Resource > Jurnal Pelita Zaman >  Volume 12 No. 2 Tahun 1997 >  PENAHBISAN WANITA SEBAGAI PENDETA > 
I. DASAR TEOLOGIS PENAHBISAN WANITA MENJADI PENDETA 

Dasar utama yang pertama adalah karena menurut Kejadian 1, manusia baik laki-laki maupun perempuan diciptakan menurut gambar dan rupa Allah. Baik laki-laki maupun perempuan semuanya ambil bagian dalam gambar dan rupa Allah. Ini berarti laki-laki ataupun perempuan sama dalam hal menjadi penerima janji-janji Allah dan juga dalam kewajibannya terhadap Allah. Bagi Allah, tidak ada yang merupakan warga kelas dua.

Dasar utama yang kedua adalah bahwa segala karunia yang telah Tuhan berikan kepada seseorang harus digunakan dan dikembangkan (Rom. 12:1-8). Alkitab dengan jelas mengatakan bahwa Allah telah memberikan kepada setiap anggota tubuh Kristus pemberian atau karunia khusus untuk digunakan memuliakan Dia dan untuk melayani satu sama lain (I Pet 4:10). Sebagai anggota tubuh Kristus kita punya karunia yang bermacam-macam (I Kor. 12:4-31) dan ada tugas khusus yang harus dilakukan setiap orang sesuai dengan karunianya (Ep. 4:4-16). Jadi tidak satupun dari karunia ini yang diberi label "for men only."

Boleh tidaknya seseorang mengemban tugas atau jabatan tertentu, pertama-tama ditentukan oleh apakah ia mendapat karunia untuk tugas atau jabatan tertentu itu bukan ditentukan oleh apakah ia laki-laki atau perempuan (band. Gal 3:28). Jadi seharusnya ukuran apakah seseorang boleh menjadi pendeta atau tidak bukan berdasarkan jenis kelaminnya, melainkan apakah Tuhan memperlengkapi seseorang dengan karunia untuk tugas-tugas pendeta atau tidak. Seorang laki-laki maupun perempuan sama-sama harus memberi jawab atas panggilan dan karunia yang telah Tuhan berikan. Adanya hakim perempuan dalam Alkitab dalam diri Deborah (Hak. 4-5) dan juga nabiah Hulda (II Raj 22:14-20), perempuan-perempuan yang ikut dalam pelayanan Yesus dan Yesus yang menyambut perempuan-perempuan itu (bersikap lain dari budaya patriarkal yang berlaku pada zaman Yesus) menunjukkan tugas panggilan yang ternyata juga Allah berikan kepada para perempuan.

Banyak gereja (termasuk GKI [w] Jabar sebelum keputusan Persidangan Majelis Sinode tanggal 13 September yang baru lalu) tidak mengijinkan suami istri menjadi pendeta. Maka kalau terjadi percintaan diantara mahasiswa dan mahasiswi yang sama-sama menempuh pendidikan teologia, maka si mahasiswi harus sadar bahwa pada saat itu ia sudah kehilangan hak untuk menjadi pendeta, sekalipun sebenarnya ia masuk sekolah teologia dengan panggilan yang jelas untuk menjadi pendeta. Pernah seorang wanita berpendidikan teologia yang kompeten dalam berbagai tugas-tugas kependetaan dengan putus asa menceritakan bahwa yang membuatnya tidak bisa memenuhi panggilan hidup sebagai seorang pendeta hanyalah karena ia jatuh cinta kepada laki-laki yang pendeta. Pergumulan gereja atas berita panggilan pelayanan dalam Alkitab akhir-akhir ini memberi kesadaran bahwa jika dua orang lulusan teologia jatuh cinta dan menikah; tidak selalu harus yang pria yang jadi pendeta sedangkan yang wanita hanya menjadi istri pendeta. Tetapi harus berdasarkan siapa yang lebih dilengkapi oleh karunia untuk menjadi pendeta dan yang lebih jelas akan panggilan Tuhan. Ada kemungkinan keduanya mempunyai karunia dan panggilan, maka dengan kesadaran ini makin banyak gereja (termasuk GKI [w] Jabar) memberi kemungkinan suami istri keduanya menjadi pendeta, tetapi dengan pembagian tugas yang diatur.

Mungkin ada yang menanyakan mengapa perempuan harus ditahbiskan, bukankah seseorang bisa melayani Tuhan tanpa penahbisan? Kebanyakan gereja memandang penahbisan sedikitnya sebagai simbol dari pemberdayaan Allah untuk seorang pribadi yang dipercayakan untuk melayani. Dari segi sosial, penahbisan adalah tanda bahwa orang yang ditahbiskan telah diuji dan didapati mampu dan layak (bisa dibandingkan seperti surat izin praktek dokter yang menunjukkan bahwa seorang dokter sudah menempuh pendidikan tertentu dan kompeten). Seorang pelayan dengan penahbisan siap diterima dalam berbagai bidang pelayanan seperti rumah sakit dan penjara, sementara awam mungkin lebih sulit diterima. Selain itu penahbisan juga merupakan suatu komitmen gereja untuk mendukung pendetanya, sesuatu yang perlu dan layak didapatkan baik oleh laki-laki maupun perempuan.

Penahbisan bukan hanya memberi keuntungan bagi orang yang di tahbis, tetapi juga bagi mereka yang dilayani. Penolakan penahbisan terhadap perempuan telah membuat banyak orang yang dilayani perempuan tidak mendapatkan pelayanan seperti baptisan, sidi, pemberkatan nikah, dan perayaan perjamuan kudus.

Berbicara mengenai karunia yang Allah berikan dan harus digunakan oleh setiap orang yang mendapatkannya mengingatkan kita juga pada perumpamaan talenta (Mat. 25:14-30). Dalam perumpamaan tentang talenta ini diceritakan bahwa tuan yang telah mempercayakan talenta yang berbeda-beda jumlahnya kepada hamba-hambanya berdasarkan kemampuan masing-masing akan meminta pertanggungjawaban penggunaan dan pengembangan talenta itu. Tuan itu memuji hamba yang berhasil mengembangkan talentanya. Sebaliknya tuan itu begitu marah kepada hamba yang tidak menggunakan talentanya. Bagaimana jika ada seorang perempuan yang menceritakan pengalamannya seperti di bawah ini?

I heard Your call to preach Your Word, but when I sought advice from my pastor the ridiculed me I applied to a seminary, but they told me women were not permitted to enroll in the Master of Divinity program (jalur study untuk menjadi pendeta) I requested ordination from our denomination, but theytold me women were not called to the ministry. I asked to candidate at a local church, but they said people in the congregation would not accept a woman pastor. I applied to a mission board, but they turned me away when they learned my gift was evangelization, not nursing, secretarial world or teaching children. So I just gave up, got married, and had kids like everyone had been telling me to do all along.1213

Kepada siapakah tuan yang telah mempercayakan talenta itu akan marah? Tidak mungkinkah tuan itu marah kepada mereka yang menutup kesempatan?

Setiap orang yang mendapatkan karunia, hendaklah ia dapat memiliki kesempatan untuk menanggapi karunia Tuhan dengan melakukan hal yang sesuai dengan karunia tersebut (Roma 12:6-8). Jika banyak perempuan dalam hidupnya merasakan panggilan Allah untuk menjadi pendeta, bisakah gereja menolak perempuan dan tidak memberi kesempatan pada mereka untuk menanggapi panggilan Allah?



TIP #28: Arahkan mouse pada tautan catatan yang terdapat pada teks alkitab untuk melihat catatan ayat tersebut dalam popup. [SEMUA]
dibuat dalam 0.04 detik
dipersembahkan oleh YLSA