kitab Injil) dijelujuri mistik solidaritas. Keadaannya, yang juga dalam hal ini sinkretis khas Jawa, tak bisa disanggah lagi terjadi rembesan segala macam motif dan lambang-lambang Kristiani dalam karyanya. Pada sajak-sajak yang ada dalam kumpulan "Blues Untuk Bonnie", banyak hal yang mengharukan, banyak hal yang mengisahkan tentang keadaan orang yang terasing dan terpencil dalam kesepian. Sajak "Rick Dari Corona", yang bercerita tentang seorang Negro tua dari Corona yang menghabiskan usia tuanya, dalam keadaan terasing dan terpencil dalam kesepian, menyanyikan lagu-lagu di sebuah cafe di New York. Rick yang kesepian di tengah kemeriahan kota kosmopolitan. Dia merasa terasing dan terpencil di tengah-tengah masyarakat kota yang hiruk pikuk ;

(New York mengangkang
Keras dan angkuh
Semen dan baja
Dingin dan teguh
Adapun di tengah-tengah cahaya lampu gemerlapan
terdengar musik gelisah
yang tentu saja
tak berarti apa-apa)

Suatu keterasingan yang terasa total. Ketiadaan daya komunikasi antara sesama manusia di kota, di dunianya tersebut. Kesepian yang terasing dan terpencilkan juga dapat dirasakan pada sajaknya yang lain: "Blues untuk Bonnie";

Dengan mata terpejam
si Negro menegur sepi
Dan sepi menjawab
dengan sebuah tendangan jitu
tepat di perutnya
Maka dalam blingsatan
ia bertingkah bagai gorila
Gorila tua yang bongkok
meraung-raung
Sembari jari-jari galak di gitarnya
mencakar dan mencakar
menggaruki rasa gatal di sukmanya
...............
Dan di hari Minggu
mereka pergi ke gereja yang khusus untuk Negro
Di sana bernyanyi
terpesona pada harapan akherat
karena di dunia mereka tak berdaya

Sajak-sajak Rendra yang terkumpul dalam "Blues Untuk Bonnie", pada awal publikasinya mengejutkan banyak pihak. Karena sajak-sajaknya itu berlatar belakang situasi yang ada di Indonesia, seperti halnya; "Bersatulah Pelacur-Pelacur Kota Jakarta", "Pesan Pencopet pada Pacarnya", "Nyanyian Angsa" dan "Khotbah". Pada sajak "Nyanyian Angsa", Rendra bercerita tentang seorang pelacur tua yang terlalu sakit untuk masih dapat bekerja, diusir semena-mena oleh sang Germo, lalu sia-sia mengharap pertolongan dari seorang dokter dan bahkan juga bapak pastor. Dalam kesia-siaan yang nestapa itu akhirnya, di tepi sebuah sungai, dalam persatuan jasmani menyeluruh dengan seorang pria yang paling cakap dari yang pernah dilayaninya selama ini, yang ternyata Kristus sendiri, menemukan pertolongan dan kedamaian. Sajak ini menyuarakan kritik sosial, tetapi juga tanpa alternatif ideologis sedikitpun: suatu kesaksian yang harus diberikan oleh seorang seniman, Rendra, karena ia sebagai penyair telah menangkap sebuah suara, jerit hewan yang terluka. Kesaksian yang penuh ironi, yang teramat langka dalam sastra Indonesia. Dengan penggunaan bahasa yang polos, dan karenanya amat mengejutkan untuk norma-norma Indonesia dan bahkan menyinggung perasaan (sajak-sajak ini diumumkan pertama kali tahun 1968).

Sajak "Khotbah", Rendra bercerita mengenai seorang pendeta muda yang mula-mula menolak memberi khotbah, namun akhirnya ia menuruti jemaahnya yang menuntut khotbah dari dia, kemudian oleh khotbahnya yang makin lama makin menjadi bahasa lidah kelu dan tergagap-gagap, para jemaat yang hadir mendengarkan khotbahnya itu menjadi kalap dalam amukannya, sehingga gereja habis dihancurkannya dan pendeta itu dimangsanya.

"Astaga. Ingatlah penderitaan Kristus.
Kita semua putra-putranya yang mulia.
Lapar harus diatasi dengan kebijaksanaan."
Cha-cha-cha.
Mereka maju menggasak mimbar
Cha-cha-cha.
Mereka seret padri itu dari mimbar.
Cha-cha-cha.
Mereka robek-robek jubahnya.
Cha-cha-cha.
Seorang perempuan gemuk mencium mulutnya yang bagus.
Seorang perempuan tua menjilati dadanya yang bersih.
Dan gadis-gadis menarik kedua kakinya.
Cha-cha-cha.
Begitulah perempuan-perempuan itu memperkosanya beramai-ramai.
Cha-cha-cha.
Lalu tubuhnya dicincang.
Semua orang makan dagingnya.
Cha-cha-cha.
Dengan persatuan yang kuat mereka berpesta.
Mereka minum darahnya.
Mereka hisap sungsum tulangnya.
Sempurna habis ia dimakan.
Tak ada lagi yang sisa.
Fantastis.
(sajak ke tigabelas "Khotbah" di kumpulan "Blues Untuk Bonnie" h. 46/Pustaka Jaya 76).

Kesaksian yang diberikan sang seniman lewat karya seninya adalah Indonesia harus kembali pada dirinya sendiri! Penemuan diri sendiri sebagai jati diri bangsa, adalah juga dimulai dari penemuan jati diri sendiri secara individual. Kita harus menyadari bahwa penemuan diri sendiri, pengenalan kembali diri, penghayatan dan ekspresi diri sebagai manusia-manusia pribadi, dengan kebebasannya masing-masing, namun senantiasa dalam solidaritas sosial dan kosmis yang besar dengan seluruh ciptaan, dan melalui ciptaan itu akhirnya sampai kepada Tuhan.



TIP #35: Beritahu teman untuk menjadi rekan pelayanan dengan gunakan Alkitab SABDA™ di situs Anda. [SEMUA]
dibuat dalam 0.04 detik
dipersembahkan oleh YLSA