Bagi masyarakat sipil, posisi rakyat teramat sentral dalam menentukan kepentingannya dalam kehidupan bernegara. Menurut Abdurahman Wahid, pihak yang harus menentukan kepentingan rakyat adalah rakyat sendiri, bukan yang lain. Pemberian peluang kepada warga negara untuk berpartisipasi secara benar dalam kehidupan bernegara, merupakan sesuatu yang esensial, tidak bisa ditinggalkan lagi dan tidak bisa diserahkan kepada raja, khalifah atau kepada siapa pun kecuali kepada rakyat itu sendiri.1700
Dengan pemahaman posisi agama dan negara yang telah dipaparkan tadi, dikaitkan dengan pandangan Abdurahman Wahid, tampaknya agama bisa berperan sebagai sumber vitalitas demokratisasi. Agama akan menjadi sumber inspirasi dan sumber kekuatan upaya empowerment elemen masyarakat di luar negara, yakni rakyat ketimbang diperalat untuk mengikuti naluri kekuasaan yang korup dan otoritarian. Agama menafasi kebijakan politik untuk mengakui, menerima dan menghargai setiap komponen masyarakat. Karena itu, kekristenan tidak menjadikan agama super ordinasi negara, sub ordinasi negara, atau juga pengidentikkan agama itu adalah negara atau negara itu agama.
Secara hakiki nilai dasar masyarakat sipil adalah pembatasan penguasaan wilayah kehidupan yang dikuasai serba negara. Civil society ingin menciptakan ventilasi yang memberikan iklim sejuk dalam kehidupan yang lebih demokratis. Terbukti selama beberapa orde yang melekat pada rezim yang berkuasa, sirkulasi udara demokratis tidak bertiup dengan segar dan lancar. Malah mewariskan udara yang pengap dan polusif.
Merunut sejenak historisnya, barangkali embrio masyarakat sipil menemukan jejak langkah awalnya dimulai masa pencerahan pada abad XVIII. Para intelektual seperti Montesquieu, Volatire, dan kawan-kawan melepaskan kehidupannya dari belitan ketergantungan pada patronase gereja dan negara. Mereka berupaya mandiri lewat memproduksi bacaan publik yang konsumennya kalangan menengah, pendeta dan aristokrat. Mereka gandrung untuk mengopinikan adanya kebutuhan reformasi masyarakat berupa kebebasan berpikir menggantikan sensor yang otoriter dan indoktrinasi Gereja.1701 Dengan kata lain, secara embrional ternyata civil society merupakan perlawanan atas struktural sosial yang tidak kondusif bagi aktualisasi nilai-nilai hakiki kemanusiaan dan demokrasi.
Prestasi terbesar pencerahan adalah konsepsi egalitarian dan ruang partisipatori di kuak lebar-lebar, di mana tidak satu pun warga negara terampas dari hak-hak sipilnya. Suatu masyarakat yang nilai-nilai ideal kesetaraan dan partisipasi dipraktikkan. Suatu gerakan sosial politik yang bertujuan memulihkan martabat manusia, melengserkan mereka yang membangun struktur kekuasaan dan eksploitasi, yang mengatasnamakan Allah. Suatu gerakan yang menanamkan tanggung jawab untuk bisa menyatakan mana yang sungguh-sungguh berasal dari Allah, dan mana yang bukan, menjadi kesadaran moral rakyat.1702 Dengan menyatakan ini, secara historis agama Kristen pernah dan bisa menjadi musuh masyarakat sipil (bahkan saya berkeyakinan agama manapun, dan itu telah dibuktikan dalam sejarah setiap agama), pada saat agama melekateratkan dengan struktur politik.
Belajar dari kekeliruan sejarah itu, kekristenan sadar betul di mana posisinya. Sekaligus sadar mengenai bahaya riil ketika manusia yang berkuasa atas manusia yang lain, mengangkat diri menjadi "allah" atas sesamanya, dengan menuntut ketaatan yang mutlak, dan merampas independensi manusia. Sebuah kesadaran bahwa kelahiran negara harus diantisipasi karena mempunyai ekses destruktif seperti: persaingan, kesewenang-wenangan, mabuk kekuasaan, konflik, perpecahan serta kehancuran. Karena itu agama perlu menciptakan rambu-rambu yang bisa membatasi dan mengontrol negara.1703 Serta segala sistim kekuasaan baik politis, ekonomis, dan agamis yang memberikan ruang pada sedikit elit untuk menguasai, menghisap, dan mengeksploitasi orang lain, harus dikembalikan pada pembacaan ulang Alkitab secara sungguh-sungguh dan membacanya pun harus dengan iman.1704
Jadi, kebutuhan penguatan civil society merupakan salah satu pilihan sengaja agar bisa mencegah negara menyeleweng dari tugas dan hakekatnya yang sejati.1705 Masyarakat sipil bisa menjadi representasi dan kristalisasi kekuatan di luar negara, yang menjadi sparing partner negara. Hal itu menjadikan civil society sebagai kekuatan pengimbang sekaligus kontrol, yang membatasi dan memungkinkan negara tetap berjalan sesuai dengan hakekatnya. Dalam hal ini keterlibatan kekristenan sebagai bagian dari civil society salah satunya supaya seperti yang dinyatakan Eka Darma Putera, "Negara akan menjadi kekuatan yang efektif untuk mencegah anarki, tetapi berubah menjadi tirani"." Selain itu, dengan masyarakat sipil menjadi indikasi ada wilayah-wilayah yang bisa digarap entitas mandiri di luar negara. Dengan demikian, segala energi, prakarsa, aktivitas dalam kehidupan masyarakat tidak terkonsentrasi dan tersentralisasi hanya pada negara semata-mata.