Resource > Jurnal Pelita Zaman >  Volume 8 No. 1 Tahun 1993 >  HENDAKLAH KITA MENJADI SATU SUPAYA DUNIA PERCAYA > 
BAGAIMANA PANDANGAN PENULIS? 

Agaknya kita dapat mencontoh teladan yang diberikan oleh Southern Baptist Convention yang terkenal konservatif itu dan telah melahirkan tokoh seperti Billy Graham. SBC juga terpecah dalam kubu "Fundamentalis dan Moderat." Dalam suatu sidang raya pada tahun 1985 mereka melakukan pemungutan suara untuk memilih pemimpin tertingginya (President). Charles Stanley seorang "Fundamentalis" memperoleh 55,3% suara, ia mengalahkan lawannya Winfrid Moore. Meskipun demikian, dalam semangat perdamaian Kristen, Moore diangkat sebagai Wakil Ketua Pertama/Wakil Presiden Pertama (First Vice President).

Sebagai orang awam yang merasa terlibat dan prihatin terhadap kehidupan Kekristenan, penulis ingin mengemukakan pendapat pribadi, bukan pendapat Gereja tempat saya menjadi anggotanya. Menurut pendapat saya, kehidupan kita ialah suatu marturia (kesaksian), kesaksian itu tampak dalam persekutuan (koinonia), pemberitaan (kerugma) dan pelayanan (diakonia) kita. Kegiatan Gereja ialah kegiatan yang mencari yang hilang, yang membentuk manusia seutuhnya dalam syalom Allah, jadi bukan terutama menyelamatkan organisasi.

Inti agama Kristen dilambangkan dalam cerita tentang gembala yang baik. Seyogyanya keprihatinan kita terhadap dosa-dosa pribadi harus diperluas dengan keprihatinan kita terhadap dosa-dosa karena struktur masyarakat dan usaha menanggulanginya. Barangkali karya Walter Rauschenbusch, Social Gospel, perlu kita pelajari. Kita tertinggal hampir 100 tahun di bidang ini. Dengan kata lain, suara kenabian pedu diarahkan juga ke luar di samping ke dalam. Awam mengharapkan janganlah sampai sinyalemen bahwa "Tiada rasa iri yang lebih besar daripada rasa iri di antara para rohaniwan" menjadi kenyataan. Orang Kristen seyogyanya saling mengakui masing-masing sebagai: ya sanak, ya kadhang, yen mati aku sing kelangan (ya sanak, ya saudara, kalau mati, aku yang kehilangan).

Berbeda dari saudara kita dari agama dan kepercayaan lain, kita belum mempunyai tokoh nasional yang relatif diterima umum oleh umat Kristen di seluruh Indonesia. Di luar tokoh di Jakarta, tokoh di daerah (Yogya, Salatiga, Menado, Medan, Pematang Siantar) kurang "manggung". Agaknya tokoh daerah tersebut perlu diberi kesempatan atau "mencari kesempatan" untuk "angkat bicara."

Menurut pengamatan penulis, hal ini karena tokoh-tokoh yang mempunyai komitmen sosial politik terlalu terpaku di Jakarta, sehingga ide-ide mereka tidak dikenal secara jelas dan pribadi. Padahal, seorang pemimpin dituntut mengenal medan dan yang dipimpin. (Aku mengenal domba-dombaku, dan mereka mengenal Aku). Universitas Kristen Maranatha di Bandung dekat dengan Jakarta, tetapi jarang dikunjungi oleh para tokoh awam atau rohaniwan Kristen yang berwawasan nasional. Oleh karena itu para mahasiswanya relatif kurang mengenal tokoh-tokoh itu.

Dalam masyarakat majemuk seperti Indonesia, berbagai jenis pemimpin dibutuhkan. Baik mereka yang berbakat di bidang penginjilan pribadi dan massal maupun yang berbakat menggembalakan dan bergelut dengan masalah sosial, politik dan ekonomi. Kita ambil contoh kongkret, kesulitan bereksistensi bagi sekolah-sekolah Kristen di daerah tentu lebih efektif ditangani secara pendekatan sosial politik di tingkat daerah dan pusat, daripada dengan doa saja. Sebaliknya para jiwa yang menderita di rumah-rumah sakit tentu lebih terhibur dengan doa dan penghiburan daripada dengan pidato politik.

Dalam hubungan pembicaraan kita, peringatan Yesus Kristus dalam Lukas 6:37-42 menjadi sangat relevan. Demikian juga halnya Yakobus 3:1-12, khususnya ayat yang berbunyi:

Dengan lidah kita memuji Tuhan, Bapa kita; dan dengan lidah kita mengutuk manusia yang diciptakan menurut rupa Allah, dari mulut yang satu keluar berkat dan kutuk (ay. 10-11).

Perlu kiranya kita berusaha agar yang bervisi nasional jauh ke depan jangan bertindak terlalu cepat sebelum berkonsultasi, sedangkan yang masih ragu-ragu jangan terlalu lama hidup dalam kebimbangan. Demi anak cucu dan pembangunan bangsa Indonesia yang besar, kita perlu berkorban, ya bahkan mengorbankan sesuatu yang sangat kita cintai (adat istiadat, bahasa). Bukankah padi akan tumbuh bila ada benih jatuh dan hancur?

Jika di"voting"", barangkali 99,9% jemaat akan minta kontroversi "Injili" versus "liberal" dihentikan dan digantikan dengan khotbah KKR yang penuh damai, sekolah yang bermutu, kunjungan Pendeta yang penuh sentuhan manusiawi, pelayanan terhadap janda, yatim piatu, orang sakit, upah yang memadai untuk pekerja pabrik, toko maupun gereja.



TIP #20: Untuk penyelidikan lebih dalam, silakan baca artikel-artikel terkait melalui Tab Artikel. [SEMUA]
dibuat dalam 0.03 detik
dipersembahkan oleh YLSA