Resource > Jurnal Pelita Zaman >  Volume 16 No. 2 Tahun 2001 > 
AGAMA, NEGARA, DAN CIVIL SOCIETY: SEBUAH SERPIHAN PENUTURAN SEORANG KRISTEN1693 
Penulis: Supriatno
 PENDAHULUAN

Kini, setiap agama hidup dalam situasi pluralistik. Fenomena ini mengimplikasikan banyak hal. Yang bisa disebutkan di antaranya, tatanan realitas kehidupan sosial tidak bisa dimaknai, apalagi di dikte hanya oleh satu agama. Suka atau tidak suka, sedikit atau banyak, setiap agama memiliki andil untuk ikut memaknai dan menentukan realitas kehidupan sosial. Begitu juga, situasi hubungan antar agama akan membentuk atmosfir realitas sosial yang terjadi. Karena itu, tidak diragukan lagi pada era ini tantangan paling besar adalah perjumpaan atau pertikaian bernuansa agama. Dengan kata lain, bagaimana pun relasi antar agama bisa menjadi titik pangkal "hitam putihnya" suatu kehidupan masyarakat kita sekarang ini. Persepsi dan cara pandang agama yang satu atas agama yang lain berperan penting bagi tatanan kehidupan kita ini. Selain itu, seperti yang dinyatakan Rienzei Parera, dalam situasi keagamaan yang pluralistik akan terjadi proses yang dinamis. Dalam pengertian, tidak bisa satu agama mengklaim bahwa dirinya memonopoli keselamatan manusia dan mempunyai status paling istimewa atas hal yang menyangkut iman dan spiritualitas. Melainkan setiap agama akan bisa menjadi saling komplementer, atau malah terjerumus konflik.1694

Jika ditarik lebih introspektif, asumsi demikian sangat relevan bagi konteks Indonesia kini. Apakah agama-agama yang hidup di bumi Indonesia mampu hidup berdampingan secara damai, atau justru sebaliknya lebih mengedepankan kompetisi tidak sehat yang mengarah kepada konflik terbuka. Tentu setiap pilihan akan berdampak secara konkrit atas iklim kehidupan individual atau sosial warga bangsa ini. Perkembangan terakhir memperlihatkan merebaknya kekerasan berdimensi horizontal yang kental dengan nuansa keagamaan.

Konsekwensinya, peran agama yang selama ini ditempatkan sebagai benteng moralitas dan nilai-nilai spiritualitas terhadap kehidupan sosial yang mengutamakan keadilan dan perdamaian tercoreng. Wajah agama berubah. Agama menjadi wilayah angker dan menakutkan. Simbol-simbol agama dijadikan energi dan motivasi untuk daya gugah melakukan perbuatan a-moral dan a-spiritual, yang bertentangan dengan hakekat agama itu sendiri. Agama bukan lagi kekuatan yang mampu mengurai dan memecahkan problem sosial. Sebaliknya, diharapkan agama menjadi faktor pemersatu (uniting factor), alih-alih menjadi faktor pemecah (dividing factor). Akhirnya, kesan kuat yang muncul, agama malah menjadi bagian dalam problem sosial.

Berkenaan bahwa sebenarnya agama menjadi kekuatan laten atau potensial bahkan aktual bagi terbentuknya format kehidupan di tengah masyarakat. Jelas, jika kondisi yang memprihatinkan dibiarkan berlarut-larut, maka cepat atau lambat agama akan menghadapi erosi kredilitas. Kita tidak mau itu terjadi. Di sinilah agama bersedia bersikap rendah hati, dalam hal ini agama perlu bercermin ulat melihat identitasnya yang sejati. Untuk itu, diperlukan upaya-upaya dan pemikiran bersama yang menuntun ke arah track-nya yang benar yaitu agama sebagai sumber utama kandungan nilai yang menjunjung tinggi terpeliharanya kehidupan sosial yang mengutamakan respek kepada kemanusiaan. Dalam hal ini memberi orientasi dan terwujudnya kehidupan bersama yang penuh keadilan dan perdamaian. Dan berkaitan dengan itu, rasanya pemikiran di sekitar agama, negara dan kaitannya dengan civil society mudah-mudahan menjadi salah satu elemen yang ikut memberi kontribusi ke arah itu.

 AGAMA KRISTEN DAN POSISINYA ATAS NEGARA

Agama itu berwajah ganda. Ia adalah entitas rohani, dalam pengertian sumber eksistensi dan orientasi kehidupannya menyangkut kehidupan yang berkaitan dengan yang ilahi. Dan raison d'etre-nya adalah dunia trasendental. Institusi yang mandiri, ketergantungannya hanya pada dimensi keilahian. Wajah lain, agama dapat dilihat dalam dimensi sosial. Ia mempunyai kehidupan sosialitas yang mau tidak mau harus berinteraksi dengan institusi di luar dirinya, salah satunya negara.

Sehubungan dengan yang terakhir, begitu kuat dalam pemikiran kalangan Kristen, bahwa agama sejati akan lebih kuat jika mengambil jarak (distansi) atas kekuasaan atau negara. Dengan posisi demikian, agama mempunyai kewibawaan karena tidak terikat kepentingan (non-kooptatif dan non-interventif) kekuasaan atau negara. Seiring dengan itu, agama yang tidak mencoba merebut kekuasaan untuk diri sendiri, bisa menyuarakan kebenaran Allah yang tanpa pamrih manusia. Agama sejati adalah yang mempergunakan kebenaran dalam kemandirian, bukan sebagai alat represi oleh atau atas nama sponsor di luar dirinya.

Asumsi dasarnya bahwa faktor negara (kekuasaan) bisa menggelincirkan kemurnian keberagamaan seseorang. Atau dengan perkataan lain, ada sisi kekuasaan yang mempunyai watak diametris dengan hakekat keberagamaan. Mengapa? Belajar dari sejarah bagaimana wajah agama tidak pro humanis lantaran terkooptasi dan terintervensi kepentingan institusi di luar dirinya. Kekristenan patut menyadari betul kritik Marx, tatkala agama dipakai untuk meninabobokan secara religius suasana dan struktur yang opresif dengan janji-janji surgawi, bukannya agama mencelikkan mata atas realitas. Teologi lebih membius ketimbang menempatkan sikap siuman sebagai fokus keberagamaan. Masyarakat diajar agama menjadi pasrah dan tunduk kepada institusi lain supaya mereka tidak berontak atas ketidakadilan dan penindasan. Agama menjadi "opium" untuk melanggengkan status quo yang busuk.

Agama (baca: pemimpin agama) bisa terkontaminasi kepentingan politik dan ekonomi sehingga suara agama dan isinya bukan mencerminkan otentisitas kepentingan agama an sich. Agama menjadi institusi dependen atas institusi lain yang lebih dominan (Band. ketika perang AS dan sekutunya melawan Irak. Presiden Amerika mengundang penginjil ternama, Billy Graham, melakukan ibadah sebelum penyerangan ke Irak. Bom diiringi doa.). Agama diidentikkan dengan kompetitor peradaban (religion against civilization). Celakanya, justru tidak sedikit yang bangga walaupun semu dengan fenomena demikian, karena dianggap kekristenan memiliki tempat dalam implementasi kebijakan politik sebuah negara adi daya, seperti Amerika Serikat. Lebih dramatis lagi, ketika revolusi Perancis meletus, 14 Juli 1789. Simbol agama dihancurkan (patung-patung orang suci, harta gereja dan gedungnya diduduki, rohaniawan dipenggal), sedangkan wanita cantik ditempatkan di atas altar gereja. Mengapa? Gereja atau agama berdiri pada barisan yang sadar atau tidak melestarikan rezim kaisar yang represif dan opresif.

Paling tidak bila diproyeksikan ada dua bahaya ekstrim ketika agama dependen atas negara, atau kekuasaan. Proyeksi pertama, agama diperalat untuk menjustifikasi dan melegitimasi target politik dan kekuasaan dari para pemilik kekuasaan. Dengan ujungnya jelas, agama dipakai untuk tameng pelestarian kekuasaan. Karena institusi agama mempunyai basis massa dan ikatan emosional riil, sedangkan penguasa selalu membutuhkan dukungan politik riil. Maka, agama sering menjadi ajang strategis untuk diperebutkan aparatus negara. Bila dimungkinkan dan diperlakukan tangan-tangan kotor negara memasuki bilik-bilik paling privasi milik agama.1696 Dalam kaitan itu juga, bila dipandang perlu penguasa akan royal dalam memberikan fasilitas. Imbalannya, asalkan apa yang dilakukan negara atau penguasa akan mendapat meterai dari agama. Agenda negara (baca: penguasa) menjadi agenda agama. Lebih ekstrim lagi, bagaikan permainan gambit catur, negara sebagai buah raja sedangkan agama buah pion, raja demi kepentingan keselamatannya bisa saja mengorbankan pion.

Proyeksi kedua, bahaya domestifikasi. Agama menghirupkan kebebasan sebebas-bebasnya. Agama mengaktualisasikan dirinya seluas-luasnya. Agama memperoleh ruang hidup seluas-luasnya. Agama bebas menentukan bentuk riilnya, pemimpinnya, dan lain-lain. Pokoknya masalah-masalah sekitar domestik agama (versi penguasa) itu bebas. Tapi bebas yang terbatas. Agama menjadi entitas paradoks. Agama dijinakkan dengan hanya mengurusi soal-soal ritual. Di satu pihak memiliki kebebasan, tapi di pihak lain agama di redusir atau di amputasi. Agama tidak bicara di wilayah kekuasaan atau politik, bahkan dibuat teologi bahwa politik itu kotor secara teologis. Di kalangan pejabat yang beragama Kristen atau pemimpin agama sekalipun, Rm 13 begitu fasih dibacakan secara repetitif dengan interpretasi ketertundukkan tanpa kritik warga negara terhadap negara atau penguasa.

Kedua proyeksi ini sama-sama menempatkan agama sebagai subordinasi, sedangkan negara posisi super ordinasi. Agama kehilangan otonominya. Di sini agama kehilangan watak kritiknya. Fungsi profetik dalam tanah negara dan kekuasaan itu tabu.

Horizon kognitif kita juga akan sampai pada pemahaman bahwa ketika agama memakai alat kekuasaan politik demi tujuan sendiri bukan tanpa resiko. Kita tahu kerap kekuasaan politik begitu familiar dengan kekuatan senjata dan alat represi lain. Paling tidak ada tiga alasan mengapa agama harus mewaspadai dirinya jika memakai kekuasaan politik. Pertama, dalam Alkitab figur pemimpin politik bukan orang yang suci luar biasa. Tidak jarang penindasan, pembunuhan, perzinahan, dan merampas milik orang yang lemah mewarnai perilaku pemimpin politik. Padahal kesalahan pemimpin politik terikat dengan agamanya, maka kalau terjadi erosi kewibawaan pemimpin akan mempengaruhi citra agama.

Kedua, kebenaran agama pada hakekatnya tidak boleh dipaksakan. Agama yang mempergunakan alat kekerasan, jelas menyimpang dari hakekat agama itu sendiri. Agama yang sejati menyatukan Allah dengan manusia dengan jiwa cinta kasih bagaikan suami dan istri, bukan aparat penegak hukum dengan pelaku tindak kriminal seperti polisi dan anak nakal.

Ketiga, dalam konteks masyarakat majemuk betapa sulit satu agama menjadi umpan bersama (common ground) untuk sebuah bangsa.1697

Keempat, tatkala fungsi kontrol agama harus dijalankan untuk menyatakan kesalahan penguasa tanpa pamrih, atau pun mengartikulasikan aspirasi rakyat kecil, dan lain-lain. Mau tidak mau, nantinya agama harus berhadapan dengan diri sendiri. Ini artinya agama bisa terseret arus konflik interes.

Dengan demikian ketika agama terseret politik praktis, dalam kaca mata kekristenan sama saja meredusir agama itu sendiri. Dan apabila demikian agama dilekati dengan otoritas politik. Eksesnya yang bisa diidentifikasi, produk pertimbangan-pertimbangan yang dihasilkan agama kepada negara bukan pertimbangan semata-mata teologis. Produk teologisnya menjadi bias. Bukan salah atau benar secara teologis. Patut atau tidak patut secara politis. Interes politik kekuasaan menjadi lebih dominan ketimbang prioritas nilai substansial agamawi. Malah, jangan heran nanti agama bisa ikut sibuk mengurusi dan rame-rame bancakan kedudukan dan jabatan politis. Akhirnya, pusat pertanyaan yang diperdulikan agama adalah: siapa dapat apa dan siapa dapat berapa.

Tapi, bukan berarti agama tidak bisa memberi apa-apa bagi negara. Bukan pilihan ideal suatu keadaan separasi total antara agama dan negara: Agama dan negara bukan layaknya air dan minyak, berdekatan namun tanpa korelasi. Agama bisa dan harus mempengaruhi politik (atau sebaliknya). Agama harus memberi visi politik yang sesuai dengan nilai-nilai yang sesuai dengan kehendak Allah. Memang, tidak jarang dimensi liberatif agama hanya terkonsentrasi pada level etik mikro pembebasan pribadi pada level individual. Sedangkan pihak penguasa negara lebih menyukai itu, agama berkutat sebatas level itu saja, sehingga agama tidak campur tangan (apalagi "merecoki") dan memberi visi dalam soal politik.1698

Kalau pun agama masuk kancah itu, berarti memasuki "ruang" justifikasi dan legitimasi atas desain atau format dan kebijakan politik penguasa. Tentu saja yang terakhir ini dalam rangka civil society tidak akan memberi kontribusi, bahkan melumpuhkan sendi kekuatan cita-cita masyarakat sipil. Sebab, agama hanya mengurusi masalah-masalah kesalehan dan urusan perilaku yang sangat sempit, sedangkan ketika masuk ranah politik tak lebih menjadi instrumen kekuatan state. Hal itu sama saja memberi ruang negara meluapkan impuls-impuls korupnya tanpa takut tekanan dan kontrol dari kekuatan di luar dirinya.

Hubungan antara agama dan negara kerap dinamakan hubungan koordinatif. Agama dan negara mempunyai otonomi dan eksistensi dengan tugas, otoritas, peran, wilayah spesifik masing-masing. Jelas, dalam konstelasi seperti ini agama bukan superordinasi atau sub ordinasi atas negara. Dengan posisi yang koordinatif, yang bisa ditegaskan bahwa agama mengakui, membutuhkan, menerima, dan menghargai institusi negara pada satu sisi. Pada sisi lain, agama diposisikan selaku sumber kritik dan transformasi atas perilaku negara. Dari sini terlihat ada nuansa ganda; penerimaan positif atas negara berhimpitan dengan sikap kewaspadaan terhadapnya.

Dalam kekristenan memang diakui secara luas, kitab suci tidak memberikan suatu blueprint politik atau format baku satu sistem politik atau negara tertentu yang siap pakai dalam semua kondisi. Kitab suci hanya memberikan rujukan-rujukan dan inspirasi nilai fundamental, seperti kasih, kebenaran, keadilan, dan kesejahteraan, agar dalam kehidupan bernegara nilai-nilai demikian menafasi dan menjadi visi dan menjadi muatan program politik sebuah negara. Sebuah negara atau sistem politik yang vacuum dengan visi dan program yang mempunyai muatan nilai-nilai moralitas tadi, maka tugas agama adalah selalu terus menerus melakukan partisipasi kritis dengan eksponen bangsa lain untuk melakukan transformasi struktural.

Sehubungan dengan ini, terasa ganjil di telinga kalangan Kristen kecenderungan ekslusivisme agama dalam praktik kehidupan bernegara. Dalam pengertian negara dijalankan secara ekslusif menurut cita-cita hanya sebuah agama. Oleh karena itu, tidak diakui terminologi negara Kristen, yaitu suatu negara yang menjadikan kekristenan sebagai ideologi negara. Mengapa? Di belakang pemikiran ini, di antaranya yaitu upaya penghindaran pereduksian agama berupa kehilangan sikap keadilannya karena menafikkan eksistensi agama lain dalam sebuah kehidupan bernegara.

Dalam konteks Indonesia yang plural, suatu atmosfir idaman di mata kalangan Kristen, yaitu tidak adanya kelas-kelas warga negara semata-mata berdasarkan agama. Sebab, sesungguhnya jika terjadi, maka itu merupakan suatu kondisi yang sungguh-sungguh merisaukan. Bagaimanapun, hal ini menyangkut integrasi kehidupan bersama sebagai bangsa bilamana seorang warga negara kehilangan hak sipilnya hanya lantaran agama yang dianutnya. Dengan pengalimat lain, sebuah agama apa saja tidak boleh bersifat hegemonis atas agama yang lain dalam praktik kehidupan bernegara. Jika itu terjadi, sama dengan terjadinya kontradiksi perilaku agama atas hakekat dirinya. Demikian juga, agama merupakan pilihan dan keyakinan individual, yang tidak boleh berimplikasi pada kehilangan hak-hak yang sama sebagai warga negara.

 AGAMA KRISTEN DAN KONTRIBUSI ATAS MASYARAKAT SIPIL (CIVIL SOCIETY)

Bagi masyarakat sipil, posisi rakyat teramat sentral dalam menentukan kepentingannya dalam kehidupan bernegara. Menurut Abdurahman Wahid, pihak yang harus menentukan kepentingan rakyat adalah rakyat sendiri, bukan yang lain. Pemberian peluang kepada warga negara untuk berpartisipasi secara benar dalam kehidupan bernegara, merupakan sesuatu yang esensial, tidak bisa ditinggalkan lagi dan tidak bisa diserahkan kepada raja, khalifah atau kepada siapa pun kecuali kepada rakyat itu sendiri.1700

Dengan pemahaman posisi agama dan negara yang telah dipaparkan tadi, dikaitkan dengan pandangan Abdurahman Wahid, tampaknya agama bisa berperan sebagai sumber vitalitas demokratisasi. Agama akan menjadi sumber inspirasi dan sumber kekuatan upaya empowerment elemen masyarakat di luar negara, yakni rakyat ketimbang diperalat untuk mengikuti naluri kekuasaan yang korup dan otoritarian. Agama menafasi kebijakan politik untuk mengakui, menerima dan menghargai setiap komponen masyarakat. Karena itu, kekristenan tidak menjadikan agama super ordinasi negara, sub ordinasi negara, atau juga pengidentikkan agama itu adalah negara atau negara itu agama.

Secara hakiki nilai dasar masyarakat sipil adalah pembatasan penguasaan wilayah kehidupan yang dikuasai serba negara. Civil society ingin menciptakan ventilasi yang memberikan iklim sejuk dalam kehidupan yang lebih demokratis. Terbukti selama beberapa orde yang melekat pada rezim yang berkuasa, sirkulasi udara demokratis tidak bertiup dengan segar dan lancar. Malah mewariskan udara yang pengap dan polusif.

Merunut sejenak historisnya, barangkali embrio masyarakat sipil menemukan jejak langkah awalnya dimulai masa pencerahan pada abad XVIII. Para intelektual seperti Montesquieu, Volatire, dan kawan-kawan melepaskan kehidupannya dari belitan ketergantungan pada patronase gereja dan negara. Mereka berupaya mandiri lewat memproduksi bacaan publik yang konsumennya kalangan menengah, pendeta dan aristokrat. Mereka gandrung untuk mengopinikan adanya kebutuhan reformasi masyarakat berupa kebebasan berpikir menggantikan sensor yang otoriter dan indoktrinasi Gereja.1701 Dengan kata lain, secara embrional ternyata civil society merupakan perlawanan atas struktural sosial yang tidak kondusif bagi aktualisasi nilai-nilai hakiki kemanusiaan dan demokrasi.

Prestasi terbesar pencerahan adalah konsepsi egalitarian dan ruang partisipatori di kuak lebar-lebar, di mana tidak satu pun warga negara terampas dari hak-hak sipilnya. Suatu masyarakat yang nilai-nilai ideal kesetaraan dan partisipasi dipraktikkan. Suatu gerakan sosial politik yang bertujuan memulihkan martabat manusia, melengserkan mereka yang membangun struktur kekuasaan dan eksploitasi, yang mengatasnamakan Allah. Suatu gerakan yang menanamkan tanggung jawab untuk bisa menyatakan mana yang sungguh-sungguh berasal dari Allah, dan mana yang bukan, menjadi kesadaran moral rakyat.1702 Dengan menyatakan ini, secara historis agama Kristen pernah dan bisa menjadi musuh masyarakat sipil (bahkan saya berkeyakinan agama manapun, dan itu telah dibuktikan dalam sejarah setiap agama), pada saat agama melekateratkan dengan struktur politik.

Belajar dari kekeliruan sejarah itu, kekristenan sadar betul di mana posisinya. Sekaligus sadar mengenai bahaya riil ketika manusia yang berkuasa atas manusia yang lain, mengangkat diri menjadi "allah" atas sesamanya, dengan menuntut ketaatan yang mutlak, dan merampas independensi manusia. Sebuah kesadaran bahwa kelahiran negara harus diantisipasi karena mempunyai ekses destruktif seperti: persaingan, kesewenang-wenangan, mabuk kekuasaan, konflik, perpecahan serta kehancuran. Karena itu agama perlu menciptakan rambu-rambu yang bisa membatasi dan mengontrol negara.1703 Serta segala sistim kekuasaan baik politis, ekonomis, dan agamis yang memberikan ruang pada sedikit elit untuk menguasai, menghisap, dan mengeksploitasi orang lain, harus dikembalikan pada pembacaan ulang Alkitab secara sungguh-sungguh dan membacanya pun harus dengan iman.1704

Jadi, kebutuhan penguatan civil society merupakan salah satu pilihan sengaja agar bisa mencegah negara menyeleweng dari tugas dan hakekatnya yang sejati.1705 Masyarakat sipil bisa menjadi representasi dan kristalisasi kekuatan di luar negara, yang menjadi sparing partner negara. Hal itu menjadikan civil society sebagai kekuatan pengimbang sekaligus kontrol, yang membatasi dan memungkinkan negara tetap berjalan sesuai dengan hakekatnya. Dalam hal ini keterlibatan kekristenan sebagai bagian dari civil society salah satunya supaya seperti yang dinyatakan Eka Darma Putera, "Negara akan menjadi kekuatan yang efektif untuk mencegah anarki, tetapi berubah menjadi tirani"." Selain itu, dengan masyarakat sipil menjadi indikasi ada wilayah-wilayah yang bisa digarap entitas mandiri di luar negara. Dengan demikian, segala energi, prakarsa, aktivitas dalam kehidupan masyarakat tidak terkonsentrasi dan tersentralisasi hanya pada negara semata-mata.



TIP #05: Coba klik dua kali sembarang kata untuk melakukan pencarian instan. [SEMUA]
dibuat dalam 0.03 detik
dipersembahkan oleh YLSA