Resource > Jurnal Pelita Zaman >  Volume 13 No. 1 Tahun 1998 > 
HUBUNGAN AGAMA - NEGARA DALAM PERSPEKTIF NEGARA PANCASILA 
Penulis: Eka Darmaputera
 GBHN 1993-1998

Lebih dari 10 tahun yang lampau. Hari, tanggal dan bulannya tidak saya ingat lagi. Tapi tempatnya masih saya ingat betul: Jalan Salemba Raya 10, Jakarta Pusat. Karena Ruang Sidang PGI sedang terpakai, maka kami berkumpul dalam keadaan darurat di ruangan lain yang sempit dan panas. Bayangkan: Jakarta, pukul setengah tiga siang!

Siapakah "kami" itu? Kami adalah kelompok kecil yang ditugaskan menyusun konsep "Sumbangan Pikiran PGI untuk Penyusunan GBHN 1988-1993." Siang itu kami akan membahas dan kemudian merumuskan sumbangan pikiran untuk sektor hidup keagamaan. Kebetulan sayalah yang diberi tugas memberikan pengantar awal.

Bila kemudian di dalam GBHN 1988-1993 (dan terus bertahan sampai GBHN 1993-1998) disebutkan antara lain:

"tanggung jawab bersama dari semua golongan beragama dan berkepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa untuk secara terus-menerus dan bersama-sama meletakkan landasan moral, etik, dan spiritual yang kokoh bagi pembangunan nasional sebagai pengamalan Pancasila,"

kalimat tersebut adalah hasil rapat kami siang itu. Dari pena sayalah kalimat itu berasal. Semua ini saya kemukakan, bukanlah untuk menyombongkan diri atau membanggakan apapun. Saya (terpaksa) menceritakannya agar fakta historis itu tidak dialpakan atau dipalsukan. Saya ingin memberikan kesaksian yang otentik, bagaimana dan mengapa kami tiba pada perumusan tersebut di atas.

Ini tidak berarti bahwa pertimbangan-pertimbangan kami pada waktu itu dengan sendirinya bisa dianggap sebagai tafsiran resmi. Namun paling sedikit kami dapat mengatakan apa-apa yang ada di balik kalimat tersebut pada waktu kami merumuskannya. Khususnya mengenai hubungan agama dan negara di dalam negara Pancasila, yang notabene sedang mengalami kerancuan yang luar biasa, baik secara konsepsional dan terlebih lebih secara operasional. Kerancuan ini, pada gilirannya, menjadi akar penyebab 1001 macam kerancuan dan kericuhan yang lain.

 TERANTUK-ANTUK

Banyak orang beranggapan bahwa masalah hubungan agama dan negara telah selesai dengan diterimanya Pancasila sebagai Dasar Negara (1945), terlebih-lebih setelah diundangkannya Pancasila sebagai satu-satunya asas kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara (1985). Mereka salah duga! Walaupun menurut akal sehat memang seharusnyalah demikian, namun kenyataan di sekitar kita - khususnya 15 tahun terakhir ini - memperlihatkan yang sebaliknya. Masalah itu bukan saja belum selesai, melainkan malah menjadi kian problematik. Seolah-olah kita belum pernah mengambil keputusan konstitusional, bahwa Indonesia adalah negara Pancasila - bukan negara sekular, bukan pula negara agama. Padahal bila kita menengok ke belakang ke sejarah republik ini, nyatalah betapa persoalan hubungan agama dan negara itu sungguh krusial bagi eksistensi dan masa depan negara yang amat majemuk ini. Maksud saya, bila kita berhasil menata persoalan tersebut secara arif dan adil, maka selamatlah bangsa dan negara kita dari ancaman kekeroposan atau bahkan perpecahan. Sebaliknya apabila gagal, maka bencana dan malapetaka pula yang akan membayangi masa depan bersama kita sebagai bangsa. Berikut ini adalah beberapa bukti sejarah.

Terantuk kepada masalah inilah, pada tahun 1945, proses penyusunan UUD nyaris gagal total, dan seluruh persiapan kemerdekaan Indonesia buyar tak menentu. Yaitu sekiranya kita tidak mampu menyelesaikan masalah pilihan antara `negara agama' dan `negara sekular'. Atau sekiranya soal "tujuh kata", yang terkenal sebagai Piagam Jakarta, itu tidak diselesaikan dengan arif dan jiwa besar.

Rangkaian pemberontakan bersenjata, yang dilakukan baik oleh yang lazim disebut "ekstrim kiri" maupun "ekstrim kanan", juga dapat dikaitkan dengan masalah bagaimana menata hubungan antara agama dan negara. Ini disusul dengan perdebatan di Konstituante yang bubar tanpa hasil. Bubarnya Konstituante hasil Pemilu 1955 tersebut disebabkan oleh karena tersandung pada masalah klasik yang sama di mana tempat dan peran agama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara?

Belajar dari pengalaman-pengalaman sejarah itu, saya berkeyakinan bahwa ancaman potensial bagi keutuhan (=integritas) kita sebagai bangsa di waktu-waktu mendatang - dan ini pada gilirannya akan menentukan apakah kita akan gagal atau berhasil mengatasi tantangan-tantangan globalisasi - akan amat ditentukan oleh sukses gagalnya kita menata secara `pas' hubungan Agama dan Negara di dalam konteks negara Pancasila.

Mengenai Negara Pancasila ini, kita telah berhasil menelorkan beberapa aksiom, yang bisa kita anggap sebagai konsensus nasional. Antara lain: "Negara Pancasila bukan negara agama dan bukan pula negara sekular"; "kita tidak mengagamakan Pancasila, dan tidak pula mempancasilakan agama"; "Negara tidak campur tangan dalam urusan-urusan keagamaan; dan agama tidak campur tangan dalam urusan-urusan kenegaraan"; "Indonesia tidak mengenal baik "negara agama". Dan seterusnya. Mestinya dengan semua ini maka hubungan agama dan negara dalam negara Pancasila telah jernih dan jelas. Namun benar begitukah keadaan kita? Benarkah prinsip-prinsip itu kita laksanakan? Ternyata tidak! Dari sinilah, seperti yang saya kemukakan di atas, kerancuan yang lain pun merebak.

 PRAKTEK

Perkenankanlah di bawah ini saya menyampaikan beberapa contoh, betapa selama ini kita telah tidak taat asas. Maksudnya: tidak seperti yang kita klaim sebagai jiwa dan semangat Orde Baru, kita tidak melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Tuduhan ini berat, oleh karena itu harus disertai bukti. Kita mengatakan bahwa "Pancasila adalah satu-satunya asas dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara." Prakteknya? Dalam kehidupan bernegara, kita (barangkali) masih lumayan konsisten menentang setiap usaha untuk mengganti Pancasila sebagai dasar negara. Sekali lagi, itu dalam kehidupan kita bernegara. Tapi bagaimana dalam kehidupan kita berbangsa? Bagaimana dalam kehidupan kita bermasyarakat?

Kapan yang terakhir Anda mendengar orang berbicara tentang "pembangunan masyarakat Pancasila"? Pasti sudah lama sekali. Sebabnya ialah, karena yang dalam praktek kita bangun memang bukan `masyarakat Pancasila'. Masing-masing kelompok sibuk membangun masyarakatnya sendiri. Alhasil, yang terbangun bukanlah satu masyarakat Pancasila, melainkan satu masyarakat (Pancasila) yang merupakan kumpulan atau penjumlahan dari masyarakat-masyarakat tadi. Satu masyarakat yang merupakan kumpulan umat-umat. Bagaikan sebuah kepulauan yang terdiri dari ratusan pulau, yang satu sama lain tersekat-sekat oleh ribuan selat. Dari sinilah orang dengan tanpa risih dan terganggu mengucapkan atau mendengar: negara agama, No; masyarakat agama, Yes!

Situasi seperti ini bisa amat berbahaya. Sebab kemantapan dan kelestarian sebuah masyarakat sangatlah tergantung kepada - apa lagi kalau tidak - kadar kadar integrasinya. Kadar integrasi ini, pada gilirannya, amat tergantung kepada "integrasi" atau "konsensus" atau "kesepakatan" nilai-nilai. Di dalam sebuah "masyarakat umat-umat" seperti yang saya kemukakan di atas, kesepakatan nilai menjadi hampir-hampir mustahil. Yang lebih mungkin terjadi adalah: konflik nilai-nilai, ketegangan dan persaingan antar nilai, dan/atau pemaksaan nilai-nilai satu kelompok (biasanya dari kelompok yang lebih kuat) terhadap kelompok-kelompok lainnya. Bila benar bahwa inilah yang secara tidak sadar sedang terjadi di negeri ini, maka baiklah kita sadari bahwa yang sedang kita pertaruhkan (=what is at stake), tidak kurang adalah integrasi sosial masyarakat kita, yang merupakan faktor utama bagi kelangsungan dan kemantapan eksistensi sebuah masyarakat.

Padahal roti yang paling hakiki dari sebuah "masyarakat Pancasila" adalah itu. Yaitu sebuah masyarakat di mana kepelbagian diakui dan dihargai, tidak dilenyapkan dan tidak ditindas. Namun demikian, tidak pula ia dibiarkan begitu saja tumbuh liar bagaikan alang-alang secara laissez faire. Semua kepelbagian yang ada didialogkan bersama, secara terus-menerus, bebas dan terbuka, di dalam batas batas kerangka yang disepakati bersama, yaitu Kerangka Pancasila (Pancasila Frame of Reference). Melalui interaksi yang dialogis dan terus-menerus inilah, dihasilkan konsensus demi konsensus. Konsensus ini saya namakan konsensus minimum, artinya kesepakatan yang paling minimal bisa disepakati oleh semua. Konsensus minimal yang telah dicapai dipakai sebagai landasan pijak bersama untuk melanjutkan dialog dan interaksi, yang akan menghasilkan konsensus minimum yang lebih lanjut. Dan begitu seterusnya. Masyarakat Pancasila amat menekankan ini. Dalam asas `musyawarah untuk mufakat', unsur `musyawarah' itu jauh lebih penting ketimbang unsur `mufakatnya'nya. Tidak seperti di dalam praktek sekarang: musyawarah itu hanya dipakai untuk melegitimasikan kemufakatan yang telah dicapai `sebelumnya di luar musyawarah! Sehingga yang terjadi bukanlah musyawarah, melainkan skenario yang dipaksakan. Manis dilihat dari luar, tapi busuk di dalam.

Oleh karena itulah, kita harus merasa terganggu bila dengan mudah orang mengatakan, "Dengan melaksanakan ajaran agama, dengan sendirinya saya sudah melaksanakan Pancasila." Jawab saya: belum tentu! Kita melihat begitu banyak tindakan yang memakai simbol-simbol agama, namun jelas-jelas tidak sesuai dengan Pancasila. Dengan diberi penafsiran tertentu, agama bila (ditafsirkan sebagai) mengajarkan intoleransi, eksklusivisme, pemaksaan, diskriminasi, dan sebagainya. Berlawanan dengan semangat Pancasila.

Di sini, Anda jangan mengalihkan persoalan menjadi persoalan, mana yang lebih luhur: ajaran Pancasila atau ajaran agama. Kesepakatan kita ialah tidak mempersandingkan maupun mempertandingkan antara agama dan Pancasila. Yang semestinya kita lakukan adalah menginterelasikan keduanya: bagaimana menjalankan ajaran agama kita masing-masing di dalam konteks negara Pancasila? Menginteraksikan `teks' dengan `konteks'. Bukan begitu saja mengidentikkannya ataupun mengoposisikannya.

 KEABSAHAN

Di atas telah saya kemukakan, bahwa kedudukan Pancasila sebagai satu-satunya asas dalam kehidupan bernegara adalah lumayan mantap. Namun demikian, bila kita mencermatinya dengan lebih teliti, di sini pun kerancuan telah merayap masuk: Bila kita konsekuen mengatakan, bahwa Pancasila adalah satu-satunya asas dalam kehidupan bernegara, maka logikanya adalah: semua kebijakan negara (baca: pemerintah) haruslah mengacu kepada Pancasila. Paling sedikit, tidak bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila yang paling hakiki. Namun begitukah yang terjadi di dalam praktek? Jawab saya: Tidak. Di bawah ini adalah beberapa contoh.

Pertama, lahirnya produk-produk kenegaraan yang jelas-jelas tidak mengacu dan bersumber pada Pancasila, melainkan pada hukum agama tertentu. Timbul kesan, bahwa negara telah ditundukkan (=disubordinasikan) ke bawah agama. Agama telah dibiarkan melakukan intervensi langsung dalam hidup kenegaraan. Keduanya bertentangan dengan asas-asas hubungan agama dan negara dalam negara Pancasila.

Kedua, di pihak lain, seringkali tanpa sadar, kita membiarkan negara mengsubordinasikan agama. Misalnya, ironis sekali bahwa negara diberi wewenang untuk menentukan mana yang agama dan mana yang tidak, mana agama yang benar dan mana agama yang sesat, mana agama yang bila diakui dan mana agama yang mesti dilarang. Wewenang yang semestinya hanya ada pada Tuhan dan para penganut agama yang bersangkutan, telah diambil oper oleh negara! Lebih ironis lagi, agama-agama sendirilah yang sering memberikan otoritas tersebut kepada negara, karena menikmati keuntungan politis dari situ. Tidak menyadari bahwa apa yang bisa terjadi kini pada agama lain, bisa terjadi pada diri sendiri (baca: hak kita beragama dicabut oleh negara).

Ketiga, memang tidak ada dasar hukumnya secara tertulis. Namun kita bohong, bila mengatakan bahwa itu tidak ada Yang saya maksud ialah, pendekatan proporsional kuantitatif. Sederhananya: bila secara kuantitatif jumlah umat Kristen hanya 10 persen, maka jatah atau kuota negara untuknya juga hanya 10 persen. Plus catatan bahwa ini juga berlaku di wilayah-wilayah di mana umat Kristen adalah 'mayoritas'.

Apa persoalan kita di sini? Sama sekali bukan persoalan yang besar sewajarnyalah mendapat yang lebih besar. Ini masalah kewajaran belaka. Juga bukan persoalan bahwa jumlah orang Kristen dalam pemerintahan menjadi terlalu sedikit. Tidak! Bagi kita tidak ada `menteri Kristen' atau `menteri Islam'. Yang ada ialah, "Menteri RI".

Yang harus dipersoalkan adalah: bahwa agama telah dijadikan alat penentu untuk membedakan perlakuan terhadap warga negara. Padahal pemerintah seharusnya "buta warna" dalam hal ini. Yang mesti dipersoalkan juga adalah, bahwa agama telah dijadikan penentu dalam kebijakan negara. Padahal kita telah menyatakan, bahwa Republik Indonesia bukanlah negara agama. Ini bertentangan dengan Pancasila, yang inklusif dan non diskriminatif. Tidak inklusif, oleh karena menerapkan asas prioritas dan mayoritas dalam memperlakukan warga negara. Dan diskriminatif, oleh karena yang terjadi adalah pembeda-bedaan. Bukan sekadar menghormati perbedaan. Konsensus telah dilanggar dan diubah tanpa melalui konsensus. Untuk ini sebuah prinsip keadilan dan kebenaran yang universal telah dilanggar!

 AGAMA - NEGARA

Kita mengenal beberapa tipe relasi antara agama dan negara. Dengan beberapa variasi dan kombinasi, tiga tipe yang paling pokok adalah: (a) Separasi (keterpisahan) mutlak antara agama dan negara, sebagaimana yang pada umumnya dianut oleh negara-negara demokrasi. Negara menjadi negara sekular; (b) Subordinasi agama oleh negara, seperti yang terjadi pada negara-negara totaliter pada umumnya. Polanya adalah pola agama negara; (c) Subordinasi negara oleh agama, seperti yang ada pada negara-negara agama pada umumnya.

Kekhasan Pancasila adalah bahwa ia menolak baik separasi maupun subordinasi. Ketika ia mengatakan bahwa negara Pancasila bukan `negara sekuler', maka ia menolak subordinasi negara oleh agama. Dan ketika ia mengatakan bahwa dalam negara Pancasila tidak dikenal `agama negara', maka ia menolak subordinasi agama oleh negara. Kalau pun kita mau berkata bahwa ada `agama negara', maka itu bukan satu agama, melainkan lima agama yang `diakui' itu!

 TIGA ASAS

Ada tiga asas yang berlaku bagi hubungan agama dan negara dalam negara Pancasila. Ini membedakannya dari negara-negara yang mempunyai dasar/landasan yang lain.

Pertama, asas inklusif dan non diskriminatif. Semua agama mempunyai hak dan kewajiban konstitusional yang sama. Perbedaan dihormati, namun tidak dibeda-bedakan berdasarkan alasan apapun. Negara mempunyai kewajiban untuk melindungi dan membantu semua agama tanpa pengecualian dan pembeda-bedaan.

Kedua, asas kebebasan dan kerukunan beragama. Negara menjamin kebebasan maupun kerukunan hidup beragama. Kedua asas ini terkait secara timbal balik. Kebebasan tidak boleh mengancam kerukunan, dan kerukunan tidak boleh mematikan kebebasan. Sebaliknyalah, kebebasan dilaksanakan dalam semangat kebebasan. Negara mempunyai kewajiban untuk menjadi wasit yang tidak berpihak, untuk menjamin kedua-duanya terlaksana secara seimbang dan dinamis.

Ketiga, asas kemitraan yang sejajar dan timbal balik antara agama dan negara, yang dapat dijabarkan lebih lanjut sebagai berikut: (a) Negara mengakui otonomi agama, dan agama mengakui otonomi negara. masing-masing tidak mencampuri langsung urusan dan otoritas yang lain. (b) Namun demikian, antara keduanya terdapat keterkaitan fungsional. Tanpa mencampuri secara langsung urusan-urusan internal keagamaan, negara mempunyai tanggung jawab keagamaan yaitu melindungi dan membantu agar semua agama hidup dan berkembang dan menjamin baik kebebasan maupun kerukunan hidup beragama.

Di pihak lain, tanpa mencampuri secara langsung urusan-urusan kenegaraan (termasuk di sini pemaksaan kehendak dengan melalui kekuatan massa!), agama mempunyai tanggung jawab kenegaraan. Tanggung jawab ini adalah untuk meletakkan kerangka landasan moral, etik dan spiritual bagi pembangunan nasional sebagai pengamalan Pancasila. Tanggung jawab yang harus dilaksanakan secara terus menerus dan bersama-sama. Artinya, kerangka landasan moral, etik dan spiritual itu tidak hanya kontribusi satu agama tertentu saja!

 MUTUALISTIS

Sepanjang sejarah peradaban, agama dan negara merupakan dua kekuatan yang paling besar dalam kehidupan manusia. Hanya untuk dua hal inilah (untuk agama dan untuk negara) orang bersedia mengorbankan sampai ke jiwanya. Yang satu sebagai `martir' atau `syuhada'. Yang lain sebagai `patriot'.

Oleh karena itu tidak mengherankan, bahwa di dalam sejarah kita menyaksikan betapa hubungan antara keduanya ditandai oleh rivalitas/kompetisi dan kolusi. Bila pola rivalitas yang terjadi, maka yang satu ingin meniadakan yang lain. Sedang pada pola kolusi, keduanya ingin saling memanfaatkan atau memperalat yang lain. Baik pola rivalitas maupun pola kolusi, keduanya mencelakakan serta destruktif sifatnya. Rivalitas menghasilkan konflik yang tak berkesudahan, sedang kolusi merenggut kebebasan dari manusia.

Ketika para pendiri republik ini memilih Pancasila dan merumuskan UUD 1945, maka secara sadar mereka dengan tegas tapi arif menolak dua kemungkinan berbahaya itu. Dengan menerima Pancasila sebagai dasar negara, mereka menolak baik rivalitas maupun kolusi antara agama dan negara. Rivalitas hendak dicegah dengan menjalin hubungan kemitraan sejajar yang mutualistis. Sedang kolusi hendak dicegah dengan melindungi otonomi serta integritas masing-masing, tanpa boleh dicampuri atau disubordinasikan oleh yang lain. Sungguh suatu warisan yang tak ternilai harganya, yang wajib kita pelihara! Sayangnya sejarah membuktikan, betapa godaan untuk bergeser ke arah yang lain terus-menerus merupakan bahaya yang laten. Ada godaan politik untuk memanfaatkan agama, dan godaan agama untuk memanfaatkan politik. Godaan berkolusi! Sampai batas tertentu, kecenderungan saling memanfaatkan adalah sesuatu yang manusiawi belaka. Namun, ini harus diwaspadai, khususnya kalau itu terjadi antara dua kekuatan yang maha raksasa dan maha dahsyat, seperti agama dan negara.

Ketika negara diperalat oleh agama, maka ia tidak mungkin berfungsi sepenuhnya sebagai negara. Ia tak mungkin - sebagaimana yang menjadi fungsinya - mengayomi dan melindungi setiap dan semua warga negara dengan adil, tanpa anak emas maupun anak tiri. Yang akan dihasilkan adalah sebuah negara (semi) totaliter yang eksklusif dan diskriminatif. Ini bukan negara Pancasila! Di sisi lain, ketika sadar atau tanpa sadar, agama menjadi alat politik, agama juga segera kehilangan baik jati diri maupun fungsinya yang luhur sebagai agama. Ia akan sekadar menjadi alat pemberi legitimasi bagi kekuasaan negara. Tak mungkin lagi menjadi transenden! Tak mungkin lagi melaksanakan fungsi kritis dan tugas profetisnya! Agama yang kehilangan daya transendental dan fungsi kritisnya ibarat garam yang kehilangan asinnya!

Padahal masyarakat akan paling diuntungkan, apabila negara berfungsi penuh sebagai negara, dan agama berfungsi penuh sebagai agama. Masing-masing taat asas dan setia kepada fungsi dan jati dirinya. Penggumpalan kekuasaan yang tidak etis dan menyengsarakan manusia akan dapat dihindarkan, apabila masing-masing mempunyai keleluasaan untuk melaksanakan fungsi kritisnya, dan berusaha mencapai konsensus-konsensus yang menguntungkan seluruh masyarakat.

Satu lagi. Fungsi kritis itu tidak hanya dilaksanakan terhadap yang lain, tetapi juga terhadap diri sendiri. Potensi ini diberikan Tuhan kepada manusia, yaitu potensi untuk melakukan self-transendenee dan auto kritik. Ketika kemampuan untuk melakukan kritik diri ini tidak pernah dimanfaatkan, maka baik negara maupun agama akan segera menjadi usang dan lapuk, kehilangan relevansi dan kredibilitasnya. Dan kehilangan ini sering ditebus dengan penggunaan kekuatan dan kekuasaan yang semena-mena.

Itulah sebabnya di dalam praktek kita kadang-kadang melihat sosok negara yang bagaikan raksasa yang angkara murka, atau wajah agama yang penuh dendam dan haus darah. Amat bertentangan dengan klaim yang mereka buat, bahwa negara adalah untuk menegakkan keadilan, dan agama untuk mewujudkan kebenaran. Bila ini terjadi, tahulah kita, mereka sedang kehilangan relevansi dan kredibilitasnya. Mereka sedang kehilangan kemampuannya untuk melakukan kritik diri. Karena itu, mereka menjadi kekuatan yang demonis, tidak manusiawi, apalagi ilahi.



TIP #17: Gunakan Pencarian Universal untuk mencari pasal, ayat, referensi, kata atau nomor strong. [SEMUA]
dibuat dalam 0.03 detik
dipersembahkan oleh YLSA