Resource > Jurnal Pelita Zaman >  Volume 5 No. 1 Tahun 1990 >  TINJAUAN BUKU > 
JOACHIM HUANG 

C.S. Song, Sebutkanlah Nama-nama Kami: Teologi Cerita Dari Perspektif Asia. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1989. xii + 270 hal.

C.S. Song, Allah Yang Turut Menderita: Usaha Berteologi Transposisional. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1990. xvi + 380 hal.

Buku Sebutkanlah Nama-nama Kami memang sedikit lebih tebal dari buku aslinya dalam bahasa Inggris (Tell Us Our Names: Story Theology from an Asian Perspective. Maryknoll, NY: Orbis, 1984 xi + 212 pp.), namun jelas harganya jauh lebih rendah daripada yang asli. BPK Gunung Mulia agaknya berbeban memasyarakatkan buku-buku Song untuk konsumsi pembaca di Indonesia, oleh karena itu buku-buku ini perlu mendapat tinjauan khusus.

Seperti karyanya yang lebih awal, Song kali inipun tampil secara menarik dan nyaris orisinil. Kesepuluh esai dalam bukunya dilandaskan atas cerita-cerita rakyat dan dongeng-dongeng dari berbagai bagian dunia. Kisah-kisah tersebut ia padukan dengan eksposisi Alkitab menurut pengertiannya serta ia integrasikan dengan kepercayaan atau agama dari Timur. "Teologia Cerita" inilah yang ia artikulasikan sebagai suatu usaha supaya "orang Kristen memahami kembali iman percaya kepada Yesus Kristue di dalam dunia yang berbeda secara budaya, kepercayaan dan sosial politik" (h.xi). Song yakin bahwa "teologi rakyat" ini sanggup menjadi "kunci emas.... untuk membuka pintu batu agama-agama" (h. 207, 210).

Di dalam buku ini pada intinya, bisa dijumpai bagaimana Song memaparkan pengertian dasarnya tentang teologia kontekstual di Asia, suatu teologia yang menggemakan denyut hati Allah ke dalam hati masyarakat Asia. Di dalamnya sudah tercakup pengertian bahwa teologia ini memanfaatkan sejarah tertentu dari Asia untuk dimasukkan ke dalam rencana Allah. Intinya, konteks dan penyataan/wahyu menjadi menyatu di dalam suatu pendekatan yang Song sebut sebagai teologia yang memakai hati, mulut dan sendi-sendi, bukan teologia saintifik yang melulu mengandalkan kepala/otak.

Maka, kemudian, pengertiannya tentang misi juga berbeda dengan teologia yang tradisional. Baginya, misi Kristen tidak boleh diwarnai dengan gerakan memberi nama, melainkan mempelajari nama. Maksudnya, kebiasaan memberi nama baru kepada orang yang masuk Kristen pada waktu dibaptis merupakan kekeliruan dasar dari misionaris-misionaris Barat. Alasannya, bagi orang Asia, nama memiliki arti tertentu dan diberikan dengan sangat hati-hati. Oleh karena itu, tindakan mengganti nama (karena dianggap tidak kristiani itu) merupakan tindakan yang merebut identitas orang-orang Asia yang menjadi Kristen. Jadi inti daripada sebutkanlah Nama-nama Kami adalah himbauan Song agar orang Kristen di dunia ketiga mengklaim identitas mereka dan itu dimulai dari nama seseorang.

Menurutnya, misi Kristen lebih merupakan perkara kasih (love affair) ketimbang perkara kebenaran (truth affair), dan misi ini dilaksanakan oleh orang Kristen yang tidak "dihias sana sini", melainkan oleh mereka yang telah di tatoo secara memedihkan di dalam bahasa, budaya negara mereka, serta di dalam jeritan dan harapan bangsa mereka. Sebab itu, sebagai landasan dari pandangan itu, Song mengajak pembacanya menelusuri "teologia politik", di mana Yesus Kristus digambarkannya sebagai pribadi yang membawa kita pada pengertian tentang "politik salib". Maksudnya, salib telah menjadi dan akan selalu menjadi inti dari teologia politik, di mana politik demokrasi dan gerakan-gerakan pembebasan lainnya menurutnya merupakan refleksi dari politik Allah di dalam dunia ini melalui Yesus Kristus.

Di dalam Allah Yang Turut Menderita, Song memaparkan studinya tentang teologia transposisional yang ia yakini cocok untuk Asia, serta merupakan prerikuisit (=prasyarat) untuk mengkomunikasikan Injil ke dunia ketiga. Yang pertama-tama dominan ialah penolakannya akan teologia Barat, khususnya "Salvation history theology", yakni teologia yang memetakan sejarah keselamatan Allah dari Israel - Yesus sampai akhir zaman, sehingga Allah seakan-akan hanya bekerja di bagian tertentu dari dunia ini saja. Ini disebutnya sebagai "straight line theology". Menurut Song, yang benar adalah prinsip dispersi (=perserakan), yaitu bahwa karya keselamatan Allah tidak terpaku dan tidak harus mengacu pada sejarah Israel - Kristen di masa lampau.

Maka yang harus terjadi dalam teologia transposisional, menurut Song, adalah adanya: penggeseran dari satu tempat ke tempat lainnya atau satu periode waktu ke periode waktu berikutnya, translasi dari satu bahasa ke bahasa lainnya, pergantian cara-cara penyampaian, dan inkarnasi ke dalam budaya lain. Yang terakhir tadi maksudnya adalah karena Allah telah menjadi daging (=manusia) di dalam Yesus, maka ia juga akan menyatakan diriNya di dalam setiap budaya. Maka, implikasinya adalah, Kristus yang berhidung mancung dari Barat seharusnya tidak di bawa ke Asia; di Asia sang Kristus harus berhidung pesek. Dengan demikian barulah terlihat bahwa Allah turut serta di dalam kehidupan dan sejarah bangsa-bangsa di luar orbit gereja Kristen.

Dengan lain perkataan, sentrisme Yahudi dan Kristen harus lenyap, karena sentrisme hanya akan membutakan kita dari kenyataan bahwa Allah sedang bekerja di dalam segala kondisi dan lapisan manusia. Maka, ramuan teologia transposisional Song adalah teologia yang direkayasa sepenuhnya dari bahan, pandangan, dan pengalaman orang Timur. Caranya adalah dengan berangkat dari penderitaan (salib) Kristus untuk melihat penderitaan Asia (yang kebanyakan tentu saja bukan orang Kristen). Dengan demikian, tugas daripada teologia di Asia ialah menemukan di mana Allah sedang aktif bekerja atau mengidentifikasikan diriNya melalui orang Asia yang menderita.

Untuk itu Song memulai analisanya dari Tiongkok. Ia melihat adanya persamaan antara nabi-nabi di Perjanjian Lama dengan pujangga-pujangga Tiongkok kuno yang mengeritik penguasa-penguasa yang lalim. Dari sini Song berkesimpulan bahwa Allah, sebenarnya juga berkarya di negara-negara lain di luar lingkup Kekristenan. Baginya, roh yang pernah membuka mata Buddha Gautama untuk melihat penderitaan manusia adalah sama dengan roh yang membuka mata orang Kristen untuk menatap pada Yesus Kristus. Berbarengan dengan itu, sambil mencela langkah-langkah misi Barat, Song menganggap Buddhisme lebih sukses di Tiongkok ketimbang Kekristenan.

Sekali lagi, karya Song kali inipun harus dihargai sebagai visinya yang rindu melihat munculnya suatu masyarakat yang penuh dengan belas kasihan dan yang diwarnai dengan suatu persekutuan kasih tanpa memandang pada perbedaan ras, warna kulit, status sosial, kredo dan seks. Namun sayang, Song, yang pernah menulis dari Asia (yakni Taiwan), sekarang menulis dari California, Amerika Serikat (setelah sebelumnya menetap di Geneva, Swiss). Yang menjadi pertanyaan adalah: berapa lama lagi ia mampu menulis tentang teologia transposisionalnya untuk Asia (atau dunia ketiga) sedangkan ia sendiri tidak hidup di tengah-tengah penderitaan mereka?

Dari kedua karya Song ini, saya mencatat beberapa keberatan yang bersangkut paut dengan sistim pemikiran Song. Pertama, karena Song selalu memulai dari konteks (yakni, keyakinan kepercayaan atau ideologi apa saja), tidak sulit baginya untuk mengadopsi dengan begitu saja keyakinan Buddhisme atau Marxisme selama ideologi atau kepercayaan lain cocok ke dalam kerangka pemikirannya. Yang dilihat dan yang diadopsi oleh Song adalah segi yang baik atau yang positif saja dari kepercayaan atau ideologi lain, sehingga baginya budaya atau agama/ideologi lain itu harus menyodorkan agenda bagi teologi dan bukan sebaliknya. Dengan pendekatan eklektik dan relativistik seperti ini tidaklah heran apabila Song menjurus kepada universalisme. Jadi, apabila Song menganggap budaya dan agama lain itu penting. Itu bukanlah karena ia mempunyai keprihatinan supaya Nil dikomunikasikan kepada segala makhluk. Baginya Injil atau wahyu merupakan bagian dari atau berada di dalam budaya dan agama lain.

Kedua, sebagai konsekuensi dari pandangan di atas, yang terlihat jelas dalam sistim pemikiran Song adalah adanya usaha untuk mengadakan redefinisi atau reformasi menyeluruh dari hampir semua struktur doktrin Kristen (misalnya, doktrin tradisional tentang wahyu, Kristus, keselamatan, gereja, akhir zaman; semuanya dirancang bangun kembali oleh Song). Tidak heran Song juga begitu antipati terhadap segala sesuatu yang berbau misi Kristen yang berpola tradisional. Baginya, misi Kristen harus direkonstruksi secara total supaya aplikasinya lebih humanistis dan pragmatis. Akibatnya, Injil atau kabar baik bagi orang berdosa supaya bertobat melalui percaya kepada Kristus menjadi kabur di dalam sistim Song.

Ketiga, Song mengingatkan bahwa tidak mungkin Tiongkok dapat "dimenangkan" melalui gerakan misi di dalam (yang dilakukan melalui pekabaran Injil). Agaknya ia terlalu meremehkan kesaksian orang-orang Kristen di sana; padahal, justru setelah buku-buku Song ini selesai dicetak (1982,1984), gerakan pekabaran Injil di Tiongkok bukan main pesatnya. (Sekarang bisa saja agak berhenti karena adanya penindasan terhadap mahasiswa-mahasiswa di Tien An Men, 1989). Saya kira terlalu prematur bagi Song untuk menilai "kegagalan' misionaris di Tiongkok yang mengabarkan Injil di sana selama kira-kira satu abad. (Bandingkan dengan agama Budha yang memerlukan tiga sampai empat abad untuk "memenangkan" Tiongkok).

Tetapi, sebenarnya, untuk apa memperbandingkan Buddhisme dengan Kekristenan di Tiongkok? Song agaknya begitu terkesan dengan kemajuan Buddhisme yang pragmatis itu di Tiongkok, Jepang dan beberapa negara Asia Tenggara. Tetapi, bukankah Buddhisme sendiri tidak terlalu berhasil di India (karena kebanyakan akhirnya beragama Hindu), sekalipun Sidharta Gautama sang Buddha dilahirkan di Kapilavastu di perbatasan India dan Nepal? Intinya, kurang berhasilnya Kekristenan di Tiongkok atau Asia tidaklah boleh semata-mata dianggap sebagai kesalahan total dari semua metode tradisional atau usaha-usaha misionaris, karena nyatanya apa yang terjadi di Tiongkok (khususnya sebelum peristiwa Tien An Men) merupakan hasil pekerjaan para misionaris. Bukankah Buddhisme sendiri tidak terlalu berhasil di negara-negara Barat?

Namun, terlepas dari segi setuju atau tidak setujunya pembaca mengenai detail-detail dari pandangan Song, harus diakui bahwa ia telah mempresentasikan suatu corak berteologi kontekstual yang menantang reaksi. Perpaduan yang dibuatnya antara cerita, konteks dan isi Alkitab boleh di kata sangat berani dan kreatif. Isinya jelas berbeda sekali dengan pendekatan teologia Barat yang tradisional yang pernah digambarkannya.sebagai teologia yang telah gagal membebaskan wahyu Ilahi dari "jubah" budayanya. Namun, seharusnya Song juga tidak sampai membiarkan "jubah" itu menutupi secara total wahyu Ilahi, supaya yang terlihat jangan hanya "jubah"nya saja.



TIP #35: Beritahu teman untuk menjadi rekan pelayanan dengan gunakan Alkitab SABDA™ di situs Anda. [SEMUA]
dibuat dalam 0.03 detik
dipersembahkan oleh YLSA