({*}Joachim Huang adalah sarjana teologia dari Seminari Alkitab Asia Tenggara; sekarang melayani di Gereja Injili Indonesia Bandung dan menjadi dosen di STT Bandung.)
Budaya populer (populer culture) atau yang umum disingkat sebagai budaya pop mulai merebak di kalangan masyarakat modern pada abad ke 20. Pengaruh zaman yang memang tak terelakkan telah begitu kuat melanda negara-negara Barat di mana keterbukaan dan kebebasan menjadi ciri sekaligus aspirasi masyarakatnya. Seiring dengan arus deras globalisasi teknologi yang menyeruak ke seluruh permukaan planet ini, maka perkembangan budaya zaman itu terimbas ke mana mana dengan dampak yang sangat dahsyat.
Kalangan remaja atau anak baru gede (ABG), boleh di kata merupakan generasi yang paling cepat menyerap dan menerapkan segala jenis produk perubahan karena mereka adalah kelompok lapisan masyarakat yang paling terpengaruh langsung oleh budaya populer.
Kita tak dapat menutup mata terhadap pergeseran nilai-nilai budaya yang terus menerus terjadi akibat perubahan zaman. Pembangunan di satu sisi menjanjikan perbaikan kondisi hidup, tapi di sisi lain ia juga meninggalkan bahkan meningkatkan berbagai permasalahan negatif yang tidak kurang seriusnya. Bahkan tidak jarang dampak destruktifnya lebih cepat menyebar, lebih kuat dan lebih gawat dibandingkan daya konstruktifnya.. Contoh yang paling aktual adalah maraknya peredaran pil-pil "XTC" (baca Ecstacy) di kota-kota besar tanah air. Hampir setiap hari kita membaca atau mendengar terungkapnya kasus berkaitan dengan pil setan itu. Itu baru yang terbongkar, belum terhitung berapa lagi kasus yang tak sempat terungkap.
Tampaklah bahwa intensitas dan derap pembangunan ekonomi tidak proporsional dengan pembentukan mentalitas akhlak moral yang kuat, artinya, pesatnya pertumbuhan sektor fisik tidak diimbangi pertumbuhan mentalitas rohani. Akibatnya, terjadilah kemerosatan drastis atau dekadensi ketahanan diri terhadap ekses-ekses kejahatan. Sementara itu, kepercayaan terhadap kesigapan, kecakapan dan kewibawaan aparat penegak hukum digoncang sangat keras.
Benteng iman anak manusia di zaman ini sedang digerogoti tanpa ampun. Satu masalah belum dapat diatasi dengan terpadu dan tuntas, sudah merebak budaya kekerasan lainnya. Akhir-akhir ini, bagi sekelompok massa tertentu hal merusak, membakar atau menghancurkan, menutup rumah-rumah ibadah Kristen dengan semena-mena atau memaksa sudah semakin dianggap biasa. Di samping itu, berbagai gerakan keonaran, makar dan perusakan secara massal sudah membudaya. Hampir setiap sektor kehidupan: politik, ketenagakerjaan, tata niaga, dunia pendidikan hingga olah raga tak lepas dari sepak terjang ribuan "pengacau", "oportunist", "pecundang" maupun "preman", "para petawur", "vandalist" dan seterusnya yang amat mengganggu keamanan, bahkan menjurus ke modus kriminal. Entah berapa miliar sudah kerugian material akibat vandalisme itu, bahkan sejumlah nyawa manusia melayang sia-sia. Tragedi akibat merebaknya budaya kekerasan semacam ini tentu sangat melukai keberadaan dan keberadaban bangsa Indonesia secara umum. Secara khusus, tentunya hal itu memupus harapan para keluarga korban. Lalu, apa yang bisa kita lakukan?
Artikel ini dimaksudkan untuk mengantarkan kita sekalian untuk memahami faktor-faktor pemicu dan secara kritis menilai arus budaya populer yang sedang menjangkiti masyarakat kita. Pada bagian akhir, penulis mencoba melontarkan gagasan-gagasan untuk mengantisipasi dan menanggulangi dampak perkembangan budaya zaman yang bertendensi destruktif.