Resource > Jurnal Pelita Zaman >  Volume 16 No. 1 Tahun 2001 > 
MEMBANGUN SEBUAH "THEOLOGY OF RELIGIONS" INJILI YANG NON PLURALISTIK: APAKAH MUNGKIN 
Penulis: Robbyanto Notomihardjo
 PENDAHULUAN

Kaum Injili sejak dulu selalu dikenal sebagai pihak yang selalu terlambat satu langkah dalam mencermati dan menanggapi tren-tren baru dalam dunia teologia.1563 Ketika suatu inovasi teologis terjadi; biasanya dilakukan oleh kalangan Kristen yang oleh mereka diberi label sebagai "kaum liberal," atau "golongan ekumenikal." Kalangan Injili secara tradisional akan menanggapinya secara negatif. Reaksi awal biasanya adalah memberi cap "tidak alkitabiah" atau melontarkan konklusi prematur "membahayakan dan mengancam iman Kristen." Contohnya, ketika kalangan Kristen tertentu memperkenalkan metode kritik bentuk (form criticism) dan kritik redaksi (redaction criticism) terhadap Alkitab, dengan cepat kaum Injili mengeluarkan "fatwa" yang mengharamkan metode-metode baru dalam ilmu tafsir itu. Hal lainnya, ketika pandangan inklusivistik dan pluralistik dalam konteks relasi Kristen terhadap agama-agama lain diluncurkan oleh para pendukungnya seperti Karl Rahner, John Hick, Paul Knitter, Stanley J. Samartha -- di mana salah satu pemicunya justru adalah posisi ekslusivistik kalangan Injili yang sangat rigid segera saja para teolog Injili yang memegang teguh pakem ekslusivistik bernuansa doktrin manusia dan keselamatan yang pesimistik negativistik menampiknya mentah-mentah tanpa melakukan studi yang memadai. Hal ini terbukti ketika pluralisme agama menjadi salah satu subyek primadona dalam topik diskusi teologia dalam dua puluh lima tahun terakhir ini, para pelaku utamanya kebanyakan berasal dari kalangan Kristen non Injili. Banyak buku tentang pluralisme agama-agama yang ditulis oleh kalangan Katolik dan "mainline" Protestan.

Realita ini harus ditangkap dan ditanggapi secara serius oleh para teolog dan akademikus dari kalangan Injili. Alasannya sangat jelas. Kita hidup dalam era globalisasi sekaligus pluralisme dalam berbagai bentuknya, termasuk pluralisme agama. Di dalam era ini, umat Kristen secara langsung bersentuhan dan berinteraksi secara multidimensional dan langsung dengan berbagai insan pemeluk agama-agama besar lain (yang telah mengembangkan dan memiliki sistem teologia dan struktur organisasi yang sistematis dan canggih). Memberi label agama-agama dunia sebagai "inferior,""hasil karya manusia belaka," atau bahkan "bersifat demonik" seperti pernah dilakukan oleh para misionari (teolog barat) masa lalu merupakan pendekatan yang simplisistik, tidak strategis, kontra produktif dan tidak profitabel. Kalangan Kristen Injili perlu secara serius mencermati dan mengantisipasi hal ini secara tepat dan benar. Tepat dalam arti bahwa kita perlu memiliki teologia agama-agama dunia yang kondusif bagi diri kita. Teologia yang mampu membuat kita memahami serta merespons agama-agama lain secara obyektif dan penuh respek sebagai sistem-sistem yang sederajat. Benar dalam arti bahwa kita tidak akan sejengkal pun mengkompromikan inti (core) dan pokok-pokok utama iman kita. "Tepat benar" tidak berarti kita lalu menjadi kaku, dogmatik, dan tidak kreatif.

Tulisan ini bermaksud memberikan beberapa percikan pemikiran berkaitan dengan asumsi perlunya kalangan Kristen Injili membangun teologia agama-agama dunia yang user friendly, yang memampukan kita berdialog dan berinteraksi secara kreatif tanpa jatuh ke dalam posisi pluralistik religius yang kompromistik dan relativistik. Beberapa pokok bahasan yang diketengahkan dalam tulisan ini mungkin akan merupakan shock therapy bagi sebagian kalangan Injili karena merupakan hal-hal baru dan kontroversial; yang memaksa kita secara kritis mengevaluasi secara analitik beberapa pandangan teologis kita yang telah mapan. Kemapanan tidak ekuivalen dengan kebenaran dan kondisi yang tidak bisa dievaluasi, di inovasi dan dikembangkan. Teologia, betapapun mapan dan canggihnya, tetaplah produk manusia yang terbuka untuk ditinjau kembali sejalan dengan perkembangan zaman. Teologia pada hakekatnya adalah tradisi. Tradisi tidak absolut dan selalu bisa berubah. Memutlakkan teologia berarti mengangkatnya sampai level yang setara dengan Alkitab. Bila hal ini terjadi, bukankah hal ini merupakan penyangkalan terhadap prinsip Sola Scriptura yang kita anut.

 TIGA PANDANGAN KLASIK

Selama ini kita mengenal tiga pandangan klasik berkaitan dengan relasi kekristenan dengan agama-agama lain: ekslusivisme, inclusivisme, dan pluralisme agama. Sudah bukan hal yang baru lagi bila fakta menunjukkan bahwa posisi ekslusivisme adalah yang paling banyak dipegang oleh kalangan Injili. Bahkan boleh dikatakan bahwa mayoritas kalangan Injili memegang teguh type ekslusivisme yang terlalu ketat (strict) dan kaku (rigid).

Kalau kita mencermati lebih kritis terhadap aplikasi penggolongan di atas, acapkali yang terjadi adalah kecenderungan praktik pelabelan terhadap seseorang ke dalam salah satu type. Hal ini dalam kenyataannya tidak kondusif terhadap kehidupan bergereja dan berjemaat yang sehat, yang mempromosikan persatuan dan persaudaraan Kristen. Sebaliknya, yang marak terjadi adalah pelebaran jurang persaudaraan Kristen. Polarisasi antara "kita" dan "mereka" semakin tajam. Kalangan Injili, dengan ekslusivismenya, menganggap diri sebagai pihak yang memiliki kebenaran biblikal (baca: Injil) sejati; yang ujung-ujungnya mengklaim diri "paling mumi" dan "paling benar'. Kelompok Kristen lain dianggap sebagai kaum yang mengkompromikan kemurnian Injil dan klaim absolut ekslusif "Yesus adalah satu-satunya Juruselamat" yang menyingkirkan posibilitas keselamatan di luar pengakuan percaya terhadap Yesus dari Nazareth secara verbal eksplisit. Bahkan ada kalangan Injili tertentu (biasanya yang radikal dan fundamentalis) yang sampai harus memvonis kelompok Kristen lain -- yang memiliki perbedaan doktrin minor (sekunder) -- sebagai "bidat."

Klasifikasi klasik di atas juga tidak akurat dalam menggolongkan seorang teolog ke dalam salah satu type. Kalau kita memasukkan Karl Barth ke dalam ekslusivisme atau Kari Rahner ke dalam inklusivisme atau John Hick ke dalam pluralisme, hal ini masih dapat ditolerir mengingat mereka mengekspresikan posisi teologinya secara gamblang. Namun bagaimana dengan kasus almarhum Lesslie Newbigin? Sebagian kalangan menganggapnya sebagai seorang teolog ekslusivistik. Namun kalau kita menyimak pernyataan Newbigin berikut ini, maka sulit kita untuk secara mudah mengidentifikasikan posisi teologia agama-agamanya.

The position which / have outlined is exclusivist in the sense that it affirms the unique truth of the revelation in Jesus Christ, but it is not exclusivist in the sense of denying the possibility of the salvation of the non-Christian. It is inclusivist in the sense that a reformed to first the saving grave of God to members of the Christian church, but it rejects the inclusivism which regards the non-Christian religions as vehicles of salvation. It is pluralist in the sense of acknowledging the gracious work of God in the lives of all human beings, but it rejects a pluralism which denies the uniqueness and decisiveness of what God has done in Jesus Christ.1564

Karena itulah maka kita perlu penggolongan yang lebih memadai dan fleksibel yang mampu mengidentifikasikan posisi teologia seseorang secara lebih tepat dan obyektif. Luther E. Copeland seorang veteran misionari Baptis Injili yang moderat telah mengusulkan suatu sistem klasifikasi yang menurut hematnya lebih fleksibel dan mengurangi kecenderungan pelabelan yang apriori. Copeland membagi relasi Kristen terhadap agama-agama lain ke dalam beberapa type atau kategori, yaitu:3)

Pertama, negativism yaitu pandangan yang tidak atau hampir tidak melihat adanya kebaikan-kebaikan atau hal-hal afirmatif dalam agama-agama lain. Dengan demikian tidak memungkinkan adanya keselamatan bagi para penganutnya; kecuali untuk kasus-kasus yang sangat langka.

Kedua, dialecticism yaitu memandang agama-agama lain beserta para penganutnya pada saat yang bersamaan secara negatif dan positif. Pandangan ini menganggap dalam semua agama terkandung unsur-unsur kebaikan dan kejahatan; kebenaran dan kesalahan; keagungan dan kenistaan.

Ketiga, confessionalism, yaitu meyakini bahwa iman kepercayaan tidak perlu dogmatik. Para penganutnya cuma mau percaya kepada Yesus serta ajaran-ajaran-Nya dan menyaksikan hal itu kepada orang lain tanpa memperdulikan aspek-aspek akademik teologisnya. Mereka juga tidak mau merendahkan agama-agama lain, bahkan mempertahankan keterbukaan terhadap hal-hal positif mereka.

Keempat, christocentric pluralism, yaitu meyakini Kristus sebagai the Absolute. Para pendukungnya meyakini bahwa ekspresi-ekspresi yang berbeda terhadap the Absolute ini dalam berbagai agama merupakan manifestasi-manifestasi dari Kristus Kosmik. Inkarnasi Kristus Kosmik atau Logos dalam diri Yesus dari Nazareth cuma salah satu dari manifestasi-manifestasi yang ada dan cuma valid bagi orang Kristen.

Kelima, theocentric pluralism. Pandangan ini meyakini bahwa the Absolute tidak boleh diidentifikasi sebagai Kristus. Klaim-klaim Kristen cuma punya keabsahan bagi kalangan Kristen sendiri dan tidak berlaku bagi penganut agama-agama lain. The Absolute ini bukan Kristus dan mengatasi segala bentuk ekspresi dalam agama-agama lain.

Keenam, regnocentric atau soteriocentric pluralism, yaitu pandangan yang menyatakan bahwa Kerajaan Allah harus dipahami sebagai keselamatan umat manusia dari kehidupan sosial dan manifestasi keadilan dan kasih di dalam dunia yang mengatasinya serta segala ekspresi-ekspresi ultimate lainnya. Dengan demikian cuma ada keabsolutan yang relatif (a relative absoluteness).

Ketujuh, non-relativistic pluralism. Pandangan ini dapat disebut pluralisme dalam arti bahwa pandangan ini mengakui adanya nilai-nilai positif dalam fenomena pluralisme agama-agama; yaitu bahwa Allah menyatakan ke-Allahan-Nya dalam beraneka ragam agama. Dengan demikian, interaksi antar agama-agama dibutuhkan untuk mencapai pemahaman kebenaran secara memadai. Kristus tidak boleh direlatifkan ataupun dimutlakkan, namun harus dipahami dalam pengertian biblikal sebagai Tuhan dan Juruselamat yang universal.

Kedelapan, pre-eschatological agnosticism. Pandangan ini meyakini bahwa penyingkapan kebenaran final berkaitan dengan klaim-klaim keagamaan harus menunggu sampai zaman akhir (the eschaton). Penyataan akhir tentang apa yang benar tidak akan diketahui sampai akhir sejarah.

Proposal Copeland masih terbuka untuk diperdebatkan oleh para teolog Kristen, Hal ini saya maklumi. Saya mengetengahkannya cuma sebagai contoh bahwa masih ada teolog Injili yang berani berteologia secara kritis inovatif demi mencari suatu formulasi teologi yang lebih kompatibel terhadap perkembangan zaman.

 KASIH KARUNIA KESELAMATAN ALLAH: BAGI MINORITAS ATAU MAYORITAS UMAT MANUSIA?

Teologia agama-agama Kristen haruslah memikirkan secara serius doktrin keselamatan serta mampu menampilkan soteriologi yang proporsional baik secara biblikal maupun teologikal. Selama ini doktrin keselamatan yang dianut kalangan Injili, terutama yang Reformed, lebih bernuansa pesimistik negatif dalam dua pengertian. Pertama, doktrin keselamatan kalangan Injili lebih menekankan aspek negatif umat manusia; bahwa umat manusia yang telah jatuh ke dalam dosa mengalami kerusakan total (total depravity) dan sama sekali tidak memiliki fasilitas intrinsik untuk merespons uluran tangan Allah yang menyelamatkan jika Allah tidak memampukannya. Kedua, warisan doktrin predestinasi Agustinus dan Calvin, yang pada dasarnya mengajarkan bahwa dalam kekekalan Allah telah menetapkan sebagian (kecil) manusia (dari semua yang telah berdosa tersebut) untuk diselamatkan telah mendorong favoritisme terhadap posisi ekslusivistik.

Problem doktrin keselamatan kalangan Injili yang pesimistik dan restriktif ini (dalam arti cuma sebagian kecil umat manusia yang akan diselamatkan sementara sebagian besar lainnya akan dibuang ke neraka) dibahas secara komprehensif oleh Clark H. Pinnock. Pinnock adalah seorang teolog Injili asal Kanada yang "dikucilkan" oleh kalangan Injili; bukan karena ia berbalik tidak meyakini finalitas dan keunikan Yesus Kristus atau meyakini bahwa Alkitab cuma karya sastra agung bikinan manusia, melainkan karena ia mencoba untuk berpikir secara kreatif inovatif sebagai seorang teolog. Dalam bukunya yang berjudul The Wideness in God Mercy: The Finality of Jesus Christ in a World Religions (Grand Rapids: Zondervan. 1992) yang dinilai oleh sebagian besar kalangan Kristen Injili sebagai ekspresi pergeseran pandangan dari ekslusivisme kepada inklusivisme atau bahkan pluralisme, Pinnock secara eksplisit dan komprehensif mempertahankan pandangan bahwa Allah pada akhirnya akan menyelamatkan sebagian besar manusia karena universalitas kasihNya.1565 Hal ini tidak berarti ia menyetujui universalisme atau pandangan liberal pluralistik yang menolak keotentikan, keunikan, dan finalitas inkarnasi Allah atau Kristus

Kosmik sebagai Yesus Nazareth dengan karya penyelamatan-Nya yang meliputi masa lalu, masa kini, dan masa yang akan datang. Tujuan utama Pinnock adalah agar kalangan Injili memiliki teologia agama-agama yang seimbang biblikal dan teologikal: suatu teologia agama yang mengajarkan secara seimbang aspek universalitas dan partikularitas karya kasih penyelamatan Allah Tri tunggal terhadap umat manusia.

Copeland menuliskan komentar yang simpatik tentang Pinnock sebagai berikut:

Pinnock rejected the "fewness" doctrine, that those who are saved will be few, and for this purpose he carefully reviewed the Biblical evidence. Accordingly, he affirmed the doctrine of general or cosmic revelation by which people with no knowledge of Jesus Christ iof Jesus Christ nevertheless receive a knowledge of God.... [Pinnock] rejecting the concepts that understand the incarnation as myth ... Pinnock rejected universalism ... The Title of Pinnock's book ... indicates the generosity of his intention. He resisted the pluralism of theologians such as Hick and Knitter. He even pulled back from the teaching of Roman Catholic Theologians such as Rahner that the religions other than Christianity could be vehicles of salvation.1566

Marilah kita secara singkat melakukan studi biblikal untuk mencari pemahaman dari perspektif lain berkenaan dengan apakah Allah cuma berniat menyelamatkan sebagian kecil umat manusia dan pada saat yang bersamaan mengirim "porsi terbesar"-nya ke dalam kebinasaan kekal yang penuh dengan ratap tangis dan kertak gigi di neraka.

Halaman Perjanjian Lama dimulai dengan penciptaan alam semesta yang berpuncak pada penciptaan manusia dalam image Allah. Namun kemudian manusia, mahkota ciptaan Allah itu jatuh ke dalam dosa. Namun dalam Kej 3. kita melihat keagungan kasih Allah yang berinisiatif menjangkau dan menghampiri manusia berdosa yang berusaha menghindar bahkan bersembunyi dari Allah. Selanjutnya ketika manusia makin jahat dan Allah terpaksa memusnahkan mereka dengan air bah, Allah menyelamatkan Nuh dan mengikat perjanjian (covenant) dengan Nuh. Allah menempatkan pelangi di cakrawala dan berfirman "Inilah tanda perjanjian yang Kuadakan antara Aku dan segala makhluk yang ada di bumi." (Kej 9:17) Perhatikan bahwa perjanjian ini bukan cuma dengan Nuh, tetapi melibatkan seluruh makhluk. Perjanjian ini juga bersifat komprehensif, bukan hanya pemeliharaan jasmaniah, tetapi juga penyelamatan yang holistik. Ikatan perjanjian Allah dengan Nuh ini tidak berdiri terpisah dari ikatan-ikatan perjanjian lain sesudahnya, namun justru mempersiapkan jalan bagi berkat universal untuk seluruh umat manusia melalui ikatan janji dengan Abraham. Kisah-kisah selanjutnya dalam Kejadian (berkenaan dengan Ishak, Yakub, dan Yusuf) pada dasarnya merupakan implementasi janji Allah untuk menyelamatkan seluruh umat manusia.1567

Kita bisa mempertanyakan ikatan perjanjian Allah dengan bangsa Israel di gunung Sinai yang sepertinya melimitasi dan meretriksi universalitas kasih Allah. Benarkah hal ini? Namun sebaliknya, yang sebenarnya terjadi adalah bahwa melalui pemilihan satu bangsa ini Allah sedang mempersiapkan rencana agung penyelamatan bagi seluruh umat manusia. Inilah partikularitas yang membawa jalan bagi universalitas karya penyelamatan Allah bagi umat manusia.

Selanjutnya, dalam kitab Mazmur kita mendapati banyak acuan tentang penyertaan Allah atas segala bangsa (Mzm 8:2; 46:11; 47:2; 82:8; 97:9; 100:1-2 bdk. Mzm 47:8-9; 87:4). Para nabi juga mewartakan keuniversalan kasih Allah yang meliputi bangsa-bangsa non-Israel (Yes 2:1-4; 19:25; 25:6-8; Yer 18:7-8: Am 9:7; Mal 1:11). Dalam PL, terang Allah pun menjangkau secara khusus orang-orang non Israel seperti Yitro, Melkisedek, Abimelekh, Rahab, Rut dan Ayub.

 BERANIKAH KITA MENGHAKIMI TOKOH-TOKOH PL INI SEBAGAI ORANG YANG BERADA DI LUAR KESELAMATAN ALLAH?

Kalau dalam PL keuniversalan kasih Allah telah dinyatakan, maka dalam PB hal ini semakin nyata. Keempat Injil mewartakan secara harmonis tentang hal ini. Ajaran dan teladan hidup Yesus dalam keempat Injil merefleksikan secara transparan kasih karunia Allah yang tidak terbatas kepada umat manusia, entah orang itu adalah pemungut cukai (Luk 18:9-14; 19:1-10), pelacur (7:36-50), tentara Romawi (Mat 8:5-13), anak durhaka (Luk 15:11-32), orang-orang non Yahudi (Yoh 4:1-26, Mat 15:21-28) atau perampok yang tengah menjalani eksekusi bersama Yesus (Luk 23:39-43).

Perumpamaan-perumpamaan Yesus yang diceritakan dalam berbagai konteks juga menegaskan keuniversalan kasih Allah yang inklusif. Tiga perumpamaan bertopik "hilang dan ditemukan" dalam Luk 15 menunjukkan betapa Allah berinisiatif dan mencari umat manusia yang telah berdosa dan jauh dari diri-Nya. Dalam perumpamaan tentang penghakiman terakhir (Mat 25:31-46) kita melihat fakta keheranan besar dalam diri orang-orang yang dipuji telah berbuat kebaikan-kebaikan terhadap "sang Raja" dan diterima dalam kerajaan-Nya padahal mereka tidak merasa melakukan hal-hal itu ketika di dunia. Hal ini mengindikasikan keluasan kasih karunia Allah yang menjangkau umat manusia, sekalipun mereka tidak menyadari kesalehannya (dan memang seorang yang memiliki iman sejati tidak akan membanggakan atau memegahkan spiritualitasnya).

Tulisan-tulisan PB yang lain juga tidak kurang dalam memberi kesaksian tentang keluasan kasih Allah tersebut. Kisah Rasul mencatat pengakuan jujur Petrus dalam kaitan dengan kisah Kornelius "Sesungguhnya aku telah mengerti, bahwa Allah tidak membedakan orang [no partiality -- NRSV]. Setiap orang dari bangsa manapun yang takut akan Dia dan yang mengamalkan kebenaran berkenan kepada-Nya." (Kis 10:34-35). Sementara itu ketika Paulus di Listra, ia pernah berkhotbah demikian: "Pada generasi-generasi yang lalu, Dia [Allah] telah membiarkan seluruh bangsa mengikuti cara-cara mereka sendiri; namun Dia tidak meninggalkan diri-Nya sendiri tanpa seorang saksi [without a witness]..." (Luk 14:16-17).

Dalam surat-suratnya, Paulus jelas memiliki pemahaman yang seimbang antara partikularitas dan universalitas kasih Allah. Dari satu sisi surat-suratnya mengandung banyak acuan pada partikularitas keselamatan dalam Yesus, namun demikian Paulus tidak kehilangan visi keuniversalan kasih Allah kepada umat manusia. Surat Roma, yang banyak dipahami kalangan Kristen secara pesimistik, juga memancarkan aspek generositas kasih Allah. Paulus mengatakan bahwa Allah telah menyatakan kuasa dan keilahian-Nya kepada seluruh umat manusia (Rm 1:19-20). Dalam Rm 2:14-16 dia menunjukkan bahwa Allah telah menyatakan hukum moralnya kepada setiap orang dan menuliskannya pada hati mereka. Ini berimplikasi bahwa umat manusia memiliki percikan terang Allah secara personal dan mampu mengetahui hal itu. Pinnock memberikan penjelasan yang bagus untuk hal ini.

"It is not a negative thing to say that everyone in the whole world has access to God's truth, whether they know about Jesus or not. Granted, Paul is stressing the failure of sinners to respond to God in order to show why Jesus had to come. He is insisting that humanity cannot save itself apart from the work of God in redemption. But it is wrong to read into his words in Romans the idea that he is denying that many Jews and Gentiles in the past have responded positively to God on the basis of this light. ...1568

Dalam Kol 1:15-16 kita menemukan basis ajaran Kristus Kosmik (akan dibahas dalam bagian berikut) Dan akhirnya, dalam kitab Wahyu kita juga menemukan beberapa alusi atau acuan tentang "the wideness of God's salvation" (Why 15:4; 21:24-26)

 KRISTOLOGI KOSMIK

Kristologi Kosmik amat berkaitan dengan pemahaman tentang sesosok Kristus Kosmik yang bertindak sebagai figur juruselamat yang universal sekaligus inklusif. Konsep ini relatif baru -- dalam arti digali dan dibahas dalam kaitannya dengan misi di era globalisasi yang tidak mungkin dipisahkan dari aspek relasi kekristenan dengan agama-agama dunia lainnya -- dalam khasanah teologia Kristen abad XX. Namun sekali lagi fakta menunjukkan bahwa sebagian besar "pelaku utama" dalam diskusi Kristologi Kosmik ini berasal dad kalangan non Injili. Saya sengaja tidak mengatakan bahwa ajaran Kristologi Kosmik ini merupakan produk orisinal teologia Kristen modern dengan alasan bahwa para Bapa Gereja mula-mula seperti Justin Martyr, Irenaeus, dan Clement dari Alexandria, telah memiliki konsepsi Kristus Kosmik.1569

Sulit untuk menentukan kapan tepatnya konsep atau ajaran ini mulai kembali disoroti dan digali pada abad nuklir ini. Namun kita paling tidak dapat menelusuri asal muasalnya pada pertengahan abad XX tatkala Allah Galloway (1951) mempublikasikan sebuah buku tentang Kristologi yang diberi judul The Cosmic Christ. Namun tonggak kemunculan istilah dan Kosmik Kristus modern terjadi pada tahun 1961. D.A. Carson mengkonfirmasi hal ini dengan kata-kata: "The origin of the expression 'cosmic Christ' is usually traced to Joseph Sittler in his 1961 address to the World Council of Churches Assembly meeting in New Delhi."1570 Momen ini telah dianggap sebagai tonggak dimulainya diskusi kristologi panjang yang kemudian terkenal dengan nama "Kontroversi Kistologi Kosmik" (Cosmic Christology Controversy). Sunand Sumithra, seorang teolog juga misiolog Injili dari India berkomentar demikian tentang hal ini: "Taking Col. 1:15-20 as his basis, where the word 'all' is repeated at least six times, Sittler concludes that God's redemption is not smaller than the repeated 'all', it is 'cosmic in scope. "1571

Dalam berbagai buku dan artikel tentang kristologi kosmik, para pendukungnya melandaskan konsep mereka pada sumber biblikal (PL dan PB) dan ekstra biblikal (kebanyakan dari kitab Sirach dan The Wisdom of Solomon/Kebijaksanaan Salomo - KS).1572 Pada umumnya kita dapat mengatakan bahwa ajaran tentang Kristus Kosmik ini dibangun pada prasuposisi bahwa sebelum inkarnasi, oknum kedua Trinitas telah bekerja secara aktif dalam penciptaan dan pemeliharaan alam semesta. Ia juga telah menjangkau berbagai tempat dan konteks dalam sejarah umat manusia. Dari sini kita dapat menarik implikasi bahwa karya oknum kedua Trinitas sebelum berinkarnasi adalah sebagai Kristus Kosmik dan ini meliputi umat manusia di berbagai tempat dan waktu. Aktivitas tersebut tetap berlanjut, bahkan setelah peristiwa kebangkitan.

Perjanjian Lama dan tulisan-tulisan Deuterokanonika menggunakan istilah "Wisdom", atau hikmat sebagai personifikasi Kristus Kosmik tersebut. Kitab Amsal dengan jelas mempersonifikasikan atribut atau fungsi wisdom yang telah eksis sebelum dunia diciptakan; menyatakan Allah, dan bertindak sebagai agen Allah dalam penciptaan (Ams 8:22-31; lihat juga 3:19; KS 8:4-6; Sir 1:4, 9). Hikmat juga tinggal bersama Allah (Ams 8:22-31, Sir 24:4, dan KS 9:9-10.) Hikmat pernah digambarkan sebagai milik eksklusif Allah, dalam kasus ini hikmat tidak terakses oleh manusia (Ay 28:12-13, 20-21, dan 23-27.). Hikmat berfigur wanita (Sir 1:15; KS7:12.) Ia (Hikmat) menyapa manusia yang belum memiliki hikmat dan mengundang mereka dalam pesta yang diadakannya (Ams 1:20-33; 8:1-9; 9:1-6.) Salah satu bagian terkenal dan ekselen yang melukiskan perayaan hikmat ilahi adalah KS 7:22b-8:1. Dalam bagian ini hikmat dideskripsikan dalam berbagai cara: sebagai "nafas kuasa Allah, a breath of the power of God;""refleksi terang yang abadi, a reflection of eternal light"; dan "citra kebaikan Allah, an image of his [God's] goodness."

Konsep PL tentang Hikmat yang berkaitan dengan Kristus Kosmik ini memiliki hubungan erat dengan konsep serupa dalam PB. Para penulis PB memakai konsep hikmat ini untuk memahami dan menginterpretasikan Yesus Kristus. Rasul Yohanes, sebagai contoh, menggunakan terminologi Logos untuk menjelaskan bagaimana Kristus, seperti Hikmat, telah ada sebelum (pre-existed) sebelum segala sesuatu diciptakan dan berada bersama-sama Allah (Yoh 1). PB juga menerapkan kepada Kristus terminologi yang pernah digunakan untuk menunjukkan signifikansi Hikmat Kosmik (Cosmic Wisdom) sebagai agen Allah dalam penciptaan dunia (Yoh 1:3, 10; Kol 1:15; Ibr 1:2.) Kita juga dapat menambahkan banyak bagian PB lainnya, seperti Ibr 1:3, di mana Kristus dilukiskan sebagai "cahaya kemuliaan Allah" (the radiance of God's glory); 1 Kor 1:17-18, 24-25, di mana hikmat ilahi secara berulang-ulang diasosiasikan dengan kuasa, dan Kol 1:15, di mana Kristus disebut "hikmat Allah yang tidak kelihatan" (the image of the invisible God).

Secara lebih spesifik kita dapat mengatakan bahwa penulis-penulis PB bukan hanya mempersamakan hikmat dengan Kristus, tetapi secara sengaja dan sistematik membuat implikasi-implikasi bahwa hikmat ilahi itu secara eksplisit ekuivalen dengan Kristus. Beberapa contoh berikut adalah buktinya: pertama, Lukas memberi informasi bagaimana Yesus bertumbuh dalam hikmat (Luk 2:40, 52). Kedua, Matius mengasumsikan keilahian Yesus yang dibuktikan oleh tindakan-tindakan-Nya (Mat 11:19 bdk. Luk 7:34-35). Ketiga, Rasul Paulus menyebut Kristus sebagai "Hikmat Allah." (1 Kor 1:24). Dalam Kol 2:3 dia menyatakan bahwa di dalam Kristus "tersembunyi segala harta hikmat dan pengetahuan." Eksplanasi yang paling jelas tentang penyetaraan Kristus dengan hikmat ilahi ditemukan dalam 1 Kor 1:17; 2:13.

Sekarang saya akan mendiskusikan secara khusus Kol 1:15-20. Bagian inilah yang telah digunakan oleh Joseph Sittler sebagai dasar bagi konsep Kristus Kosmiknya. Berlandaskan eksegesis yang dilakukannya terhadap kata "segala" yang muncul berulang kali dalam bagian tersebut, Sittler menyimpulkan bahwa tindakan penyelamatan Allah di dalam Yesus Kristus memiliki dampak kosmik (cosmic effects). Pandangannya tersebut kemudian diadopsi secara resmi oleh WCC.73 Betulkah dengan landasan ini kita dapat membangun sebuah doktrin Kristus Kosmik yang dapat digunakan sebagai basis untuk mendukung posisi pluralistik dan menegaskan bahwa Kristus pra-eksis (pre-existing Christ) telah hadir dan aktif berkarya di dalam agama-agama lain? Dengan demikian kita dapat menarik inferensi sebagaimana Karl Rahner lakukan dengan konsep anonymous christian-nya, atau Stanley Samartha dengan konsep unbound Christ-nya, atau M.M. Thomas dengan konsep Christ centered syncretism-nya, atau bahkan melangkah lebih jauh dengan ajaran John Hick dan Paul Knitter bahwa semua agama adalah valid dan menyelamatkan; yang telah mendevaluasi kekristenan menjadi cuma a way has already stated in 1 Cor. 8:6 that Christian have done Lord, Jesus Christ, through whom are all things, and we through him.' Dalam Rm 2:19, ia menunjukkan bagaimana keselamatan yang diperoleh melalui Kristus bekerja bukan hanya bagi kepentingan orang-orang Kristen. the sons of God, tetapi melalui mereka karya keselamatan itu menjangkau seluruh ciptaan.1573 Kristus Kosmik dalam bagian ini bukan dalam disunitas melainkan dalam kontinuitas dengan Yesus Nazareth. Bruce memberikan pendapat berikut tentang hal ini:

The conception of Christ as the goal of creation plays an essential part in Paul soteriology... the person thus presented as creation's goal was Jesus of Nazareth, but lately crucified in Jerusalem, whose appearance as the risen Lord to Paul on the Damascus road had called forth that overmastering faith and love which completely reoriented his thought and action and remained there after the all-dominating motive of his life.'s

 DIALOG ANTAR AGAMA

Dialog antar agama (Interreligious Dialogue) merupakan a must atau hal yang tidak bisa dihindari lagi oleh umat Kristen di dunia pasta era kolonialisme, termasuk di dalamnya kalangan Injili. Sebagaimana telah saya singgung di depan, kita hidup dalam era globalisasi dan pluralisme dalam segala bentuknya. Persinggungan dan komunikasi lintas budaya dan agama sangat bisa terjadi ketika kita baru saja membuka pintu rumah kita. Dialog dengan para pemeluk agama lain bisa terjadi di mana saja, kapan saja, dan dalam suasana apapun juga: formal maupun informal.

Misi Kristen modern tidak bisa dipisahkan dari unsur dialog antar agama. Yang menjadi pertanyaan adalah dimanakah posisi dialog dalam kaitan dengan misi Kristen ini? Apakah dialog identik dengan misi Kristen dan bisa saling dipertukarbalikkan (interchangeable) seperti yang diyakini kalangan Kristen ekumenikal tertentu? Apakah dialog adalah bagian dari misi Kristen? Ataukah dialog bertentangan dengan misi Kristen seperti diyakini oleh sebagian kalangan Kristen Injili?

Pertama-tama kita harus paham bahwa dialog bukan menggantikan dan juga bukan bentuk pelarian diri ("subterfuge") dari misi Kristen. Dialog juga tidak boleh diidentikkan atau bertentangan dengan misi Kristen.1574 Dialog adalah aspek dari misi Kristen yang berkaitan erat dengan natur misi. Misi Kristen pada dasarnya melibatkan komunikasi yang bersifat dialogikal, artinya melibatkan dua pihak tanpa kompulsi atau paksaan. Memang misi Kristen pernah menjadi monolog, yaitu pada era kolonialisme barat yang imperialistik. Namun ini adalah deviasi atau penyimpangan dari hakekat misi. Misi Kristen bersifat inkarnasional sehingga berimplikasi bahwa dalam dialog kekristenan menempatkan agama-agama lain sebagai rekan-rekan dialog yang sederajat yang patut dilayani sebagaimana Tuhan Yesus dengan sabar dan penuh kasih melayani berbagai kalangan pada masa hidup-Nya di dunia.

Dunia yang pluralistik sekarang ini membutuhkan dialog antar agama sebagai wahana untuk: pertama.. menciptakan kondisi saling memahami dan berelasi yang baik di antara para pemeluk agama. Kedua, membangun jembatan untuk usaha-usaha misi. Dialog antar agama memiliki fondasi biblikal dan teologikal yang dapat dipertanggungjawabkan secara iman Kristiani. Alkitab mengajarkan dan mengkonfirmasikan adanya common ground di antara umat manusia yang memungkinkan terjadinya suatu dialog antar agama yang konstruktif dan sehat. Terry C. Muck menegaskan kebenaran ini. Dia berargumentasi bahwa melalui tiga konsepsi teologis yang diturunkan dari Alkitab, yaitu: konsep logos spermatikos, logos divinitatis, dan imago dei. maka para pemeluk agama-agama dan kepercayaan-kepercayaan lain yang beraneka ragam mampu dan dapat dibenarkan untuk melakukan dialog antar agama.1575

Kalangan Injili dikenal sebagai orang-orang yang "alergi" terhadap dialog antar agama. Ada pihak yang menguatirkan keterlibatan dalam dialog akan mengurangi semangat dan motivasi penginjilan. Sementara pihak lainnya berpendapat bahwa dialog antar agama akan mengakibatkan relativisme dan sinkretisme. Namun dengan mengacu beberapa Kristen Injili tidak perlu ragu lagi untuk berpartisipasi dalam dialog antar agama. Copeland tampaknya meyakini hal ini ketika berkomentar "...true dialogue is possible for nonpluralist Christians... "1576

 EPILOG

Dari pembahasan beberapa unsur penting dalam kaitan dengan relasi: umat Kristen dengan agama-agama lain dalam konteks dunia yang pluralistik ini, kalangan Injili secara jujur harus mengakui bahwa mereka beberapa langkah ketinggalan dalam memahami, mengantisipasi, dan melibatkan diri secara proaktif di dalamnya. Mungkin sikap dogmaticism, yang oleh dua teolog Injili terkemuka - John Stott dan Alister McGrath -- diidentifikasi sebagai salah satu kelemahan utama kalangan Injili, memiliki andil sebagai faktor penghambat langkanya Theology of World Religions perspektif Injili.1577

Kalau kita mempertanyakan apakah mungkin membangun teologia semacam ini, jawabannya afirmatif "YA". Kalangan Injili memiliki potensi lebih dari cukup untuk mengkreasi teologi agama-agama yang solid baik secara teologikal dan akademikal dengan beberapa kondisi tertentu. Yang terutama, kalangan Injili harus bersedia meninggalkan kecenderungan sikap-sikap dogmatikalnya. Sikap ini secara tidak disadari telah merugikan diri mereka sendiri. Akibat mempertahankan sikap ini - disadari ataupun tidak disadari kita menjadi sulit belajar dari orang lain; berpikiran sempit; dan pada akhirnya tidak mudah berinovasi dan berimprovisasi secara teologis; mungkin karena takut terseret ke dalam liberalisme kaum ekumenikal. Maka tidaklah heran kita selalu tertinggal dalam percaturan dunia teologia. Akibatnya, agenda teologia kita kalangan Injili ditentukan oleh orang lain. Sikap dogmatikal ini juga membuat kalangan Injili cenderung self protective dan self defensive. Takut menggunakan literatur dari kalangan ekumenikal liberal atau tidak berani berstudi pada seminari-seminari non Injili merupakan contoh-contoh kecenderungan di atas. Akibatnya, kritik-kritik kaum Injili terhadap isu-isu teologia masa kini yang dilontarkan oleh para teolog mainline cuma dikaji dan ditanggapi dari sumber-sumber literatur sekunder. Maka sekali lagi perlu saya ingatkan jika sikap semacam ini tetap dipertahankan, maka akan sulit memunculkan teologia agama-agama dari perspektif Injili yang solid secara akademik, yang mampu diterima kalangan non Injili dan memberi kontribusi signifikan bagi dunia Kristen secara luas.

Selain kondisi di atas, teologia agama-agama dari perspektif Injili haruslah memiliki dua kriteria. Pertama, teologia ini haruslah bersumber dan dibangun dari data biblikal dan tradisi Kristen historis. Keyakinan bahwa Alkitab adalah penyataan Allah yang memiliki otoritas tertinggi bagi segala aspek hidup manusia serta finalitas Kristus tidak boleh dikompromikan. Dan yang kedua, teologia agama-agama yang kita bangun haruslah mampu secara kreatif dinamis memperlengkapi kita untuk mengantisipasi dan menanggapi berbagai isu yang menyangkut relasi kita dengan para pemeluk agama lain dalam era globalisasi yang serba majemuk ini.



TIP #33: Situs ini membutuhkan masukan, ide, dan partisipasi Anda! Klik "Laporan Masalah/Saran" di bagian bawah halaman. [SEMUA]
dibuat dalam 0.05 detik
dipersembahkan oleh YLSA