Dalam sejarah gereja, ada dua sikap terhadap kebudayaan. Bapa gereja seperti Tertulianus dengan tegas menolak kebudayaan dunia. Ia menganggap semua hasil pikiran dan tangan orang non Kristen hanya melayani dosa manusia sehingga interaksi dengan kebudayaan dunia akan menyelewengkan orang Kristen dari iman yang benar. Sebaliknya, Hieronimus dan Basil memuji karya tulis non Kristen sebagai karya yang tidak kalah kualitasnya dengan Alkitab. Bagi mereka, kebudayaan apa pun bukan saja layak tetapi harus dipelajari orang Kristen untuk dimanfaatkan secara wajar dan kritis.
Dilema masih tetap dihadapi orang Kristen hingga hari ini. Di satu sisi setelah percaya pada Kristus, orang Kristen masih tetap hidup di dunia, di tengah-tengah masyarakat dengan sistem dan kebudayaan yang telah mapan. Orang Kristen mempunyai tanggung jawab untuk "mengerjakan keselamatan" (Flp 2:12). Di sisi lain, masyarakat dan kebudayaan telah tercemar oleh dosa. Apa yang dihasilkannya kecemaran juga. Sesungguhnya orang Kristen yang telah dibenarkan dan dikuduskan dipanggil untuk memantulkan terang Allah, menyuarakan kebenaran, dan menabur kekudusan di tengah masyarakat di mana Allah menempatkannya. Redaksi menyadari bahwa Injil dan kebudayaan adalah topik yang terlalu luas untuk dibahas dalam halaman-halaman yang terbatas. Apa yang disajikan dalam edisi ini, katakanlah hanya ibarat prolegomena ke dalam isu-isu Injil dan kebudayaan yang masih terbentang luas dan terus berkembang.
Dalam kesempatan ini pula, Redaksi mengimbau pembaca setia untuk mendukung Jurnal Pelita Zaman dalam bentuk naskah, dana atau turut mempromosikan/menyalurkan jurnal ini supaya bisa menjadi berkat yang lebih besar. Kelangsungan hidup jurnal ini ada di tangan kita bersama. Tuhan memberkati!
(Penulis adalah seorang arsitek lulusan ITB, alumnus Institut Injili Indonesia (Batu), Seminari Alkitab Asia Tenggara (Malang) dan Princeton Theological Seminary. Sekarang beliau adalah ketua Yayasan Bina Awam.)
Sinkretisme adalah suatu istilah yang menunjukkan faham yang sangat mencolok mewarnai kebudayaan dunia lebih-lebih menjelang berakhirnya abad ke 20 ini, soalnya dalam segala bidang sinkretisme sudah menanamkan pengaruhnya.
Menggunakan kriteria tiga gelombangnya Alvin Toffler931, kita dapat melihat bahwa pada Era Agraris (sebelum AD-1700), kelompok-kelompok manusia hidup secara eksklusif dalam budaya agraris dengan paguyuban yang kuat yang cenderung menolak pengaruh dari luar. Situasi kemasyarakatan dan budaya demikian bisa disebut sebagai Small is Beautiful.
Pada Era Industri (AD1700-1960) kita melihat adanya kecenderungan pluralisme yang kuat dimana terjadi proses akulturisasi karena berkembangnya budaya kota-kota industri yang cenderung menggugurkan homogenitas era agraris dan menggantikannya dengan heterogenitas era industri. Konsep paguyuban yang tertutup berubah menjadi patembayan yang terbuka.932 Situasi kemasyarakatan dan budaya demikian kemudian disebut sebagai Big is Beautiful.
Pada Era Super Industri atau Informasi (pasca AD 1960) rupanya pluralisme tidak membawa damai pada sub-sub kelompok, itulah sebabnya pada era pasca 1960 kita melihat bangunnya kecenderungan untuk kembali kepada kehidupan homogenitas ditengah-tengah heterogenitas yang tidak bisa ditolak. Homogenitas menjadi pegas pengaman kehidupan plural heterogenitas yang tidak tertahankan. Situasi kemasyarakatan dan budaya demikian dijuluki oleh Tofller sebagai Small in Big is Beautiful. Situasi pasca 1960 demikian dengan jelas diuraikan oleh John Naisbitt dalam buku karyanya Megatrends 2000,3) dimana ditengah-tengah era informasi dan pluralisme timbul kembali kecenderungan bangkitnya kelompok-kelompok yang dipimpin pemimpin yang otoriter dan fundamentalistis, dan bangkitnya gerakan zaman baru. Gerakan terakhir inilah yang pengaruhnya kuat menghasilkan budaya-budaya campuran yang bersifat sinkretistik. Apakah Sinkretisme itu?
Sinkretisme disebut dalam kamus sebagai "penyatuan aliran"933 sedangkan istilah ini dalam hal agama oleh Berkhof dan Enklaar disebut "Mencampuradukkan agama-agama ini disebut sinkretisme"934. Josh McDowell dalam bukunya menyebut bahwa "Syncretistic" berarti "tending to reconcile different beliefs, as philosophy and religion".935 Dari beberapa kutipan tersebut dapatlah dimengerti bahwa Sinkretisme dalam agama adalah usaha penyatuan dan pencampuradukkan berbagai-bagai faham agama dengan kecenderungan untuk mendamaikan paham-paham itu.
({*}Yonky Karman adalah alumnus Seminari Alkitab Asia Tenggara (Malang) dengan gelar B. Th., Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara (Jakarta) dengan gelar Dr.s, dan Calvin Theological Seminary (USA) dengan gelar M. Th., sekarang menjadi pengajar di STT Bandung.)
Dalam perbincangan umum tentang budaya dikenal pembedaan Barat dan Timur. Kita bangsa Indonesia termasuk orang Timur, sedangkan bangsa Amerika atau Inggris orang Barat. Pembedaan Timur dan Barat, dalam hal ini Barat modern, tidak sekadar letak geografis, tetapi jauh lebih fundamental soal perbedaan budaya. Seringkali perbedaan ini dijadikan dasar oleh sebagian orang untuk memperingati orang lain agar tidak mengadopsi nilai-nilai Barat dengan alasan bahwa budaya itu tidak cocok dengan budaya Indonesia. Sebenarnya sejauh manakah perbedaan itu dan apakah perbedaan itu harus menyebabkan konflik?
Dunia filsafat menamakan zaman setelah modernisasi sebagai zaman post-modernisasi. Penekanan pada post-modernisasi bukanlah zaman kita telah melewati modernisasi. Tidak berarti modernisasi telah ditinggalkan. Tidak juga berarti ilmu pengetahuan dan teknologi yang mengandalkan daya analisis akal manusia telah dilupakan. Yang dimaksudkan dengan post-modernisasi adalah zaman sekarang manusia sudah tidak puas lagi dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Karena perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi ternyata membawa juga banyak dampak negatif. Sebagai contoh, penemuan bom atom dapat menghancurleburkan peradaban umat manusia dalam waktu singkat.
Dengan keprihatinan itu, manusia di zaman post-modernisasi menggantungkan harapannya kepada agama/kepercayaan Timur Kuno, baik itu agama-agama suku atau falsafah Timur. Maka tidak heran kalau yin-yang kembali dibicarakan secara luas. Dalam tulisan singkat ini, penulis mencoba memberikan tinjauan terhadap yin-yang.
({*}Joachim Huang adalah sarjana teologia dari Seminari Alkitab Asia Tenggara; sekarang melayani di Gereja Injili Indonesia Bandung dan menjadi dosen di STT Bandung.)
Budaya populer (populer culture) atau yang umum disingkat sebagai budaya pop mulai merebak di kalangan masyarakat modern pada abad ke 20. Pengaruh zaman yang memang tak terelakkan telah begitu kuat melanda negara-negara Barat di mana keterbukaan dan kebebasan menjadi ciri sekaligus aspirasi masyarakatnya. Seiring dengan arus deras globalisasi teknologi yang menyeruak ke seluruh permukaan planet ini, maka perkembangan budaya zaman itu terimbas ke mana mana dengan dampak yang sangat dahsyat.
Kalangan remaja atau anak baru gede (ABG), boleh di kata merupakan generasi yang paling cepat menyerap dan menerapkan segala jenis produk perubahan karena mereka adalah kelompok lapisan masyarakat yang paling terpengaruh langsung oleh budaya populer.
Kita tak dapat menutup mata terhadap pergeseran nilai-nilai budaya yang terus menerus terjadi akibat perubahan zaman. Pembangunan di satu sisi menjanjikan perbaikan kondisi hidup, tapi di sisi lain ia juga meninggalkan bahkan meningkatkan berbagai permasalahan negatif yang tidak kurang seriusnya. Bahkan tidak jarang dampak destruktifnya lebih cepat menyebar, lebih kuat dan lebih gawat dibandingkan daya konstruktifnya.. Contoh yang paling aktual adalah maraknya peredaran pil-pil "XTC" (baca Ecstacy) di kota-kota besar tanah air. Hampir setiap hari kita membaca atau mendengar terungkapnya kasus berkaitan dengan pil setan itu. Itu baru yang terbongkar, belum terhitung berapa lagi kasus yang tak sempat terungkap.
Tampaklah bahwa intensitas dan derap pembangunan ekonomi tidak proporsional dengan pembentukan mentalitas akhlak moral yang kuat, artinya, pesatnya pertumbuhan sektor fisik tidak diimbangi pertumbuhan mentalitas rohani. Akibatnya, terjadilah kemerosatan drastis atau dekadensi ketahanan diri terhadap ekses-ekses kejahatan. Sementara itu, kepercayaan terhadap kesigapan, kecakapan dan kewibawaan aparat penegak hukum digoncang sangat keras.
Benteng iman anak manusia di zaman ini sedang digerogoti tanpa ampun. Satu masalah belum dapat diatasi dengan terpadu dan tuntas, sudah merebak budaya kekerasan lainnya. Akhir-akhir ini, bagi sekelompok massa tertentu hal merusak, membakar atau menghancurkan, menutup rumah-rumah ibadah Kristen dengan semena-mena atau memaksa sudah semakin dianggap biasa. Di samping itu, berbagai gerakan keonaran, makar dan perusakan secara massal sudah membudaya. Hampir setiap sektor kehidupan: politik, ketenagakerjaan, tata niaga, dunia pendidikan hingga olah raga tak lepas dari sepak terjang ribuan "pengacau", "oportunist", "pecundang" maupun "preman", "para petawur", "vandalist" dan seterusnya yang amat mengganggu keamanan, bahkan menjurus ke modus kriminal. Entah berapa miliar sudah kerugian material akibat vandalisme itu, bahkan sejumlah nyawa manusia melayang sia-sia. Tragedi akibat merebaknya budaya kekerasan semacam ini tentu sangat melukai keberadaan dan keberadaban bangsa Indonesia secara umum. Secara khusus, tentunya hal itu memupus harapan para keluarga korban. Lalu, apa yang bisa kita lakukan?
Artikel ini dimaksudkan untuk mengantarkan kita sekalian untuk memahami faktor-faktor pemicu dan secara kritis menilai arus budaya populer yang sedang menjangkiti masyarakat kita. Pada bagian akhir, penulis mencoba melontarkan gagasan-gagasan untuk mengantisipasi dan menanggulangi dampak perkembangan budaya zaman yang bertendensi destruktif.
Bagian Pertama
Rudyanto{*}
(Rudyanto adalah mahasiswa STT Bandung tingkat ketiga.)
Bank BCA Cabang Pasar Legi Solo - No. Rekening: 0790266579 - a.n. Yulia Oeniyati
Kontak | Partisipasi | Donasi