Resource > Jurnal Pelita Zaman >  Volume 8 No. 2 Tahun 1993 > 
MEMPERSIAPKAN ANAK DAN REMAJA MENGHADAPI ERA GLOBALISASI 
Penulis: Pdt. Em. B.A. Abednego340
 PERBEDAAN ANTARA ANAK DAN REMAJA

Untuk memudahkan kita memahami perbedaan antara anak dan remaja saya ingin mencirikan masing-masing kelompok secara sederhana sebagai berikut:

Pertama, masa kanak-kanak terutama ialah masa "internalisasi" dalam pengertian merekam.

Kedua, masa remaja terutama ialah masa "eksternalisasi" atau "proyeksi", yakni memantulkan (apa yang telah direkam).

Yang dimaksud dengan masa kanak-kanak dalam pembahasan di sini mengikuti kelaziman yang pada umumnya berlaku di kalangan Sekolah Minggu, yaitu dari sekitar usia 4-5 tahun sampai sekitar usia 11-13 tahun, atau sama dengan masa Sekolah Taman Kanak-kanak dan Sekolah Dasar. Sedangkan masa remaja ialah masa sang anak itu sudah beranjak memasuki Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama dan Atas (SLTP dan SLTA).

Secara biologis yang membedakan kedua kelompok itu ialah bahwa anak remaja sudah mulai mengalami perubahan-perubahan dalam liku-liku perkembangan fisiknya. Remaja pria mengalami aneka perubahan, misalnya suara menjadi semakin besar/berat, tumbuh rambut di beberapa bagian tubuhnya di samping di kepala (kumis, di ketiak dan di sekitar alat kelamin), alat kelaminnya bisa berereksi serta dapat mengeluarkan air mani. Pada remaja perempuan juga tumbuh rambut ekstra (di ketiak dan di sekitar alat kelamin), buah dada yang membesar, serta mengalami haid. Semua itu akibat hormon-hormon yang mulai bekerja sesuai dengan "jadwal" yang telah di"program" di dalam tubuhnya.

Perbedaan-perbedaan di atas, yaitu ditinjau dari latar belakang sekolah (Minggu atau Umum) dan dari latar belakang biologis, tentunya sudah cukup diketahui secara umum (dan juga karena telah mengalaminya sendiri secara konkret). Karenanya ulasan selanjutnya lebih diarahkan dan difokuskan pada bidang kejiwaan dan kerohanian. Nah, apa yang pada awal makalah ini disebut sebagai "internalisasi" dan "proyeksi" lebih menyentuh aspek kejiwaan atau psikis.

 MASA KANAK-KANAK: INTERNALISASI ATAU MEREKAM

Semasa kanak-kanak, aneka macam pengalaman, kesan, pengetahuan direkam ke dalam benak. Ternyata pengalaman, kesan dan pengetahuan itu mengandung tata nilai (values) tertentu. Nilai-nilai yang direkam itu tentu ada yang baik dan ada pula yang buruk semuanya ternyata direkam, bagaikan orang merekam suatu obyek ke dalam film di kamera atau merekam gerakan lewat kamera video, misalnya.

Dalam era globalisasi ternyata sumber pengalaman, kesan, pengetahuan - singkatnya tata nilai tata nilai - berjumlah lebih banyak ketimbang era-era sebelumnya. Kalau dulu sumbernya ialah: keluarga, sekolah (Minggu dan Umum) dan pergaulan, kini ditambah pula dengan media - komunikasi - massa modern: radio, tape, TV, apalagi yang memiliki parabola. Bagi mereka yang tidak mempunyai parabola, katanya, tahun ini jumlah siaran swasta akan bertambah pula. Dengan gejala kemajuan ini akan terus meningkat. Ditambah lagi dengan makin banyaknya aneka bahan bacaan: surat kabar, majalah dan buku.

Jadi, para Guru Sekolah Minggu kiranya jangan membayangkan bahwa Sekolah Minggu merupakan satu-satunya sarana penyampaian nilai-nilai rohani dan budaya. Makin lama ia akan makin terdesak oleh sarana penerus nilai-nilai yang serba canggih dan modern, yang makin lama tampaknya makin menyedot lebih banyak waktu dan perhatian mereka terhadap TV, misalnya apalagi melarangnya. Siapa yang punya wewenang untuk itu, para orangtua pun sulit melakukan itu.

Tugas seorang guru ialah - sesuai dengan tema kajian kita - mempersiapkan anak (dan remaja) menghadapi arus globalisasi, termasuk sarana media komunikasi massa modern. Juga mempersiapkan mereka menghadapi kelompok dan bentuk pergaulan yang tampaknya kian lama kian bertambah "bebas". Hal ini diantaranya dapat dilakukan dengan menjadikan Sekolah Minggu (dan Kebaktian Remaja kalau ada, juga misalnya lewat Komisi Remaja, sebagaimana yang sudah berlaku di beberapa Gereja tertentu), sebagai wadah pergaulan yang sehat dan konstruktif.

Ternyata secara psikologis, ada lagi yang juga direkam ke dalam benak sang anak, yaitu aneka macam "citra" (image). Dan yang paling penting serta menentukan ialah "citra ayah" (father image) dan "citra ibu" (mother image). Citra ayah atau citra ibu bisa baik atau buruk. Citra yang kurang baik lazim disebut dengan "citra yang rancu" (distorted), dus: citra ayah yang rancu, atau citra ibu yang rancu. Yang baik dan yang rancu bisa juga terkombinasi, misalnya citra ayah yang baik serta citra ibu yang rancu; atau sebaliknya: citra ibu yang baik serta citra ayah yang rancu. Lalu dapat pula terjadi bahwa citra ayah dan citra ibu dua-duanya rancu. Keanekaragaman itu tergantung dari perlakuan baik atau buruk ayah dan ibu terhadap sang anak. Proses perekaman yang membuahkan citra di benak itu kerap terjadi tanpa sang anak menyadarinya.

Nilai-nilai yang direkam lewat citra ayah dan citra ibu juga mengandung nilai-nilai ihwal seks. Minat terhadap seks sudah dimulai sejak anak berusia 3-5 tahun, kala sang anak belajar dan tahu membedakan kelainan jenis kelamin ayah (=laki-laki) dan jenis kelamin ibu (=perempuan). Lewat pengenalan akan jenis kelamin ayah dan ibu, sang anak pun lalu sadar apakah ia laki-laki atau perempuan. Pengetahuan mana juga diketahui lewat pengamatan akan alat kelaminnya sendiri, entah ia laki-laki atau perempuan. Pengetahuan-pengetahuan itu terjadi misalnya kalau anak-anak yang berlainan jenis mandi atau dimandikan bersama (di Eropa lazim anak-anak pun mandi bersama orang tuanya, seperti yang diceritakan kepada saya sekitar tahun 1971 oleh sebuah keluarga asal Indonesia yang tinggal di negeri Belanda).

 MASA REMAJA: MEMPROYEKSIKAN APA YANG DIINTERNALISASIKAN

Nah, apa yang diinternalisasikan pada masa kanak-kanak lalu diproyeksikan pada masa remaja, misalnya soal seks.

1. Seorang remaja laki-laki yang punya citra ibu yang baik cenderung memproyeksikan melalui gejala tertarik kepada wanita yang mirip ibunya.

2. Demikianpun seorang remaja perempuan yang mempunyai citra seorang ayah yang baik cenderung tertarik kepada pria yang seperti ayahnya.

3. Sebaliknya seorang remaja laki-laki yang punya citra ibu yang rancu cenderung tertarik kepada wanita yang lain daripada ibunya (artinya mengisi apa yang kurang).

4. Dan seorang remaja perempuan yang punya citra ayah yang rancu cenderung tertarik kepada pria yang lain daripada ayahnya.

5. Seorang remaja, entah laki-laki atau perempuan, yang punya citra ayah dan citra ibu yang dua-duanya rancu akan menghadapi kesulitan di dalam menetapkan wanita atau pria pilihannya.

Dalam kenyataan hidup, memang gambarannya tidaklah sesederhana yang dirinci dan dipaparkan tadi. Perbedaan antara citra yang baik dan citra yang rancu hanyalah masalah gradasi, jarang sampai terjadi yang serba ekstrim (baik semata atau buruk sekali). Di antara kedua ekstrim itu ada sejumlah nuansa yang banyak sekali.

Dilihat dari kerangka paparan tersebut, maka janganlah tercengang manakala seorang guru perempuan Kebaktian Remaja (Bu Ani) disenangi oleh remaja laki-laki (Anton). Dan seorang guru laki-laki (Pak Hari) disenangi oleh remaja perempuan (Mari). Hati-hati loh, nenek bilang itu berbahaya padahal itu gejala yang wajar dan alamiah. Yang berbahaya - karena liku-liku itu tak disadari, misalnya -- ialah kalau Bu Ani juga menyenangi remaja Anton: atau Pak Hari juga menyenangi Mari.

Mengapa gejala tadi disebut "wajar"? Karena semasa remaja - sebetulnya sudah semenjak masa kanak-kanak -- seseorang cenderung membentuk "idola" di benaknya. Ada semacam "citra idola" tertentu, di samping citra ayah dan citra ibu. Peran "citra ayah, citra ibu, citra idola" ialah untuk membantu anak dan remaja memiliki pegangan tata nilai tertentu untuk arah perilakunya.

Unsur "kewajaran" kedua yang perlu juga diketahui ialah apa yang dalam ilmu jiwa disebut sebagai "transference". Yang di transfer ialah kandung emosi yang terbentuk selama dan oleh proses internalisasi masa kanak-kanak. Misalnya: perasaan cinta seorang remaja perempuan terhadap ayahnya tentu tak dapat diwujudkan dengan keinginan untuk menikah dengan sang ayah (nanti ibu bisa repot, padahal semacam "persaingan" serupa itu memang terjadi). Karena tak bisa diwujudkan kepada lawan jenis dari kalangan keluarga sendiri (=ortu), maka hasrat itu lalu di transfer kepada lawan jenis yang bukan keluarga. Hasrat itu mencari - katakanlah -- sasaran lain. Siapa tahu sasaran itu adalah Anda, hai para guru Sekolah Minggu/Remaja. Kalau transference itu ditanggapi secara serius -- kerap tanpa disadari -- terjadilah "counter transference". Dus perlu kewaspadaan sebab kakek bilang itu berbahaya.

Cinta hanyalah salah satu jenis emosi, masih beranekalah ragam-ragam emosi lainnya yang lazim ditransferkan. Misalnya: amarah, benci, kejengkelan. Pernahkah Anda mengalami ketercengangan karena ada remaja yang seolah-olah tiba-tiba marah terhadap Anda, padahal "kekeliruan" yang Anda buat sangatlah sepele (misalnya menegur agar ia tidak membuat gaduh)? Apa latar belakang dari angkara murka (lazim disebut temper tantrum) sedemikian? Jangan-jangan itu sekadar gejala "anti otoriterisme" karena punya ayah yang terlalu otoriter, dan kini amarahnya itu lalu di transfer kepada Anda! Asal Anda tahu saja: gejala itu cukup wajar, setidaknya bisa dipahami!

 DAMPAK GLOBALISASI BAGI PERKEMBANGAN ANAK DAN REMAJA

Apa saja dampak globalisasi? Banyak sekali! Tetapi dalam ulasan kali ini saya batasi pada dampak-dampak kejiwaan dan kerohanian saja, mengikuti alur fokus seperti di atas.

Baiklah pertama-tama kita memahami dulu aspek-aspek penting arus globalisasi. Sebagaimana diketahui ada dua pakar tenar yang banyak mengupas ihwal gejala-gejala globalisasi atau megatrend. Kita mengenal pokok-pokok pikiran mereka lewat buku-buku laris (best-sellers) mereka. John Naisbitt terkenal karena menulis dua buku seputar soal Megatrend. Sedangkan Alvin Toffler antaranya menulis buku trilogi, yang masing-masing berselang waktu 10 tahun, berjudul: Future Shock, Third Wave dan Power Shift. Buku-buku tersebut sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, dan diterbitkan oleh P.T. Pantja Simpati, Jakarta

Yang saya petikan atau sarikan di bawah ini bersumber dari buku pertama triloginya, yang dalam terjemahannya berjudul Kejutan Masa Depan. Judul bukunya ini sebetulnya adalah judul pasal 15 dan 16, yang merupakan pasal-pasal pada Bagian Kelima, yang menurut hemat saya merupakan inti ulasannya yang terbaik dalam buku ini. Adapun Bagian Kelima berjudul "Batas Kemampuan Adaptasi": pasal 15 melihatnya dari Dimensi Fisik dan pasal 16 dari Dimensi Psikologis. Dalam memaparkan pendapatnya, ia mengacu pada aneka disiplin ilmu pengetahuan, dan merangkum hasil-hasil penemuan ilmiah yang up to date (tentu saja sampai tahun 1970 saat buku itu ditulis).

Pertama. Manusia memiliki kemampuan melakukan adaptasi, baik secara biologis maupun secara psikologis, dan juga secara kultural. Hal ini berkaitan dengan kenyataan bahwa manusia (dan organisme lainnya) senantiasa harus berinteraksi dengan lingkungannya341 (alam dan sesama manusia). Dari lingkungannya itu ia senantiasa menerima, aneka "rangsangan" atau "stimulasi" terhadap tubuh dan dirinya.

Kedua. Respons manusia terhadap rangsangan oleh para ahli psikologi eksperimental disebut "respons orientasi" (orientation response, OR).342 Dalam hal ini adrenalin dan non adrenalin lalu bekerja, yang berfungsi sebagai energi tertentu. Dalam kaitan dengan area modernisasi maka banyak sekali hal yang serba baru (kebaruan, noverity). Dengan demikian, jumlah rangsangan kian banyak dan jumlah suplai bahan pelepas energi (energy releasers) pun kian meningkat.

Ketiga. Kalau daya "respons orientasi" tak lagi dapat mengatasi arus rangsangan yang serba baru dan bertubi-tubi, maka manusia melakukan apa yang Toffler sebut sebagai "reaksi adaptif".

... Reaksi ini berkaitan erat dengan OR. Memang kedua proses ini sangat rapat terjalin sehingga OR dapat dianggap sebagai bagian atau fase awal reaksi adaptif yang lebih besar dan luas cakupannya. Namun, apabila OR terutama didasarkan atas sistem saraf, reaksi adaptif banyak tergantung pada kelenjar endoktrin dan hormon yang dialirkannya ke dalam tubuh. Garis pertahanan yang pertama adalah saraf; yang kedua hormon.343

Jadi, setiap perubahan, artinya setiap menghadapi sesuatu yang baru atau asing, misalnya memasuki kota yang baru, bahkan rumah atau ruangan baru, menuntut adanya energi OR dan reaksi adaptif. Apalagi kalau sebuah desa terpencil namun cukup kaya, tiba-tiba kebanjiran pesawat televisi beserta antena parabolanya. Yang menuntut energi OR dan reaksi adaptif bukan semata rangsangan perangkat TV saja, tetapi terutama juga isi siaran yang ditayangkannya. "Demikianlah kebaruan setiap kebaruan yang dapat di indera - memetik aktivitas eksplosif di dalam tubuh ...344 perubahan yang kecil pun dalam iklim emosional atau dalam hubungan antarpribadi, dapat menimbulkan perubahan yang jelas dalam kimia tubuh"345 Bahkan "...antisipasi perubahan saja dapat memicu reaksi adaptif"346

Keempat. Dapat disimpulkan bahwa ada batas kemampuan adaptasi. Manusia toh merupakan "...suatu biosistem dengan kemampuan terbatas terhadap perubahan,"347 khususnya juga terhadap kebaruan-kebaruan. Akibat semua itu manusia lalu mudah terkena atau mengalami aneka macam "sutris" atau "stress".

Kelima. Tetapi seiring dengan itu patut dimunculkan pula kesimpulan kebalikannya. Yaitu bahwa manusia juga tidak bisa hidup tanpa perubahan sama sekali.

"...Tak seorang pun dapat hidup tanpa mengalami stress sama sekali sampai batas tertentu, "tulis Dr. Selye. Meniadakan OR dan reaksi adaptif sama artinya dengan meniadakan segala perubahan termasuk pertumbuhan, perkembangan diri, dan pendewasaan.... Perubahan tidak hanya perlu dalam kehidupan; perubahan adalah kehidupan itu sendiri. Begitu pula halnya, kehidupan adalah adaptasi.348

Keenam. Kesimpulan dari keseluruhan makna Kejutan Masa Depan dapat diringkas dalam kalimat berikut ini. "Kejutan masa depan merupakan respons terhadap stimulasi lanjur (overstimulation)."349 Toffler misalnya menyebut juga ihwal "Muatan lanjur Informasi" (information overload) dan "stimulasi lanjur desisional" (decisional overstimulation);350 yakni rangsangan pengambilan keputusan yang berlebihan.

"Muatan lanjur informasi" terjadi kalau terlampau banyak informasi yang harus kita serap, antaranya lewat siaran-siaran TV (antaranya acara Dunia dalam Berita, misalnya, yang menayangkan aneka peristiwa peperangan, bencana alam, kecelakaan, penderitaan dan lain sebagainya) dan juga lewat bahan bacaan: koran, majalah, buku.

"Muatan lanjur desisional" terjadi kalau seseorang misalnya terlampau banyak memegang jabatan: sebagai ketua ini, penulis itu, bendahara anu. Seorang bijak pernah berkata bahwa jumlah maksimum jabatan atau fungsi yang diemban seseorang ialah tujuh!

Kalau kita sebagai orang-orang yang relatif sudah lebih dewasa merasa agak "kewalahan" menampung arus "banjir informasi" (serta "kecamuk muatan lanjur desisional"), apalagi anak-anak dan remaja. Dalam surat kabar Jawa Pos, minggu 14 Februari 1993, dimuat suatu berita yang layak kita camkan, dan karenanya saya kutip di bawah ini sebagai bahan kajian refleksif.

 BATASI NONTON TV, INTELEKTUALITAS NAIK

Anak yang terlalu banyak menonton televisi lebih suka menuruti kata hatinya. Jika waktu menontonnya dibatasi, Intelektualitas si anak meningkat karena lebih suka memikirkan sesuatu. Demikianlah pernyataan guru besar IKIP Jakarta Prof Dr Conny Setiawan dalam makalahnya Dampak Siaran Televisi terhadap Pendidikan Anak di Jakarta kemarin.

Prof Conny mengutip hasil penelitian Greenfield pada 1989 yang mengatakan, setelah waktu menonton televisi si anak dibatasi, ternyata ada peningkatan IQ nonverbal pada diri si anak.

Melalui TV, ada kemunduran untuk mencernakan berbagai proses kognitif karena gerak visual menarik perhatian si anak dan memasuki pusat perhatian sehingga mudah diingat.

Karena itu, ujarnya, bila materi yang ditayangkan televisi sesuai dengan tingkat perkembangan si anak, hal itu akan menguntungkan perkembangan mentalnya, namun bila tidak sesuai dengan tingkat perkembangannya, akan berpengaruh jelek terhadap perkembangan anak.

Selain itu, katanya, program yang ditayangkan televisi berpengaruh terhadap pendidikan anak. "Karena itu, acara yang mencakup banyak tindak kekerasan sebaiknya dijauhi," ujarnya.

Segi negatif lainnya ialah acara komersial yang menggunakan stereotipe pria wanita untuk menjual suatu produk. Iklan-iklan seperti itu bisa membawa si anak "terjerat" beberapa jenis barang tertentu.

Conny mengakui, televisi merupakan salah satu alat komunikasi yang bisa menjadikan seseorang selain mendengar suara-suara dari TV, juga memperagakan seperti yang ditayangkan televisi dengan menghasilkan dampak baik dan buruk.

"Jadi, TV adalah alat audio visual yang mempermudah orang menyampaikan dan menerima pesan, pelajaran atau informasi."

Karena itu, televisi dapat digunakan sebagai media pengajaran dan pendidikan, seperti yang sudah dilakukan Televisi Pendidikan Indonesia (TPI).

Dari tayangan tersebut akan ada perubahan perilaku negatif atau peningkatan perilaku yang baik. Kebiasaan atau keterampilan

Kemampuan lain yang diharapkan dapat diperoleh anak dari menonton televisi adalah pemahaman terhadap ruang.

Namun, Conny mengingatkan kendati membawa dapat positif, televisi tidak bisa menggantikan kedudukan dan peran guru di sekolah. Televisi hanya merupakan alat pendukung untuk memperjelas pesan yang disampaikan dalam belajar.

Untuk itu, kata Conny program siaran TV dalam rangka menunjang pendidikan anak harus selektif, cermat dan dibuat tim multidisipliner (sosiolog, psikolog, pedagog, antropolog, ahli media dan teknolog) untuk mewujudkan dapat yang positif.351

Baik sejenak kita bahas hasil pengamatan Ibu Conny terkutip di atas tadi. Bagaimana tanggapan Anda?

Perkenankanlah saya menanggapi hanya atas salah satu ungkapan Ibu Conny, yaitu: "Karena itu, ujarnya, bila materi yang ditayangkan televisi sesuai dengan tingkat perkembangan si anak, hal itu akan menguntungkan perkembangan mentalnya, namun bila tidak sesuai dengan tingkat perkembangannya, akan berpengaruh jelek terhadap perkembangan anak." Jadi, yang ingin saya soroti seraya melengkapinya dengan beberapa penjelasan tambahan ialah berkenaan dengan soal "tingkat-tingkat perkembangan manusia, termasuk sang anak".

 MEMAHAMI PERKEMBANGAN MORAL DAN IMAN ANAK DAN REMAJA

Dalam hal ini saya mengacu pada dua perangkat teori, yaitu teori "Perkembangan Moral" menurut Lawrence Kohlberg, dan teori James Fowler mengenai "Perkembangan Iman". Kerangka yang saya kutip di bawah ini dipetik dari tulisan Pdt. Simon Filantropha berjudul "Memahami Teori Perkembangan Anak" yang dimuat dalam buku terbitan KPPAG Sinode GKI Jatim berjudul Di Seputar Kebaktian & Komisi Anak.

Kohlberg menampilkan kerangka perkembangan moral sebagai berikut:

Tingkat Prakonvensional (belum sesuai dengan yang lazim)

Tahap 1: Moralitas yang heteronom (kepatuhan pada perintah orang lain).

Tahap 2: Moralitas pasar (keadilan tukar menukar) atau disebut juga "relatif instrumental".

Tingkat Konvensional (penyesuaian dengan yang biasanya dianggap lazim)

Tahap 3: Penyesuaian antar orang-orang

Tahap 4: Tekanan pada hukum dan tata tertib masyarakat

Tahap 5: Kontrak Sosial

Tahap 6: Prinsip Etis Universal.352

James Fowler menyajikan kerangka perkembangan IMAN sebagai berikut:

Tahap 1: (4-7/8 tahun): Intuitif

Tahap 2: (6/7-11,12 tahun): Ceritera harafiah

Tahap 3: (11-17/18 tahun). Sintesis, memadu

Tahap 4: Pendirian sendiri/perseorangan

Tahap 5: Gabungan paradoks

Tahap 6: Universalisasi.353

Menurut hemat saya, seseorang dapat menarik manfaat dari tayangan TV manakala ia mampu bersikap kritis dan punya pendirian yang mantap. Padahal anak-anak di Indonesia pada umumnya masih belum bersikap kritis, karena secara moral ia masih berada pada tahap 1-3/4, dan perkembangan iman tahap 1-3. Di negara-negara Barat, daya kritis sudah mulai ditempa semenjak kecil. Penempaan daya kritis dilakukan seiring dengan atau bertujuan demi memampukan mereka "berpendirian sendiri" (tahap 4 perkembangan iman). Kedua hal itulah yang justru harus kita lakukan dalam rangka "mempersiapkan anak dan remaja menghadapi era globalisasi."

 BAGAIMANA MELAKUKAN LANGKAH-LANGKAH PERSIAPANNYA?

Terus terang, pertama-tama sang gurulah yang harus menempa diri dalam dua hal penting tadi, yaitu: daya kritis dan kemandirian pendirian. Sayangnya iklim budaya dan pendidikan yang kita terima tampaknya tidak cukup menopang dan memacu pencapaian kedua hal tadi. Lalu bagaimana? Yah, kita harus mau memacu diri! Dan wadah komisi Anak/Remaja dalam Gereja itulah sarananya.

Kiranya kita bisa melakukan "Satu tepukan -- dua lalat", artinya seraya kita mengembangkan diri, kitapun bisa melakukannya bersama-sama dengan anak-anak dan remaja. Yang ideal adalah manakala dalam salah satu kegiatan rutin bisa ditayangkan sebuah episode TV tertentu (yang misalnya sudah direkam lewat video) setelah sama-sama menontonnya lalu anak-anak dan/atau remaja diajak mendiskusikannya.

Cara yang lebih sederhana ialah manakala seminggu sebelumnya anak-anak dan/atau remaja sudah di pesan untuk menyaksikan sebuah acara tayangan TV tertentu, dan baru pada hari minggu berikutnya diadakan diskusi bersama.

Yang perlu kita lakukan ialah melambungkan gagasan-gagasan kreatif dan inovatif mengisi kegiatan anak dan remaja. Kita tidak bisa hanya semata terpancang pada pola-pola kegiatan rutin yang lama saja. Zaman sudah berubah, pola kegiatan pun harus berubah selaras dengan perkembangan zaman janganlah kita merasa canggung menerapkan metode baru, belum tentu Tuhan merasa canggung dengan TV!



TIP #26: Perkuat kehidupan spiritual harian Anda dengan Bacaan Alkitab Harian. [SEMUA]
dibuat dalam 0.03 detik
dipersembahkan oleh YLSA