Resource > Jurnal Pelita Zaman >  Volume 7 No. 1 Tahun 1992 >  FINALITAS KRISTUS > 
PENDEKATAN KOMPARATIF 

Perkataan komparatif memerlukan kualifikasi, jika tidak ia akan menyesatkan kita. Dalam perbandingan, jikalau seseorang hanya memusatkan pikiran pada masalah superioritas atau inferioritas dari suatu entitas yang diperbandingkan, nyatalah, dia telah terikat pada suatu praanggapan bahwa di sana tak ada perbedaan kualitatif selain perbedaan kuantitatif di antara entitas yang didiskusikan. Orang Tionghoa selalu berkata: engkau jangan membandingkan seekor lembu dengan seekor kuda. Karena itu metode komparatif dibenarkan jika dan hanya jika entitas yang diperbandingkan berasal dari praanggapan yang sama, atau dari kualitas yang sama, seperti contoh-contoh kasus perbandingan dalam surat kiriman kepada orang Ibrani. Pertimbangkan argumen berikut ini:

... Yesus lebih bijak daripada guru-guru yang lain, (maka) agama Kristen lebih superior daripada agama yang lain dalam semua hal, dan oleh karenanya, berdasarkan prinsip ketahanan hidup dari yang paling cocok, Kekristenan seharusnya melampaui yang lainnya.157

Bruce menunjukkan bahwa metode demikian tidak memuaskan seseorang yang antusias (ingin percaya) pada agama lain. Kenyataannya, kesalahan dari argumen seperti itu dapat dilihat dari standar ganda di dalamnya, yang mencanangkan prinsip ketahanan hidup dari yang paling cocok (survival of the finest) dan upaya mengutamakan Kekristenan yang mungkin dapat dihapuskan oleh studi perbandingan yang menyusul pada kemudian hari. Di samping itu, posisi sedemikian sama sekali tidak menyediakan praanggapan Kristiani yang mendasar.

Titik yang paling krusial dalam metode ini terletak pada pertanyaan "Apakah kriteria dari otoritas yang terakhir?" Sebab jika soal adaptabilitas (hal dapat disesuaikannya) dan universalitas iman Kristen dijadikan patokan bagi finalitasnya, maka argumen ini menjadi gugur dengan sendirinya karena otoritas yang terakhir itu belumlah ditetapkan.

Kemiripan dan perbedaan antara Kekristenan dan agama yang lain adalah suatu fakta (namun tidak perlu merupakan suatu realitas). Mereka boleh ditimbang sebagai kesatuan wujud fenomenal tapi pasti bukan bersumber dari dasar yang sama. Secara mendasar, mereka merupakan fenomena dari dua dasar yang berbeda, dua komitmen kepercayaan yang secara khas berbeda. Tanpa menyadari fakta ini, metode perbandingan dalam studi agama menjadi tak bermakna. Satu-satunya jalan untuk membenarkan metodologi ini adalah mengakui adanya praanggapan-praanggapan presaintifik yang membawahi kedua sistem dan lebih jauh membandingkan mereka di dalam pengakuan tentang adanya satu Allah yang sejati. Studi perbandingan yang terlalu sederhana (untuk menunjukkan superioritas Kristus mengatasi guru-guru lain) hanya akan menurunkan derajatNya pada tingkat dari guru-guru lain tersebut, atau sebaliknya menaikkan derajat agama lain pada level di mana Kekristenan berdiri. Hasil dari studi komparatif ini secara tak terelakkan akan mengarah pada sinkretisme dan semangat untuk bertoleransi, yang akan lebih merusak ketimbang mendatangkan kebaikan dalam konteks pengesahan (peneguhan) iman Kristen.



TIP #15: Gunakan tautan Nomor Strong untuk mempelajari teks asli Ibrani dan Yunani. [SEMUA]
dibuat dalam 0.03 detik
dipersembahkan oleh YLSA