Resource > Jurnal Pelita Zaman >  Volume 8 No. 1 Tahun 1993 >  HENDAKLAH KITA MENJADI SATU SUPAYA DUNIA PERCAYA > 
KOMPETISI ATAU KONFLIK? 

Beberapa waktu yang lalu, penulis mengamati adanya ketegangan antara beberapa tokoh, pribadi tertentu dalam tubuh suatu Gereja anggota PGI. Sebagai pengamat gejala keagamaan dari sudut pandang sosiologi, penulis ingin memaparkan gejala seobjektif-objektifnya dan menjaga netralitas etis serta integritas ilmiah. Akan tetapi sebagai pribadi yang beragama Kristen, penulis juga mempunyai keprihatinan sendiri. Diharapkan penulis terhindar dari pemihakan tanpa harus bersikap apatis.

Secara singkat dapat dikemukakan adanya rasa jengkel, rasa prihatin seorang Pendeta dari Gereja tersebut di atas yang merasa secara tidak adil dicap sebagai "seorang Liberal" oleh seorang tokoh lain yang menamakan dirinya "seorang Injili." Penulis sengaja menggunakan tanda kutip, karena itu bukan suatu istilah atau ideal type yang penulis setujui maknanya dan yang bertikai sendiri tidak memberikan makna atau arti yang sama. Barangkali kejengkelan itu dapat dimengerti, karena Pendeta tersebut antara lain pernah dididik di lingkungan yang biasanya merujuk kepada Karl Barth dan C. Barth yang justru melawan Liberalisme. Secara sosiologis, barangkali dia lebih tepat disebut sebagai penganut Neo Ortodoksi. Lebih menyulitkan lagi, seorang Pendeta senior emeritus memberi informasi kepada penulis, bahwa tuduhan itu ditujukan kepada ajaran dalam tubuh Gereja dan bukan kepada pribadi Pendeta atau tokoh tertentu.

Menurut sosiologi, kita pada garis besarnya dapat membedakan dua proses sosial, yaitu proses konjungtif yang bersifat mempersatukan, dan proses disjungtif yang semakin menjauhkan orang satu sama lain serta menjadikannya kurang bersetia kawan (solider). Proses konjungtif ialah kerjasama, akomodasi dan asimilasi, sedangkan proses disjungtif ialah kompetisi, kontravensi dan konflik.

Dengan kompetisi dimaksudkan suatu proses sosial yang di dalamnya dua orang atau lebih berjuang untuk mendapatkan sasaran yang sama. Sedangkan konflik berarti suatu proses sosial yang di dalamnya dua orang atau lebih berusaha menggeser satu sama lain, baik dengan melenyapkannya atau menjadikannya tidak berdaya.

Jika keluhan yang disebut "Liberal," bahwa banyak warga Jemaatnya yang di"ajari" untuk mengkritik ajaran Gerejanya dan Pengerjanya itu memang benar, maka barangkali perlu suatu penjernihan. Jika Gereja merasa seperti seorang Bapak yang kadang-kadang kecewa karena akan menyuruh anaknya ternyata anaknya tidak di rumah, barangkali Bapak perlu bertanya, mengapa anak-anak tidak kerasan di rumah.

Berdasarkan pengertian konflik di atas, gejala saling memberi cap, yang dicap "Liberal" membalas pihak lainnya "Fundamentalis," dapat dikatakan suatu gejala konflik. Suatu konflik yang dimulai dengan kompetisi untuk "memenangkan jiwa bagi Kristus" menurut pemahaman terhadap Alkitab secara berbeda. Karena jiwa yang hendak dimenangkan itu jumlahnya hanya "sedikit," maka kompetisi meningkat dan menjurus kepada usaha mendesak pihak lain hilang dari peredaran (out of circulation, out of business). Jumlahnya "sedikit" karena mereka itu sudah Kristen. Sebenarnya jika kita lebih mau menengok ke luar, masih banyak, ya begitu banyak orang yang....... Baik sehingga tak akan habis digarap seumur hidup kita. baik mereka itu pengusaha dan mahasiswa di kota, maupun para petani dan pekerja di desa terutama di pantai selatan Jawa, dari Ujung Kulon sampai Semenanjung Blambangan.



TIP #16: Tampilan Pasal untuk mengeksplorasi pasal; Tampilan Ayat untuk menganalisa ayat; Multi Ayat/Kutipan untuk menampilkan daftar ayat. [SEMUA]
dibuat dalam 0.03 detik
dipersembahkan oleh YLSA