Resource > Jurnal Pelita Zaman >  Volume 12 No. 2 Tahun 1997 > 
TANTANGAN WANITA ABAD 21 
Penulis: Guno Tri Tjahjoko

"Istri yang cakap siapakah akan mendapatkannya? Ia lebih berharga daripada permata. Kemolekan adalah bohong dan kecantikan adalah sia-sia, tetapi istri yang takut akan Tuhan dipuji-puji." (Amsal 31:10,30)

Wanita sepanjang sejarah menjadi obyek pembicaraan, dan senantiasa juga menjadi "pelengkap penderita." Bukan rahasia lagi, bahwa di Asia pada umumnya wanita menjadi orang nomor dua dalam rumah tangga. Di daerah tertentu, wanita menjadi tenaga kerja kasar dengan upah yang rendah, dan bahkan ada sebagian yang dikirim sebagai tenaga kerja wanita (TKW) ke luar negeri.

Ada juga yang menyebut wanita dengan "orang-orang perkasa." Hal ini dilatarbelakangi setting agraris, di mana wanita pagi-pagi bangun lalu ke sawah. Agak siang, pulang dari sawah ke pasar atau memasak. Kemudian siang ke sawah lagi membawa makanan untuk suami. Malam hari, wanita menjadi teman suami yang baik. Wanita memiliki kelebihan dari pria, karena wanita dapat bekerja lebih lama dari pria. Selain wanita dapat bekerja lebih lama, wanita juga menjadi tumpahan "kenikmatan" pria. Iklan-iklan di media massa dan bioskop sering meng-ekspose sisi sensual dari wanita.

Wanita sebagai obyek sering merugikan citra dan harga diri, tetapi wanita tidak berdaya menghadapi hal ini. Mungkin karena latar belakang budaya bahwa wanita hanya "konco wingking" (teman di belakang/di dapur), menyebabkan wanita di Indonesia "dikondisikan" untuk menerima kenyataan ini. Itulah sebabnya, R.A. Kartini ingin mengaspirasikan suara hati wanita yang terbelenggu oleh "tradisi" dan ketidakadilan. R.A. Kartini melihat kaum wanita diperlakukan "rendah" dan tidak adil, dia menjerit dalam hatinya dan mengungkapkannya melalui surat kepada temannya di Belanda.

Memasuki era informasi, kaum wanita juga diperhadapkan dengan tantangan. Kalau pada era Kartini, kaum wanita berjuang untuk memperoleh hak yang sama dengan kaum pria dan agar diperlakukan secara adil, maka pada era informasi, kaum wanita berjuang untuk menguasai Iptek dan informasi. Tampaknya ada perkembangan perjuangan kaum wanita dari melawan "penindasan" kaum pria ke kemandirian dan menguasai Iptek serta informasi. Dalam hal ini, Suara Pembaruan, 22 Desember 1992 menuliskan, sbb:

Peranan kaum ibu kembali digugat, terutama dalam menghadapi era informasi. Sebagai pendidik dan pembina utama anak, kaum ibu harus memiliki taraf pendidikan yang baik. Karena itu, untuk meningkatkan peranan mereka, salah satu jalan yang perlu ditempuh adalah meningkatkan taraf pendidikannya.

Menghadapi membanjirnya informasi baik melalui televisi maupun media massa lain, kaum wanita dituntut untuk menguasainya. Hal ini berkaitan dengan peningkatan peranan dan intelektualitas mereka. Bila kaum wanita tidak memiliki pendidikan yang cukup, apakah mereka bisa berperan dan dapat mendidik anak dengan baik? Benarkah era informasi ini menjadikan kaum wanita pusing dalam mendidik anak? Bisakah kaum wanita berperan dalam era informasi ini?

 I. WANITA DAN ERA INFORMASI

Abad dua puluh satu ditandai dengan membanjirnya informasi dan hal ini mempunyai dampak tertentu bagi wanita. Ciri-ciri masyarakat informasi oleh Dr. S.P. Siagian ditandai dengan:

- Kemampuan mengembangkan ilmu pengetahuan (Iptek) secara kreatif

- Jumlah informasi yang melimpah

- Pertambahan informasi eksponensial

- Selektifitas terhadap informasi tepat

- Kecepatan menyampaikan informasi cepat

- Lingkup informasi luas

- Biaya informasi murah

- Isi informasi berubah-ubah

- Lokasi informasi "bergerak" (mobil)

- Jangkauan terhadap informasi terbuka

- Cara penyampaian melalui multi media

- Informasi interdependen

- Variabilitas informasi tidak langsung dengan perantara

- Penanganan informasi dengan mesin

- Struktur pengolahan informasi secara horizontal

- Kerangka nilai interpretatif pluralistis

- Ukuran teknologi informasi kecil

- Sistem informasi kompleks

- Dari banyak orang kepada seseorang

- Pemecahan masalah total

- Partisipasi sosial dalam pengolahan informasi langsung

- Tingkat kerahasiaan penetratif

- Orientasi waktu masa depan

Ciri-ciri masyarakat informasi tersebut di atas; bagi wanita merupakan tantangan. Kalau dipertanyakan apakah kaum wanita eksis dalam situasi yang berubah (era informasi) ini, maka jawabannya bisa bermacam-macam. Era informasi menuntut kualitas secara intelektual dan penguasaan Iptek, ini berarti kaum wanita diperhadapkan dengan beberapa alternatif. Di satu sisi kaum wanita sesuai dengan naturnya adalah sebagai pendidik anak, disisi yang lain dia diperhadapkan dengan membanjirnya informasi, yang menuntut penyelesaian dan penguasaan.

Contoh yang konkrit, dengan adanya TV swasta atau parabola sang anak bisa menikmati siaran dari manca negara, dari siang sampai malam hari. Film yang ditayangkan jelas amat memikat si anak. Begitu juga dengan iklan yang banyak, dapat menumbuhkan "jiwa materialis." Tentu film yang ditayangkan beraneka, tetapi yang mengarah pada kebrutalan, pembunuhan, porno, dll., tanpa seleksi yang ketat, akan berdampak negatif bagi si anak.

Dampak dari tayangan visual yang negatif akan tahan lama dan membekas, serta mengarah ke tingkah laku. Disinilah kaum wanita menjadi pusing, bila diperhadapkan dengan siaran TV swasta atau parabola. Ini contoh yang sederhana saja, dan dapat kita jumpai di kota besar. Kaum wanita mesti berusaha, agar anak tidak menjadikan TV sebagai pusat kegiatan mereka, tetapi juga tidak boleh kaku melarang mereka menonton TV.

Yang dibutuhkan ialah kaum wanita bisa menguasai informasi, kemudian memanfaatkan TV sebagai media untuk mendidik anak. Tentu kaum wanita mesti menyediakan waktu khusus untuk mengawasi dan mengatur waktu belajar, nonton dan main sang anak. Pola cara belajar siswa aktif bagaimanapun juga menuntut kaum wanita aktif dalam pembimbingan pendidikan anak. Kesempatan belajar bersama anak, bagi kaum wanita bisa membantu untuk mengarahkan dan membimbing anak.

Melarang dengan tegas untuk tidak boleh nonton TV, justru menyebabkan anak "mbalelo", dan berusaha nonton secara sembunyi-sembunyi. Memberikan penjelasan dengan baik, dan dalam suasana dialog, akan menjadikan anak mengerti. Perlu dijelaskan pula tentang untung dan ruginya nonton TV swasta. Dengan membiasakan sikap terbuka dan menjelaskan secara baik kepada anak tentang dampak positif dan negatif, maka anak akan tertolong dan terbina dengan benar.

 II. KUALITAS PENDIDIKAN WANITA

Presiden Soeharto dalam memperingati Hari Ibu pada tanggal 22 Desember 1992 di Jakarta berpendapat bahwa ibu mempunyai peranan yang penting dalam merawat, mengasuh dan mendidik putra-putrinya. Oleh karena itu, jika ingin meningkatkan kualitas manusia Indonesia, yang dibutuhkan ialah peningkatan kualitas ibu lebih dulu. Menurut Presiden Soeharto, pendidikan kaum wanita perlu lebih luas dibandingkan kaum pria, terutama mengenai pembentukan watak dan pribadi manusia (Suara Pembaruan, 22 Desember 1992).

Peningkatan kualitas pendidikan wanita menurut Presiden Soeharto mesti dilandasi nilai-nilai budaya Indonesia. Budaya Indonesia yang pluralistis amat kaya dengan nilai-nilai moral dan pendidikan. Kepala Negara mengatakan:

Sangat penting memberikan pengetahuan dan keterampilan kepada para ibu dan putri Indonesia sekarang, bagaimana cara mengasuh, merawat dan mendidik anak-anak mereka sejak dalam kandungan hingga usia sekolah (Suara Pembaruan, 22 Desember 1992).

Dikatakan pula bahwa bangsa Indonesia menjelang era tinggal landas, maka diperlukan peran serta semua lapisan masyarakat. Kaum wanita menduduki posisi yang penting pula, karena dari peningkatan kualitas wanita akan berdampak pula pada kualitas generasi selanjutnya.

Apa yang disampaikan oleh Presiden Soeharto tersebut memang baik dan ideal, tetapi hal ini bertentangan dengan kenyataan. Menurut Direktur Lembaga Demografi - UI, Dr. M. Djuhari Wirakartakusumah, hanya 40% penduduk desa mengenyam pendidikan SD, namun tidak tamat, dan prosentase yang besar adalah wanita. Penduduk yang belum menikmati pendidikan dasar (SD) sebesar 22,7%.

Kualitas pendidikan wanita menuntut pula perubahan pola pikir dan terbukanya peran wanita secara luas untuk mengembangkan diri. Perubahan pola pikir merupakan ciri masyarakat informasi yang senantiasa berubah. Perubahan pola pikir secara kritis, kreatif, inovatif dan tanggap terhadap perubahan zaman. Kaum wanita juga perlu diberi kesempatan untuk bekerja sama dengan kaum pria di berbagai bidang.

Peningkatan kualitas pendidikan kaum wanita, menyangkut aspek pendidikan, karakter, skill dan pembangunan bangsa. Peningkatan kualitas pendidikan bagi kaum wanita mesti diimbangi dengan kesempatan dan keterbukaan, menerima mereka sebagai rekan kerja. Peningkatan kualitas pendidikan kaum wanita berarti memberikan hak kepada mereka untuk berkarya, dengan tanpa diskriminasi.

 III. IMAN SEORANG WANITA

Tantangan bagi kaum wanita pada abad 21 selain terjadi perubahan diberbagai bidang, adalah semakin rasionalistisnya manusia. Ada tendensi semakin modem seseorang, semakin tidak membutuhkan hal-hal yang berhubungan dengan Tuhan. Rasional bagi seorang wanita tampaknya bertentangan dengan naturnya yang didominasi perasaan, tetapi bukan tidak mungkin bahwa wanita yang hidup pada abad 21, akan lebih rasional daripada pria. Mungkin ini sisi pandang negatif dari sudut pandang penulis bahwa semakin rasional kaum wanita, bisa bertentangan dengan "kodratnya."

Iman yang saya maksud ialah kerohanian (religiositas) wanita. Iman adalah mempercayakan diri secara pribadi kepada Tuhan Yesus Kristus, dengan keyakinan bahwa yang diimani adalah benar (normatif). Iman berarti juga kembali kepada khalikNya, atau mempercayakan diri untuk didominasi oleh Allah. Dengan kata lain iman merupakan perwujudan ekspresi jiwa, hati, akal budi dengan segenap hati kepada Allah, dan meresponinya secara aktif. Dari sisi teologis, iman adalah "instrumen" yang dipakai Roh Kudus, untuk menjelaskan karsa dan maksud Allah kepada manusia.

Bila kaum wanita kehilangan kehadiran Allah oleh karena dikuasai Iptek, hal ini merupakan tantangan serius. Iman bagi seorang wanita merupakan pertautan hati, antara Allah dengannya. Tanpa iman yang benar, kaum wanita akan jatuh dalam kekosongan rohani dan kemungkinan mudah berbuat dosa. Produk-produk Iptek dalam era informasi merupakan produk high tech dimana untuk menghadapinya kaum wanita memerlukan iman yang benar (high touch). Sejarah mencatat bahwa kemajuan yang dicapai suatu bangsa karena di pacu revolusi dan kemajuan Iptek memacu pula terjadinya dekadensi moral.

Kaum wanita pada abad 21 ditantang untuk tetap beriman dengan tegas, tanpa di reduksi oleh dosa struktural. Kecakapan, kemolekan dan kualitas pendidikan yang baik akan sia-sia, bila tidak diimbangi dengan iman yang benar kepada Tuhan. Takut akan Tuhan berarti respek dan memprioritaskan Tuhan dalam segala aspek hidup.

Bagi sebagian orang, melakukan korupsi, berzinah, serong, manipulasi data, dll., dianggap hal yang "lazim", tetapi bagi wanita yang beriman kepada Yesus, hal ini bertentangan dengan firman Tuhan. Dosa semakin dianggap "sepele" dan dianggap lumrah. Wanita Kristen di tengah-tengah situasi yang bobrok akan ditantang, apakah dia masih bisa tegas dan tegar terhadap godaan? Masihkah wanita Kristen menyinari masyarakat dengan kasih Kristus? Semoga pada abad 21 wanita Kristen lebih terampil, berkarakter baik, menguasai Iptek dan takut akan Tuhan.



TIP #09: Klik ikon untuk merubah tampilan teks alkitab dan catatan hanya seukuran layar atau memanjang. [SEMUA]
dibuat dalam 0.05 detik
dipersembahkan oleh YLSA