: A B C D E F G H I J K L M N O P Q R S T U V W X Y Z
Hatah | Hatat | Hathach | Hathath | Hati | Hati Nurani | Hatifa | Hatil | Hatipha | Hatita | Hattil
Daftar Isi
KECIL: Hati Nurani
ENSIKLOPEDIA: HATI NURANI

Hati Nurani

Hati Nurani [kecil]

KS.- [PB] Rom 2:15; 9:1; 13:5; 1Kor 8:7-13; 10:25-30; Tit 1:15; 1Pet 3:16,21

HATI NURANI [ensiklopedia]

Etimologi dari kata Yunani syneidesis (padanan katanya dlm bh Latin conscientia) memberi kesan bahwa artinya yg biasa ialah 'pengetahuan pendamping', atau dalam ungkapan C. J Vaughan kecakapan untuk 'pengetahuan bersama dengan dirinya sendiri' (Romans, 1880, hlm 40). Dengan kata lain, hati nurani mengandung dalamnya lebih daripada hanya 'kesadaran' atau 'penginderaan', karena kata ini mencakup juga penghakiman (dlm Alkitab memang penghakiman moral) atas suatu perbuatan yg dilakukan dengan sadar.

I. Latar belakang

Istilah syneidesis hampir sama sekali tidak ada pada LXX. Kalau konsep yg ditunjuk itu tidak dapat dipandang sebagai penemuan PB (bnd arti yg baru diberikan dlm PB terhadap istilah agape), maka asalnya harus dicari dalam hubungannya dengan gagasan Helenistis, bukan gagasan Ibrani. Denney (Romans, di ECT), Dodd (Romans di MNTC) Barrett (Romans di BNTC) dan Moffatt (mengenai 1 Kor 8:7 dab di MNTC) memilih bahwa istilah itu berasal dari Stoa.

Tapi C. A Pierce mengemukakan tesisnya (Conscience in the New Testament, 1955, hlm 13 dst) yg menguraikan, sumber dan asal pemakaian Paulus akan istilah syneidesis itu dari pemikiran Yunani populer, yg bukan bersifat filsafat, dan ia sampai kepada kesimpulan, bahwa kata itu termasuk kelompok kata dan ungkapan yg berulangkali muncul 'di seluruh deretan tulisan Yunani sebagai kesatuan ... pada abad 6 sM hingga abad 7 M' (hlm 16 dst).

Dalam Gnosis-nya, 1949, Dom Jacques Dupont mengemukakan bahwa syneidesis adalah istilah yg diambil alih dari 'filsafat moral yg populer' ke dalam PB, dan di situ ditafsirkan lagi; hlm 267. Kata asasi dari kelompok ini ialah synoida, yg jarang muncul dalam PB dan yg artinya 'aku tahu bersama-sama dengan', yg jika diperas berarti 'aku bersaksi' (Kis 5:2), atau seperti yg dipakai dalam susunan khusus hauto syneidenai, sesuatu yg sejiwa dengan 'membagikan pengetahuan dengan dirinya sendiri' (1 Kor 4:4). Tapi menurut Pierce, perbedaan-perbedaan yg ada antara istilah syneidesis seperti yg terdapat pada gagasan Yunani dan seperti yg dipakai oleh penulis-penulis PB, bukanlah dalam hal isi melainkan dalam hal tekanan, dan harus diterangkan oleh pemikiran Alkitab yg sama sekali baru dan kaya. Ia berkata (hlm 106), bahwa pemakaian PB akan 'hati nurani' itu harus dipandang dengan latar belakang 'gagasan tentang Allah, yg kudus dan benar, Khalik dan Hakim, tapi juga Penyelamat dan Penyegar'.

II. Arti

Tapi kita tidak dapat menghindari kenyataan bahwa dalam PB muncul suatu konsep yg diacu dengan kata syneidesis yg dikembangkan melebihi, jika tidak berbeda, dari arti yg berlaku sebelumnya. Bagi filsafat Yunani dan PL juga, rujukan adalah kepada kedudukan atau kepada hukum bagi penghakiman atas perbuatan. Tapi pada 1 Sam 24:6, mis 'hati' dalam ungkapan 'berdebar-debarlah hati Daud' berfungsi sebagai hati nurani. Sebenarnya ini sesuai dengan arti yg menjadi tolok ukur bagi 'suara hati' yg terdapat dalam bh Yunani populer, yaitu sakit yg diderita orang sebagai manusia, jika dalam perbuatan-perbuatannya yg dimulai atau yg sudah selesai ia 'melanggar batas-batas moral tabiatnya' (Pierce, hlm 54; akibat 'hati nurani' dlm arti ini digambarkan sekalipun 'kata' itu sendiri tidak muncul, oleh perbuatan Adam dan Hawa dlm Kej 3:8). Satu-satunya pemunculan kata syneidesis dalam LXX ialah Pkh 10:20,'Dalam pikiranmu janganlah engkau mengutuki raja' (en syneidesis sou) (LAI 'pikiran'). Tapi ini tidak sesuai dengan pola yg baru saja dikemukakan, dan hanya dalam Kebijaksanaan Salomo 17:11, satu-satunya pemunculan istilah itu yg jelas pada Kitab Apokrifa (dlm bentuknya yg mutlak) dan yg mirip dengan pemakaian PB.

III. PB

Syneidesis sering dipakai dalam Surat-surat Paulus dan juga dalam Ibrani, 1 Ptr dan dua (dari Paulus) pada pidato dalam Kis. Kata itu juga muncul dalam ungkapan 'dihukum oleh suara hati mereka sendiri' yg terdapat pada beberapa naskah, antara lain Yoh 8:9, sekalipun ditolak oleh para penterjemah Alkitab Indonesia, karena dipandang sebagai tidak asli. Pemakaian syneidesis yg paling khas oleh Paulus adalah dalam Rm 2:14 dab. Bagian Alkitab ini berkata bahwa penyataan umum Allah mengenai diriNya sendiri, sebagai yg baik dan yg menuntut kebaikan, menghadapi segenap umat manusia dengan tanggung jawab moral. Bagi orang Yahudi tuntutan-tuntutan Ilahi itu telah tersimpul dalam hukum Taurat, sedang bagi non-Yahudi 'oleh dorongan sendiri' melakukan apa yg dituntut Taurat. Tapi pengakuan atas kewajiban-kewajiban kudus mereka, baik Yahudi maupun non-Yahudi, itulah yg dipahami secara pribadi (taurat 'ditulis di dalam hati mereka', ay 15) dan, menurut jawaban pribadi, dihukum secara moral (dan 'suara hati mereka turut bersaksi' dgn pikiran mereka, LAI). Dan sekalipun 'suara hati' dimiliki oleh semua orang, dan menjadi alat untuk secara aktif menghargai sifat dan kehendak Ilahi, namun karena hati nurani juga menempatkan manusia sebagai hakimnya sendiri' (B. F Westcott, Hebrews, 1889,catatan pada Ibr 9:9, hlm 293), maka hati nurani dapat dipandang sekaligus sebagai kuasa 'terpisah' dari manusia (bnd Rm 9:1).

Di sinilah dapat dilihat pengertian syneidesis dalam pikiran Paulus mulai jelas. C. A Pierce yakin (hlm 66 dst) bahwa Paulus dipaksa untuk mendapatkan suatu tempat bagi 'slogan Korintus' dalam 'kerangka menyeluruh', sebab ia dipaksa oleh pertentangan-pertentangan dengan dunia non-Kristen. Apakah Paulus memandangnya sebagai sifat negatif atau tidak, seperti dikesankan olen Pierce, kenyataan ialah bahwa 'hati nurani' dalam kerangka pikiran Paulus berarti 'yg diderita orang jika ia telah berbuat salah' (lih Rut 13:5, di mana Paulus menuntut 'penaklukan din' demi syneidesis, suara hati, dan demi orge, kemurkaan -- penjelmaan secara pribadi dan secara sosial dari penghakiman Allah). Dari situlah manusia dibebaskan oleh kematian bagi dosa melalui dan dengan menjadikannya satu dengan Kristus (bnd Rm 7:15 dan 8:2).

Pada waktu yg bersamaan mungkin juga hati nurani -- yaitu alat yg dengannya orang memahami tuntutan-tuntutan moral Allah, dan yg menyebabkan derita baginya jika ia tidak dapat memenuhi tuntutan-tuntutan itu -- tidak cukup ditertibkan atau diberi pengetahuan (1 Kor 8:7), atau menjadi lemah (1 Kor 8:11), bahkan dirusakkan (1 Kor 8:7, bnd Tit 1:15), atau menjadi terbakar dan tak peka (1 Tim 4:2). Karena itu perlu sekali hati nurani dibina secara wajar dan sungguh-sungguh diberi penerangan oleh Roh Kudus. Inilah sebabnya mengapa 'hati nurani' dan 'iman' tak dapat dipisahkan. Dengan penyesalan dan iman orang dibebaskan dari hati nurani sebagai 'derita'; tapi iman juga menjadi alat yg dengannya hati nurani 'disegarkan dan diberi penerangan' (Pierce, hlm 110). Berjalan 'dalam hidup yg baru' (Rm 6:4) mencakup iman yg hidup dan tumbuh, yg dengannya orang Kristen terbuka bagi pengaruh Roh Kudus (Rm 8:4), dan pada sisi lain ini menjadi jaminan akan suatu 'hati nurani yg murni' (1 Ptr 3:16).

Akhirnya pemakaian istilah ini dalam Surat Ibr, dimana penulis mengantarkan istilah itu dalam kedua hubungannya yg besar seperti telah disebut. Di bawah perjanjian yg lama 'hati nurani' mengacaukan jalan masuk kepada Allah sendiri (Ibr 9:9), sekalipun pembebasan telah dimungkinkan oleh karya Kristus dalam perjanjian yg baru (Ibr 9:14), dan oleh pemberian hasil-hasil kematian Kristus melalui air murni (Ibr 10:22; bnd 1 Ptr 3:21). Karena itu dalam rangka pertumbuhan hidup Kristiani, hati nurani orang yg beribadah dapat diuraikan sebagai 'baik' dalam anti yg dibicarakan di atas (Ibr 13:18; catatlah pemakaian peithometha).

Kesimpulan, dapat kita lihat fungsi 'hati nurani' sebagaimana istilah itu muncul dalam PB, mengikuti dua garis perkembangan pokok: hati nurani ialah alat bagi penghakiman moral, penuh derita dan mutlak, karena penghakiman itu ialah penghakiman Ilahi atas perbuatan-perbuatan seseorang yg sudah berlangsung atau sedang berlangsung; dan hati nurani yg bertindak sebagai saksi dan pawang yg baik dalam aspek negatif maupun positif dari pengudusan perseorangan (lih 0 Hallesby, Conscience, 1950, hlm 82, dan bab 10).

KEPUSTAKAAN. J Dupont, Gnosis, 1949, dan 'Syneidesis' dalam Studia Hellenistica, 1949, hlm 110-153; 0 Hallesby, Conscience 1950; C. A Pierce, Conscience in the New Testament, 195 5; W. D Stacey, The Pauline View of Man, 1956, hlm 206-210; J. N Sevenster, Paul and Seneca,1961, hlm 84-102; R Schnackenburg, The Moral Teaching of the New Testament, 1965, hlm 287-296; M. E Thrall, NTS 14, 1967-1968, hlm 118-125 (melawan Pierce): C Brown di NIDNTT 1, hlm 348-353. SSS/HH




TIP #34: Tip apa yang ingin Anda lihat di sini? Beritahu kami dengan klik "Laporan Masalah/Saran" di bagian bawah halaman. [SEMUA]
dibuat dalam 0.10 detik
dipersembahkan oleh YLSA