Resource > Jurnal Pelita Zaman >  Volume 13 No. 1 Tahun 1998 > 
TINJAUAN BUKU 

Hans Ming, Theology for the Third Millenium: An Ecumenical View. Anchor Books. Terj. Peter Heinegg. Anchor Books. New York: Doubleday, 1988.

Generasi sekarang berada di ambang peralihan dari milenium ke-2 dan ke-3. Menyongsong milenium baru ini, orang menjadi antusias. Banyak pembicaraan berkisar seputar ini. Jelas, ini bukan sekadar pergantian angka-angka tahun. Bersama pergantian angka-angka itu, terjadi pula pergeseran-pergeseran dalam cara memandang dunia. Filsafat post modern contohnya. Sekalipun manusia sedang memasuki sebuah zaman yang baru, pertanyaan klasik dari teologi Kristen sepanjang abad adalah tetap sama. Bagaimana teologi tetap relevan dalam zaman di mana agama sering dipersoalkan sebagai tidak relevan?

Buku Theology for the Third Millenium merupakan sebuah usaha untuk menjawab pertanyaan tentang relevansi berteologi pada milenium ke-3. Pengarangnya, Hans Ming, mengusulkan sebuah teologi yang bersifat ekumenis (ecumenical theology). Sebagaimana gereja harus selalu memperbaharui diri (ecclesia semper reformanda), teologi juga harus selalu memperbaharui diri (theologia semper reformanda). Firman Allah adalah kekal dan tidak berubah, namun penyampaiannya kepada manusia kalau mau relevan harus selalu mengikuti perubahan zaman. Dalam kata pengantarnya, Ming menyebut bukunya ini sebagai pertanggungjawaban dari kariernya sebagai teolog selama tiga puluh tahun. Ia tidak menyesal bahwa sejauh itu ia memiliki teologi yang ekumenis. Teologi ekumenis mengandaikan pemahaman yang mendalam antara agama yang satu dengan agama yang lain, di mana agama-agama bisa hidup berdampingan. Pemahaman yang mendalam ini harus ada baik dalam aliran-aliran Kristen (ke dalam) maupun antara agama Kristen dan agama-agama lain (eksternal). Kalau damai ini terjadi, barulah menurut Ming, damai di bumi bisa diharapkan.

Teologi ekumenis merupakan teologi pembaharuan, teologi yang membaharui gereja dari dalam tanpa menyebabkan perpecahan (41). Ternyata pembaharuan seperti ini tidak mudah. Sejarah membuktikan bahwa sejak dulu pembaharuan gereja selalu menimbulkan konflik antara yang ingin mempertahankan struktur dan yang ingin merombak struktur (15-46). Konflik ini pada dasarnya adalah pergumulan atas keutamaan Alkitab yang dipertentangkan dengan tradisi gereja (47). Apakah tradisi-tradisi gereja yang tidak bersumber dari Alkitab memiliki otoritas yang mengikat melampaui otoritas Alkitab? Apa sebenarnya basis dari iman? Alkitab, Tradisi, atau gereja? Untuk itu, Ming mengambil contoh seputar Reformasi. Pada waktu itu, gereja Roma Katolik berlindung di balik struktur gereja dan yang berotoritas merasa oke-oke saja. Pembaharuan boleh saja namun tidak mendesak. Tetapi Luther sebaliknya. Menurutnya, gereja Roma Katolik tidak ada dalam Perjanjian Baru dan bukan gereja dalam arti yang sesungguhnya. Maka dari itu, pembaharuan adalah mendesak dan harus mendasar. Lain lagi dengan Erasmus. Ia muncul mewakili teolog Katolik pembaharu yang berusaha menjembatani kedua sikap ini. Ia yakin bahwa pembaharuan mendesak namun itu harus diperjuangkan dari dalam gereja. Dengan kata lain, Erasmus menolak perpecahan gereja (skhisma) sebagai alternatif. Namun sebelum usaha Erasmus membuahkan hasil, gereja Roma Katolik telah berbuat terlalu cepat yakni mengucilkan Luther. Dan menurut Ming, ini salah. Sebab, hal itu membuat Luther terpisah dari gereja resmi, kemudian menjadi agresif dengan cara membentuk kekuatan sendiri yang menandingi gereja formal. Namun yang lebih parah lagi, gereja Roma Katolik menyudutkan Erasmus dengan pilihan: tetap loyal terhadap Roma dan menolak Reformasi Luther atau menyeberang ke Wittenberg dan tidak menjadi Katolik. Sebagai tokoh gereja yang loyal, tentu Erasmus memilih yang pertama. Melihat semua ini, jelaslah bahwa figur Erasmus diterima gereja Roma, sedangkan Luther tidak. Seandainya, sikap terbuka dan toleransi dari Erasmus tidak dibarengi oleh sikap netral tidak mau ambil risiko. Seandainya, sikap profetik dari Luther tidak dibarengi oleh sikap fanatiknya yang agresif. Seandainya ..., seandainya ....

Saling pengertian antar agama sulit dicapai karena klaim mengklaim kebenaran. Agama yang satu mengklaim kebenaran absolut bahwa dirinya merangkul kebenaran yang sejati, sementara kebenaran-kebenaran dari agama-agama lain dianggap kurang sempurna. Akibatnya, tidak ada dialog yang benar-benar di antara penganut-penganut agama yang berbeda. Ada kecenderungan untuk mengakui kemutlakan agama sendiri dengan meniadakan kemutlakan agama lain. Orang tidak mau mengakui kebenaran dalam agama lain karena itu diartikan melepaskan kemutlakan agamanya sendiri.

Menurut Kiing, satu-satunya yang absolut dalam sejarah dunia adalah Yang Absolut itu sendiri atau dalam agama Kristen disebut Allah (251). Allah adalah Sang Kebenaran itu sendiri. Karena itu, tidak ada agama yang memiliki seluruh kebenaran. Jadi, berteologi sebenarnya adalah usaha untuk mengerti yang tidak dapat sepenuhnya dimengerti, menyelidiki yang tidak dapat sepenuhnya diselidiki. Dengan kesadaran ini, Ming menaruh harapan bahwa masa depan dunia akan menjadi lebih baik berkat agama-agama dapat saling mengerti. Damai di antara agama-agama adalah prasyarat damai di antara bangsa-bangsa, damai di bumi. Ia tidak mencita-citakan nantinya cuma ada satu agama yang merangkum semua agama dunia. Ia bukan seorang sinkretis. Yang Kiing tekankan adalah bagaimana penganut-penganut agama-agama yang berbeda dapat, tetap berpegang pada agamanya masing-masing namun solidaritas kemanusiaan berkembang meluas, melampaui batas-batas agama sendiri.

Solidaritas demikian tidak mustahil. Pertama, seorang tidak mungkin memeluk secara serius lebih dari satu agama dalam waktu yang bersamaan. Ia harus memeluk sebuah agama saja dan agama itu mesti yang dianggapnya paling benar. Dari sudut penganut agama itu sendiri (internal), hanya ada satu agama yang benar yaitu agamanya sendiri. Kedua, sebagai pemeluk suatu agama, orang melihat agama lain sebagai salah satu dari agama-agama dunia. Dari sudut pandang sebagai pengamat ini (eksternal), ada banyak agama yang benar. Maka sebagai pemeluk agama Kristen (Katolik), Ming tidak sulit untuk tetap memiliki komitmen tertinggi atas agama Kristen dan melihat agama-agama lain sebagai benar sejauh mereka tidak bertentangan dengan pesan inti agama Kristen, mengoreksi, menyempurnakan, dan memperkaya pemahaman Kristianinya.

Karena itu, Ming mengusulkan tiga kriteria agama yang benar, dua bersifat umum dan satu bersifat eksklusif (240-253). Pertama, sebuah agama benar kalau menjadikan orang lebih manusiawi dan memajukan nilai-nilai kemanusiaan (kriteria moral). Kedua, sebuah agama benar kalau ajaran moralnya bersumber pada suatu yang kanonik (kriteria agama). Ketiga, barulah penghayatan agama secara internal yakni menghayati keunikan agama sendiri sebagai agama yang benar. Namun penghayatan ini bukan untuk menghakimi kebenaran dalam agama lain, kalau tidak, tidak akan ada dialog yang sungguh-sungguh (239).

Orang akan kecele bila mengharapkan Ming menawarkan suatu teologi yang baru dan lain dari yang lain. Formulanya tetap sama. Agar tidak spekulatif, teologi ekumenis tetap harus bersumber pada wahyu Allah dalam sejarah Israel dan sejarah Yesus (108-116). Dengan kata lain, Alkitab sebagai sumber normatif teologi. Agar tidak dipietiskan, teologi harus mengambil pengalaman konkret manusia di dunia sebagai medan berteologinya (116-119). Yang baru dan menyentak mungkin adalah ia berulang kali menegaskan bahwa teologi harus selalu berinteraksi dengan studi eksegese Alkitab yang kritis. Biasanya teologi sistematik merasa puas dalam rekonstruksi rumah buatannya dan tidak jarang memaksa Alkitab berbicara menurut isi teologis tertentu. Contoh yang diambil adalah teolog Protestan, Karl Barth (257-84). Sekalipun ia memegang teguh teologi gereja secara mutlak, ia mengabaikan temuan-temuan penting dari eksegese, sejarah, dan teologi modern. Namun akhirnya, menurut Ming, Barth sadar dan mulai mengedepankan studi eksegese kritis sebagai fondasi teologi sistematiknya. Maka Ming menganggap Barth berjasa sebagai pemula sebuah teologi ekumenis dalam paradigma post modern namun tidak menyempurnakannya (inisiator dan bukan penyempurna).

Secara keseluruhan, buku Theology for the Third Millenium tidak sulit dibaca. Gaya penulisan Ming inspiratif dan provokatif. Itu sebabnya mungkin gereja Katolik menganggapnya berjalan sendiri dan pandangan-pandangannya tidak diakui mewakili pandangan-pandangan Gereja Katolik. Namun ini juga yang membuat pembaca Kristen seperti tidak merasa sedang membaca sebuah buku Katolik. Dengan kemampuannya merangkum namun juga menganalisis data-data sejarah seni, ilmu pengetahuan, dan agama, Ming mau pembaca belajar dari sejarah dan siap memasuki milenium ke-3 dengan bekal sejarah sebelumnya. Hanya saja, dalam soal peristilahan Ming kurang teliti. Sejak awal ia sudah bicara tentang perubahan paradigma (123) yang definisinya masih rancu di kalangan para sarjana, namun baru kemudian ia menerangkan definisi yang dipakainya yakni dari Thomas Kuhn (172). Kadang juga sebuah topik yang sudah dibahas, dibahas lagi dengan penyajian yang berbeda di tempat lain sehingga timbul kesan penulisannya maju, mundur sedikit, maju lagi lebih banyak, kemudian mundur lagi sedikit, begitu seterusnya. Akhirnya, terlalu sayang jika buku ini dilewatkan oleh seorang teolog dan pemimpin gereja masa depan. (Yonky Karman)



TIP #10: Klik ikon untuk merubah tampilan teks alkitab menjadi per baris atau paragraf. [SEMUA]
dibuat dalam 0.02 detik
dipersembahkan oleh YLSA