Resource > Jurnal Pelita Zaman >  Volume 5 No. 1 Tahun 1990 >  MANUSIA DAN KEMATIAN124 > 
PERJALANAN MENCARI MAKNA 

Hidup manusia terarah kepada kematian. Maka manusia menyadari kalau hidupnya bukan saja terbatas tetapi juga dibatasi. Ia tidak bisa begitu saja memakai dan melewati hidupnya. Kematian seolah-olah memaksa manusia untuk memikirkan makna hidupnya. Mulailah manusia melakukan perjalanan mencari makna.

Untuk apa manusia hidup? Biasanya dengan mudah orang akan mengacu pada nilai-nilai yang ada di dalam dunia, seperti: keluarga, bangsa, karir, ilmu pengetahuan, mengabdi kepada sesama. Untuk sementara makna hidup sudah terjawab, demikian juga dengan kematian. Kematian tidak lagi meniadakan semua perolehan dan jerih payahnya sehingga menjadi sia-sia. Karena segala hasil itu mengacu kepada sesuatu yang mengatasi kematiannya, sesuatu yang transenden. Dengan demikian nilai yang ada di dunia bisa diangkat ke tatanan transenden demi menjadi makna dan tujuan hidup.

Tetapi faktanya, perjalanan mencari makna itu tidak berhenti sampai di situ. Orang masih belum puas. Artinya, orang masih mencari 14 dasar nilai dari realitas dunia yang sudah ditransendenkan itu. Kalau rakyat hidup untuk negara, lalu negara ada untuk siapa? Mustahil untuk rakyat lagi. Minimal negara ada untuk dirinya sendiri. Di sinilah orang mulai menanyakan lebih jauh makna yang lebih dalam.

Sebenarnya masalah ini bila dimengerti. Realitas yang ditransendenkan itu sebenarnya bukan realitas transenden yang sejati. Realitas transenden semu itu tidak mampu memadamkan gejolak hasrat mencari makna hidup. Paling banyak gejolak itu diredakan untuk sementara waktu, dan kemudian akan muncul kembali. Memang yang namanya realitas dunia, ya tetap dunia. Mustahil ia menjadi realitas metadunia yang transenden. Jika realitas yang fana dijadikan pemuas dahaga jiwa yang abadi, hasilnya adalah usaha pencaharian makna hidup yang tiada henti-hentinya. Dalam ungkapan Kitab Suci usaha itu digambarkan sebagai usaha menggali kolam namun kolam itu bocor (Yeremia 2:13).

Untuk mengakhiri usaha mencari makna tanpa akhir itu, orang menempuh dua macam cara. Pertama, absolutisasi sebuah nilai partikular. Dengan sengaja nilai-nilai dan realitas-realitas lain tidak dipersoalkan apakah mereka melebihi nilai yang dimutlakkan itu. Jadi, soal baik dan buruk secara mutlak ditentukan dari nilai absolut itu. Misalnya, cinta romantis dimutlakkan. Apa yang membuat cinta r omantis itu tumbuh, itulah yang baik. Segala sesuatu yang mengganggu keberlangsungannya, harus dipandang sebagai jelek. Nilai kedewasaan dan nilai tanggung jawab, kalau tidak menunjang cinta romantis, disilakan menepi. Demikianlah jadinya apabila nilai cinta romantis dijadikan absolut. Sebenarnya, cinta romantis cuma merupakan sebagian dari realitas kehidupan. Tetapi realitas bagian itu jadinya menentukan keseluruhan dalam cara yang pertama ini.

Cara kedua yaitu realitas keseluruhan menentukan realitas bagian. Di sini orang mengerti bahwa realitas hidup merupakan deret tak terhingga. Setiap realitas terbatas dipandang sebagai satuan dari totalitas kehidupan. Totalitas ini berada di balik deretan realitas terbatas, tetapi ia hadir secara simbolis untuk memberi makna kepada deretan realitas terbatas itu. Jadi, orang tidak boleh dan juga tidak pernah bisa berhenti pada satu gol yang dimutlakkan. Orang harus mengembara dari satu realitas terbatas ke realitas terbatas lainnya, dari satu realitas makna ke realitas makna lainnya, dalam suatu perjalanan tanpa akhir. Orang harus berjuang dengan tidak mengenal lelah, agar totalitas kehidupan mengungkapkan dirinya.

Kedua cara di atas memperlihatkan bahwa hidup manusia yang fana itu diserap ke dalam suatu konfigurasi makna yang lebih tinggi. Perbedaannya, yang pertama bersifat statis dan yang kedua bersifat dinamis. Dengan cara apa pun manusia hendak memperlihatkan bahwa kematian bukan lagi sesuatu yang asing, kontradiktif, dan membingungkan. Sebagai pengakhir kehidupan, kematian kehilangan gigitannya dan menjadi masalah yang kecil. Manusia boleh dikatakan tidak lagi sama sekali mati. Ia tetap utuh, ia cuma beralih ke perwujudan hidup yang asli. Karena kematiannya sudah diserap ke dalam wujud yang lebih tinggi.

Maka tugas utama manusia adalah berjuang demi sebuah alasan untuk hidup, yang mampu mengatasi kefanaan hidup. Manusia dengan begitu tidak lagi cuma merupakan bagian dari siklus lahir - dewasa - mati. Kefanaannya diatasi karena ia bergabung ke dalam alasan yang demikian ia mati. Ia berhasil melintasi kefanaan dan masuk ke dalam kekekalan. Tujuan hidupnya tercapai.



TIP #25: Tekan Tombol pada halaman Studi Kamus untuk melihat bahan lain berbahasa inggris. [SEMUA]
dibuat dalam 0.04 detik
dipersembahkan oleh YLSA