Resource > Jurnal Pelita Zaman >  Volume 8 No. 1 Tahun 1993 >  HENDAKLAH KITA MENJADI SATU SUPAYA DUNIA PERCAYA > 
PERBEDAAN PERSEPSI? 

Seorang yang pernah "goncang iman" sewaktu duduk di bangku kuliah karena ajaran seorang doktor teologia "Liberal," namun sekarang telah "bertobat," dengan nada damai dan bernafas Kristen mengatakan: "Mengapa kita tidak berani mengakui andil kesalahan kita dalam perselisihan ini dan meminta maaf?" (Susabda, Yakub B., 1989:13).

Menurut informasi terbatas yang penulis terima, perbedaan pandangan yang tajam antara yang menamakan dirinya "Injili" (Evangelical) dan yang disebut "Liberal" (atau kadang-kadang disebut Ecumenical) lebih tepat disebut perbedaan persepsi antara dua orang tokoh atau beberapa orang tokoh yang pada dasarnya bermaksud baik, tetapi berbeda persepsi, sehingga akhirnya terjebak dalam sikap "ngeyel".

Seorang Pendeta yang dekat dengan penulis, mengatakan pertikaian kata yang keras itu berakar dari penolakan tegas salah satu tokoh yang bertikai terhadap konsep "orientasi khas" yang akan diterapkan di Gereja yang bersangkutan yang diajukan oleh tokoh lainnya. Tampaknya, yang menolak konsep itu ingin orientasi yang lebih mem"pribumi" (go native) daripada yang mengajukannya yang masih ingin memberi peluang kepada perbedaan budaya dan media ekspresi iman. Setahu saya tokoh yang menolak orientasi khas tersebut juga tidak mengingkari asal-usul eksistensi dirinya dan marjinalitas dirinya dalam konteks pluralisme Indonesia, tetapi dia ingin mengatakan "di sinilah bumi tempat aku berpijak, di sinilah langit yang aku junjung." Jadi, yang diinginkannya adalah menjadi realitas dan futuristis dalam bersikap di tanah "Perjanjian" yang baru ini.

Pandangan kelompok "Injili" dapat dipahami dan perlu dicarikan jalan keluarnya. Misalnya, jika salah satu bahasa dari Timur Tengah bisa dipertahankan bahkan dikembangkan di Indonesia, mengapa salah satu bahasa Timur Jauh tidak boleh digunakan? Nah, di sini kita perlu realisme. Penulis berpendapat lebih baik kita mengintensifkan pengajaran bahasa Yunani dan Ibrani di sekolah-sekolah teologia kita, supaya - untuk meminjam istilah Prof. Latuihamallo, sang guru, embahnya guru para calon pendeta khotbah para Pendeta lebih kaya, berbobot dan berwarna-warni.

Orang luar kadang-kadang menggambarkan adanya perbedaan yang tajam antara sekolah tinggi teologia di ibu kota dengan yang di kota lain dalam dikotomi Liberal dan Injili. Akan tetapi, jika dilihat bahwa ada juga dosen yang "Injili" di sekolah yang dicap "Liberal" dan sebaliknya ada dosen yang relatif "Liberal" di sekolah yang dicap "Injili", maka penggambaran itu tidak tepat. Mungkin ini lebih menyangkut gaya manajemen dan kepemimpinan masing-masing sekolah teologia, ada yang menerapkan disiplin keras terhadap pelanggaran etis di lingkungannya, ada yang menekankan pengampunan dan rehabilitasi. Masalah lain ialah masalah penempatan lulusan; jadi di sini faktor ekonomi dan sosial ikut berbicara.

Penulis cenderung menduga bahwa dewasa ini orang Kristen di Indonesia ini kelebihan energi, tetapi tidak tahu mau disalurkan ke mana, akhirnya asyik bertengkar sendiri. Agaknya kita merasa tantangan di luar begitu kuat dan mengecilkan hati kita sehingga kita tidak memberikan tanggapan yang tepat.



TIP #16: Tampilan Pasal untuk mengeksplorasi pasal; Tampilan Ayat untuk menganalisa ayat; Multi Ayat/Kutipan untuk menampilkan daftar ayat. [SEMUA]
dibuat dalam 0.03 detik
dipersembahkan oleh YLSA