Resource > Jurnal Pelita Zaman >  Volume 13 No. 1 Tahun 1998 > 
ETIKA LINGKUNGAN HIDUP DARI PERSPEKTIF TEOLOGI KRISTEN 
Penulis: Robert P. Borrong
 I. PENGANTAR

Akhir-akhir ini perhatian dan kesadaran umat manusia untuk menjaga dan memelihara kelestarian lingkungan hidupnya semakin meningkat. Hal itu sejalan dengan pengetahuan yang makin baik dan pengalaman yang semakin nyata bahwa lingkungan hidup atau planet bumi sedang sakit atau rusak. Dan bahwa sakitnya atau rusaknya planet bumi itu disebabkan oleh ulah manusia sendiri yaitu dalam kaitannya dengan pemanfaatan dan pengelolaan sumber-sumber alam. Cara memanfaatkan dan mengelola lingkungan cenderung bersifat eksploitatif dan destruktif. Maka proses pemanfaatan dan pengelolaan lingkungan mengandung aspek pengrusakan lingkungan, baik sengaja maupun tidak sengaja.

Sebenarnya proses pengrusakan lingkungan sudah berjalan lama yaitu sejak dimulainya proses industrialisasi. Industrialisasi menyadarkan manusia bahwa alam merupakan deposit kekayaan yang dapat memakmurkan. Maka mulai saat itu sumber-sumber alam dieksploitasi untuk diolah menjadi barang guna memenuhi kebutuhan demi kemakmuran hidup manusia. Dengan adanya alat ampuh yaitu mesin, maka alampun dipandang secara mekanis dan dikelola secara mekanis. Terjadilah intensitas pengeksploitasian lingkungan menjadi semakin gencar tak terkendali. Alam tak lebih dari benda mekanis yang hanya bernilai sebagai instrumen untuk kepentingan manusia. Alam tidak lagi dihargai sebagai organisme. Sayangnya kesadaran akan semakin rusaknya lingkungan hidup mulai muncul sejak sesudah perang dunia kedua dan mulai mengglobal tiga dekade yang lalu ketika alam terlanjur rusak berat atau sakit parah. Ketika itu manusia makin menyadari bahwa sumber-sumber alam (khususnya non renewable resources) semakin menipis.

Pengelolaan alam secara mekanistik yang diikuti pula oleh pertumbuhan demografi terus melaju sehingga pada akhir dekade 1960-an ditandai dengan "ledakan penduduk dunia." Kenyataan itu mendorong digerakkannya pembangunan yang berorientasi pada "pertumbuhan ekonomi" yang justru semakin meningkatkan pengeksploitasian sumber-sumber alam. Hal ini tidak untuk kemakmuran saja tetapi bahkan untuk memenuhi kebutuhan paling dasar dari umat manusia yang semakin banyak. Misalnya, hutan selain sebagai sumber bahan baku untuk diolah menjadi bahan produk, juga dikonversi menjadi lahan - pertanian. Pengrusakan ini diperberat oleh polusi atau pencemaran. Untuk menjaga kesuburan lahan pertanian digunakan pupuk kimia dan untuk menjaga panen dari serangan hama digunakan pestisida secara besar-besaran sehingga produksi pertanian meningkat. Semua itu, bersama dengan industri dan transportasi yang dibangun untuk meningkatkan produksi dan distribusi, membentur alam dalam bentuk polusi. Akibatnya sumber alam semakin menipis, kemampuan daya dukung alam berkurang dan mengancam kehidupan manusia sendiri.

Dari keterangan di atas menjadi nyata bahwa benturan yang menyebabkan lingkungan hidup menderita sakit atau rusak datang dari manusia dalam proses mengambil, mengolah dan mengkonsumsi sumber-sumber alam. Benturan terjadi ketika proses-proses itu melampui batas-batas kewajaran atau proposionalitas. Batas-batas kewajaran atau proposionalitas itu terlampui ketika manusia semakin mampu dengan bantuan ilmu pengetahuan dan teknologi memanfaatkan sumber-sumber secara masal, intensif dan cepat dan sekaligus mengotori atau mencemarinya. Tetapi yang lebih parah lagi, yaitu bahwa manusia yang merasa semakin enak, semakin tak tabu diri, sehingga ia seolah-olah menjelma menjadi tuan dan pemilik alam. Maka kesadaran untuk menjaga dan memelihara lingkungan hidup harus dikembalikan pada manusia, mempertanyakan tentang dirinya dan kelakuannya terhadap alam. Apa kata teologi atau etika Kristen?

 II. DASAR TEOLOGIS ETIKA LINGKUNGAN

Dalam cerita penciptaan dikatakan bahwa manusia diciptakan bersama dengan seluruh alam semesta. Itu berarti bahwa manusia mempunyai keterkaitan dan kesatuan dengan lingkungan hidupnya. Akan tetapi, diceritakan pula bahwa hanya manusia yang diciptakan sebagai gambar Allah (Imago Dei) dan yang diberikan kewenangan untuk menguasai dan menaklukkan bumi dengan segala isinya. Jadi di satu segi, manusia adalah bagian integral dari ciptaan (lingkungan), akan tetapi di lain segi ia diberikan kekuasaan untuk memerintah dan memelihara bumi. Maka hubungan manusia dengan lingkungan hidupnya seperti dua sisi dari mata uang yang mesti dijalani secara seimbang.

1. Kesatuan manusia dengan alam

Alkitab menggambarkan kesatuan manusia dengan alam dalam cerita tentang penciptaan manusia: "Tuhan Allah membentuk manusia itu dari debu tanah" (Kej 2:7), seperti Ia juga "membentuk dari tanah segala binatang hutan dan segala burung di udara" (Kej 2:19). Dalam bahasa Ibrani, manusia disebut adam. Nama itu mempunyai akar yang sama dengan kata untuk tanah, adamah yang berarti warna merah kecoklatan yang mengungkapkan warna kulit manusia dan warna tanah. Dalam bahasa Latin manusia disebut homo, yang juga mempunyai makna yang berkaitan dengan humus, yaitu tanah. Dalam artian itu, tanah yang biasa diartikan dengan bumi, mempunyai hubungan lipat tiga yang kait mengkait dengan manusia: manusia diciptakan dari tanah (Kej 2:7; 3:19,23), ia harus hidup dari menggarap tanah (Kej 3:23), dan ia pasti akan kembali kepada tanah (Kej 3:19; Maz 90:3). Di sini nyata bahwa manusia dan alam (lingkungan hidup) hidup saling bergantung - sesuai dengan hukum ekosistem. Karena itu, kalau manusia merusak alam maka secara otomatis berarti ia juga merusak dirinya sendiri.

2. Kepemimpinan manusia atas alam

Walaupun manusia dengan alam saling bergantung, Alkitab juga mencatat dengan jelas adanya perbedaan manusia dengan unsur-unsur alam yang lain. Hanya manusia yang diciptakan segambar dengan Allah dan yang diberikan kuasa untuk menguasai dan menaklukkan bumi dengan seluruh ciptaan yang lain (Kej 1:26-28), dan untuk mengelola dan memelihara lingkungan hidupnya (Kej 2:15). Jadi manusia mempunyai kuasa yang lebih besar daripada makhluk yang lain. Ia dinobatkan menjadi "raja" di bumi yang dimahkotai kemulian dan hormat (Maz 8:6). Ia menjadi wakil Allah yang memerintah atas nama Allah terhadap makhluk-makhluk yang lain. Ia hidup di dunia sebagai duta Allah. Ia adalah citra maka ia ditunjuk menjadi mitra Allah. Dan karena ia menjadi wakil dan mitra Allah, maka kekuasaan manusia adalah kekuasaan perwakilan dan perwalian. Kekuasaan itu adalah kekuasaan yang terbatas dan yang harus dipertanggungjawabkan kepada pemberi kuasa yaitu Allah. Itu sebabnya manusia tidak boleh sewenang-wenang terhadap alam. Ia tidak boleh menjadi "raja lalim". Kekuasaan manusia adalah kekuasaan care taker. Maka sebaiknya manusia memberlakukan secara seimbang. Artinya pengelolaan dan pemanfaatan sumber-sumber alam diimbangi dengan usaha pemeliharaan atau pelestarian alam.

Kata mengelola dalam Kejadian 2:15, digunakan istilah Ibrani abudah, yang sama maknanya dengan kata ibadah dan mengabdi. Maka manusia sebagai citra Allah seharusnya memanfaatkan alam sebagai bagian dari ibadah dan pengabdiannya kepada Allah. Dengan kata lain, penguasaan atas alam seharusnya dijalankan secara bertanggung jawab: memanfaatkan sambil menjaga dan memelihara. Ibadah yang sejati adalah melakukan apa saja yang merupakan kehendak Allah dalam hidup manusia, termasuk hal mengelola (abudah) dan memelihara (samar) lingkungan hidup yang dipercayakan kekuasaan atau kepemimpinannya pada manusia.

3. Kegagalan manusia memelihara alam

Alkitab mencatat secara khusus adanya "keinginan" dalam diri manusia untuk menjadi sama seperti Allah dan karena keinginan itu ia "melanggar" amanat Allah (Kej 3:5-6). Tindakan melanggar amanat Allah membawa dampak bukan hanya rusaknya hubungan manusia dengan Allah tetapi juga dengan sesamanya dan dengan alam. Manusia menghadapi alam tidak lagi dalam konteks "sesama ciptaan" tetapi mengarah pada hubungan "tuan dengan miliknya". Manusia memperlakukan alam sebagai objek yang semata-mata berguna untuk dimiliki dan dikonsumsi. Alam diperhatikan hanya dalam konteks kegunaan (utilistik materialistik). Manusia hanya memperhatikan tugas menguasai tetapi tidak memperhatikan tugas memelihara. Dengan demikian manusia gagal melaksanakan tugas kepemimpinannya atas alam.

Akar perlakuan buruk manusia terhadap alam terungkap dalam istilah seperti: "tanah yang terkutuk", "susah payah kerja" dan "semak duri dan rumput duri yang akan dihasilkan bumi" (Kej 3:17-19). Manusia selalu dibayangi oleh rasa "kuatir" akan hari esok yang mendorongnya cenderung rakus dan materialistik (baca Mat 6:19-25 par.). Secara teologis dapat dikatakan bahwa akar kerusakan lingkungan alam dewasa ini terletak dalam sikap rakus manusia yang dirumuskan oleh John Stott sebagai "economic gain by environmental loss". Manusia berdosa menghadapi alam tidak lagi sekedar untuk memenuhi kebutuhannya tetapi sekaligus untuk memenuhi keserakahannya. Dengan kata lain, manusia berdosa adalah manusia yang hakekatnya berubah dari "a needy being" menjadi "a greedy baing". Kegagalan dalam melaksanakan tugas kepemimpinan atas alam merupakan pula kegagalan manusia dalam mengendalikan dirinya, khususnya keinginan-keinginannya.

4. Hubungan baru manusia - alam

Alkitab, khususnya Perjanjian Baru mencatat bahwa Allah yang Maha kasih mengasihi dunia ciptaan-Nya (kosmos) sehingga Ia mengutus anakNya yang tunggal ke dalam dunia yaitu Tuhan Yesus Kristus (Yoh 3:16). Tuhan Yesus Kristus yang disebut Firman (logos) penciptaan (Kol 1:15-17; Yoh 1:3, 10a) telah berinkarnasi (mengambil bentuk materi dengan menjelma menjadi manusia: Yoh 1:1, 14); dan melalui pengorbanan-Nya di atas kayu salib serta kebangkitan-Nya dari antara orang mati, Ia telah mendamaikan Allah dengan segala sesuatu (ta panta) atau dunia (kosmos) ini (Kol 1:19-20; 2 Kor 5:18-19). Tuhan Yesus telah memulihkan hubungan Allah dengan manusia dan dengan seluruh ciptaan-Nya dan memulihkan hubungan manusia dengan alam. Atas dasar itu maka hubungan harmonis dalam Eden (Firdaus) telah dipulihkan.

Apa yang dibayangkan dalam Perjanjian Lama sebagai nubuat tentang kedamaian seluruh bumi dan di antara seluruh makhluk (Yes 11:6-9; 65:17; 66:22; Hos 2:18-23) telah dipenuhi dalam diri Tuhan Yesus Kristus. Maka dalam iman Kristen hubungan baru manusia dengan alam bukan saja hubungan dominio (menguasai) tetapi juga hubungan comunio (persekutuan). Itu sebabnya Tuhan Yesus yang telah berinkarnasi itu menggunakan pula unsur-unsur alam yaitu "air, anggur dan roti" dalam sakramen yang menjadi tanda dan meterai hubungan baru manusia dengan Allah. Dengan kata lain, hubungan manusia dengan Allah yang baik harus tercermin dalam hubungan yang baik antara manusia dengan alam. Persekutuan dengan Allah harus tercermin dalam persekutuan dengan alam. Hubungan yang baik dengan alam, sekaligus mengarahkan kita pada penyempurnaan ciptaan dalam "langit dan bumi yang baru" (Why 21:1-5) yang menjadi tujuan akhir dari karya penebusan Allah melalui Tuhan Yesus Kristus. Dalam langit dan bumi yang baru itulah Firdaus yang hilang akan dipulihkan.

 III. NORMA ETIKA LINGKUNGAN

Akhir-akhir ini etika lingkungan biasanya dibagi atas dua atau tiga bagian yang antroposentris, ekosentris dan biosentris. Bahkan Robert Elliot mengemukakan lima konsep yaitu yang disebutnya human centered ethics, animal centered ethics, life centered ethics, everything centered ethics dan ecological holism ethics. Saya hanya akan mengikuti tiga pandangan yang saya kemukakan di atas. Pandangan pertama, yaitu antroposentris adalah pandangan yang telah lama dianut oleh umat manusia yang beranggapan bahwa alam atau lingkungan hanya mempunyai nilai alat (instrumental value) bagi kepentingan manusia.

Pandangan antroposentris ini sering dihubungkan dengan pandangan Barat yang melihat lingkungan hidup sebatas maknanya bagi kesejahteraan dan kemakmuran manusia. Manusia Barat menganut pandangan mengenai hubungan diskontinuitas antara manusia dengan alam. Hanya manusia yang subjek, sedangkan alam atau lingkungan adalah objek. Maka alam diteliti, di eksplorasi, lalu dieksploitasi. Maka etika antroposentris ini tidak sejalan dengan etika Kristen yang menekankan adanya kontinuitas antara manusia dengan alam (adam-adamah, homo-humus).

Pandangan yang kedua adalah biosentris. Penganut pandangan ini berpendirian bahwa semua unsur dalam alam mempunyai nilai bawaan (inherent value), misalnya kayu mempunyai nilai bawaan bagi kayu sendiri sebagai alasan berada. Jadi kayu tidak berada demi untuk kepentingan manusia saja. Demikianlah seluruh makhluk hidup memiliki nilai inherent lepas dari kepentingannya bagi manusia. Manusia dan makhluk-makhluk hidup lainnya mempunyai hubungan kontiunitas, maka manusia dan lingkungan mempunyai tujuannya masing-masing. Maka tiap makhluk mempunyai hak mendapatkan perlakuan sesuai dengan hak yang melekat padanya. Pandangan ini misalnya. dianut oleh Paul Taylor, Peter Singer dan Albert Schweitzer.

Pandangan ketiga yaitu ekosentris berpendirian bahwa bumi sebagai keseluruhan atau sebagai sistem tidak dapat dipisahkan satu dari yang lain. Maka lingkungan harus diperhatikan karena manusia hanyalah salah satu sub sistem atau bagian kecil dari seluruh ekosistem. Pandangan ini dianut umumnya oleh manusia Timur, termasuk orang Indonesia, yang sangat menekankan hubungan erat antara manusia dengan lingkungan hidupnya. Manusia adalah mikro dari makro kosmos. Menurut pandangan ini bumi memiliki nilai hakiki (intrinsic value) yang harus dihormati oleh manusia. Maka alam atau lingkungan tidak boleh diperlakukan semena-mena, karena bumi mempunyai nilainya yang luhur yang harus dijaga, dihormati dan dianggap suci.

Kita akan mencoba melihat pandangan-pandangan ini berdasarkan kesaksian Alkitab sebagaimana yang dikemukakan di bagian II di atas. Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa etika lingkungan tidak bersifat antroposentris, tetapi juga tidak sekedar bersifat biosentris atau ekosentris. Manusia dan semua makhluk hidup lainnya bahkan seluruh planet bumi ini bersumber dari Allah. Allah yang menciptakannya dan Allah menghendaki seluruhnya berada, topang menopang dan saling membutuhkan. Maka etika lingkungan, dari perspektif teologi Kristen mestinya bersifat teosentris artinya berpusat pada Allah sendiri. Kita perlu menjaga dan memelihara lingkungan hidup bukan saja karena kita membutuhkan sumber-sumber di dalamnya dan karena bumi ini adalah rumah kita (antroposentris). Bukan pula karena makhluk hidup memiliki hak asasi seperti hak asasi manusia (biosentris). Juga bukan karena bumi ini merupakan suatu ekosistem yang memiliki nilai intrinsik (ekosentris). Kita perlu menjaga dan memelihara lingkungan hidup karena lingkungan hidup adalah ciptaan Allah, termasuk manusia, yang diciptakan untuk hormat dan kemuliaan-Nya.

Kalau kita memelihara lingkungan sekedar karena diperlukan untuk menopang hidup manusia, kita akan jatuh ke dalam materialisme, nilai etis yang telah terbukti merusak lingkungan. Kalau kita memelihara lingkungan karena sekedar kecintaan kita pada lingkungan yang memiliki hak seperti kita, maka kita akan jatuh ke dalam romantisisme, nilai etis yang cenderung utopis. kita perlu memelihara lingkungan hidup kita sebagai ungkapan syukur pada Allah Sang Pencipta yang telah mengaruniakan lingkungan dengan segala kekayaan di dalamnya untuk menopang hidup kita dan yang membuat hidup kita aman dan nyaman. Juga sebagai tanda syukur kita atas pembaruan dan penebusan yang telah dilakukan Allah melalui pengorbanan Yesus Kristus. Maka memelihara lingkungan tidak lain dari pada ibadah kita kepada Allah. Bagaimana menjabarkan ibadah ini, norma-norma berikut kiranya perlu dikembangkan sebagai penjabaran etika lingkungan yang bersifat teosentris, dengan menunjukkan solidaritas dengan semua makhluk, dengan sesama (termasuk generasi penerus) dalam kasih dan keadilan.

1. Solidaritas dengan alam

Karena manusia dengan lingkungan hidup adalah sesama ciptaan yang telah dipulihkan hubungannya oleh Tuhan Yesus Kristus, maka manusia, khususnya manusia baru dalam Kristus (2 Kor 5:7), seharusnya membangun hubungan solider dengan alam. Hubungan solider (sesama ciptaan dan sesama tebusan) berarti alam mestinya diperlakukan dengan penuh belas kasihan. Manusia harus merasakan penderitaan alam sebagai penderitaannya dan kerusakan alam sebagai kerusakannya juga. Seluruh makhluk dan lingkungan sekitar tidak diperlakukan semena-mena, tidak dirusak, tidak dicemari dan semua isinya tidak dibiarkan musnah atau punah. Manusia tidak boleh bersikap kejam terhadap alam, khususnya terhadap sesama makhluk. Dengan cara itu manusia dan alam secara bersama (koperatif) menjaga dan memelihara ekosistem. Contoh konkrit: manusia berdisiplin dalam membuang sampah atau limbah (individu, rumah tangga, industri, kantor dan sebagainya) agar tidak mencemari lingkungan dan merusak ekosistem. Pencemaran/polusi mestinya dicegah, diminimalkan dan dihapuskan supaya alam tidak sakit atau rusak. Kita bertanggung jawab atas kesehatan dan kesegaran alam kita.

Sikap solider dengan alam dapat pula ditunjukkan dengan sikap hormat dan menghargai (respek) terhadap alam. Tidak berarti alam disembah, tetapi alam dihargai sebagai ciptaan yang dikaruniakan Tuhan untuk memenuhi kebutuhan manusia, sekaligus yang menjadi cerminan kemuliaan Allah: Dengan menghargai alam berarti menghargai Sang Pencipta dan Sang Penebus. Contoh konkrit misalnya tidak membabat hutan sembarangan sebab membabat hutan dapat memusnahkan aneka ragam spesies dalam hutan. Contoh lain, tidak menangkap ikan dengan menggunakan bahan peledak atau bahan pemusnah lainnya. Sebaliknya, usaha menghargai dapat dilakukan melalui usaha-usaha kreatif mendukung dan melindungi kehidupan seluruh makhluk dan lingkungan hidup misalnya dengan penghijauan, pembudidayaan tetapi juga usaha pemulihan dengan membersihkan lingkungan yang terlanjur rusak. Pokoknya, sikap solidaritas dengan alam dapat ditunjukkan dengan pola hidup berdisiplin dalam menjaga dan memelihara keseimbangan ekosistem secara konstan.

2. Pelayanan yang bertanggung jawab (stewardship)

Alam adalah titipan dari Allah untuk dimanfaatkan/dipakai/digunakan manusia memenuhi kebutuhan hidupnya tetapi sekaligus adalah rumahnya. Maka sumber-sumber alam diberikan kepada manusia tidak untuk diboroskan. Manusia harus menggunakan dan memanfaatkan sumber-sumber alam itu secara bertanggung jawab. Maka pemanfaatan/penggunaan sumber-sumber alam haruslah dilihat sebagai bagian dari pelayanan. Alam digunakan dengan memperhatikan keseimbangan antara kebutuhan manusia dengan kebutuhan lingkungan yaitu menjaga ekosistem. Tetapi alam juga digunakan dengan memperhatikan kebutuhan sesama, termasuk generasi yang akan datang.

Memanfaatkan alam adalah bagian dari pertanggungjawaban talenta yang diberikan/dipercayakan oleh Tuhan kepada manusia (Mat 25:14-30 par.). Allah: telah mempercayakan alam ini untuk dimanfaatkan dan dipakai. Untuk dilipatgandakan hasilnya, untuk disuburkan dan dijaga agar tetap sehat sehingga produknya tetap optimal. Oleh karena itu maka alam mesti dipelihara dan keuntungan yang dapat dari alam sebagian dikembalikan sebagai deposit terhadap alam. Tetapi juga dipergunakan secara adil dengan semua orang. Ketidakadilan dalam memanfaatkan sumber-sumber alam adalah juga salah satu penyebab rusaknya alam. Sebab mereka yang merasa kurang akan mengambil kebutuhannya dari alam dengan cara yang sering kurang memperhatikan kelestarian alam, misalnya dengan membakar hutan, membom bunga karang untuk ikan dan sebagainya. Sebaliknya, mereka yang tergoda akan kekayaan melakukan pengurusan sumber alam secara tanpa batas.

Panggilan untuk memanfaatkan sumber-sumber alam sebagai pelayanan dan pertanggungjawaban talenta akan mendorong kita melestarikan sumber-sumber alam, sekaligus melakukan keadilan terhadap sesama. Contoh konkrit: manusia menghemat menggunakan sumber-sumber alam (BBF, hutan, mineral dan sebagainya) agar tetap mencukupi kebutuhan manusia dan makhluk hidup lain secara berkesinambungan. Penghematan ini tidak hanya berarti penggunaan seminimal mungkin sumber-sumber alam sesuai kebutuhan (air, energi, kayu dan sebagainya), tetapi mencakup pula pola 4 R (reduce, reuse, recycle, replace) sumber-sumber alam yang kita pergunakan setiap hari. Dunia modern yang sangat praktis mengajar kita memakai lalu membuang, sayangnya yang sering dibuang itu adalah yang semestinya masih berguna kalau di daur. Tidak jarang pula yang dibuang itu, sekaligus merusak lingkungan, misalnya bahan kimia atau kemasan kaleng dan plastik. Karena itu bahan-bahan yang merusak alam sebaiknya tidak digunakan terlalu banyak dan tidak dibuang sembarangan.

3. Pertobatan dan pengendalian diri

Kerusakan lingkungan berakar dalam keserakahan dan kerakusan manusia. Itu sebabnya manusia yang dikuasai dosa keserakahan dan kerakusan itu cenderung sangat konsumtif. Secara teologis dapat dikatakan bahwa dosa telah menyebabkan krisis moral/krisis etika dan krisis moral ini menyebabkan krisis ekologis, krisis lingkungan. Dengan demikian setiap perilaku yang merusak lingkungan adalah pencerminan krisis moral yang berarti tindakan dosa. Dalam arti itu maka upaya pelestarian lingkungan hidup harus dilihat sebagai tindakan pertobatan dan pengendalian diri. Dilihat dari sudut pandang Kristen maka tugas pelestarian lingkungan hidup yang pertama dan utama adalah mempraktekkan pola hidup baru, hidup yang penuh pertobatan dan pengendalian diri, sehingga hidup kita tidak dikendalikan dosa dan keinginannya, tetapi dikendalikan oleh cinta kasih.

Materialisme adalah akar kerusakan lingkungan hidup. Maka materialisme menjadi praktek penyembahan alam (dinamisme modern). Alam dalam bentuk benda menjadi tujuan yang diprioritaskan bahkan sembah menggantikan Allah. Kristus mengingatkan bahaya mamonisme (cinta uang/harta) yang dapat disamakan dengan sikap rakus terhadap sumber-sumber alam (Mat 6:19-24 par.; 1 Tim 6:6-10). Karena mencintai materi, alam di eksploitir guna mendapatkan keuntungan material. Maka supaya alam dapat dipelihara dan dijaga kelestariannya manusia harus berubah (bertobat) dan mengendalikan dirinya. Manusia harus menyembah Allah dan bukan materi. Dalam arti itulah maka usaha pelestarian alam harus dilihat sebagai ibadah kepada Allah melawan penyembahan alam, khususnya penyembahan alam modern alias materialisme/mamonisme. Pelestarian alam juga harus dilihat sebagai wujud kecintaan kita kepada sesama sesuai ajaran Yesus Kristus, di mana salah satu penjabarannya adalah terhadap seluruh ciptaan Allah sebagai sesama ciptaan.

 IV. KESIMPULAN

Alam atau lingkungan hidup telah dikaruniakan oleh Tuhan kepada kita untuk digunakan dan dimanfaatkan demi kesejahteraan manusia. Manusia dapat menggunakan alam untuk menopang hidupnya. Dengan kata lain alam diciptakan oleh Tuhan dengan fungsi ekonomis, yaitu untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia. Tetapi bukan hanya kebutuhan manusia menjadi alasan penciptaan. Alam ini dibutuhkan pula oleh makhluk hidup lainnya bahkan oleh seluruh sistem kehidupan atau ekosistem. Alam ini berfungsi ekumenis (untuk didiami) oleh seluruh ciptaan lainnya. Alam ini rumah kita. Kata-kata ekonomi, ekumene dan ekologi berakar dalam kata Yunani oikos artinya rumah. Ekonomi berarti menata rumah, itulah tugas pengelolaan kebutuhan hidup. Ekumene berarti mendiami rumah. Itulah tugas penataan kehidupan yang harmonis. Ekologi berarti mengetahui/menyelidiki rumah. Itulah tugas memahami tanggung jawab terhadap alam.

Manusia adalah penata dalam rumah bersama ini. Pertama ia adalah pengelola ekonomi. Tetapi ia lebih dikuasai oleh kerakusan karena itu diperlukan pembaruan/pertobatan, pengendalian diri supaya timbul sikap respek dan tindakan penuh tanggung jawab terhadap lingkungan. Maka tanggung jawab Kristen dalam memelihara kelestarian lingkungan kiranya dapat pula dirumuskan dalam pola 4 R (repent, restraint, respect, responsible). Ibadah yang sejati adalah ibadah yang dapat diimplementasikan secara bertanggung jawab dalam hidup yang nyata.

Dalam menata kehidupan bersama umat Kristen harus bermitra dengan semua orang, bahkan dengan semua makhluk. Ekumene berarti bekerja bersama membangun kehidupan di atas planet ini. Tugas itu adalah tugas bersama semua orang dan seluruh ciptaan. Maka tugas orang Kristen adalah memberi kontribusinya sesuai dengan iman dan pengharapan kepada Allah, memperkaya dan mengoptimalkan ibadahnya dengan terus menerus menjaga dan memelihara kehidupan yang diberikan Tuhan kepadanya sebagai ungkapan syukur kepada Tuhan. Optimalisasi ibadah itu dinyatakan dalam bentuk disiplin, penghematan dan pengendalian diri.

 KEPUSTAKAAN

Berkhof, Hendrikus. Christian Faith. Grand Rapids: Eermands, 1997.

Bhagat, Shantilal P. Creation in Crises: Responding to God Covenant. Illionis: Bredren, 1990.

Birch, Charles. et. al. eds. Liberating Life: Contemporary Approach to Ecological Theology. Maryknoll: Orbis, 1990.

Derr, Thomas Sieger. Ecology and Human Liberation. Geneva: WCC, 1973.

Drummond, Celia-Dianne. A Handbook in Theology and Ecology. London: SCM Press, 1996.

Pojman, Louis P. ed. Environmental Ethics. Oxford: Blackwell, 1993.

Stott, John. Issues Facing Christian Today. London: Marshall Morgan and Scott, 1984.

Wolf, H. W. Antropology of the Old Testament. Philadelphia: Fortress, 1981.



TIP #20: Untuk penyelidikan lebih dalam, silakan baca artikel-artikel terkait melalui Tab Artikel. [SEMUA]
dibuat dalam 0.03 detik
dipersembahkan oleh YLSA