JUDUL: PENGAMBILAN KEPUTUSAN ETIS DAN FAKTOR-FAKTOR DI DALAMNYA.
PENULIS: MALCOLM BROWNLEE
TERBITAN: BPK GUNUNG MULIA, 1981.
Seringkali orang Kristen merasa bahwa kekristenan itu hanya teoritis. Kekristenan hanya mengajarkan boleh ini boleh itu, tidak boleh ini tidak boleh itu, dilarang ini dilarang itu, lakukan ini lakukan itu, tetapi prakteknya? Ternyata tidak segampang apa yang diucapkan.
Ayah melihat seorang tamu akan memasuki pekarangan. Bila saudara diminta ayah supaya mengatakan, bahwa ayah tidak ada di rumah. Apa yang akan saudara lakukan? Saudara tahu bahwa alasan ayah untuk menghindari tamu itu cukup mendasar dan tidak dibuat-buat.
Keputusan apa yang akan saudara ambil?
Haruskah menipu? Jika menipu berarti saudara telah melanggar salah satu dari sepuluh hukum Allah. Kalau terpaksa harus dilakukan karena sikon, lalu bagaimanakah nilai kekristenan dalam hal kejujuran dapat dipertahankan?
Haruskah jujur? Jika jujur berarti saudara akan membuat ayah terpojok dan konyol, saudara akan melakukan apa yang sebenarnya menurut saudara sendiri kurang bijaksana, serta akan menghadapi risiko konflik hebat yang mengakibatkan retaknya hubungan saudara dengan orangtua saudara yang mempunyai pendirian sangat keras. Ayah saudara akan menilai, bahwa pandangan saudara picik, sempit dan fanatik .... serta saudara dianggap tidak dapat lagi mengerti dan menghargai keadaan dan maksud dari orangtua yang harus saudara hormati dan kasihi, bukankah inipun adalah salah satu perintah dari sepuluh hukum Allah? Tingkah laku saudara bukan justru membawa kesaksian yang benar tapi berakibat tersandungnya orang tua saudara dengan hebat.
Tetapi mungkin saudara sendiri menganggap diri saudara sudah melakukan hukum Allah dengan setulus mungkin. Saudara mungkin bertanya: "Kurang cerdikkah saya? Apakah kata cerdik seperti ular dan tulus seperti merpati disini harus diartikan bahwa orang Kristen boleh menipu?"
Bagaimana dengan kasus double-book yang selalu di jumpai dalam perusahaan-perusahaan besar? Keputusan apa yang harus kita ambil bila kita sebagai pekerja yang diberi tugas membuat laporan seperti itu?
Sampai di mana nilai-nilai hukum Kristen dapat diterapkan?
Lalu tindakan yang mana yang harus dipilih? Mana yang lebih benar?
Buku ini memberikan kepada kita dasar-dasar dan prinsip-prinsip dalam menghadapi kasus-kasus yang seringkali kita jumpai. Bukan kasus-kasus yang sudah jelas salah atau benarnya, tetapi kasus yang cukup sulit untuk diputuskan, khususnya dalam menghadapi hal-hal yang masih kelabu yang tidak jelas nilai kebenarannya, antara salah dan benar, baik dan jahat, gelap dan terang.
Penulis menegaskan bahwa buku ini tidak bermaksud untuk memberikan resep langsung jadi pada pembaca sehingga dapat mengetahui jawab dalam setiap persoalan sulit yang di hadapi, tetapi ia bertujuan menuntun para pembaca agar mempunyai perkembangan dalam mengambil keputusan dengan pertimbangan etis yang makin peka terhadap kehendak Tuhan.
Dari halaman 55 sampai halaman 64, penulis juga memberikan contoh-contoh praktis yang juga digumulkan oleh rasul Paulus dalam menghadapi kasus-kasus kehidupan Kristen dalam pergaulan dengan masyarakat pada waktu itu.
Malcolm Brownlee juga menuliskan faktor-faktor yang mempengaruhi tindakan-tindakan seseorang dalam mengambil keputusan antara lain faktor iman, tabiat, lingkungan sosial, norma-norma dan situasi. Tiap bagian oleh penulis dijelaskan secara terperinci dengan peninjauan dari segi positif maupun negatifnya.
Singkatnya penulis menegaskan bahwa etika yang tepat adalah Etika Tanggung Jawab yang merupakan penyempurnaan dan perpaduan dari etika akibat dan etika kewajiban. Etika Tanggung Jawab adalah etika yang mengajarkan bahwa suatu perbuatan tidak dilakukan semata-mata karena mempunyai tujuan melakukan hukum Allah tanpa mengetahui dasar atau prinsip kebenarannya (membabi buta), tetapi perbuatan yang dilakukan dengan kesadaran penuh akan ikut sertanya peran Allah dalam setiap peristiwa yang dihadapi, disertai pengenalan akan dasar-dasar dan prinsip-prinsip kebenaran hukum Allah, serta dapat mempertanggungjawabkannya dihadapan Allah atas segala keputusan yang telah diambilnya.
Keputusan yang diambil harus disertai dengan doa, ibadah, peranan Roh Kudus dan orang-orang percaya, pengenalan yang benar akan Alkitab dan pengetahuan secara umum.
Buku ini sangat perlu bagi mereka yang sungguh-sungguh menggumuli akan penerapan iman Kristen dalam dunia yang makin relatif dan sulit ini.
Selamat membaca!
Ir. Andi Halim S.Th.
Timbangan Buku: SITUATION ETHICS: True Or False (A Dialogue between Joseph Fletcher and John Warwick Montgomery)
Diterbitkan oleh: Bethany Fellowship, Inc, 1972
Tebal Buku: 90 halaman.
Kali ini Pelita Zaman memperkenalkan sebuah buku kecil yang cukup unik, sekalipun buku ini tidak terhitung baru. Namun buku tersebut memuat perdebatan antara Joseph Fletcher, yaitu penulis buku populer "Situation Ethics", dengan John Warwick Montgomery, yaitu Profesor Kuliah Sejarah Pemikiran Kristen di Trinity Evangelical Divinity School. Perdebatan terbuka ini diselenggarakan oleh San Diego State College pada 11 Februari, 1971.
Masalah Etika Situasi memang sedang hangat juga di Indonesia. Banyak orang yang tidak punya kesempatan membaca buku asli dari Joseph Fletcher, dan banyak juga orang yang tidak mengerti bahaya atau dampak negatifnya.
Justru melalui perdebatan tersebut, permasalahannya dipertajam dan kita bisa belajar banyak hal dari buku tersebut. Pada intinya Fletcher berpendapat bahwa tidak satu hukumpun mempunyai nilai benar atau salah pada dirinya sendiri, bahkan ke 10 hukum Musa sekalipun! Kesemuanya itu harus dipertimbangkan dengan situasinya. Pada situasi-situasi tertentu "hidup bersama" lebih bermoral dari pada pernikahan resmi tanpa kasih, berbohong lebih kristiani dari pada menceritakan yang sesungguhnya dan seterusnya. Menurut Fletcher, posisinya (situationisme) merupakan jalan tengah antara Legalisme (menekankan hukum) dan Antinomianisme (Anti hukum). Dalam setiap situasi, pertimbangan utama pengambilan keputusan untuk bertindak adalah kasih, semua prinsip-prinsip lain menjadi sekunder dibandingkan dengan kasih. Untuk mendukung pendapatnya tersebut, Fletcher banyak mengambil kasus-kasus khusus sebagai contoh, misalnya seseorang yang mempunyai 4 orang anak, 3 diantaranya dibunuh oleh perampok, kemudian perampok tersebut menanyakan di manakah anak yang ke 4? Apakah kita harus menjawab sesungguhnya dalam situasi demikian? Banyak lagi contoh-contoh lain dengan kasus-kasus khusus yang diberikan oleh Fletcher.
Secara sepintas pandangan Fletcher cukup menarik bagi banyak orang, khususnya manusia sekarang yang cenderung menolak standard mutlak, dan berpikir secara pragmatic. Tetapi dari analisa dan sanggahan-sanggahan Montgomery kita diajak berpikir lebih jauh, dia juga mengupas kelemahan-kelemahan Etika Situasi dengan baik, beberapa hal yang penting yang disebutkan oleh Montgomery sebagai berikut:
1. Sekalipun Fletcher berkali-kali berbicara tentang kasih, tetapi dia tidak pernah memberikan konsep dan definisi yang jelas tentang kasih itu sendiri, sehingga paling banyak konsep kasih yang dimaksudkan oleh Fletcher adalah semacam pengetahuan berdasarkan nurani tentang apa yang seharusnya baik bagi seseorang. Bahkan dalam proposisi III (h. 25), Fletcher merumuskan bahwa Kasih dan Keadilan adalah sama, keadilan adalah pelaksanaan kasih, karena itu semua tindakan yang didasarkan kasih sudah cukup. Tetapi di sini terletak kekaburan Fletcher, kasih bukan suatu peraturan, melainkan motif. Kasih tidak menjelaskan apa yang harus kita lakukan, melainkan bagaimana kita melakukannya. Karenanya kasih tanpa pengarahan hukum bisa menjadi alat untuk membenarkan diri (self righteousness) semata-mata.
2. Masalah lainnya, kalau Etika Situasi menjadi standard umum, maka sulit sekali bagi kita untuk menentukan apakah seseorang mengatakan yang sebenarnya atau tidak. Kalau berdasarkan pertimbangan pribadinya seseorang menganggap bahwa dia sedang melakukan kasih, lalu dia boleh melanggar kebenaran, apa jadinya kalau setiap orang dalam masyarakat menerapkan hal yang sama? Justru di sinilah Montgomery menghimbau agar dalam masyarakat yang cenderung relatif dan kehilangan nilai-nilai untuk pegangan hidupnya, janganlah orang Kristen justru juga kehilangan standard mutlak tersebut dan menjadi pengikut situationisme, melainkan kita perlu berbicara dengan keyakinan berdasarkan Firman Allah.
3. Masalah utama dari Fletcher sebetulnya terletak pada beberapa penafsiran yang salah dari PB, sulit bisa dipercaya, bahwa Yesus yang menyebut dirinya sebagai 'Kebenaran' akan setuju dengan Fletcher bahwa berbohong lebih kristiani dari pada mengatakan yang sebenarnya. Bahkan dalam Yoh. 8:44 dikatakan bahwa iblis adalah bapa pendusta. Dengan goyahnya dasar Alkitab dari Fletcher, mudah dimengerti bahwa bagi dia bahkan Firman Allahpun tidak bisa dijadikan standard mutlak.
Jadi sebenarnya perbedaan utama antara Fletcher (penganut Etika Situasi) dan Montgomery (penganut Etika Injili) adalah Fletcher memakai kasus-kasus khusus (kekecualian-kekecualian) untuk dijadikan sebagai standard umum, karenanya mereka bisa membenarkan diri. Sebaliknya Montgomery tetap berpegang pada standard umum, kalau toh dalam kasus-kasus khusus, karena kelemahan manusia itu sendiri, atau akibat kedosaan manusia, maka seseorang sampai melanggar prinsip Alkitab, hal itu tidak menjadikan dia benar, tetap dia harus datang ke bawah kayu salib mengakui kesalahannya tersebut. Bagi para pembaca yang berminat mengikuti lebih banyak tentang perdebatan tersebut, silakan membaca sendiri. Cukuplah kiranya pembahasan kami sebagai perangsang bagi saudara untuk menggali lebih banyak tentang masalah yang hangat ini.
Henry Efferin.