Resource > Jurnal Pelita Zaman >  Volume 16 No. 1 Tahun 2001 > 
DEPOLARISASI SIKAP KRISTEN TERHADAP AGAMA-AGAMA LAIN SUATU ANALISIS TERHADAP INKLUSIVISME CLARK H. PINNOCK 
Penulis: FERRY Y. MAMAHIT
 PENDAHULUAN

Salah satu dari sepuluh trend baru memasuki milenium ketiga adalah kebangkitan agama-agama.1658 Ini berarti bahwa gereja tidak dapat eksis dalam kesendirian, sebaliknya ia sedang dan selalu akan berhadapan dan berinteraksi dengan agama-agama lain intens dan dinamis. Kondisi ini mengharuskannya mengambil sikap yang tepat di tengah konteks kemajemukan agama yang demikian. Sayangnya, sikap gereja yang muncul terhadap agama-agama lain justru mengalami polarisasi. Ini disebabkan oleh adanya ketegangan di dalam kepercayaan Kristen, antara kepercayaan bahwa Allah mengasihi seluruh dunia (universalitas) dan kepercayaan bahwa Yesus adalah satu-satunya jalan kepada Allah (partikularitas). Penekanan keduanya secara polaris menghasilkan dampak yang negatif. Kutub universalitas sangat menekankan anugerah Allah yang universal, sehingga apapun konsekwensinya, Allah harus menyediakan jalan keselamatan bagi semua orang, termasuk di dalam agama-agama lain. Ini berarti fokus dan muatan iman Kristen yang bertumpu pada kebenaran fundamental yang normatif menjadi relatif dan cenderung disamakan dengan apa yang ada dalam agama lain. Di sisi lain, kutub partikularitas dengan klaim Kristologi eksklusifnya menimbulkan sikap superior, tertutup dan sangat apriori terhadap agama-agama lain.1659

Di tengah kondisi yang terpolarisasi ini, ada semacam desakan untuk menjawab masalah tersebut, dan salah satu alternatif yang diajukan adalah usaha merekonsiliasi kedua kutub tersebut, atau dengan istilah lain, usaha mendepolarisasi.1660 dan pandangan inklusif Clark H. Pinnock, walaupun bukan yang pertama, juga bertujuan mencari jalan keluar terhadap masalah polarisasi di atas.1661 Tulisan ini berusaha menganalisis inklusivisme Pinnock, sebagai salah satu model alternatif yang berusaha merekonsiliasi kedua kutub yang terpolarisasi. Tulisan ini disusun dengan sistematisasi sebagai berikut: menjelaskan secara singkat pandangan universalitas dan partikularitas; kemudian menjelaskan usaha merekonsiliasi kedua kutub tersebut melalui model inklusivisme Pinnock; dan terakhir, mencoba menganalisis model inklusivisme Pinnock. Dari analisis usaha rekonsiliasi ini, akan muncul beberapa kontribusi positif yang dapat disumbangkan, dan sebaliknya Ada hal-hal negatif yang perlu dihindari. Melalui analisis ini, diharapkan muncul pikiran-pikiran yang bertanggungjawab, dan relevan, paling tidak dari perspektif tradisi teologi injili, sebagai solusi alternatif terhadap masalah polarisasi sikap, baik dalam konteks intern kekristenan (antara pluralis dan eksklusif) maupun dalam konteks ekstern agama-agama (antara kekristenan dan agama-agama lain). Diharapkan juga tulisan ini dapat menolong gereja menempatkan dirinya berdampingan dan berinteraksi dengan baik dengan agama-agama lain, sehingga panggilan dan peranannya sebagai terang dan garam dunia menjadi semakin nyata.

 AKSIOMA1662 UNIVERSALITAS: THE WIDENESS OF GOD

Aksioma universalitas berusaha memahami Allah dari sisi sifat dan jangkauan anugerah-Nya yang luas. Ini berarti Allah memperhatikan, membuka DiriNya, dan berusaha menetapkan jangkauan keselamatan secara luas kepada semua orang dalam segala bangsa termasuk kepada mereka yang berada dalam agama-agama lain. Pandangan ini memang agak berbeda dengan tradisi pengajaran gereja Kristen pada umumnya, khususnya doktrin tentang Allah. Karena itu, dalam perkembangannya doktrin ini telah mengalami semacam revisi.

A. Reaksi Atas Teologi Klasik Barat

Tradisi teologi Kristen Barat, khususnya dalam pandangan arsiteknya, Agustinus, yang telah banyak dipengaruhi oleh filsafat Yunani Klasik, telah menghasilkan suatu doktrin Allah yang tidak seimbang, suatu teisme yang kaku. Allah hanya dimengerti dari sisi keadilan dan kuasa saja, sehingga sangat sulit untuk berbicara tentang Allah yang berpribadi. Allah yang dapat mengadakan perjanjian dengan manusia dan yang menjadikan manusia partner yang signifikan dalam membangun kerajaan Allah.1663 Kondisi ini sangat berdampak pada hubungan Allah dengan manusia. Manusia tidak lagi dapat mengalami hubungan yang interpersonal dengan Allah, dan sebaliknya manusia dengan Allah. Pernyataan Allah yang universal kepada manusia dibatasi oleh DiriNya, tepatnya oleh sifat-sifatNya sendiri. Padahal, Alkitab dengan jelas menyatakan pribadi Allah yang terbuka. Pinnock menjelaskan Allah yang hidup ini sebagai Allah yang secara metafisik sosial dan menginginkan hubungan dengan manusia. Ia juga menambahkan bahwa sangat tepat untuk memahami Allah tritunggal sebagai suatu kumpulan (komunitas) pribadi-pribadi, karena hal ini sangat relevan dengan sifat keterbukaan Allah yang ditimbulkan oleh keberadaan trinitas sosialNya (social trinity) sebagai suatu struktur yang terbuka dan dinamis.1664

Sifat Allah yang terbuka di atas paralel dengan universalitas Allah, maksudnya Allah yang memiliki keterbukaan yang besar seharusnya juga dipahami sebagai Allah yang luas dan mengasihi secara tidak terbatas. Pemahaman inilah yang membuat Pinnock selalu menghubungkan universalitas dengan kasih Allah kepada semua manusia.1665 Walaupun ada pandangan, khususnya dalam teologi Kristen warisan tradisi classical dan medieval, yang menekankan eksistensi, kekekalan dan kemahakuasaan ilahi sebagai tema utama doktrin Kristen, tetapi kasih Allah tetap merupakan tema pusat Injil Yesus Kristus (Alkitab). Ungkapan "Alah adalah kasih" (1 Yoh 4:16) berarti bahwa Allah ada (exists) di dalam kasih. Ini berarti bahwa kasih menjadi faktor penentu atribusi-atribusi Allah yang lain, seperti keadilan dan kesucian-Nya.1666 Kasih yang demikian tidak berada dalam kehampaan -- dalam lingkup ekonomi Allah saja namun ini dikomunikasikan secara universal kepada semua manusia lewat aksi dan reaksi-Nya di hadapan mereka. Pinnock mengatakan pandangan yang terbuka tentang Allah menekankan kualitas-kualitas kemurahan hati (generousity), kepekaan (sensitivity) dan kelemahlembutan (vulnerability) Allah secara universal kepada manusia." Penekanan Allah yang demikian akan menghasilkan konsep Allah yang mengasihi manusia secara universal.

B. Universalitas Anugerah dan Optimisme Keselamatan

Masih Allah yang universal ini dinyatakan lewat keinginan dan komitmen Allah yang serius untuk menyelamatkan semua manusia.1667 Mengikuti tradisi Arminian secara konsisten, Pinnock mengakui bahwa karya keselamatan atau penebusan ini dikerjakan Allah dengan setia melalui dua saluran anugerah: pertama, anugerah Allah yang menyelamatkan (saving grace), melalui universalitas karya penebusan Yesus Kristus yang ditawarkan dengan luasnya kepada semua orang (Yoh. 3:16). Dengan demikian akses manusia kepada keselamatan menjadi sangat mungkin dan terbuka lebar. Kedua, anugerah yang mendahului (prevenient grace), melalui karya Roh Kudus yang universal, yang bekerja menyiapkan dan memimpin orang kepada Kristus,1668 selanjutnya Pinnock mengatakan bahwa hembusan kosmis aktifitas Roh Kudus dapat menolong kita untuk mengkonseptualisasi dan mengimplementasi universalitas anugerah (kasih) Allah.1669 Karena anugerah Allah bekerja secara tidak terbatas dan secara berganda, maka ada harapan yang besar bahwa semua manusia dapat diselamatkan. Di atas pengertian inilah Pinnock membangun konsep optimisme keselamatannya (optimism of salvation).

C. Trilogi Implikasi Universalitas Clark H. Pinnock

Aksioma universalitas, keinginan Allah bahwa semua orang dapat diselamatkan melalui anugerah ini, memiliki trilogi implikasi.

Pertama, Allah tritunggal terlibat total dalam karya penyelamatan yang universal. Allah Bapa mengasihi semua manusia dan berkehendak untuk menyelamatkan mereka. Allah Anak membuat keselamatan ini mungkin melalui pekerjaan penebusannya, dan Allah Roh Kudus menjangkau secara universal orang-orang yang terhilang dan berdosa.1670 Kedua, karya keselamatan universal beroperasi secara tidak terbatas. Artinya, anugerah keselamatan juga dinyatakan di luar konteks gereja, sebab Allah, melalui karya RohNya yang mendahului, bebas bekerja dalam berbagai sitz em leben, atau melalui wahyu umum (general revelation), termasuk kehadiranNya dalam tradisi agama lain.1671 Ketiga, karya keselamatan universal memungkinkan semua orang diselamatkan. Jangkauan karya keselamatan sangat luas, bukan saja kepada orang-orang yang secara eksplisit pernah beriman kepada Allah dalam Yesus Kristus, tetapi juga kepada orang-orang yang belum pernah beriman secara demikian. seperti orang-orang saleh pada masa Perjanjian Lama (PL) dan Perjanjian Baru (PB), dan orang-orang yang tidak terinjili (unevangelized), yang masih hidup maupun yang sudah meninggal, sebab prinsip iman (faith principle), sekali pun isinya deficient, adalah syarat utama bagi aksesibilitas universal.

 AKSIOMA PARTIKULARITAS: THE UNIQUENESS OF CHRIST

Klaim dasar partikularitas adalah keunikan dan finalitas Yesus Kristus. Klaim ini dibangun di atas dasar-dasar Alkitab, ada dalam pernyataan-pernyataan yang jelas dari firman Tuhan. Dengan demikian, untuk memahami konsep ini secara utuh dan tepat, diperlukan pengertian terhadap dasar perkembangannya.

A Dasar Keunikan dan Finalitas Kristus

Keunikan dan finalitas Kristus tidak dapat dimengerti hanya dengan melihat pribadi dan karya Kristus seperti yang diinformasikan oleh Injil. Pinnock menganjurkan agar memahami keunikan Kristus dari konsep Allah yang dicatat oleh PL, sebab keunikan Kristus berakar dalam keunikan Allah Israel.1672 Allah Israel adalah unik, dibanding para allah bangsa lain. Ia adalah Allah yang hidup, masuk ke dalam dan berkarya di dalam sejarah. Dalam berhubungan dengan-Nya, dituntut suatu penyembahan yang eksklusif dan persekutuan yang personal. Konsep Allah yang demikian mempersiapkan dan membangun figur Mesias yang akan datang dalam bentuk manusia, Yesus Kristus. Pinnock memberikan argumentasinya bahwa Kristus adalah unik karena ia berelasi dengan Allah, sebagai Anak Allah." Penjelmaan, pelayanan, dan karya penyelamatan Yesus Kristus adalah manifestasi dari keunikan Allah, sehingga dari konteks inilah konsep (the high) christology lahir.1673 Dengan kata lain, keunikan dan finalitas Kristus ditentukan oleh keunikan dan finalitas Allah, sebab tidak mungkin berbicara tentang Kristus tanpa menghubungkannya dengan Allah dalam konteks trinitarian.

B. Karakteristik Keunikan dan Finalitas Kristus

Aksioma partikularitas yang mengacu kepada keunikan dan finalitas Kristus dapat secara sangat jelas dilihat pada karya-karyaNya, penjelmaan, dan pelayanan-Nya. Inkarnasi menunjuk pada keunikan Kristus.1674 Dia adalah Allah dan manusia sejati. Sebagai manusia, Ia unik karena di dalam kemanusiaan-Nya ada kepenuhan, kesetaraan, dan kemuliaan Allah. Secara paradoks. Yesus Kristus adalah transendensi yang imanen sekaligus imanensi yang transenden. Namun demikian, menurut Pinnock, inkarnasi bukanlah kategori yang normatif, merupakan standar satu-satunya dalam mengungkapkan keunikan-Nya, sebab masih ada faktor-faktor lain, yang dapat dipakai untuk menjelaskan keunikan-Nya. Jadi, walaupun inkarnasi itu unik, tetapi tidak boleh dieksploitasi.1675 Jadi, keunikan figur manusia - ilahi adalah pendekatan "Kristologi dari Atas," yang menurut Pinnock, tidak dapat dinegosiasikan; sebab hal itu akan mengaburkan fakta dan menghilangkan pemahaman yang utuh dan benar tentang Kristus.1676

Finalitas Yesus Kristus dinyatakan secara tegas dalam peranNya sebagai agen kerajaan Allah. Hidup dan pelayanan Yesus Kristus di dunia berkaitan erat dengan kedatangan kerajaan Allah baik secara historis maupun eskatologis. PelayananNya terfokus pada proklamasi dan manifestasi kerajaan itu di tengah kehidupan manusia. Klaim finalitas Yesus Kristus telah diuji melalui kematianNya bagi penebusan banyak orang dan telah dilepaskan melalui kebangkitan-Nya.1677 Respon terhadap kehadiran kerajaan Allah dalam CiriNya sangat menentukan keadaan manusia di masa yang akan datang dalam kekekalan. Dengan kata lain, setiap orang harus berhadapan atau dikonfrontasikan dengan klaim partikularistik Kristus dan menanggapinya dengan positif sebab Dia sebagai finalitas pewahyuan Allah, adalah firman Allah yang final bagi manusia.1678

C. Trilogi Implikasi Partikularitas Clark H. Pinnock

Aksioma partikularistik memiliki trilogi implikasi penting: pertama, keunikan dan finalitas Kristus menolak relativisme. Implikasi logis dan keabsolutan Kristus adalah penolakan terhadap unsur-unsur yang relatif, seperti apa yang dipercayai oleh kaum pluralis. Pandangan modern, yang diwakili oleh mazhab relativitas sejarah Ernst Troeltsch, memahami kekristenan (Kristus) bukan sebagai yang absolute, tetapi sebagai yang relatif. Sebab sebagaimana waktu berubah, maka isi dan bentuk iman (yang ada dalam waktu) juga harus disesuaikan dengan perubahan, sehingga keabsolutan secara relatif hanya ada pada kondisi tertentu.1679 Kedua, keunikan dan finalitas Kristus menolak universalisme. Unsur atau pengalaman keagamaan yang universal tidak menjadikan segala sesuatu sama. Secara teoritis, setiap sistem kepercayaan memiliki partikularitasnya sendiri yang tidak dapat dikompromikan dengan yang lainnya. Partikularitas yang dikompromikan akan menghasilkan penyimpangan (bias).1680 Ketiga, keunikan dan finalitas Kristus menolak unitarianisme. Unitarian di sini dimengerti sebagai pandangan yang memahami keilahian yang ketat singular. Fokus kepada partikularitas Kristus tidak berarti menjadikan kondisi ini unitarian, kepada pribadi kedua Allah saja, tetapi sebaliknya mengacu kepada karya Allah (dan Roh Kudus), sebab kehadiran Kristus tidak dapat dilepaskan dari seluruh ekonomi Allah, Allah ditubuhkan (embodied) dan diartikan oleh Kristus.1681

Model Inklusivisme Clark H. Pinnock: Suatu Rekonsiliasi

Inklusivisme, menurut pemahaman Clark H. Pinnock, didefinisikan sebagai suatu pandangan yang mempertahankan finalitas Kristus sebagai Juruselamat manusia sekaligus menekankan kehadiran Allah yang menyelamatkan di dalam dunia secara lebih luas dan di dalam agama-agama lain.1682 Definisi ini jelas memiliki dua komponen yang sejajar, partikularitas kepercayaan kepada keunikan dan finalitas Yesus Kristus sebagai Juruselamat, dan universalitas jangkauan keselamatan yang ditawarkan kepada manusia. Bagi beberapa pandangan, sikap partikularis eksklusif dan sikap universalis pluralis, kedua komponen ini saling bertolak belakang, tidak ada titik singgung, namun Pinnock yang mewakili sikap inklusif mencoba mendekatkan kedua ekstrim tersebut dalam definisi inklusivismenya.

Usaha rekonsiliasi yang sulit dan beresiko ini ditempuh Pinnock dengan cara memformulasikan pandangannya. yang menurutnya berbasis Alkitab, dengan mengatakan bahwa Allah menyediakan keselamatan bagi dunia melalui karya seorang mediator, Yesus Kristus. Ini berarti bahwa universalitas (keselamatan bagi seluruh dunia) dapat dijangkau atau direkonsiliasi dengan menekankan partikularitas (keselamatan melalui Yesus) dalam kekristenan.1683 Dengan demikian, pandangan inklusivis mencoba meyakinkan bahwa anugerah keselamatan dapat diakses secara universal melalui yang partikular, sebab walaupun metode yang dipakai bersifat partikular, dalam Yesus, namun pengaruh atau dampaknya universal, bagi dunia. Inklusivisme adalah jalan tengah yang berusaha menjembatani partikularisme, yang terlalu sempit menafsirkan partikularitas dan universalitas karya Kristus, dengan universalisme, yang mengeksploitasi universalitas dengan mengabaikan pentingnya partikularitas.1684 Karya Allah secara universal dan partikular harus dimengerti sebagai jalan kembar atau misi yang saling bergantungan. Dengan demikian, ketegangan antara universalitas dan partikularitas dikurangi dan keduanya adalah saling melengkapi (complementary) bukan saling bertentangan (contradictory). Dalam inklusivisme, paket anugerah tidak dapat diperoleh dengan cara partikular atau universal melainkan dengan Cara partikular dan universal.

 ANALISIS TERHADAP INKLUSIVISME CLARK H. PINNOCK

Dari usaha merekonsiliasi universalitas dan partikularitas ini, jelas ada semacam kompromi atau jalan tengah yang telah diusahakan oleh Pinnock, mengambil semua yang baik dari kedua kutub, dan membuang semua yang ekstrim dari keduanya. Di satu sisi, ia berpegang pada sifat universalitas Allah namun di sisi lain ia juga masih berusaha setia kepada partikularitas Kristus.

A. Epistemologi Inklusivisme Clark H. Pinnock

Pendekatan inklusif Pinnock sangat menekankan keobyektifan dan kejujuran dalam melihat masalah. Kenyataan membuktikan bahwa baik partikularitas maupun universalitas adalah isu-isu yang sama-sama valid dan relevan. Argumentasi inklusivistik tidak hanya dibangun berdasarkan informasi alkitabiah, tetapi juga berdasarkan tradisi gereja (Greek Fathers), akal budi dan pengalaman manusia yang nyata, yang bergumul dengan masalah-masalah anugerah dan keselamatan setiap hari. Dengan demikian, masalah ini didekati Pinnock secara komprehensif. Dapat dikatakan pendekatan ini sebagai suatu usaha yang mengacu pada referensi yang bersifat obyektif, artinya jika memang referensi yang dinyatakan memang benar demikian dan sesuai dengan kenyataannya, maka sesungguhnya referensi itu adalah sesuatu yang obyektif.1685

Selain bersifat obyektif, epistemologi Pinnock juga bersifat redemtif dan kreatif. Masalah polarisasi kedua kutub ini hanya dapat diselesaikan dengan pendekatan Kristologi yang trinitarian. Kristologi Pinnock adalah Kristologi yang dipahami dalam konteks ekonomi Allah, dan ini adalah satu-satunya jalan untuk menghindari Kristomonisme, di satu sisi dan Theosentrisme, di sisi yang lain. Sangat keliru jika salah satu kutub ditekankan, sementara yang lain diabaikan. Ini sejalan dengan pandangan Gavin D'Costa yang mengatakan bahwa pendekatan Kristologi yang trinitarian akan menjaga (guards) eksklusivisme dan pluralisme secara seimbang dengan cara menghubungkan yang partikular dan universal secara dialektis.1686 Dan inilah yang sedang diusahakan secara kreatif oleh Pinnock dalam rangka merekonsiliasi kedua kutub yang terpolarisasi tersebut.

Di sisi lain, epistemologi inklusif Pinnock nampaknya agak bersifat spekulatif. Maksudnya, beberapa argumen banyak dibangun atas dasar spekulasi, sehingga ia telah bergerak terlalu jauh dalam membuat implikasi, contohnya masalah penekanan kepada universalitas yang berimplikasi pada postmortem encounter, apakah memang implikasi logis dari keuniversalan anugerah Allah sampai membuat Allah membuat alternatif keselamatan lain pasca kehidupan di dunia? Dari perspektif injili, implikasi ini sangat spekulatif; sebab, pertama, tidak ada dukungan yang cukup kuat dari firman Tuhan yang menjadi dasar normatif kebenaran Kristen. Kedua, menurut Alister McGrath, akan menimbulkan pertanyaan-pertanyaan yang serius, yang akan berkembang dari isu tersebut.1687 Dengan kata lain, karena inklusivisme Pinnock terlalu ekstrim menekankan universalitas anugerah Allah, maka implikasi-implikasi yang ditarik menjadi terlalu jauh dan bertentangan dengan prinsip "keseimbangan" antara yang universal dan yang partikular.

Sehubungan dengan hal di atas, epistemologi inklusivisme Pinnock tidak memberikan proporsi yang jelas tentang keseimbangan antara sisi partikularitas dan sisi inklusivitas. Pokok masalahnya adalah bagaimana proporsi yang ideal, yang mengkondisikan keduanya dalam keseimbangan. Sejak anugerah keselamatan itu bergerak dalam dua medium pewahyuan, sejauh mana kedua medium ini berperan dalam proses keselamatan manusia. Modus operandi anugerah keselamatan secara khusus dan jelas ada di dalam Yesus Kristus, dan ini nampaknya tidak menjadi masalah bagi partikularis, namun bagaimana dengan yang secara umum, misalnya di dalam agama-agama lain? Apakah dampak yang sama juga akan dihasilkannya? Ketidakjelasan keseimbangan yang proporsional ini akan menyulitkan untuk memahami keselamatan dalam agama lain yang di luar Kristus.

B. Doktrin Allah dan Kontinuitas Pewahyuan

Pendekatan inklusivistik berusaha memberi gambaran yang lebih seimbang tentang Allah. Pendekatan yang sangat menekankan kuasa dan kedaulatan Allah menjadikan pandangan tentang Allah berat sebelah. Pendekatan yang demikian akan berimplikasi pada penekanan motif dan tindakan Allah yang hanya berorientasi pada kekuasaan dan kedaulatan-Nya, sehingga topik mengenai kemutlakan, ketentuan, dan penghakiman Allah menjadi dominan. Pinnock dengan konsep Allah yang penuh kasih dan anugerah, berusaha menekankan sisi lain dari keilahian Allah. Allah membuka diri seluas-luasnya bagi semua manusia di sepanjang waktu dan di segala tempat. Dengan demikian, dalam hal tertentu, ia setuju dan bersama dengan kelompok pluralis sedang berusaha membangun doktrin Allah yang lebih positif, relasional dan universal.

Keterbukaan Allah yang demikian, menjadikan model inklusivisme sebagai sesuatu yang menjawab masalah peran dan hubungan wahyu umum (general revelation) dan wahyu khusus (special revelation) dalam sejarah keselamatan, atau antara kontinuitas (continuity) atau diskontinuitas (discontinuity) wahyu keselamatan Allah. Pandangan partikularis ekstrim dari garis Barthianisme berpendapat bahwa wahyu tersebut hanya ada dalam wahyu khusus (discontinuity). Sementara itu, pandangan pluralis ekstrim berpendapat bahwa wahyu keselamatan ada juga dalam wahyu urium. Pandangan inklusif, berkenaan dengan isu ini, mengambil sikap yang lebih redemtif, wahyu umum dan khusus berhubungan sedemikian rupa. Ada semacam kontinuitas dari yang satu kepada yang lain, sebab pandangan ini dimulai dari teologi yang berbasis penciptaan (creation based theology), khususnya pengakuan terhadap universalitas wahyu Allah, yang mana wahyu ini dapat memberi akses kepada semua makhluk ciptaan. Dengan kata lain, pengaruh Allah harus nyata (dapat dialami) di seluruh dunia dan dalam semua sistem yang ada di dalamnya secara umum.1687

Namun di sisi lain, pendekatan inklusif Pinnock yang dibangun di atas teologi yang berbasis penciptaan (creation based theology) ini, jika tidak ada pembatasan yang jelas, akan memberi ruang yang cukup kepada agama-agama sebagai respon alamiah terhadap wahyu Allah secara umum. Masalahnya adalah apakah Allah dapat dijumpai di dalam semua agama, misalnya agama samawi, agama etnik, bahkan agama-agama yang bersifat demonik. Walaupun ada kesamaan-kesamaan dalam agama-agama ini, tetapi bagaimana dengan unsur-unsur yang tidak sama dan bertentangan dengan kehendak-Nya, bagaimana hal-hal yang bertentangan dapat direkonsiliasikan? Hal-hal demikianlah yang tidak didiskusikan lebih lanjut oleh Pinnock dalam memaparkan pandangan-pandangannya.

C. Doktrin Keselamatan dan Minimalisasi Dosa Manusia

Pendekatan inklusivis terhadap doktrin keselamatan sangat optimistik. Artinya, karena Allah berkehendak bahwa semua manusia dapat diselamatkan, dan jalan Allah untuk menyelamatkan manusia terbuka lebar dan berganda (melalui karya Roh Kudus secara universal dan melalui karya Kristus secara partikular), maka setiap manusia memiliki aksesibilitas untuk menerima anugerah keselamatan. Optimisme keselamatan ini membawa pengaruh positif bagi semua orang, pengharapan keselamatan yang universal. Pandangan yang integratif terhadap partikularitas dan inklusivitas, di satu sisi berusaha menghindari kesimpulan bahwa hanya ada "sedikit" orang yang mungkin akan diselamatkan (sikap partikularistik), dan di sisi lain ingin menghindari kesimpulan bahwa "semua" orang pasti diselamatkan. Sesuai dengan pengakuannya, Pinnock merasa "mayoritas" orang akan diselamatkan, sebab baginya agama-agama lain mungkin memiliki peranan yang menyiapkan orang-orang menerima Injil Kristus, yang di dalamnya kepenuhan keselamatan didapat, dengan kata lain, tradisi keagamaan lain dapat berfungsi sebagai jalan persiapan bagi kedatangan Injil.1688

Tetapi penekanan kepada optimisme keselamatan yang begitu kuat, jika tidak ada pembatasan yang jelas akan membuat ajaran tentang dosa dan keselamatan menjadi sangat lemah. Dalam doktrin Kristen. keselamatan selalu tidak dapat dilepaskan dari faktor dosa, keselamatan dan iman. Jika universalitas keselamatan diberikan tempat yang sangat luas, maka masalah dosa yang memerlukan penyelesaian secara partikular, melalui karya penebusan Kristus, tidak memiliki tempat yang terlalu banyak. Dengan demikian, persoalan dosa bukan menjadi sesuatu yang serius untuk dijawab, sebab seolah-olah pengaruh dosa manusia terhadap kondisi manusia secara universal tidak begitu penting, tertutup oleh anugerah Allah yang "sangat besar." Persoalan ini akan semakin tidak terselesaikan, jika ditambah dengan masalah faktor atau prinsip iman. Jika ada faktor "iman" yang universal dalam agama-agama lain, keselamatan melalui iman yang partikular kepada Kristus menjadi kurang relevan untuk dibicarakan, sebab sejauh mana "iman" (faith principle) orang-orang yang ada dalam anugerah umum dapat diperhitungkan untuk mendatangkan keselamatan.1689

D. Kristologi Inklusivis dan Agama-agama lain

Klaim partikularitas inklusif Pinnock tidak ada bedanya dengan tradisi kristologi Kristen pada umumnya. Dengan penekanan pada keunikan inkarnasi Kristus. Pinnock tetap mempertahankan "kristologi dari atas." Ia mengembangkan kristologinya sedemikian rupa sehingga, karya penebusan Kristus yang partikular ini tidak hanya bekerja secara sempit dan eksklusif, tetapi jika dihubungkan dengan universalitas anugerah Allah, maka karya yang partikular ini juga berdampak luas dan global. Keselamatan tidak hanya ada di dalam gereja, bagi mereka yang secara implisit beriman kepada Kristus, tetapi juga, dalam kondisi tertentu, ada juga di luar gereja.

Sejauh berhubungan dengan agama-agama lain, universalitas Allah tidak akan menimbulkan masalah, sebab jika terminologi yang berlaku universal ini dipakai, maka ada semacam dasar bersama (commonground). Namun jika ini dihubungkan dengan partikularitas Kristus, maka akan bertentangan dengan agama-agama lain, sebab agama-agama tersebut memiliki partikularitas mereka masing-masing, dan mungkin saja partikularitas ini bertentangan dengan partikularitas Kristus, misalnya beberapa agama seperti Islam, Hindu, Buddha, Yudaisme dan mungkin dalam agama-agama lain tidak akan pernah mengakui jalan keselamatan partikular di dalam Kristus. Dengan demikian, masih ada kesulitan untuk menghubungkan antara partikularitas kristologi inklusif (juga yang eksklusif) dengan klaim partikularitas dari agama-agama lain.

E. Kontribusi Inklusivisme Pinnock dalam Teologi Pluralisme Agama

Di balik semua elemen model inklusivisme Pinnock yang telah didiskusikan ini, ada semacam penghargaan yang layak diberikan atas jasanya memformulasikan model inklusivisme sebagai alternatif pemecahan masalah di atas. Pinnock memberi kontribusi yang berarti, bukan saja bagi dinamika teologi pluralisme agama secara teoritis (kutub pluralis dan kutub eksklusif), tetapi juga bagi sikap gereja terhadap agama-agama lain secara praktis. Pertama, inklusivisme Pinnock mencari jalan alternatif guna mengatasi polarisasi sikap terhadap anugerah keselamatan Allah. Walaupun ada cara lain, seperti peniadaan salah satu kutub, partikular atau universal saja,1690 namun cara yang integratif dan redemtif ini diyakini dapat mengurangi ekstrim dan fanatisme yang berlebihan terhadap suatu pandangan tertentu. Sikap yang terbuka dan obyektif akan sangat menolong mencari titik temu pandangan-pandangan yang kontradiktif.

Kedua, inklusivisme Pinnock membangun sikap yang positif terhadap agama lain. Kebangkitan agama-agama menuntut gereja bersikap pro aktif dan reaktif, sehingga kesaksian gereja di tengah konteks yang demikian menjadi semakin nyata, melalui sarana sosial, dialog, toleransi, dan pewartaan Kabar Baik. Sementara sikap pari kularis (eksklusif) yang ekstrim berpotensi memicu permusuhan dari konflik dengan agama lain, dan sikap universalis (relatif) yang ekstrim berpotensi menimbulkan kebersamaan yang menghilangkan identitas dan mereduksi kepercayaan yang utama, maka model inklusivisme Pinnock berpotensi membangun sikap yang positif terhadap agama lain, dan apresiasi terhadap agama lain ditekankan, karena karya anugerah Allah diyakini ada di dalamnya. Walaupun ada semacam toleransi terhadap agama lain, tetapi koreksi terhadap agama lain melalui sifat partikularistik Kristus, akan terus dipertahankan, sehingga bentuk-bentuk kompromi dan sinkretisasi dapat dihindarkan. Bukan itu saja, optimisme terhadap kuasa Kristus yang mengubah kebudayaan (di mana agama merupakan salah satu bentuknya) akan terus diperkuat.1691

 PENUTUP

Polarisasi universalitas dan partikularitas secara ekstrim berdampak negatif bagi kekristenan dan bagi hubungan antar agama. Universalitas yang ketat berusaha mencari nilai-nilai universal dengan cara merelativikasikan yang normatif dan partikularitas yang ketat berusaha menekankan nilai-nilai yang final dengan jalan meniadakan nilai-nilai universal. Keduanya tidak pernah dapat bertemu. Namun demikian, pandangan inklusif, yang diwakili Clark H. Pinnock, mencoba merekonsiliasi kedua kutub (contradictive poles) tersebut. Dengan menjelaskan pemahaman terhadap masing-masing kutub, Pinnock membuktikan bahwa keduanya tidak bertolak belakang dan dapat dipertemukan secara dialektis. Keleluasaan universalitas anugerah Allah (The Widennes of God) dapat berjalan bersama partikularitas keunikan (dan finalitas) Kristus (The Uniqueness of Christ) sedemikian rupa, sehingga polarisasi sikap dan pandangan yang ekstrem, terekonsiliasi lewat model inklusivisme ini.

Namun demikian, inklusivisme Pinnock ingin mengatakan bahwa anugerah keselamatan yang universal hanya dapat diakses hanya melalui yang partikular (dalam Kristus) dan yang partikular ini memiliki pengaruh dan dampak yang bersifat universal (bagi dunia). Pendekatan inklusif Pinnock berusaha mengakomodasi hal-hal positif dari kedua kutub, sambil tetap mengeliminasi hal-hal yang negatif dari keduanya. Pendekatan ini sangat positif karena mampu menekankan keobyektifan dan kejujuran terhadap isu yang ada. Kedua kutub diakui sebagai pengalaman yang sama-sama obyektif. Inklusivisme Pinnock juga berusaha menjawab masalah kontinuitas dan diskontinuitas wahyu Allah secara umum dan khusus: dan universalitasnya membawa pengharapan keselamatan di dalam Allah. Walau demikian, perlu menimbang sisi negatifnya, sebab ada pendekatan inklusif yang sangat spekulatif, misalnya postmortem encounter, yang tidak kuat basis Alkitabnya. Pendekatan ini juga tidak memberikan proporsi yang jelas tentang keseimbangan ideal kedua kutub itu sehingga anugerah Allah dapat diterima oleh manusia.

Inklusivisme Pinnock juga memberi sumbangan positif bagi teologi agama-agama, sebab sistemnya yang integratif dapat menjembatani kedua posisi yang bertentangan pluralis dan eksklusif, dan sikapnya yang positif terhadap agama-agama lain dapat memungkinkan terjadinya dialog, toleransi, bahkan pemberitaan Kabar Baik yang relevan dengan konteksnya. Walau masih perlu diuji secara lebih ketat, inklusivisme dapat menjadi sikap alternatif gereja dalam berkiprah di tengah konteks kemajemukan agama. Dengan pendekatan inklusif ini, diharapkan gereja benar-benar dapat lebih efektif menjadi terang dan garam dunia.



TIP #21: Untuk mempelajari Sejarah/Latar Belakang kitab/pasal Alkitab, gunakan Boks Temuan pada Tampilan Alkitab. [SEMUA]
dibuat dalam 0.04 detik
dipersembahkan oleh YLSA