Resource > Jurnal Pelita Zaman >  Volume 8 No. 1 Tahun 1993 > 
HENDAKLAH KITA MENJADI SATU SUPAYA DUNIA PERCAYA 
Penulis: Andreas B. Dewanto337
 KOMPETISI ATAU KONFLIK?

Beberapa waktu yang lalu, penulis mengamati adanya ketegangan antara beberapa tokoh, pribadi tertentu dalam tubuh suatu Gereja anggota PGI. Sebagai pengamat gejala keagamaan dari sudut pandang sosiologi, penulis ingin memaparkan gejala seobjektif-objektifnya dan menjaga netralitas etis serta integritas ilmiah. Akan tetapi sebagai pribadi yang beragama Kristen, penulis juga mempunyai keprihatinan sendiri. Diharapkan penulis terhindar dari pemihakan tanpa harus bersikap apatis.

Secara singkat dapat dikemukakan adanya rasa jengkel, rasa prihatin seorang Pendeta dari Gereja tersebut di atas yang merasa secara tidak adil dicap sebagai "seorang Liberal" oleh seorang tokoh lain yang menamakan dirinya "seorang Injili." Penulis sengaja menggunakan tanda kutip, karena itu bukan suatu istilah atau ideal type yang penulis setujui maknanya dan yang bertikai sendiri tidak memberikan makna atau arti yang sama. Barangkali kejengkelan itu dapat dimengerti, karena Pendeta tersebut antara lain pernah dididik di lingkungan yang biasanya merujuk kepada Karl Barth dan C. Barth yang justru melawan Liberalisme. Secara sosiologis, barangkali dia lebih tepat disebut sebagai penganut Neo Ortodoksi. Lebih menyulitkan lagi, seorang Pendeta senior emeritus memberi informasi kepada penulis, bahwa tuduhan itu ditujukan kepada ajaran dalam tubuh Gereja dan bukan kepada pribadi Pendeta atau tokoh tertentu.

Menurut sosiologi, kita pada garis besarnya dapat membedakan dua proses sosial, yaitu proses konjungtif yang bersifat mempersatukan, dan proses disjungtif yang semakin menjauhkan orang satu sama lain serta menjadikannya kurang bersetia kawan (solider). Proses konjungtif ialah kerjasama, akomodasi dan asimilasi, sedangkan proses disjungtif ialah kompetisi, kontravensi dan konflik.

Dengan kompetisi dimaksudkan suatu proses sosial yang di dalamnya dua orang atau lebih berjuang untuk mendapatkan sasaran yang sama. Sedangkan konflik berarti suatu proses sosial yang di dalamnya dua orang atau lebih berusaha menggeser satu sama lain, baik dengan melenyapkannya atau menjadikannya tidak berdaya.

Jika keluhan yang disebut "Liberal," bahwa banyak warga Jemaatnya yang di"ajari" untuk mengkritik ajaran Gerejanya dan Pengerjanya itu memang benar, maka barangkali perlu suatu penjernihan. Jika Gereja merasa seperti seorang Bapak yang kadang-kadang kecewa karena akan menyuruh anaknya ternyata anaknya tidak di rumah, barangkali Bapak perlu bertanya, mengapa anak-anak tidak kerasan di rumah.

Berdasarkan pengertian konflik di atas, gejala saling memberi cap, yang dicap "Liberal" membalas pihak lainnya "Fundamentalis," dapat dikatakan suatu gejala konflik. Suatu konflik yang dimulai dengan kompetisi untuk "memenangkan jiwa bagi Kristus" menurut pemahaman terhadap Alkitab secara berbeda. Karena jiwa yang hendak dimenangkan itu jumlahnya hanya "sedikit," maka kompetisi meningkat dan menjurus kepada usaha mendesak pihak lain hilang dari peredaran (out of circulation, out of business). Jumlahnya "sedikit" karena mereka itu sudah Kristen. Sebenarnya jika kita lebih mau menengok ke luar, masih banyak, ya begitu banyak orang yang....... Baik sehingga tak akan habis digarap seumur hidup kita. baik mereka itu pengusaha dan mahasiswa di kota, maupun para petani dan pekerja di desa terutama di pantai selatan Jawa, dari Ujung Kulon sampai Semenanjung Blambangan.

 PERBEDAAN PERSEPSI?

Seorang yang pernah "goncang iman" sewaktu duduk di bangku kuliah karena ajaran seorang doktor teologia "Liberal," namun sekarang telah "bertobat," dengan nada damai dan bernafas Kristen mengatakan: "Mengapa kita tidak berani mengakui andil kesalahan kita dalam perselisihan ini dan meminta maaf?" (Susabda, Yakub B., 1989:13).

Menurut informasi terbatas yang penulis terima, perbedaan pandangan yang tajam antara yang menamakan dirinya "Injili" (Evangelical) dan yang disebut "Liberal" (atau kadang-kadang disebut Ecumenical) lebih tepat disebut perbedaan persepsi antara dua orang tokoh atau beberapa orang tokoh yang pada dasarnya bermaksud baik, tetapi berbeda persepsi, sehingga akhirnya terjebak dalam sikap "ngeyel".

Seorang Pendeta yang dekat dengan penulis, mengatakan pertikaian kata yang keras itu berakar dari penolakan tegas salah satu tokoh yang bertikai terhadap konsep "orientasi khas" yang akan diterapkan di Gereja yang bersangkutan yang diajukan oleh tokoh lainnya. Tampaknya, yang menolak konsep itu ingin orientasi yang lebih mem"pribumi" (go native) daripada yang mengajukannya yang masih ingin memberi peluang kepada perbedaan budaya dan media ekspresi iman. Setahu saya tokoh yang menolak orientasi khas tersebut juga tidak mengingkari asal-usul eksistensi dirinya dan marjinalitas dirinya dalam konteks pluralisme Indonesia, tetapi dia ingin mengatakan "di sinilah bumi tempat aku berpijak, di sinilah langit yang aku junjung." Jadi, yang diinginkannya adalah menjadi realitas dan futuristis dalam bersikap di tanah "Perjanjian" yang baru ini.

Pandangan kelompok "Injili" dapat dipahami dan perlu dicarikan jalan keluarnya. Misalnya, jika salah satu bahasa dari Timur Tengah bisa dipertahankan bahkan dikembangkan di Indonesia, mengapa salah satu bahasa Timur Jauh tidak boleh digunakan? Nah, di sini kita perlu realisme. Penulis berpendapat lebih baik kita mengintensifkan pengajaran bahasa Yunani dan Ibrani di sekolah-sekolah teologia kita, supaya - untuk meminjam istilah Prof. Latuihamallo, sang guru, embahnya guru para calon pendeta khotbah para Pendeta lebih kaya, berbobot dan berwarna-warni.

Orang luar kadang-kadang menggambarkan adanya perbedaan yang tajam antara sekolah tinggi teologia di ibu kota dengan yang di kota lain dalam dikotomi Liberal dan Injili. Akan tetapi, jika dilihat bahwa ada juga dosen yang "Injili" di sekolah yang dicap "Liberal" dan sebaliknya ada dosen yang relatif "Liberal" di sekolah yang dicap "Injili", maka penggambaran itu tidak tepat. Mungkin ini lebih menyangkut gaya manajemen dan kepemimpinan masing-masing sekolah teologia, ada yang menerapkan disiplin keras terhadap pelanggaran etis di lingkungannya, ada yang menekankan pengampunan dan rehabilitasi. Masalah lain ialah masalah penempatan lulusan; jadi di sini faktor ekonomi dan sosial ikut berbicara.

Penulis cenderung menduga bahwa dewasa ini orang Kristen di Indonesia ini kelebihan energi, tetapi tidak tahu mau disalurkan ke mana, akhirnya asyik bertengkar sendiri. Agaknya kita merasa tantangan di luar begitu kuat dan mengecilkan hati kita sehingga kita tidak memberikan tanggapan yang tepat.

 FILSUF DAN TEOLOG IKUT REMBUGAN

Voltaire, seorang filsuf Zaman Pencerahan memberi peringatan:

Apakah sebatang alang-alang yang rendah di lumpur ditiup angin akan berkata kepada teman sesama alang-alang yang jatuh berlawanan arah, "Merangkaklah sebagaimana aku merangkak; hai orang hina, ataukah aku akan membuat petisi supaya kamu dicabut sampai akar-akarmu dan dibakar!" (Snyder, L., 1962:146).

Jika direnungkan agaknya ucapan H. Richard Niebuhr dapat diterapkan kepada kita semua. Ia mengatakan

But the mass of the varkers remains untouched; there is no effective religious movement among the disinherited today; as a result they are simply outside the pale of organized Christianity. Yet without the spontaneous movement from below, all efforts to repnstinate the ethical enthusiasm of the early church and to reawaken the Messianic hope are unavailing (1929:7b).

Secara bebas ucapan itu dapat dialihbahasakan sebagai berikut:

Akan tetapi massa pekerja tetap tak tersentuh; dewasa ini tak ada gerakan keagamaan yang efektif di kalangan orang miskin, sebagai akibatnya mereka di luar batas Kekristenan. Akan tetapi, tanpa gerakan spontan dari bawah, semua usaha untuk mempersatukan kembali entusiasme atau gairah gereja awal dan kebangkitan kembali harapan Mesianis akan sia-sia saja.

Tentu, kita tidak memejamkan mata terhadap usaha-usaha Tetua (Tua-tua khusus) S.S. Jimmy, S.Th. yang bergerak di antara Wong cilik. Akan tetapi kendalanya seharusnya berpuluh kali lipat. Dia bertolak dari gereja tradisional, liberal, ekumenikal dan mungkin juga suam serta entah nama apa lagi, tetapi saya yakin beliau didukung banyak pihak termasuk yang Injili.

 BAGAIMANA PANDANGAN PENULIS?

Agaknya kita dapat mencontoh teladan yang diberikan oleh Southern Baptist Convention yang terkenal konservatif itu dan telah melahirkan tokoh seperti Billy Graham. SBC juga terpecah dalam kubu "Fundamentalis dan Moderat." Dalam suatu sidang raya pada tahun 1985 mereka melakukan pemungutan suara untuk memilih pemimpin tertingginya (President). Charles Stanley seorang "Fundamentalis" memperoleh 55,3% suara, ia mengalahkan lawannya Winfrid Moore. Meskipun demikian, dalam semangat perdamaian Kristen, Moore diangkat sebagai Wakil Ketua Pertama/Wakil Presiden Pertama (First Vice President).

Sebagai orang awam yang merasa terlibat dan prihatin terhadap kehidupan Kekristenan, penulis ingin mengemukakan pendapat pribadi, bukan pendapat Gereja tempat saya menjadi anggotanya. Menurut pendapat saya, kehidupan kita ialah suatu marturia (kesaksian), kesaksian itu tampak dalam persekutuan (koinonia), pemberitaan (kerugma) dan pelayanan (diakonia) kita. Kegiatan Gereja ialah kegiatan yang mencari yang hilang, yang membentuk manusia seutuhnya dalam syalom Allah, jadi bukan terutama menyelamatkan organisasi.

Inti agama Kristen dilambangkan dalam cerita tentang gembala yang baik. Seyogyanya keprihatinan kita terhadap dosa-dosa pribadi harus diperluas dengan keprihatinan kita terhadap dosa-dosa karena struktur masyarakat dan usaha menanggulanginya. Barangkali karya Walter Rauschenbusch, Social Gospel, perlu kita pelajari. Kita tertinggal hampir 100 tahun di bidang ini. Dengan kata lain, suara kenabian pedu diarahkan juga ke luar di samping ke dalam. Awam mengharapkan janganlah sampai sinyalemen bahwa "Tiada rasa iri yang lebih besar daripada rasa iri di antara para rohaniwan" menjadi kenyataan. Orang Kristen seyogyanya saling mengakui masing-masing sebagai: ya sanak, ya kadhang, yen mati aku sing kelangan (ya sanak, ya saudara, kalau mati, aku yang kehilangan).

Berbeda dari saudara kita dari agama dan kepercayaan lain, kita belum mempunyai tokoh nasional yang relatif diterima umum oleh umat Kristen di seluruh Indonesia. Di luar tokoh di Jakarta, tokoh di daerah (Yogya, Salatiga, Menado, Medan, Pematang Siantar) kurang "manggung". Agaknya tokoh daerah tersebut perlu diberi kesempatan atau "mencari kesempatan" untuk "angkat bicara."

Menurut pengamatan penulis, hal ini karena tokoh-tokoh yang mempunyai komitmen sosial politik terlalu terpaku di Jakarta, sehingga ide-ide mereka tidak dikenal secara jelas dan pribadi. Padahal, seorang pemimpin dituntut mengenal medan dan yang dipimpin. (Aku mengenal domba-dombaku, dan mereka mengenal Aku). Universitas Kristen Maranatha di Bandung dekat dengan Jakarta, tetapi jarang dikunjungi oleh para tokoh awam atau rohaniwan Kristen yang berwawasan nasional. Oleh karena itu para mahasiswanya relatif kurang mengenal tokoh-tokoh itu.

Dalam masyarakat majemuk seperti Indonesia, berbagai jenis pemimpin dibutuhkan. Baik mereka yang berbakat di bidang penginjilan pribadi dan massal maupun yang berbakat menggembalakan dan bergelut dengan masalah sosial, politik dan ekonomi. Kita ambil contoh kongkret, kesulitan bereksistensi bagi sekolah-sekolah Kristen di daerah tentu lebih efektif ditangani secara pendekatan sosial politik di tingkat daerah dan pusat, daripada dengan doa saja. Sebaliknya para jiwa yang menderita di rumah-rumah sakit tentu lebih terhibur dengan doa dan penghiburan daripada dengan pidato politik.

Dalam hubungan pembicaraan kita, peringatan Yesus Kristus dalam Lukas 6:37-42 menjadi sangat relevan. Demikian juga halnya Yakobus 3:1-12, khususnya ayat yang berbunyi:

Dengan lidah kita memuji Tuhan, Bapa kita; dan dengan lidah kita mengutuk manusia yang diciptakan menurut rupa Allah, dari mulut yang satu keluar berkat dan kutuk (ay. 10-11).

Perlu kiranya kita berusaha agar yang bervisi nasional jauh ke depan jangan bertindak terlalu cepat sebelum berkonsultasi, sedangkan yang masih ragu-ragu jangan terlalu lama hidup dalam kebimbangan. Demi anak cucu dan pembangunan bangsa Indonesia yang besar, kita perlu berkorban, ya bahkan mengorbankan sesuatu yang sangat kita cintai (adat istiadat, bahasa). Bukankah padi akan tumbuh bila ada benih jatuh dan hancur?

Jika di"voting"", barangkali 99,9% jemaat akan minta kontroversi "Injili" versus "liberal" dihentikan dan digantikan dengan khotbah KKR yang penuh damai, sekolah yang bermutu, kunjungan Pendeta yang penuh sentuhan manusiawi, pelayanan terhadap janda, yatim piatu, orang sakit, upah yang memadai untuk pekerja pabrik, toko maupun gereja.

 DAFTAR PUSTAKA

Budiman, M. S., "Tanggapan Atas Analisis dan Refleksi Sekitar Menguatnya Friksi dan Polarisasi di GKI Jabar," (Bahan yang tidak diterbitkan, 1990).

Darmaputera, E., "Kita Harus Menentukan di Mana Kita Berdiri," (Bahan yang tidak diterbitkan, 1989).

Fichter, J. H., Sociology. Chicago: The University of Chicago Press, 1957.

Niebuhr, H. R., The Social Sources of Denominationalism. New York: Meridian, 1960.

Ostling, R. N. & Leavitt, B., "Battling over the Bible, At a huge Southern Baptist Assembly, Fundamentalists win big," Time (June 24, 1935).

Susabda, Y. B., "Perselisihan di Antara Hamba-Hamba Tuhan," Momentum 7 (Desember 1989).

Snyder, L. L., Abad Pemikiran (terjemahan N. S. Pendit dari buku The Age of Reason), Jakarta: Bhratara, 1962.

Tong, S., "Teologi Penginjilan", Momentum 7 (Desember 1989).



TIP #27: Arahkan mouse pada tautan ayat untuk menampilkan teks ayat dalam popup. [SEMUA]
dibuat dalam 0.03 detik
dipersembahkan oleh YLSA