Resource > Jurnal Pelita Zaman >  Volume 7 No. 1 Tahun 1992 > 
SEJARAH DAN TINJAUAN KRITIS TERHADAP TEORI KENOSIS 
Penulis: Hendra G. Mulia194

Pada pertengahan abad 19, muncul sebuah teori Kristologi yang baru, yang dikenal dengan nama Teori Kenosis. Teori itu mendapatkan namanya dari istilah 'kenosis' yang kata kerjanya dipakai oleh Paulus dalam Filipi 2:7 ('mengosongkan diriNya'; Gk. (heauton ekenosen). Menurut ayat tersebut, Yesus mengosongkan diri dalam inkarnasiNya dan mengambil rupa seorang hamba.

Usaha untuk mengerti secara intelektual hakekat diri Yesus, yang sekaligus adalah Allah dan manusia, merupakan suatu problema yang terus menerus menjadi agenda dalam teologia Kristen. Berakar dari pengertian bahwa manusia Yesus adalah Tuhan, Gereja di sepanjang abad berusaha memberi rumusan intelektual yang dapat menjelaskan masalah ini. Pada tahun 451 AD, dalam Konsili Chalcedon, Gereja merumuskan pengertian pribadi Kristus, "yang terdiri dari dua natur, ilahi dan manusiawi." Kedua natur ini tidak berubah, tidak terbagi, tidak terpisahkan, dan tidak bercampur. Rumusan ini tentu belum dapat memberi jawab yang jelas bagaimana sebenarnya pribadi Kristus itu.

Penganut teori Kenosis berusaha untuk menyelesaikan masalah keilahian dan kemanusiaan dalam diri Tuhan Yesus. Umumnya teori Kenosis dipegang oleh tokoh-tokoh teologia dari kalangan Lutheran, sekalipun ada juga teolog-teolog Reformasi yang menganut teori ini.192 Dalam teologia Lutheran, kesatuan dari pribadi Kristus dalam inkarnasiNya memang dipertahankan, tapi realitas kemanusiaan Yesus dalam pribadi Kristus tidak terlalu jelas dikemukakan. Itu sebabnya, teori Kenosis berusaha untuk memberi penekanan mengenai kemanusiaan Yesus. Teori ini juga populer dalam kalangan teolog yang tergabung dalam "the historical Jesus" movement, karena dengan teori Kenosis ini mereka dengan mudah dapat menghilangkan sifat ilahi dari manusia Yesus.193

 PERKEMBANGAN TEORI KENOSIS DARI WAKTU KE WAKTU

Bapa-bapa Gereja awal, seperti Origen, Athanasius, Gregory dari Nyssa, Cyril dari Alexandria, dan Augustine, ada menyinggung konsep pengosongan diri Kristus ini. Tetapi konsep kenosis mereka tidak mempengaruhi doktrin Kristologi. Mengikuti Filipi 2:7, mereka memang mengemukakan bahwa Logos menjadi manusia melalui tindakan pengosongan diri. Tapi hal itu dilakukan bukan dengan jalan melepaskan hakekat dan sifat-sifat keallahanNya.195

Perkembangan modern dari teori kenosis dapat dikatakan dipelopori oleh Zinzendorf, seorang tokoh Moravia. Dalam keinginannya untuk menjelaskan bagaimana Allah menjadi manusia, Zinzendorf mengemukakan bahwa Kristus, sewaktu Ia dikandung dalam rahim ibuNya, meninggalkan keilahianNya. S. Cave melihat apa yang dikatakan oleh Zinzendorf belum merupakan suatu pernyataan yang bersifat teologis. Cave berpendapat bahwa pernyataan Zinzendorf hanyalah merupakan suatu ekspresi kekaguman akan kebesaran Allah dalam peristiwa inkarnasi Kristus.196

Teori Kenosis ini baru mendapat ekspresi teologisnya melalui tulisan dari Sartorius, pada tabun 1831. Ia melihat, dalam inkarnasi Kristus, kasih Allah yang begitu besar. Sedemikian besarnya kasih Allah sampai Ia rela menyangkal diriNya sedemikian rupa untuk menjadi manusia dan bahkan mengambil rupa seorang hamba. Sartorius sendiri tidak menjelaskan bagaimana penyangkalan diri Allah itu terjadi dalam inkarnasi Kristus.

Penjelasan sistematis dan teologis dari Teori Kenosis ini baru muncul pada tahun 1845 dalam artikel-artikel yang ditulis oleh Gottfried Thomasius (1802-1875). Pandangan lengkap Thomasius dapat dibaca dalam dua jilid pertama bukunya, Christ's Person and Work: A Presentation of Evangelical Lutheran Dogmatics from the Central Point of Christology.197 Thomasius, menuruti pembagian Martin Chemnitz, seorang teolog Lutheran ortodoks, membagi sifat atau atribut dari Allah Anak menjadi dua bagian, sifat relasional dan imanen. Menurut Thomasius, dalam inkarnasiNya, Allah Anak melepaskan sifat relatifNya (relative attributes), yang mengkarakteristikkan relasiNya dengan dunia ini, yakni kemahakuasaan (omnipotent), kemahatahuan (omniscience), dan kemahaadaanNya (omnipresence). Namun, pada waktu Ia berinkarnasi, Allah Anak tetap mempertahankan sifat imanenNya yang absolut dan esensial, yakni kesucian, kuasa, kebenaran dan kasihNya. Bagi Thomasius, sifat imanen inilah yang menjadikan Allah sebagai Allah. Sifat relatif Allah bukan merupakan bagian yang esensial karena itu hanya merupakan ekspresi yang Allah tunjukkan dalam relasiNya dengan dunia ini. Oleh karena itu, Allah dapat secara bebas mengosongkan sifat relatifNya untuk menjalankan rencana inkarnasiNya.

Dengan pembagian sifat Allah secara demikian, Thomasius merasa bahwa ia telah menyelesaikan persoalan inkarnasi. Keallahan Kristus tetap terpelihara dengan tetap dipertahankannya sifat absolut Allah Anak. Tapi karena Ia tidak mahaada, mahatahu dan mahakuasa, maka kemanusiaan Yesus dapat dijelaskan dengan baik. Bagi Thomasius, keallahan Kristus bukan nampak dalam ketidakberubahanNya, tapi justru dalam kemampuanNya untuk berubah.

Pendapat Thomasius ini dikritik oleh I.A. Dorner (1809-1884). Menurut Dorner, Thomasius dalam usahanya menjelaskan Kristologi justru melupakan doktrin Allah Tritunggal. Keabsolutan Allah Tritunggal berakar pada kenyataan bahwa setiap Pribadi secara bersama-sama mempertahankan sifat-sifatNya. Kesatuan Allah Tritunggal akan membuat ketiga Pribadi Allah itu tidak dapat dipisahkan. Sehingga pembatasan diri pada Allah Anak akan menyebabkan pembatasan pada Pribadi Allah Bapa dan Allah Roh Kudus.

Mereka yang memegang doktrin Allah tradisional juga tidak dapat menerima teori kenosis Thomasius. Menurut mereka, tidak ada sifat Allah yang tidak penting. Pribadi Allah merupakan suatu kesatuan yang utuh, yang tidak mungkin dipecah-pecahkan menjadi bagian yang penting (esensial) dan tidak penting (non esensial).

Masalah lain yang ditinggalkan oleh teori kenosis Thomasius adalah: Bagaimana dengan pekerjaan Allah Anak yang menunjang alam semesta ini dengan kekuatanNya? Apakah selama Ia berinkarnasi jabatan dan pekerjaan ini dibiarkan kosong?198 Wolfgang Friedrich Gess (1819-1891) mencoba menyelesaikan masalah doktrin Allah Tritunggal yang tidak bisa diselesaikan oleh teori kenosis Thomasius. Gess mengemukakan bahwa sewaktu Allah Anak mengosongkan diriNya, tugas untuk memelihara dan menunjang dunia ini diserahkan kepada Allah Roh Kudus. Tentu saja spekulasi teologis Gess tidak dapat menyelesaikan masalah Thomasius. Justru dengan spekulasi Gess ini orang dapat melihat ketidakcocokan teori kenosis dengan doktrin Allah Tritunggal.

J.H. August Ebrard, seorang teolog Reformasi di Zurich, tetap mencoba mendamaikan teori kenosis dengan doktrin Allah Tritunggal. Ebrard mengusahakan untuk mempertahankan kesatuan dan keabsolutan Allah Tritunggal. Oleh karena itu, tidak seperti Thomasius, Ebrard tidak membagi sifat-sifat Allah. Ebrard melihat kenosis sebagai suatu inisiatif Allah yang mentransformasikan sifat AllahNya ke dalam suatu bentuk yang kompatibel dengan hakekat manusia. Dalam transformasi tersebut, Logos itu menyesuaikan atributNya dari bentuk kekal (eternal form) menjadi bentuk waktu (time form) yang dapat mencocoki kehidupan seorang manusia penuh. Jadi dalam kenosis bukan berarti Allah Anak kehilangan beberapa atribut ilahiNya, tetapi hanya memberi bentuk yang baru untuk atribut-atribut tersebut.

Sampai di sini Ebrard memberi penjelasan yang masih lebih baik ketimbang teori spekulatif Gess. Namun, pertanyaan bagaimana Allah Anak dapat tetap menunjang alam semesta ini tetap tidak terselesaikan. Ebrard sendiri mencoba menyelesaikan dengan menyatakan bahwa Allah Anak tetap menunjang alam semesta ini dalam Logos yang berinkarnasi, tetapi dalam kesadaran yang berbeda. Dengan perkataan lain, Yesus sendiri tidak menyadari bahwa pada saat yang bersamaan Allah Anak yang ada dalam diriNya juga menunjang alam semesta ini dengan kekuatanNya.

Doktrin kenosis yang nampaknya "dapat" memberi penyelesaian mengenai bagaimana Kristus berinkarnasi ini juga mendapat sambutan di Inggris. Di antara mereka antara lain D.W. Forrest dan Fairbairn, tokoh-tokoh dari Free Church, dan Ch. Gore dan R.L. Ottley dari Gereja Anglikan. Forrest menerima pendapat bahwa keilahian Kristus dibatasi oleh Kristus sendiri, dan Kristus membatasi diriNya sedemikian rupa, sampai pada tahap keterbatasan dan kondisi seorang manusia.

Tidak jauh dari pandangan Forrest, Gore mengikuti pandangan Bishop Martensen dari Denmark, juga melihat kenosis di mana Anak Allah yang berinkarnasi ke dalam dunia mengkondisikan diriNya dalam keadaan manusia. Kristus tetap merupakan Pribadi Allah Tritunggal yang kedua, yang tetap menunjang dunia ini sebagai Pencipta dan Pemelihara, tetapi sekaligus Ia juga berinkarnasi sebagai Logos yang mengosongkan diri. Kedua kesadaran eksistensiNya itu tidak saling berhubungan, sehingga Yesus hanya mengetahui bahwa diriNya adalah Allah tanpa membawa kehidupan Tri tunggalNya ke dalam dunia.

Berbeda dengan Ebrard, Gore tidak membagi kesadaran Yesus menjadi dua bagian sadar (conscious) dan tidak sadar (unconscious). Gore melihat kehidupan Allah yang berinkarnasi hanya merupakan bagian penuh dari kegiatan Pribadi kedua dari Allah Tritunggal. Jadi dapat dikatakan bahwa Allah Anak secara sekaligus mempunyai dua kehidupan secara bersamaan: Pertama, kehidupan yang tak terbatas sebagai Penguasa dunia ini, dan kedua, kehidupan terbatas dalam inkarnasiNya ke dalam dunia. Gore sendiri tidak berminat untuk menjelaskan bagaimana hubungan antara dua kehidupan itu dalam pribadi Allah Anak.

 TINJAUAN TEOLOGIS TERHADAP TEORI KENOSIS

Dari paparan di atas kita dapat dengan segera melihat bahwa teori kenosis itu sendiri tidak dapat menyelesaikan dengan baik kaitannya dengan doktrin Allah Tritunggal. Spekulasi teologis teori kenosis Gess, misalnya, ternyata merusak prinsip kesatuan Allah dalam doktrin Tritunggal (opera Trinitatis ad extra sunt indivisa).

Bila mereka mau mempertahankan doktrin Allah tradisional, mereka harus kembali mengubah penjelasan dari apa yang dimaksudkan dengan kenosis itu. Ebrard dan Gore termasuk dalam tokoh-tokoh yang mencoba mereformulasikan teori kenosis. Penjelasan yang mereka berikan mungkin dapat menerangkan sifat kemanusiaan Yesus dalam inkarnasiNya tanpa merusak doktrin Tritunggal. Namun, penjelasan yang satu menimbulkan pertanyaan misteri dalam hal yang lain. Gore, misalnya, akhirnya meninggalkan satu pertanyaan yang tak terjawab mengenai hubungan antara kehidupan Logos sebagai Penunjang alam semesta dan Logos yang berinkarnasi. Dengan tidak terjawabnya pertanyaan ini oleh teori kenosis, maka teori itu telah mempengaruhi doktrin imutabilitas (tidak dapat berubahnya) Allah.

Usaha teori kenosis mereformulasi doktrin dwi natur pribadi Kristus juga merusak rumusan Kristologis yang telah ditetapkan dalam Konsili Chalcedon. Kristus seperti dikemukakan dalam Alkitab adalah Kristus yang sungguh-sungguh Allah, dan sekaligus juga sungguh-sungguh manusia (unus Christus, vere Deus et vere homo). Padahal Kristus yang dikemukakan dalam teori kenosis adalah Kristus yang keallahanNya telah dikorting, bila bukan sama sekali dihilangkan.

Dalam usahanya untuk memberi penekanan pada natur kemanusiaan dalam diri Yesus, teori kenosis bukan memberi penjelasan mengenai doktrin Inkarnasi, tetapi, seperti dikatakan oleh Baillie, teori kenosis hanya menyuguhkan teori teofani temporer, di mana Allah menjadi manusia untuk sementara waktu. Allah meninggalkan keallahanNya untuk menjadi manusia, dan pada waktu menjadi manusia ia berhenti untuk sementara sebagai Allah.199

Sampai di sini kita melihat bahwa pilihan bagi teori kenosis adalah meninggalkan doktrin historis Allah Tritunggal atau merusakkan doktrin Kristologi. Karl Barth melihat dengan jelas kegagalan teori kenosis pada masa lalu. Satu-satunya jalan kalau teori kenosis mau dipertahankan adalah dengan cara meninggalkan doktrin Allah tradisional. Dan pilihan inilah yang diambil oleh Barth dengan mengemukakan bahwa Allah bukanlah Allah yang tidak dapat berubah, seperti diperkirakan oleh kebanyakan orang. Namun, mengubah sesuatu yang telah jelas dan menggantikannya dengan suatu teori yang kurang jelas, mungkin merupakan harga yang terlalu mahal untuk kita bayarkan!

 MAKNA KENOSIS DALAM FILIPI 2:7

Titik terpenting dalam persoalan teori kenosis ini tentunya adalah apa yang dimaksudkan Paulus dengan istilah kenoo ("mengosongkan diri") dalam Filipi 2:7. Untuk dapat melihat dengan jelas makna kenoo ada baiknya kalau kita mengutip Filipi 2:6-8:

(Kristus Yesus), yang walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diriNya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia. Dan dalam keadaan sebagai manusia, Ia telah merendahkan diriNya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib."

"Mengosongkan diri"(kenoo) digunakan dalam arti: 1) mengosongkan; 2) menghapuskan, membuat tidak berpengaruh (make of no effect); atau 3) kehilangan pembenaran-(nya).200 Persoalan dalam ayat ini adalah: Apa yang dikosongkan oleh Kristus dalam inkarnasiNya? Teori kenosis dengan segera akan menunjuk pada keallahan Kristus, yakni yang disebutkan dalam ayat 6, "rupa Allah" atau "kesetaraan dengan Allah." Karena itu, perlu bagi kita untuk mengerti arti "rupa Allah" (morphe theou) dalam ayat ini.

Carmen Christi atau Hymne Kristus ini (ay. 6-11) berkaitan erat dengan ayat-ayat sebelumnya (ay. 1-5), yang menasehatkan jemaat Filipi agar mereka bisa bersikap rendah hati. Sikap rendah hati Kristus dalam ayat-ayat berikut (6-11) menjadi contoh yang jelas untuk mereka teladani dalam kehidupan mereka sehari-hari. Kebanyakan penafsir terlalu menekankan penafsiran ayat 6-11 secara Kristologis. Tanpa membuat polarisasi antara penafsiran secara teologis atau etis, ada baiknya untuk juga melihat dimensi etis dalam ayat 6-11.

Dalam ayat 6 dikatakan Yesus "dalam rupa Allah" (en morphe theou) yang tentunya menunjuk pada keberadaan Yesus dalam prainkarnasiNya. Kata en ('dalam') menunjukkan bahwa Kristus ada di dalam rupa Allah. Seolah-olah Kristus dibungkus dalam rupa Allah, atau rupa Allah menjadi lingkungan di mana Kristus berdiam.

Kata morphe merupakan kata yang sukar untuk dimengerti. Para penafsir berbeda pendapat dalam mengartikan kata ini. G. F. Hawthorne, dalam kesimpulannya setelah mengemukakan pendapat berbagai penafsir~ mengatakan bahwa harus diakui arti kata morphe ini sukar untuk dipahami.201 Setuju dengan pendapat Hawthorne, M. Silva menulis: "morphe dikarakteristikkan oleh ekstensi semantik."202

Pada prinsipnya, ada tiga pendapat dalam penafsiran kata morphe. J. B. Lightfoot mengkontraskan antara morphe (ay. 2:6) dan schema (ay. 2:8). Morphe, dalam latar belakang filsafat Yunani, menunjuk pada esensi atau karakteristik yang ada di dalam; sedang schema menunjuk pada sesuatu yang dapat berubah-ubah, yang terlihat dari luar.203 Lightfoot sendiri tidak mengidentikkan kata morphe dengan phusis atau ousia, namun "dalam rupa Allah" berarti mengambil bagian dalam esensi ilahi Allah. Mengikuti kesimpulan Lightfoot, J. J. Muller mengatakan bahwa en morphe theou bukan berarti esensi atau keberadaan Allah yang abstrak, dan juga bukan semata-mata bentuk atau penampakan eksternal Allah, tapi betul-betul menunjuk pada arti natur ilahi, yang tak terpisahkan dari pribadi itu sendiri.204

Kalau Lightfoot melihat arti morphe dari latar belakang penggunaannya dalam filsafat Yunani, maka E. Kasemann melihatnya dari latar belakang agama Helenistik. Menurut Kasemann, morphe menunjuk pada modus keberadaan (a mode of being).205 Jadi, Kristus dalam prainkarnasiNya bukan saja berada "dalam rupa Allah," tapi ada dalam modus keberadaan Allah yang ilahi.

Tafsiran ketiga adalah seperti yang dikemukakan oleh R. P. Martin.206 Setelah ia menyelidiki penggunaan morphe, dengan latar belakang LXX, Martin menyimpulkan bahwa morphe theou dapat dilihat sebagai kata yang ekuivalen dengan eikon (image, gambar/rupa) dan doxa (glory, kemuliaan) Allah. Yesus dalam prainkarnasiNya berada dalam rupa (eikon) Allah dan merefleksikan kemuliaan (doxa) Allah. Martin juga setuju dengan adanya motif Adam pertama Adam kedua dalam ayat ini. Sebagai Adam kedua, Yesus merefleksikan kemuliaan Allah, dibandingkan dengan Adam pertama yang gagal dalam hal ini.

Bila kita lihat paralel antitetis antara "rupa seorang hamba" dengan "rupa Allah," maka arti morphe harus dapat diterapkan dalam paralel tersebut. Sekalipun penyelidikan Martin nampak cukup meyakinkan, namun agak sukar untuk menerapkan arti eikon dan doxa dalam istilah "rupa seorang hamba." Tafsiran Kasemann memang dapat cocok dengan konteks dan dapat diterapkan dalam paralelisme, namun tafsiran tersebut banyak mendapat sanggahan karena terlalu bergantung pada mitos Gnostik, the "Heavenly Man."207

Hawthorne dan Silva menyetujui pendapat Lightfoot, yang mereka anggap merupakan pendekatan arti yang lebih cocok dibandingkan dengan yang lain.208 Namun, bila kita menuruti pendapat Lightfoot, kita akan menemui kesukaran untuk menjelaskan bagaimana Kristus mengosongkan diri atau membuat esensi keallahanNya menjadi tidak memberi efek apa-apa.

J. Behm, berdasarkan penggunaan kata morphe dalam literatur Yunani klasik, memberi arti morphe Sebagai "sesuatu yang dapat ditangkap/dimengerti melalui indera."209 Memang, seperti dikatakan oleh Hawthorne, sulit untuk mengenakan arti kata ini pada Allah yang tidak dapat ditangkap melalui indera kits, karena Allah tidak kelihatan. Tapi patut kita ingat bahwa Paulus tidak bermaksud membeberkan suatu doktrin ontologi Kristus. Karena itu, tidak perlu kita mengenakan arti kata morphe terlalu tepat dalam arti filosofisnya.

Bila demikian halnya, maka arti kata morphe akan kita rekonstruksikan sebagai Allah sebagaimana dimengerti oleh kita sebagai manusia. Kita tidak perlu membuang pendapat-pendapat yang telah ada mengenai arti kata morpheini. Bahkan, penyelidikan mereka akan menolong kita untuk dapat lebih mengerti ayat ini, karena persepsi kita akan Allah akan lebih diperjelas oleh pendapat mereka. Seperti yang dikemukakan oleh Kasemann, Kristus dalam "rupa Allah" sejajar dengan ide "kesetaraan dengan Allah."210 Maka Kristus yang ada dalam rupa Allah, kita persepsikan sebagai Ada yang mempunyai atribut esensi yang sama dengan Allah. Sebagai Allah, tentunya Kristus memancarkan kemuliaan Allah, karena kemuliaanNya tidak dapat terpisahkan dari pribadiNya.

Kenosis Kristus adalah dengan "mengambil rupa seorang hamba" dan "menjadi sama dengan manusia. Paulus tidak menyebutkan bahwa Kristus meninggalkan atribut ilahiNya atau hakekat keallahanNya. Yang dikemukakan Paulus dalam ayat ini adalah suatu paradoks ilahi, Kristus yang adalah Allah rela untuk menjadi manusia dan mengambil rupa seorang hamba.211 Mengatakan bahwa menurut ayat ini Yesus meninggalkan atribut ilahiNya, seperti yang dikatakan oleh para penganut teori Kenosis, mungkin terlalu memaksakan arti yang Paulus sendiri tidak maksudkan.212 Dalam bagian ayat-ayat ini, Paulus menggunakan bahasa puitis untuk melukiskan kerendahan hati Tuhan Yesus untuk diteladani oleh jemaat Filipi dan bukan memberikan suatu penjelasan ontologis yang terjadi dalam inkarnasi Kristus. Sekalipun demikian, dapat kita simpulkan, meski bagian ayat ini tidak bermaksud secara ketat mengajar doktrin dwi natur Kristus, namun ayat-ayat ini tidak bertentangan dengan formulasi Kristologi Gereja pada abad keempat, seperti yang kita mengerti pada masa ini.

 KESIMPULAN

Motivasi teori kenosis adalah untuk mencari pegangan bagi penekanan satu sisi dari dwi natur Kristus, yakni segi kemanusiaan Yesus. Teori kenosis tidak menyelesaikan persoalan bagaimana sebenarnya pengertian dwi natur Kristus dalam inkarnasiNya. Ketimbang menyelesaikan persoalan tersebut, teori kenosis malah membuat problema baru, yakni dalam doktrin ketritunggalan Allah. Teori kenosis itu sendiri sukar dipertahankan baik dari segi teologis maupun dari sudut dukungan Alkitab. Karena itu, kita tetap memegang rumusan Konsili Chalcedon: unus Christus, vere Deus et vere homo. Dwi natur pribadi Kristus ini mungkin tetap merupakan misteri bagi teologia, namun justru hal ini bisa menguatkan kita bahwa Allah yang kita punyai memang melampaui kemampuan akal manusia untuk dapat dimengerti, ketimbang kita mempunyai konsep Allah yang berada di bawah rasio manusia.



TIP #16: Tampilan Pasal untuk mengeksplorasi pasal; Tampilan Ayat untuk menganalisa ayat; Multi Ayat/Kutipan untuk menampilkan daftar ayat. [SEMUA]
dibuat dalam 0.03 detik
dipersembahkan oleh YLSA