Apakah negara boleh melakukan apa saja yang dikehendakinya? Pertanyaan ini cukup penting. Negara disebut berdaulat. Berdaulat berarti: Tak ada kekuatan di luar maupun di dalam negara yang berwenang memerintahkan sesuatu kepadanya. Pemerintah yang memimpin negara merupakan kekuatan eksekutif tertinggi dalam negara. Ia memegang kedaulatan negara.
Maka kita dapat bertanya: Kalau begitu, apakah negara boleh melakukan apa saja yang dianggap perlu? Misalnya, menggusur kampung untuk membuat lapangan golf? Melarang ibadah agama yang tidak disenangi oleh mayoritas masyarakat? Menahan warga negara yang mengkritik pemerintah? Bukankah negara itu berdaulat?
Bahwa pernyataan itu dapat dikemukakan dengan begitu tajam, sebenarnya merupakan fenomena baru. Tepatnya, pertanyaan tentang wewenang negara dan batasnya baru dikemukakan dengan tajam sejak masyarakat tradisional memulai transformasinya ke masyarakat pasca tradisional, alias masyarakat modern.
Ada dua ciri masyarakat pasca tradisional yang di sini relevan: Pertama, bahwa masyarakat, kelompok-kelompok dan golongan-golongan dan terutama individu, tidak lagi terlindung oleh adat dan tradisi. Kedua, munculnya apa yang oleh filosof Thomas Hobbes disebut "leviathan" negara modern raksasa yang sedemikian berkuasa.
Dalam situasi ini individu dan golongan dalam masyarakat betul-betul terancam: keutuhan, identitas, bahkan. (ambil kasus orang Indian di Amerika) eksistensinya.
Situasi terancam ini yang melahirkan paham hak-hak asasi manusia. Hak-hak asasi manusia adalah hak-hak yang dimiliki manusia karena ia manusia, dan bukan karena diberikan kepadanya oleh masyarakat atau negara. Manusia memilikinya karena kemanusiaannya. Dan karena manusia diciptakan oleh Tuhan, hak-hak asasi manusia berasal dari Tuhan.
Kita harus membedakan dua hal. Di satu pihak: Hak-hak asasi manusia baru menjadi efektif, apabila oleh negara diakui secara resmi dan dimasukkan ke dalam sistem hukum. Akan tetapi, di lain pihak, keberlakuan hak-hak asasi manusia, hak untuk menuntut keberlakuannya, tidak berasal dari negara, melainkan mendahuluinya. Negara dapat saja tidak mengakui hak asasi manusia, negara dapat melanggarnya, hak itu tetap ada. Orang dapat saja merampas jam tangan saya, tetapi jam itu tetap milik saya.
Hak-hak asasi manusia dapat dipahami sebagai aturan paling dasar bagaimana manusia wajib diperlakukan atau wajib tidak boleh diperlakukan. Maka dari keberlakuan hak-hak asasi manusia keberadaban dan harkat kemanusiaan dalam kehidupan bersama sebuah masyarakat dapat dinilai.
Kita dapat mengerti mengapa negara dan segala penguasa lain tidak suka dengan paham hak-hak asasi manusia. Paham itu merupakan batas terhadap kesewenangan mereka, batas hak untuk memakai kekuasaan mereka. Tidak ada yang menyukainya. Kalau kita memperhatikan siapa yang biasanya mengemukakan segala macam kritik dan keragu-raguan terhadap hak-hak asasi manusia, hampir selalu kita akan melihat bahwa itu suara para penguasa, atau elit yang sudah mengabdikan diri pada penguasa dan karena itu berkepentingan pada kekuasaan penguasa. Sedangkan dari rakyat dan masyarakat biasa jarang ada suara kritis terhadap hak-hak asasi manusia. Mereka langsung merasakan apakah hak-hak mereka itu dilindungi atau tidak.
Mari kita melihat secara lebih konkret hal hak-hak asasi manusia. Pada umumnya hak-hak asasi manusia dibagi dalam tiga generasi, sesuai dengan zaman pengakuannya masing-masing.
Generasi pertama (dari abad ke-17 dan ke-18) memuat hak-hak kebebasan dan demokratis "klasik": hak orang atas hidup, keutuhan jasmani, dan perkembangan bebas, lalu, sebagai implikasinya, hak atas perlindungan terhadap penahanan sewenang-wenang, atas jaminan hukum, atas kesamaan di hadapan hukum, hak untuk tidak disiksa atau diperlakukan secara kejam dan tidak manusiawi, larangan perbudakan, hak atas kebebasan suara hati, berpikir dan beragama, hak untuk bergerak bebas, atas kebebasan berpendapat dan kebebasan pers, atas kebebasan berkumpul dan berserikat, atas milik pribadi, hak memilih pekerjaan dan kawin atau tidak kawin dengan bebas, dan hak berusaha. Di sini juga termasuk hak untuk ikut menentukan kehidupan bersama bangsa. Juga hak orangtua untuk menentukan pola pendidikan anaknya.
Kesadaran atas ketidakadilan sosial dalam abad ke-19 melahirkan hak-hak asasi manusia dari generasi kedua, yaitu hak-hak sosial dan kultural. Yang terpenting adalah: hak atas pekerjaan, atas kesempatan untuk memenuhi kebutuhan dasar dalam hal pangan, sandang, tempat tinggal, kesehatan dan pendidikan, hak atas istirahat dari pekerjaan keras (atau liburan), hak atas upah yang wajar, hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan kultural bangsa. Adalah ciri khas hak-hak generasi kedua (dan ketiga) ini bahwa hak-hak ini tidak dapat langsung diklaim di depan pengadilan, jadi lebih tepat dipandang sebagai tuntutan mengenai apa yang harus menjadi prioritas kebijakan politik sebuah negara.
Generasi ketiga adalah hak-hak yang baru dalam 30 tahun terakhir semakin disadari. Di situ termasuk misalnya hak untuk menolak bahwa semua data kehidupan pribadi dimasukkan ke dalam sistem-sistem informasi negara atau umum. Tetapi terutama di sini yang dimaksudkan adalah hak-hak yang dimiliki bukan oleh individu-individu tertentu (seperti hak-hak asasi manusia generasi pertama dan kedua), melainkan oleh kelompok orang, seperti: hak atas perkembangan atau pembangunan, hak atas identitas kultural sendiri, hak atas perdamaian, hak atas lingkungan hidup yang sehat, hak atas partisipasi pada warisan bersama umat manusia, hak generasi-generasi mendatang atas lingkungan hidup yang masih utuh (misalnya secara genetis).
Apakah hak-hak asasi manusia berlaku mutlak? Hal itu sulit untuk dikatakan. Hak atas kehidupan saja dalam situasi tertentu (membela diri, perang) boleh diabaikan. Dalam keadaan darurat (yang seharusnya dirumuskan sepersis mungkin dalam UUD dengan pembatasan dan kemungkinan kontrol ketat) kebanyakan hak asasi dapat dibatasi. Yang tidak dapat dibatasi adalah larangan penewasan sewenang-wenang, begitu pula larangan perbudakan dan memperlakukan hukum pidana ke belakang. Begitu pula hak atas kebebasan beragama tak pernah boleh disentuh.
Lebih berguna membedakan antara "hak asasi manusia keras" dan lain-lain. Yang keras di mana saja dan dalam situasi apa pun harus dijamin dan pelanggarannya dikecam, sedangkan pelaksanaan hak-hak asasi manusia lainnya tergantung juga dari situasi ekonomis dan politis. Di antara pelanggaran-pelanggaran yang keras termasuk: pembunuhan sewenang-wenang, penggunaan sistematis penyiksaan (torture), baik fisik maupun psikis, hukuman kejam dan bengis, pengekangan kebebasan segenap orang untuk beragama dan berkepercayaan menurut iman atau keyakinannya, penangkapan sewenang-wenang, perbudakan, perdagangan orang (wanita, anak di bawah umur), kekejaman rutin oleh pihak keamanan seperti pembunuhan, perampokan, pemerkosaan, penghancuran basis penghidupan terhadap para penduduk dalam wilayah yang ada masalah keamanan, penindasan berbentuk genosid, pemerkosaan hak minoritas-minoritas etnik, agama, atau budaya atas budaya; bahasa, agama, dan atas otonomi terbatas berdasarkan adat-istiadat.
Kadang-kadang dikatakan bahwa hak-hak asasi manusia merupakan produk berpikir Barat dan karena itu tidak cocok untuk Indonesia. Tetapi argumen itu tidak tahan uji. Soalnya, Indonesia sudah lama bukan lagi sebuah masyarakat tradisional. Indonesia sudah lama terkena modernisasi, dan modernisasi itu sudah lama mematahkan daya adat-istiadat untuk melindungi masyarakat.
Mari kita melihatnya secara konkret. Ada sekurang-kurangnya empat perkembangan dalam masyarakat yang membuat mekanisme sosial tradisional tidak lagi menjamin hal penghidupan dan perlindungan, baik bagi individu maupun kelompok masyarakat maupun minoritas: (1) Kita mempunyai sistem pendidikan yang 100 persen Barat, modern, individualistik dengan sistem penilaian yang berfokus pada prestasi individu; (2) Ekonomi pasar diganti dengan ekonomi uang, di mana pemilikan individual terhadap uang menentukan hidup matinya seseorang; (3) Segala urusan administrasi negara maupun swasta berciri individualistik murni (tidak ada KTP kolektif). (4) Semakin banyak orang yang harus secara individual mencari tempat kerja agar tidak mati kelaparan.
Jadi tidak benar bila dikatakan bahwa kita masih memiliki mekanisme sosial yang bernama kekeluargaan atau gotong royong sehingga tidaklah perlu individu Indonesia dilindungi. Strukur-struktur sosial lama tinggal kulitnya saja, tetapi substansinya sudah rusak dan individu berada dalam bahaya dihancurkan oleh tekanan dari kekuatan-kekuatan sosial modern (negara dan birokrasi, tetapi juga kekuatan-kekuatan sosial lain yang semuanya pada zaman modern jauh lebih kuat dampaknya daripada di zaman pra modern). Persis itulah situasi di mana konsepsi hak-hak asasi manusia memainkan peranannya: hak-hak itu secara efektif melindungi manusia, baik individu maupun kelompok atau golongan, terhadap kekuatan-kekuatan sosial raksasa itu. Memacu modernisasi masyarakat di semua bidang dan sekaligus memakai nilai-nilai budaya tradisional untuk menolak pengakuan hak-hak asasi masyarakat kelihatan kontradiktif.
Maka juga tidak betul tuduhan yang kadang-kadang diajukan, seakan-akan hak-hak asasi manusia mendorong individualisme. Kenyataannya adalah kebalikannya: hak-hak asasi manusia melindungi individu, kelompok dan golongan-golongan yang terancam dalam masyarakat modern yang sudah terindividualisasi, justru oleh proses modernisasi.
Mengingat bahwa Indonesia adalah sebuah negara modern seperti negara-negara lain di dunia, dua syarat yang semula membuat manusia sadar bahwa ia memiliki hak yang diterima dari Sang Pencipta dan karena itu tidak boleh dirampas negara, sudah terdapat di Indonesia juga: berkembangnya masyarakat pasca tradisional dan munculnya negara modern.
Oleh karena itu salah besar kalau hak-hak asasi manusia dianggap sebagai tanda egoisme dan individualisme. Melainkan sebaliknya: jaminan terhadap hak-hak asasi manusia merupakan tanda solidaritas dan kepedulian sosial dalam masyarakat yang bersangkutan. Karena menjamin hak-hak asasi manusia berarti: masyarakat memasang standar atau tolok ukur bagaimana segenap anggota masyarakat harus diperlakukan dan bagaimana tidak, entah dia kuat atau lemah, menang atau kalah. Hak-hak asasi selalu berupa perlindungan bagi pihak yang lemah: minoritas-minoritas etnis, religius, budaya atau bahasa dilindungi terhadap mayoritas kuat, mayoritas mereka yang secara sosial dan ekonomi lemah terhadap elit atau kelompok berkuasa di atas, wanita terhadap pria, dan seterusnya. Hak-hak asasi'manusia merupakan jaminan yang diberikan oleh pihak yang kuat kepada pihak yang lemah dalam masyarakat: meskipun kau tidak punya kekuatan, tetapi kau tetap akan diperlakukan sebagai manusia. Maka jauh daripada individualisme, hak-hak asasi manusia merupakan sarana utama untuk menjamin solidaritas antara yang kuat dan lemah dalam masyarakat modern. Mengakui hak asasi manusia berarti, bahwa dalam masyarakat itu mereka yang lemah atau minoritas tetap merupakan warga masyarakat yang sama bebas dan terhormat dalam harkat kemanusiaannya dengan yang lain. Semua kasus hak asasi manusia selalu menyangkut pihak yang lemah, yang terancam, yang tidak dapat membela diri, yang dianggap tidak berguna, dan sebagainya.
Jadi dalam kondisi-kondisi sosial, budaya, ekonomi dan politik modern hak-hak asasi manusia bukan pendukung individualisme, melainkan sebaliknya merupakan tanda solidaritas nyata sebuah bangsa dengan warga-warganya yang paling lemah. Dalam kondisi modern kekeluargaan suatu bangsa justru menjadi nyata apabila ia menyatakan dengan seresmi-resminya bahwa semua warganya, dalam situasi apapun, selalu akan diperlakukan sebagai manusia. Sehingga dalam hal-hal yang terkait secara paling dasariah dengan harkat kemanusiaan seseorang, sekelompok orang maupun golongan orang, masyarakat menyatakan bahwa ia diakui, dihormati, dilindungi, tidak ditinggalkan.
Sekarang kita dapat mengerti mengapa hampir semua tokoh, pemikir, lembaga bantuan hukum, LSM, dan kelompok informal yang dengan jujur memprihatinkan situasi masyarakat di Indonesia menganggap jaminan hak-hak asasi manusia sebagai prioritas tinggi di Indonesia. Kita tidak dapat membangun masyarakat yang bersetiakawan dan adil kecuali segenap masyarakat dihormati dalam martabatnya sebagai manusia.
Ternyata, sesudah 30 tahun pemerintahan Orde Baru kerakusan, kekerasan sosial, korupsi, kolusi dan nepotisme yang tanpa malu merampas milik masyarakat yang diperlukan orang kecil bagi proyek pemerkaya mereka sendiri, kesenjangan yang luar biasa merajalela. Orang kecil hanyalah objek penentuan dari atas yang dengan mudah dan murah dapat di gusur dari tempat tinggal dan dasar penghidupannya demi proyek-proyek yang diharapkan menghasilkan milyaran rupiah bagi mereka yang sudah kaya. Suku-suku kecil di pulau-pulau dan di pedalaman terancam punah, budaya dan lingkungan hidup mereka seenaknya dirusak, orang kecil, miskin dan lemah tidak didengar, minoritas-minoritas merasa terancam.
Sedangkan daerah-daerah di mana dikatakan keamanan masih terganggu, terutama di Timor-Timur saudara-saudara kita sejak 22 tahun, sejak Indonesia mengintegrasikannya tahun 1976, masyarakat belum pernah merasa tenang, merasakan kehidupan biasa, mereka selalu masih diliputi ketakutan pintu di gedor malam hari, dan sebagainya. Mereka memerlukan kebebasan dari rasa takut, mereka membutuhkan jaminan atas kesamaan sebagai manusia, identitas kultural dan keutuhan penghayatan kemanusiaan.
Dalam situasi ini hak-hak asasi manusia merupakan sarana yang amat penting untuk dimantapkan serta dihormati di negara kita yang tercinta ini.
Baru pada akhir pertimbangan ini saya mau ke puncaknya: Yesus adalah Sang Penyelamat. Yesus menjadi saudara kita. Dalam Yesus Allah sendiri menjadi solider dengan kita manusia. Maka apa yang kita lakukan terhadap saudara kita yang lemah, miskin, terlantar, dan tertindas, kita lakukan terhadap Yesus. Dan apa yang tidak kita lakukan terhadap saudara kita yang lemah, miskin, terlantar, dan tertindas, tidak kita lakukan terhadap Yesus.
Kita dipanggil untuk mewujudkan kerajaan kebaikan Allah dalam masyarakat. Suatu masyarakat di mana manusia dapat hidup sesuai dengan martabatnya sebagai anak Allah dan saudara Kristus, sebagai manusia utuh sebagaimana direncanakan Allah. Maka kita dipanggil untuk mewujudkan kehidupan bersama dalam masyarakat yang baik dan berdasarkan cinta kasih dan keadilan. Dalam bahasa modern hal itu berarti: menjamin agar hak segenap saudara kita sebagai manusia dihormati, agar ia dapat hidup sesuai dengan martabat kemanusiaannya. Itulah sebabnya orang-orang Kristen harus berada di barisan terdepan perjuangan demi hak-hak asasi manusia. Hak-hak asasi manusia semua saudara, tanpa membedakan dari suku atau agama manapun. Tidak cukup kita bicara tentang sorga, kita dipanggil untuk, sejauh dalam kemampuan kita, membangun kehidupan bersama, dalam kebersamaan dengan semua saudara dalam masyarakat yang secita-cita, di mana kita semua, dan terutama mereka yang lemah dan terlantar, dapat hidup dengan baik dan terjamin.
Bank BCA Cabang Pasar Legi Solo - No. Rekening: 0790266579 - a.n. Yulia Oeniyati
Kontak | Partisipasi | Donasi