Resource > Jurnal Pelita Zaman >  Volume 15 No. 1 Tahun 2000 > 
KONSULTASI TEOLOGI: APAKAH YANG DIMAKSUD DENGAN ALIRAN POSTLIBERALISM ATAU TEOLOGI POSTLIBERAL? 
Penulis: Henry Efferin

Pertanyaan:

Apakah yang dimaksud dengan aliran postliberalism atau teologi postliberal yang cukup populer di dunia teologi belakangan ini?

Jawab:

Istilah "postliberalism" sebetulnya menjadi populer berkaitan dengan buku terkenal dari George Lindbeck yaitu The Nature of Doctrine (1984). Pasal terakhir dari buku tersebut berjudul "Toward a Postliberalism Theology". Dalam kurun waktu beberapa tahun, istilah dan pemikiran dalam buku tersebut menjadi bahan diskusi dad banyak teolog. Hampir semua pemikir yang dikategorikan dalam kelompok postliberalism ini berasal dari Yale Divinity School, antara lain: Hans Frei, George Lindbeck, dan Stanley Hauerwas.

Menurut William C. Placher, latar belakang teologi posliberalism ini dapat ditelusuri dari beberapa tokoh, yang utama ialah teolog Yale sendiri yaitu H. Richard Niebuhr. Di samping itu, para pemikir lain yang juga mempunyai pengaruh terhadap gerakan ini ialah teolog dari Karl Barth, filsafat sains, Thomas Kuhn, filsafat bahasa dad Wittegenstein, sosiolog Peter Berger, antropologis Clifford Geertz, dan literalis seperti Erich Auerbach (Lihat William C. Placher. "Postliberal Theology", The modern Theologians, Vol. 2 (Oxford: Basil Blackwell, 1990, h. 115).

Lindbeck sendiri dalam bukunya The Nature of Doctrine tersebut membahas tiga tipe teologi. Yang pertama ialah pendekatan yang bersifat "pengungkapan pengalaman" (experiental exptessive) yang merupakan ciri dari teologi liberal. Kelemahan pendekatan ini ialah sulitnya atau hampir tidak mungkin membuktikan kebenaran teori ini. Bagaimana mungkin membuktikan adanya pengalaman agamawi yang sama yang dirasakan oleh setiap orang? Agama ialah suatu pandangan dunia yang utuh dimana sulit untuk memisahkan antara doktrin dan pengaiaman.

Model teologi lain yang juga ditolak oleh Lindbeck ialah pendekatan secara "kognitif atau "proporsional" yang merupakan corak teologi ortodoks. Pendekatan ini cenderung harfiah dan menitikberatkan faktor intelek, Proposal yang dikemukakan Lindbeck sendiri disebutnya sebagai "budaya bahasa" (culture-linguistic). Lindbeck membandingkan agama dengan bahasa, doktrin sebuah agama berfungsi seperti tata bahasa yang membimbing, memberikan peraturan dan batasan pada sebuah bahasa. Agama juga dapat dibandingkan dengan suatu kebudayaan yang merupakan suatu pola gaya hidup menyeluruh yang mempengaruhi cara berpikir, tingkah laku dan pandangan seseorang terhadap realitas. Ini adalah usaha Lindbeck yang mencoba memelihara keunikan kekristenan, tetapi juga memasukkan pendekatan pascamodemisme ke dalam teologi.

Dari uraian di atas, ditambah pengamatan terhadap tulisan dari para tokoh dalam lingkaran ini, maka dapat dikatakan bahwa para teolog dari postliberal ini mempunyai fokus utama yaitu bagaimana merumuskan suatu pola pendekatan terhadap Alkitab dalam dunia pascamodern ini. Dan, cara baru yang diusulkan dan menjadi benang pengikat dari para teolog postliberal ini disebut pendekatan "naratif ("narrative theology"). Hal ini nampak jelas dari buku Hans Frei yaitu The Eclipse of Biblical Narrative (1974). Pendekatan Naratif (secara harfiah bisa berarti "cerita" atau "penuturan") ini dimaksudkan sebagai upaya menjembatani pola yang menekankan data Alkitab sebagai fakta histories seperti kebanyakan kaum konservatif atau di sisi lain kaum liberal yang hanya menganggapnya sebagai ekspresi simbolis mengenai kebenaran yang diyakini oleh tokoh-tokoh Alkitab. Pencatatan Alkitab tidak dimaksudkan sebagai data histories yang perlu diperdebatkan kebenaran faktualnya, tetapi juga bukan sekedar mitos. Seperti sejarah, tetapi juga bukan sejarah biasa, karena di dalamnya banyak unsur-unsur supranatural. Dibandingkan dengan para pemikir bebas yang lain. dapat dikatakan bahwa para teolog dalam lingkaran Yale ini masih lebih konservatif. Mereka menaruh perhatian terhadap naratif ini bukan sekedar sebagai cerita biasa, atau seperti pola dari para teolog dalam warisan liberal yang cenderung mulai dari pengalaman manusia (cerita manusia) kemudian mencari pembenaran dari cerita Alkitab, sebaliknya mereka mulai dari cerita Alkitab dan mencoba mengerti cerita manusia dari perspektif ini. Dengan kata lain, manusialah yang perlu untuk terus menerus menafsirkan pengalaman kita dalam terang cerita Alkitab.

Belakangan ini semakin banyak pemikir kaum Injili yang walaupun tidak sepenuhnya, tetapi melihat pendekatan naratif dari kelompok postliberal ini sebagai suatu alternatif yang menarik. Salah seorang teolog Injili. Henry H. Knight III dalam bukunya A Future for Truth (1997), menyebutkan beberapa keuntungan dari pendekatan naratif ini, yaitu: Pertama. dengan pendekatan naratif, seorang penafsir bisa membawa berbagai unsur yang berbeda dalam Alkitab kepada suatu kesatuan sebagai "grand story" tanpa kehilangan kekhasan bentuk penulisan masing-masing. Ini adalah "unity which preserves diversity".

Kedua, pendekatan naratif bisa menonjolkan identitas pribadi-pribadi tertentu secara dinamis dalam suatu cerita (khususnya karakter Allah dalam pribadi Yesus Kristus). Sehingga memperhadapkan kita pada suatu tantangan dalam kehidupan nyata sebagai manusia. Hal ini khususnya sangat terasa kebenarannya sebagai partisipan dari komunitas orang percaya yang sudah dibentuk oleh "cerita" Alkitab tersebut.

Ketiga, pendekatan naratif merupakan suatu terobosan antara kaum liberal dan konservatif. Berbeda dengan kaum liberal. metode ini mempertahankan integritas dari teks. Makna teks itu memang dicari dari teksnya, bukan dari spekulasi rekonstruksi sejarah atau pendekatan eksistensialis dari Bultman misalnya. Sebaliknya, dibandingkan dengan propositionalisme dari kaum Injili, pendekatan naratif bisa membaca makna teks tanpa harus mempertahankan inerrancy (ketidaksalahan) Alkitab yang kaku.

Suara dari Henry Knight bukan satu-satunya respon dari kaum Injili. Grant T. Osborne dalam bukunya The Hermeneutical Spiral (1991) lebih mengkritisi beberapa aspek dari teologi naratif yang menurutnya perlu dicermati. Faktor utama yang paling disoroti oleh Osborne adalah kecenderungan "dehistorizing" atau mengabaikan pentingnya aspek histories dari catatan Alkitab, sehingga dengan sendirinya peran penulis Alkitab (author) menjadi kurang signifikan.

Sebagai kesimpulan, bagi saya sendiri, pendekatan naratif dad kelompok postliberal ini memang memberikan inspirasi tersendiri, dengan memperhatikan aspek negatifnya, pendekatan ini bisa menjadi "tool" yang bermanfaat bagi kaum Injili.



TIP #10: Klik ikon untuk merubah tampilan teks alkitab menjadi per baris atau paragraf. [SEMUA]
dibuat dalam 0.03 detik
dipersembahkan oleh YLSA