Resource > Jurnal Pelita Zaman >  Volume 8 No. 2 Tahun 1993 >  GEREJA DI INDONESIA DALAM ERA GLOBALISASI > 
III. GEREJA DI INDONESIA 

Pengertian

Adapun yang dimaksud dengan Gereja di Indonesia di sini adalah Gereja-gereja Protestan di Indonesia yang jumlahnya sangat banyak itu. Dengan demikian pembicaraan di sini dibatasi pada Gereja-gereja Protestan dan tidak termasuk gereja Katolik Roma (walaupun dalam konteks tertentu Gereja ini akan disinggung pula) Gereja-gereja di Indonesia pada hakikatnya hidup dalam keberagaman. Keberagaman tersebut dapat dilihat dari pelbagai sudut, misalnya dari sudut latar belakang etnis, corak Kekristenan, pengakuan iman, pekabaran Injil, dan pengorganisasian diri. Untuk jelasnya ada baiknya bilamana misal masing-masing dapat digambarkan sekedarnya, yang sekaligus dapat dianggap sebagai wujud dasar dari Gereja-gereja di Indonesia.

Wujudnya

Dalam kaitannya dengan latar belakang sejarahnya masing-masing, maka secara kasar gereja-gereja di Indonesia dapat dikelompokkan menjadi dua bagian. Pertama, Gereja-gereja yang tidak bertumpu pada kesukuan tertentu misalnya Gereja Protestan di Indonesia (GPI) dan Gereja Protestan di Indonesia bahagian Barat (GPIB), di samping Gereja-gereja Pentakosta dan Gereja-gereja Baptis. Kedua, Gereja-gereja yang tumbuh dan berkembang sebagai Gereja suku, misalnya Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) dan Gereja Toraja (GT), di samping sejumlah besar Gereja suku lainnya. Akhirnya perlu dicatat bahwa antara kelompok pertama dan kedua terdapat perbedaan kadar pengaruh budaya suku.

Sebagian terbesar dari Gereja-gereja di Indonesia yang lahir dan tumbuh antara 1930-1942 mewarisi corak Kekristenan (baca pula: corak teologia) dari "induknya", yaitu corak Kekristenan kontinental. Mereka ini pada satu pihak masih dipengaruhi oleh corak Kekristenan dari "induknya" dan pada pihak lain telah belajar dan berusaha untuk menentukan corak Kekristenannya sendiri. Setelah Indonesia merdeka, yaitu setelah 1945, corak Kekristenan di antara Gereja-gereja di Indonesia semakin bertambah banyak. Hal itu terutama disebabkan oleh berdirinya beberapa Gereja akibat meluasnya denominasi-denominasi jenis kebangunan atau Injili yang datang dari negara-negara Anglosaksis. Sehubungan dengan itu tidak mengherankan bila kemudian lahir dan tumbuh banyak Gereja, misalnya Gereja-gereja rumpun Pentakosta dan Gereja-gereja rumpun Kemah Injil.

Erat kaitannya dengan hal yang baru saja diuraikan di atas maka dapatlah dikatakan bahwa ditinjau dari sudut pengakuan iman pada umumnya Gereja-gereja di Indonesia belum mempunyai pengakuan Imannya sendiri, sebab baru kira-kira sepuluh Gereja yang telah merumuskan pengakuan imannya sendiri. Enam Gereja yang berdiri pada corak Kekristenan Protestan kontinental telah berusaha merumuskan pengakuan imannya dalam konteks perkembangan di negeri ini, terutama dalam konteks perkembangan budayanya. Sementara empat Gereja yang berdiri pada corak Kekristenan Protestan Anglosaksis juga telah merumuskan pengakuan imannya, walaupun usahanya tidak dikaitkan dengan konteks perkembangan di negeri ini, karena mereka pada hakikatnya tetap mempertahankan pengakuan iman dari Gereja "induknya" masing-masing.

Berkenaan dengan pekabaran Injil pertama-tama perlu dicatat bahwa di antara Gereja-gereja di Indonesia terdapat perbedaan pemahaman tentang pekabaran Injil. Sebagian dari mereka, terutama Gereja-gereja yang bergabung dalam Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) - yang oleh banyak orang disebut sebagai golongan ecumenical, memahami pekabaran Injil dalam kaitannya dengan keselamatan utuh manusia. Sehubungan dengan hal itu, maka masalah-masalah sosio politis, misalnya masalah-masalah sosio politis yang berkaitan dengan pembangunan di Indonesia, menjadi perhatian dan pemikiran mereka pula. Sebagian lain dari mereka, yang oleh banyak orang juga sering disebut sebagai golongan enangelical, masih memahami pekabaran Injil secara tradisional walau dalam berbicara menggunakan istilah-istilah modern. Kemudian, yang perlu dicatat adalah bahwa pekabaran Injil (baca: perluasan Injil, atau perkembangan Gereja-gereja) tidak jarang menimbulkan, ketegangan dengan para pemeluk agama Islam, terutama - di kawasan Jawa. Masalah sedemikian pada dirinya merupakan "pekerjaan rumah" bagi kedua golongan yang berbeda agama itu. Berkenaan dengan hal ini Gereja-gereja di Indonesia, terutama yang berada dalam PGI, telah banyak mengumpulkan dan memikirkan secara serius dan mendalami masalah-masalah yang menyangkut hubungan antar golongan pemeluk agama, terutama antara kedua golongan yang berbeda dan yang telah disebut terdahulu itu.

Bila dilihat dari sudut pengorganisasian dirinya masing-masing, maka pada umumnya Gereja-gereja di Indonesia mengorganisasikan diri selaras dengan apa yang dilakukan oleh "induknya" masing-masing. Dengan perkataan lain, pada umumnya mereka memberlakukan tata gereja yang diwariskan oleh induknya masing-masing, yang kebanyakan menganut pola presbiterial. Mereka ternyata mengalami banyak kesulitan dalam memberlakukan pola itu. Itulah sebabnya banyak di antara mereka yang mencoba menciptakan tata gereja yang cocok dengan keadaan mereka masing-masing. Sementara itu Gereja-gereja yang lahir dan tumbuh akibat meluasnya denominasi-denominasi jenis kebangunan atau jenis Injili tidak suka berurusan dengan masalah-masalah yang menyangkut tata gereja, yang dianggapnya tidak penting itu. Kenyataan demikian dapat dimengerti mengingat bahwa yang penting, bagi mereka, adalah mengusahakan kesucian hidup Gereja dengan tekanan pada upaya menjauhkan diri dari "dunia", misalnya dunia politik dan dunia budaya. Dampaknya dalam masalah pengorganisasian diri adalah bahwa mereka telah menganggap cukup bila dapat mengatur kehidupan Gereja dengan pola kongregasional seperti yang diperkenalkan oleh tokoh-tokoh mereka dari negara-negara Anglosaksis itu.

Peranannya

Kini ada baiknya bila dibicarakan tentang peranan Gereja-gereja di Indonesia (boleh dibaca pula: umat Kristen di Indonesia) di tengah-tengah masyarakat Indonesia. Sehubungan dengan itu di sini hanya akan dikemukakan beberapa contoh konkretnya saja, yaitu di bidang-bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi, dan politik.

Sejak masa sebelum kemerdekaan umat Kristen dan atau Gereja-gereja telah mengusahakan pendidikan melalui sekolah-sekolah yang diasuhnya. Usaha demikian masih banyak yang berkelanjutan hingga dewasa ini. Walaupun jalannya tidak selalu mulus, namun usaha tersebut mengalami perkembangan juga. Hal itu, misalnya, tampak jelas dari data tahun 1980. Cita-cita pendidikan Kristen dan sumbangannya kepada kehidupan nasional pada umumnya tidak jauh berbeda dari pemikiran yang dirumuskan oleh Majelis Pusat Pendidikan Kristen dalam Anggaran Dasarnya, yaitu pemikiran tentang tujuan pendidikan Kristen, yang berbunyi: "Mempersiapkan tenaga pembangunan yang takut dan taat kepada Tuhan, terampil, menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi serta memiliki integritas moral dan bersedia mengamalkan dirinya di dalam pembangunan bangsa dan negara Indonesia". Dari cita-cita itu tampak bahwa yang menjadi tujuan pendidikan tidak hanya pembinaan intelektualitas belaka, melainkan juga kepribadian secara menyeluruh.

Seperti di bidang pendidikan, umat Kristen atau banyak gereja yang telah menyelenggarakan pelayanan kesehatan. Pelayanan kesehatan tersebut dilaksanakan dalam pelbagai macam cara, misalnya melalui pengadaan rumah sakit, pengelolaan poliklinik, dan pengusahaan obat-obatan. Pelayanan tersebut dilakukan dalam kaitannya dengan keselamatan utuh manusia, walaupun perhatian untuk melakukan pencegahan penyakit - seperti yang telah dimulai pada tahun-tahun 1960-an - masih cukup tinggi. Diakui atau tidak bahwa hal yang disebut terakhir pada hakikatnya merupakan upaya dari umat Kristen atau banyak Gereja untuk menjabarkan dan meningkatkan pemikiran dan usaha zending di masa lampau. Sungguh pun demikian tidak dapat disangkal bahwa penyelenggaraan pelayanan kesehatan tersebut mempunyai peranan penting bagi kehidupan bangsa.

Secara kasar dapat dikatakan bahwa di bi ekonomi sumbangan umat Kristen atau Gereja-gereja tidaklah seberapa dibanding dengan sumbangannya di bidang-bidang pendidikan dan kesehatan. Sebab mereka, seperti zending dahulu, tidak memiliki modal raksasa seperti halnya para pengusaha yang menciptakan dan mengembangkan sektor ekonomi di negeri ini. Hanya segera perlu ditambahkan bahwa di antara umat Kristen atau para anggota Gereja terdapat pengusaha-pengusaha besar - yang walau pun memiliki kelemahan dan kekurangan tertentu - mempunyai peranan penting dalam perekonomian Indonesia. Di samping itu, perlu pula diketengahkan hal ini, yaitu bahwa di beberapa daerah di luar pulau Jawa akibat agama Kristen muncul pemahaman baru berkenaan dengan hubungan manusia dengan alam. Hal itu pada hakikatnya mempunyai makna penting, yaitu bahwa di daerah-daerah itu suku-suku yang sebelumnya hidup terpencil dipersiapkan untuk menghadapi gelombang modernisasi yang mengancam kehidupannya. Penyiapan itu antara lain tampak dalam upaya-upaya (zending dan) umat Kristen dalam mendirikan sekolah-sekolah kejuruan dan proyek-proyek pertanian. Disamping itu, perlu disebut Dharma Cipta PGI yang didirikan pada 1972 karena telah berusaha untuk melakukan pembinaan masyarakat Kristen agar terbuka bagi pembangunan.

Walau pun masih sering terdapat tuduhan dari beberapa orang bahwa umat Kristen pada umumnya dan Gereja-gereja pada khususnya kurang peduli di bidang politik, namun kenyataannya adalah bahwa tidak sedikit jumlah orang Kristen yang diikutsertakan duduk dalam kabinet (catatan: kecuali dalam kabinet terakhir) dan dalam pimpinan ABRI. Unsur-unsur pokok dalam pengambil bagian di bidang politik pada masa kemerdekaan adalah bahwa mereka loyal terhadap pemerintah, bahwa mereka ikut mendukung mempertahankan Pancasila selaku dasar negara, bahwa mereka menolak ideologi komunisme, dan bahwa mereka di sekitar 1960 (1957-1966) merupakan kelompok moderat dalam pergolakan zaman. Sampai peleburannya dalam Partai Demokrasi Indonesia (PDI) pada tahun 1970-an, Partai Kristen Indonesia (Parkindo) menjadi salah satu saluran penting aspirasi dan pemikiran Kristen di bidang sosio politis. Di samping itu, sejak tahun 1950, Dewan Gereja-geraja di Indonesia (DGI) -- yang pada 1984 diubah namanya menjadi Persekutuan Gereja-geraja di Indonesia (PGI) itu - menjadi wadah penting dalam, memikirkan tanggung jawab Kristen dalam politik. Secara singkat, pemikiran itu menekankan kewajiban setiap orang Kristen untuk memenuhi tanggung jawabnya terhadap nasib masyarakat dan negara dengan berpartisipasi di bidang politik; Gereja-gereja bertugas untuk mempersiapkan anggota-anggotanya agar dapat memenuhi tanggung jawab itu; partisipasi haruslah positif, kreatif, kritis, dan realistis. Gereja-gereja - demikian pula DGI (PGI) sering mengeluarkan pernyataan-pernyataan yang berhubungan dengan salah satu masalah politik yang ditujukan kepada pemerintah, masyarakat, dan golongan Kristen sendiri.



TIP #34: Tip apa yang ingin Anda lihat di sini? Beritahu kami dengan klik "Laporan Masalah/Saran" di bagian bawah halaman. [SEMUA]
dibuat dalam 0.03 detik
dipersembahkan oleh YLSA