Resource > Jurnal Pelita Zaman >  Volume 7 No. 1 Tahun 1992 >  SEJARAH DAN TINJAUAN KRITIS TERHADAP TEORI KENOSIS > 
MAKNA KENOSIS DALAM FILIPI 2:7 

Titik terpenting dalam persoalan teori kenosis ini tentunya adalah apa yang dimaksudkan Paulus dengan istilah kenoo ("mengosongkan diri") dalam Filipi 2:7. Untuk dapat melihat dengan jelas makna kenoo ada baiknya kalau kita mengutip Filipi 2:6-8:

(Kristus Yesus), yang walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diriNya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia. Dan dalam keadaan sebagai manusia, Ia telah merendahkan diriNya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib."

"Mengosongkan diri"(kenoo) digunakan dalam arti: 1) mengosongkan; 2) menghapuskan, membuat tidak berpengaruh (make of no effect); atau 3) kehilangan pembenaran-(nya).200 Persoalan dalam ayat ini adalah: Apa yang dikosongkan oleh Kristus dalam inkarnasiNya? Teori kenosis dengan segera akan menunjuk pada keallahan Kristus, yakni yang disebutkan dalam ayat 6, "rupa Allah" atau "kesetaraan dengan Allah." Karena itu, perlu bagi kita untuk mengerti arti "rupa Allah" (morphe theou) dalam ayat ini.

Carmen Christi atau Hymne Kristus ini (ay. 6-11) berkaitan erat dengan ayat-ayat sebelumnya (ay. 1-5), yang menasehatkan jemaat Filipi agar mereka bisa bersikap rendah hati. Sikap rendah hati Kristus dalam ayat-ayat berikut (6-11) menjadi contoh yang jelas untuk mereka teladani dalam kehidupan mereka sehari-hari. Kebanyakan penafsir terlalu menekankan penafsiran ayat 6-11 secara Kristologis. Tanpa membuat polarisasi antara penafsiran secara teologis atau etis, ada baiknya untuk juga melihat dimensi etis dalam ayat 6-11.

Dalam ayat 6 dikatakan Yesus "dalam rupa Allah" (en morphe theou) yang tentunya menunjuk pada keberadaan Yesus dalam prainkarnasiNya. Kata en ('dalam') menunjukkan bahwa Kristus ada di dalam rupa Allah. Seolah-olah Kristus dibungkus dalam rupa Allah, atau rupa Allah menjadi lingkungan di mana Kristus berdiam.

Kata morphe merupakan kata yang sukar untuk dimengerti. Para penafsir berbeda pendapat dalam mengartikan kata ini. G. F. Hawthorne, dalam kesimpulannya setelah mengemukakan pendapat berbagai penafsir~ mengatakan bahwa harus diakui arti kata morphe ini sukar untuk dipahami.201 Setuju dengan pendapat Hawthorne, M. Silva menulis: "morphe dikarakteristikkan oleh ekstensi semantik."202

Pada prinsipnya, ada tiga pendapat dalam penafsiran kata morphe. J. B. Lightfoot mengkontraskan antara morphe (ay. 2:6) dan schema (ay. 2:8). Morphe, dalam latar belakang filsafat Yunani, menunjuk pada esensi atau karakteristik yang ada di dalam; sedang schema menunjuk pada sesuatu yang dapat berubah-ubah, yang terlihat dari luar.203 Lightfoot sendiri tidak mengidentikkan kata morphe dengan phusis atau ousia, namun "dalam rupa Allah" berarti mengambil bagian dalam esensi ilahi Allah. Mengikuti kesimpulan Lightfoot, J. J. Muller mengatakan bahwa en morphe theou bukan berarti esensi atau keberadaan Allah yang abstrak, dan juga bukan semata-mata bentuk atau penampakan eksternal Allah, tapi betul-betul menunjuk pada arti natur ilahi, yang tak terpisahkan dari pribadi itu sendiri.204

Kalau Lightfoot melihat arti morphe dari latar belakang penggunaannya dalam filsafat Yunani, maka E. Kasemann melihatnya dari latar belakang agama Helenistik. Menurut Kasemann, morphe menunjuk pada modus keberadaan (a mode of being).205 Jadi, Kristus dalam prainkarnasiNya bukan saja berada "dalam rupa Allah," tapi ada dalam modus keberadaan Allah yang ilahi.

Tafsiran ketiga adalah seperti yang dikemukakan oleh R. P. Martin.206 Setelah ia menyelidiki penggunaan morphe, dengan latar belakang LXX, Martin menyimpulkan bahwa morphe theou dapat dilihat sebagai kata yang ekuivalen dengan eikon (image, gambar/rupa) dan doxa (glory, kemuliaan) Allah. Yesus dalam prainkarnasiNya berada dalam rupa (eikon) Allah dan merefleksikan kemuliaan (doxa) Allah. Martin juga setuju dengan adanya motif Adam pertama Adam kedua dalam ayat ini. Sebagai Adam kedua, Yesus merefleksikan kemuliaan Allah, dibandingkan dengan Adam pertama yang gagal dalam hal ini.

Bila kita lihat paralel antitetis antara "rupa seorang hamba" dengan "rupa Allah," maka arti morphe harus dapat diterapkan dalam paralel tersebut. Sekalipun penyelidikan Martin nampak cukup meyakinkan, namun agak sukar untuk menerapkan arti eikon dan doxa dalam istilah "rupa seorang hamba." Tafsiran Kasemann memang dapat cocok dengan konteks dan dapat diterapkan dalam paralelisme, namun tafsiran tersebut banyak mendapat sanggahan karena terlalu bergantung pada mitos Gnostik, the "Heavenly Man."207

Hawthorne dan Silva menyetujui pendapat Lightfoot, yang mereka anggap merupakan pendekatan arti yang lebih cocok dibandingkan dengan yang lain.208 Namun, bila kita menuruti pendapat Lightfoot, kita akan menemui kesukaran untuk menjelaskan bagaimana Kristus mengosongkan diri atau membuat esensi keallahanNya menjadi tidak memberi efek apa-apa.

J. Behm, berdasarkan penggunaan kata morphe dalam literatur Yunani klasik, memberi arti morphe Sebagai "sesuatu yang dapat ditangkap/dimengerti melalui indera."209 Memang, seperti dikatakan oleh Hawthorne, sulit untuk mengenakan arti kata ini pada Allah yang tidak dapat ditangkap melalui indera kits, karena Allah tidak kelihatan. Tapi patut kita ingat bahwa Paulus tidak bermaksud membeberkan suatu doktrin ontologi Kristus. Karena itu, tidak perlu kita mengenakan arti kata morphe terlalu tepat dalam arti filosofisnya.

Bila demikian halnya, maka arti kata morphe akan kita rekonstruksikan sebagai Allah sebagaimana dimengerti oleh kita sebagai manusia. Kita tidak perlu membuang pendapat-pendapat yang telah ada mengenai arti kata morpheini. Bahkan, penyelidikan mereka akan menolong kita untuk dapat lebih mengerti ayat ini, karena persepsi kita akan Allah akan lebih diperjelas oleh pendapat mereka. Seperti yang dikemukakan oleh Kasemann, Kristus dalam "rupa Allah" sejajar dengan ide "kesetaraan dengan Allah."210 Maka Kristus yang ada dalam rupa Allah, kita persepsikan sebagai Ada yang mempunyai atribut esensi yang sama dengan Allah. Sebagai Allah, tentunya Kristus memancarkan kemuliaan Allah, karena kemuliaanNya tidak dapat terpisahkan dari pribadiNya.

Kenosis Kristus adalah dengan "mengambil rupa seorang hamba" dan "menjadi sama dengan manusia. Paulus tidak menyebutkan bahwa Kristus meninggalkan atribut ilahiNya atau hakekat keallahanNya. Yang dikemukakan Paulus dalam ayat ini adalah suatu paradoks ilahi, Kristus yang adalah Allah rela untuk menjadi manusia dan mengambil rupa seorang hamba.211 Mengatakan bahwa menurut ayat ini Yesus meninggalkan atribut ilahiNya, seperti yang dikatakan oleh para penganut teori Kenosis, mungkin terlalu memaksakan arti yang Paulus sendiri tidak maksudkan.212 Dalam bagian ayat-ayat ini, Paulus menggunakan bahasa puitis untuk melukiskan kerendahan hati Tuhan Yesus untuk diteladani oleh jemaat Filipi dan bukan memberikan suatu penjelasan ontologis yang terjadi dalam inkarnasi Kristus. Sekalipun demikian, dapat kita simpulkan, meski bagian ayat ini tidak bermaksud secara ketat mengajar doktrin dwi natur Kristus, namun ayat-ayat ini tidak bertentangan dengan formulasi Kristologi Gereja pada abad keempat, seperti yang kita mengerti pada masa ini.



TIP #07: Klik ikon untuk mendengarkan pasal yang sedang Anda tampilkan. [SEMUA]
dibuat dalam 0.04 detik
dipersembahkan oleh YLSA