Resource > Jurnal Pelita Zaman >  Volume 12 No. 1 Tahun 1997 > 
PETA PERUBAHAN TEKNOLOGI KOMUNIKASI DAN DAMPAKNYA BAGI PELAYANAN PADA ABAD XXI 
Penulis: ROBBY I. CHANDRA
 I. PENDAHULUAN

Di negara bagian Illinois, Amerika Utara terdapat sebuah kota bernama Streator. Pada saat memasuki Streator, kita akan terpana membaca tulisan raksasa dengan gambar sebuah bola bumi: Selamat Datang di Streator, Pusat Pembuat Botol Sedunia. Tiga puluh tahun lalu lebih dari 5000 orang di kota ini bekerja untuk dua perusahaan botol raksasa. Pada masa itu, berbagai produk cair seperti jus, susu dan minuman lain dilarang dijual di Streator bila tidak dimasukkan ke dalam botol beling. Pendek kata, di tahun 1960-an, konon Streator adalah benar-benar menjadi pusat botol dan beling sedunia. Kini, Streator cuma menjadi kota kecil yang hidup Senin - Kamis tanpa antusiasme. Sesuatu telah terjadi. Di awal tahun 1970-an, orang mulai bergeser menggunakan botol plastik, kaleng aluminium dan karton untuk menampung berbagai benda cair. Streator juga berusaha mengatasi perubahan tadi dengan mengadakan suatu orkestrasi besar-besaran dari kekuatan produksinya namun gagal total; bukan karena kurang motivasi, kurang terampil atau kurang gesit berespon. Mereka gagal karena tidak mengenali peta yang sedang berubah secara mendasar. Suatu pergeseran paradigma terjadi (paradigm shift) dan Streator gagal memahaminya

 II. DI MANA KITA BERADA?

Sebentar lagi kita akan mengalami sesuatu yang tak dialami oleh ayah ibu kita serta kakek nenek kita, yaitu kita akan mengalami berakhirnya suatu abad sekaligus awal milenium baru. Di dalam sejarah kita, pergantian ini merupakan hal yang menarik dan berdampak luas. Terakhir kali hal tadi terjadi seribu tahun yang silam. Pada waktu itu beberapa ciri terlihat:

Kota terbesar yang pernah dimiliki manusia sebelum abad ke-10 adalah Roma dengan jumlah penduduk sekitar satu juta dua ratus ribu orang. Namun di sekitar abad ke-10, kota-kota menjadi lebih kecil dan terisolasi dengan sistem mata uang, pajak, keamanan, budaya, pendidikan tersendiri.

Asia merupakan kerajaan-kerajaan yang unggul dan berteknologi tinggi pada masanya.

Sementara itu Eropa sudah 5 abad berada pada zaman amburadul, feodalistis dan bahkan salah satu tiang kekuatan sosial pada saat itu, yaitu agama, sedang bergerak pecah dua, yaitu menjadi Gereja Barat (yang berpusat di Roma) dan Gereja Timur (Bizantium) pada tahun 1054.

Masyarakat menjadi stagnasi, hanya terdiri dari bangsawan penguasa, pimpinan agama, kaum pedagang serta warga rakyat jelata.

Sebagian orang segan bepergian jauh karena tiap lokasi memiliki sistem, penguasa dan kualitas keamanan yang berbeda. Hanya kaum pedagang yang berani menempuh jarak yang panjang dan berbahaya.

Dibandingkan dengan zaman itu, pergantian milenium ini menampilkan wajah masyarakat dunia yang jauh berbeda, antara lain:

Manusia lebih banyak bergerak ke kota-kota daripada di desa-desa. Kota-kota yang memiliki lebih dari 7 juta penduduk semakin banyak.

Pusat dinamika kekuasaan sedang bergeser kembali ke Asia setelah dari Eropa ke Amerika (tingkat pertumbuhan ekonomi Asia sekitar 7 sampai 9 persen per tahun).

Pusat ilmu pengetahuan tersebar di berbagai sentra di seluruh penjuru bumi. Keio University, East-West Center Hawaii, Nanyang University, National Singapore University, Monash, Harvard, Princeton, Berkeley, Northwestm University dan sebagainya, mungkin lebih dikenal daripada perguruan-perguruan tinggi, kuno dan top di Eropa seperti Padua, Salamanca, Den Haag, Praha, Heidelberg, Tubingen, Vrije atau Geneva. Pendidikan lebih tersedia dan terjangkau untuk lebih banyak orang, termasuk warga jelata.

Teknologi tinggi menjadi tersedia bukan hanya untuk para bangsawan dan mereka yang memiliki kelebihan, namun juga bagi warga jelata. Televisi, lemari es, radio, kalkulator, kamera, merupakan bagian hidup sehari-hari.

Manusia modern sudah bergerak Bari pola komunikasi lisan audio, ke komunikasi baca tulis, dan ke komunikasi serta interactive electronic.

Masyarakat bergerak dengan cepat dan berubah tanpa dapat di prediksi dengan mudah. Susunan masyarakat tidak hanya dari kaum "atas", pedagang, agama, dan rakyat jelata. Kaum intelektual menjadi kekuatan tersendiri. Kaum bangsawan penguasa kini berwujud menjadi dua kelompok yaitu, militer dan/atau birokrat.

Berbagai tulisan telah membahas trend perubahan tadi. Di sini saya akan membahas secara khusus akibat pergeseran pola komunikasi tadi dan dampaknya bagi pelayanan Kristiani, terutama dengan fokus untuk lingkup perkotaan, mengingat lingkup perkotaan menjadi orientasi konteks hidup lainnya di Indonesia.

 III. PERGESERAN POLA KOMUNIKASI

Ketika masyarakat masih mengandalkan komunikasi antar pribadi dengan metode audio (pendengaran) serta kata-kata lisan, maka jangkauan komunikasi antar manusia dibatasi tempat dan waktu, demikian menurut studi yang dilakukan oleh pakar komunikasi di Ottawa, Walter Ong, SJ. Misalnya, ucapan Ratu Sima, atau Samarrotungga, tidak akan dapat didengar oleh cucu-cucunya karena untuk dapat mendengarnya, mereka harus hadir di sekitarnya dan hidup pada zaman yang sama dengannya.

Ketika metode komunikasi antar manusia diperkaya dengan metode tulisan, sesuatu hal yang baru terjadi dalam hidup manusia. Hal itu terjadi setelah Guttenberg atau orang Korea atau Kaisar Shih Huangti di Tiongkok memungkinkan rakyat untuk memiliki akses ke dunia komunikasi tulis menulis. Kini komunikasi dapat diawetkan dan di transfer melewati zaman yang berbeda, bahkan menembusi batas geografis yang sulit. Contohnya, tulisan kuno dari zaman perang petani (Baueren Krieg) abad 16-an, masih tersedia dalam bentuk aslinya, sehingga kita dapat memahami situasi pada waktu itu.

Namun dengan munculnya komunikasi elektronik, khususnya radio dan televisi, manusia berhasil menembus batas geografis lebih handal, serta batas waktu. Informasi-informasi dari tempat yang jauh dan dekat kini di ruang tamu kita secara serempak dan real time. Lihat saja program Discovery Channel. Bahkan menurut Tony Schwartz, media elektronik telah menjadi ilah kedua, yang hadir di mana-mana dan kapan saja serta penuh dengan kuasa.

Kehadiran komputer yang pada mulanya tidak ditujukan untuk konsumsi rakyat jelata ternyata mengubah dunia secara lebih radikal. Mulanya alat ini diciptakan untuk membantu manusia di dalam menyimpan dan mengolah informasi, khususnya mengolah penghitungan. Maka muncullah bahasa komputer untuk mendukungnya. Bahasa pertama dibuat oleh George Boole pada tahun 1854. Demikian halnya dengan Charles Babbage. Pada tahun 1930 pembuatan metode perhitungan dengan komputer ini mencapai puncak dengan Massachusset Institute of Technology. Muncul pula nama Alan Turing, von Neumann dan lain-lain. Dengan munculnya teknologi transistor, komputer yang sebesar deretan kulkas menjadi sebesar filing cabinet, dan akhirnya, sebesar desk-top sekarang. Proses miniaturisasi mulai terjadi di dunia transistor. Muncullah berbagai chips yang berisi jutaan transistor dalam ukuran sebesar kuku jari manusia. Program yang semakin canggih membuat komputer memiliki multi fungsi: menghitung, menyimpan informasi, mengklasifikasikannya, membuat simulasi untuk prediksi, membuat optimisasi, bahkan membuat desain, menulis, mengolah tampilan potret, dan sebagainya. Internet atau penghubungan komputer dengan rangkaian alat elektronik lain membuat komputer dapat mengatur lampu lalu lintas, kapan lampu rumah harus mati dan nyala, kapan suhu dari AC dikurangi, bahkan membuat berbagai keputusan sederhana sampai yang rumit dengan kecepatan yang luar biasa. Maka terperangahlah para usahawan yang tadinya hanya menganggap komputer sebagai mesin hitung yang berlayar atau mesin yang rumit. Kini di atas semua tadi suatu trend terbaru muncul yaitu membuat komputer dengan berbagai kehebatannya tadi dapat "berkomunikasi" satu dengan yang lainnya. Muncullah Local Area Network, Wide Area Network, serta yang kini digandrungi adalah internet. Data, gambar, dan berbagai pencarian informasi dapat dilakukan dari rumah secara interactive. Dengan demikian semestinya ada banyak pekerjaan dapat dikerjakan di rumah, dan bukan di kantor.

 IV. INTERNET: REVOLUSI DIAM-DIAM

Internet pada mulanya adalah jaringan komputer yang dibuat oleh lembaga pertahanan Amerika dalam rangka perang dingin dengan USSR. Waktu itu namanya DARPA yang kemudian menjadi Arpanet. Kemudian jaringan tadi melibatkan universitas, laboratorium serta kalangan bisnis. Akhirnya, jaringan ini mencapai 50 juta komputer di seluruh dunia.

Untuk mengaksesnya, seseorang hanya memerlukan komputer, modem (modulator demodulator), dan sebuah pesawat telepon serta berlangganan ke sebuah perusahaan yang menawarkan akses ke jaringan Internet tadi. Perusahaan seperti ini dikenal dengan nama Internet Service Provider (ISP). Dengan memiliki akses ke internet, seseorang dapat mengirim pesan tertulis ke Skandinavia, misalnya, dengan biaya menelpon lokal, yaitu dari rumahnya ke kantor Internet service provider tadi, yang berada di kota yang sama dengan dirinya. Selain itu dapat pula mengirim file, gambar, musik, dan sebagainya.

Lebih hebat lagi, alat ini juga dapat menjadi alat untuk menolong kita mencari informasi di segala penjuru bumi. Misalnya, Anda ingin tahu apakah dijual Alkitab dalam bahasa Mandarin untuk para tuna netra.

Masih ada lagi yang internet dapat lakukan bagi Anda. Anda dapat bercakap-cakap dengan rekan dan saling melihat wajah Anda, yaitu dengan menghubungkan komputer Anda dengan sebuah kamera seharga US$ 200 dengan program yang bernama CUC me.

Jelaslah Internet membuat desentralisasi kuasa terjadi melalui difusi atau penyebaran informasi dan akumulasi informasi yang tidak dapat dikendalikan siapa pun. Internet juga membuat manusia mampu mengekspresikan diri dan berkomunikasi dengan siapa saja melalui bahasa apa saja yang ia pilih serta waktu yang ia kehendaki. Manusia bahkan dapat membentuk kelompok-kelompoknya, seperti asosiasi riset yang dilakukan oleh mahasiswa psikologi di tingkat pasca sarjana, forum pelayanan muda-mudi sedunia, Pink Network (gay) dan sebagainya. Semuanya mengisyaratkan bahwa dunia modem merupakan dunia yang penuh dengan keberbagaian pilihan.

 V. DAMPAK: MENUJU VIRTUAL OFFICE, VIRTUAL SCHOOL DAN VIRTUAL HOME

Apa dampak pergeseran di atas bagi kejiwaan anggota masyarakat dan gereja? Pertama, dengan komunikasi lisan, kita tidak terpisah secara batin dari orang yang kita ajak bicara. "Kau dan aku diikat dengan kata-kata dan bisikan." Realita dan diri kita tergabung jadi satu dalam harmoni. Emosi dan nalar tidak terpisah. Kita belajar berkomunikasi dengan sabar. Kita belajar menyimak dengan baik.

Dengan manusia berkomunikasi secara lisan serta pula masuk ke dunia tulis menulis, manusia belajar untuk menata kompleksnya realita ke dalam format yang rapi, tersusun, dan terkendali. Entah kiri ke kanan, entah dari atas ke bawah, atau dari kanan ke kiri, manusia dibiasakan untuk membuat realita terpilah dan tersusun. Hubungan antar manusia pun mulai mengambil dua bentuk. Bentuk lisan yang tradisional, serta bentuk tulisan. Di dalam dunia tulisan, anehnya, semua harus rapi. Realita diwakilkan sebagai hal yang tersusun. Apa yang ambivalen segera dianggap sebagai anomali (kelainan). Kelekatan dan kedekatan emosi semakin longgar. Nalar semakin menjadi pendominasi ulung. Maka abad pencerahan pada abad XIX pun muncullah. Manusia cenderung mengagungkan diri, merasa semakin rasional bahkan sering menjadi pongah dalam menangani hidupnya, sampai muncullah perang dunia pertama. Di situ manusia menyadari bahwa dirinya tidak hanya makhluk rasional tetapi realita juga tidak dapat disterilkan ke dalam format yang ia buat.

Pergeseran ke dunia elektronis membuat manusia menjadi lebih pasif. Menurut Jacques Ellul, televisi terutama membuat manusia menikmati realitas yang telah dipilihkan oleh sang penyiar. Televisi yang mulanya dianggap sebagai alat penerima informasi kini menjadi alat untuk berekreasi. Manusia segan menelaah secara kritis, tapi lebih suka menikmati dan meminta variasi lebih. Hal ini terlihat dengan munculnya para pembosan yang sebentar-sebentar mencari saluran dan acara televisi yang lain.

Khusus untuk Indonesia, terutama masyarakat kota besar dan masyarakat yang tidak sepenuhnya melek huruf, agaknya komunikasi elektronis rekreasional membuat dampak yang sangat kuat, entah untuk beberapa lama sampai keseimbangan tercapai. Apa yang disampaikan di media elektronik, terutama televisi didifusikan, diadopsikan dan jadi bagian hidup. Orang belajar dengan suka rela dari apa saja yang televisi sampaikan selama bobot rekreasinya tinggi karena kecepatan belajar dan kecepatan menyerap hal baru sangat meningkat bila orang merasa menikmati hal itu.

Dengan kata lain, pergeseran pola komunikasi umum di masyarakat, membuat manusia cenderung semakin tak mampu menyimak, meneliti, dan mengamati untuk waktu yang panjang, apalagi hal-hal yang ia tidak minati. Orang menjadi pembosan dan semakin kompleks dalam dirinya.

Selain itu, manusia lebih suka berkecimpung di dalam dunia kesan daripada memperhatikan pesan yang ada. Selama pesan tidak dikemas secara mengesankan (kalau perlu secara dramatis, berdarah, sadis dan seksi), pesan tidak diperhatikan. Tingkat kekritisan menurun tajam. Inilah pop-culture secara global.

Internet sebagai hal baru mungkin belum terasa dampak massalnya, namun jelas akan merambah dengan cepat. Bila pada tahun 1994, Indonesia memiliki satu service provider, kini telah tercatat 22 provider walaupun baru 9 yang memiliki izin operasional. Service provider terbesar dan pemimpin pasar (Rahajasa Media Internet) mendapatkan pelanggan 450 orang per bulan secara non stop sejak dibukanya pada bulan Mei 1995. Pendatang baru, CBN net, mengalami hal yang sama, sejak Januari 1996 sampai kini mereka berhasil mendapatkan 1500 pelanggan. Perkiraan kasar menunjukkan sekitar 25.000 orang telah menjadi pengakses internet. Hasil riset yang kami lakukan menunjukkan bahwa 87% pengguna aktif (28-40 jam per bulan) adalah orang yang berusia 19-30 tahun dengan mayoritas para penyandang gelar S1. Mereka menggunakan akses internet terutama dalam rangka berekreasi dan mencari data (n=364, studi dilakukan di Jakarta selama bulan Februari sampai awal Mei 1996). Keseluruhannya mencerminkan bahwa internet sangat dibutuhkan karena merupakan kesempatan menelusuri pilihan-pilihan yang beragam. Semangat individualistis dan post-modernism semakin nyata.

Apakah ada dampak positif yang menyeluruh dari perkembangan pola komunikasi yang bergeser dan tumpang tindih? Pergeseran-pergeseran di atas membuat manusia menjadi semakin belajar untuk mengenal cara berkomunikasi yang berbeda-beda. Mereka belajar berbagai cara berkomunikasi serta sekaligus mengenali kompleksitas masing-masing. Manusia semakin mengeluarkan potensinya untuk berkomunikasi dalam berbagai mode.

Secara praktis, beberapa kemungkinan baru jadi muncul seperti terlihat dari ilustrasi ini. Pada saat ini saya masih memimpin sebuah kantor dengan 15 staf di dalamnya. Menghitung biaya yang dikeluarkan setiap bulan untuk membayar listrik, air, AC, telepon, kebersihan, uang keamanan, dan sejenisnya, serta pusingnya menghadapi staf yang saling bersaing, atau bersinggungan secara antar pribadi tentunya bukan cuma monopoli kami. Belum lagi risaunya kita mengamati staf wanita yang baru memiliki bayi kecil yang sudah harus ditinggalkannya di rumah dengan baby sitter. Mereka bekerja dengan hati yang terpecah dua. Tapi bayangkan kemungkinan seperti ini: Semua staf diizinkan bekerja di rumah. Masing-masing memiliki sebuah telepon selular, komputer notebook dengan modemnya. Seminggu sekali atau dua kali, kami akan berjumpa di hotel atau restoran untuk menentukan pembagian tugas. Bagi para staf, tentunya hal tadi sangat menyenangkan. Anak-anak mereka yang biasanya tumbuh di bawah pengaruh pembantu, kini masih bisa melihat ibunya di rumah secara rutin. Waktu perjalanan dari dan ke kantor yang setiap hari menyita dua jam lebih dapat dipergunakan untuk hal-hal lain. Biaya pemeliharaan kantor dapat dipakai untuk biaya telekomunikasi per telepon dan modem yang semakin murah. Selanjutnya, para staf terpaksa belajar untuk berkomunikasi lebih efektif, yaitu menyimak dan memberi instruksi atau memberi laporan secara singkat, padat, dan efektif. Lebih menarik lagi, bila kantor kami tadi kami sewakan atau jual, tidakkah akan dana berlebih? Inilah gejala yang dikenal dengan nama virtual office atau kantor maya. Hal tadi secara potensial dapat dilakukan dengan tersedianya teknologi informasi dan komunikasi. Namun, apakah hal ini dapat diterapkan di Indonesia sepenuhnya? Banyak prasyarat yang perlu disimak. Teknologi yang tersedia sudah pasti memungkinkan penekanan biaya overhead dan operasional untuk menjalankan sebuah kantor, atau sebuah percetakan, bahkan sebuah rumah sakit.

Pendidikan jarak jauh juga dapat terjadi. Gelar-gelar dan kursus-kursus tidak terlokalisir di satu tempat saja. Bahkan dapat dibuat perguruan tinggi bermodalkan sebuah ruko atau gedung sederhana, namun dengan jangkauan sedunia dan akses data serta pengajar secara luas.

Yang pasti, kehadiran komputer yang semakin murah dengan sejumlah aksesorisnya di Asia Tenggara telah mulai menjadi bagian hidup. Sebuah komputer dapat memainkan musik, film/laser, menjadi alat memasuki jaringan internet, alat ngobrol bahkan dapat diprogram untuk mengatur listrik, dan berbagai alat di rumah kita. Jangan lupa, kitapun dapat membeli dan menjual barang melalui komputer serta kartu kredit. Dengan alat itu, pencarian informasi dan berbagai keputusan dapat dimulai di rumah. Lebih lanjut lagi, kalkulator akan digantikan dengan komputer saku yang setiap anak SD pun akan membawanya. Alat inipun akan berfungsi sebagai telepon tangan, jam, serta alarm-clock. Jadi alat yang tadinya merupakan alat pengolah informasi, ternyata menjadi alat yang serba bisa, budak yang penurut dan setia selama kita memperlakukannya dengan baik dan benar.

Semuanya hanya menyiratkan satu hal bagi keluarga kita, yaitu, dunia yang tadinya didominasi oleh ciptaan alamiah (biosphere) kini mulai didominasi dengan alat-alat buatan manusia (techno-sphere). Banyak alat komunikasi dan informasi tadi sudah demikian canggihnya, kita tidak mengerti cara kerjanya, namun toh dapat menggunakannya. Mulailah kita semakin tergantung padanya. Bila hal ini membuat manusia lebih menyukai hubungan dengan alat daripada hubungan antarpribadi secara nyata, jumlah manusia yang kesepian akan semakin bertambah. Kecenderungan ini akan membuat pola hubungan suami istri semakin steril. Demikianpun dengan anak. Keluarga sangat rentan terhadap penyakit kehilangan kehangatan emosi. Jadilah dikenal dengan apa yang dinamakan virtual home atau virtual family. Namanya saja masih satu keluarga, namun kebersamaan selalu jarang terjadi, semua penataan keluarga berjalan secara remote/jarak jauh.

 VI. DAMPAK BAGI PELAYANAN KHUSUS DI INDONESIA

Indonesia dikenal untuk berbagai hal yang khas. Pertama, Indonesia adalah kerumunan manusia. Seratus sembilan puluh juta (saat ini telah mencapai angka dua ratus juta., red.) manusia tersebar dengan tidak teratur di negara ini, di mana hampir 80% mungkin bertumpuk di pulau Jawa yang kian bergerak ke tengah kota-kota. Manusia-manusia ini juga mencerminkan pluralitas atau keberbagaian corak yang membuat Indonesia seakan sepiring rujak raksasa. Pluralitas tadi dapat berupa pluralitas orientasi nilai, pola hidup, kekuatan ekonomi dan etnis serta pluralitas dalam bidang spiritual. Pengaruh perubahan trend yang telah kita bahas akan dirasakan berbeda di berbagai kelompok yang ada. Namun jumlah orang yang merasa keder dan tercabut akar semakin nyata -- hal mana sering terlihat dalam menumpuknya jumlah orang yang meminta pelayanan pastoral counseling. Mereka kehilangan dunia stabil yang dulu mereka huni secara kejiwaan, sedangkan dunia baru begitu beragam dan mungkin mereka belum memiliki tempat di dalamnya.

Dari sudut perubahan komunikasi, ketika sebagian besar rakyat meloncat dari pola lisan langsung ke komunikasi televisi tanpa menguasai komunikasi tertulis, goncangan besar terasa. Yang pasti, perbedaan antara kota besar dan kecil serta desa akan semakin terasa.

Bagi pelayanan Kristiani, kesulitan yang diakibatkan oleh pluralitas tadi luar biasa. Dari pengamatan penulis, agaknya bagi lingkup antar gereja, kecenderungan untuk menghasilkan kepelbagian sama kuatnya dengan kecenderungan untuk mencari bentuk kesatuan atau keesaan. Sifat individualis yang diakibatkan oleh pendidikan kita juga membuat orang sulit bekerja sama dan memiliki wawasan yang luas. Kalaupun dipaksakan keesaan tadi, seringkali totalitarianisme yang tersamar serupa dengan yang terjadi di masyarakat feodal kuno menjadi modus kerja.

Kedua, situasi politik dan budaya Indonesia menunjukkan suatu pergeseran yang serius. Keenam sentra kuasa politis sedang bergerak saling mempengaruhi secara lebih aktif. Keenam sentra tadi adalah kuasa lembaga presiden, birokrat, ABRI, massa Islam, para pelaku bisnis, dan lain-lain. Media massa juga menonjolkan istilah demokratisasi, suatu proses pemberian dan penyadaran kuasa kepada lebih banyak orang yang semakin popular dituntutkan, bertentangan dengan kecenderungan pemusatan kuasa yang juga meningkat. Internet semakin memungkinkan falsafah ini tersebar luas. Apakah pelimpahan kuasa tadi sejalan dengan perkembangan kesiapan orang banyak untuk memikul tanggung jawab yang lebih kompleks, tentu dapat dipertanyakan. Dunia bisnis memberikan contoh bahwa perusahaan yang menekankan struktur organisasi raksasa dan serupa piramid mengalami kerugian yang serius sedangkan beberapa dari mereka yang berpedoman pada ukuran yang ramping, network yang luas, serta pendekatan hi-tech dan hi-touch mengalami pesatnya pertumbuhan. Namun seringkali banyak perusahaan yang membelah diri ke dalam sentra-sentra yang lebih kecil malah ambruk karena empowerment tidak sejalan dengan pembinaan pelaku-pelakunya, sehingga mereka tidak siap secara mental dan keterampilan untuk mengikuti strategi yang lebih lincah dan organisasi yang lebih ramping. Di pihak lain angin demokratisasi tadi berhembus di berbagai negara dengan sangat kuatnya. Khusus untuk Indonesia agaknya masih perlu di kaji akibat kemungkinan trend ini berhadapan langsung dengan trend penyatuan kuasa bisnis, teknologi, dan komunikasi bersama aparat-aparat pemerintah.

Ketiga, gereja-gereja di Indonesia terus bertumbuh, namun dibandingkan dengan pesatnya pertumbuhan penduduk, serta pertumbuhan di kalangan Budha, Hindu serta Islam, mungkin pertumbuhan gereja tidak menimbulkan dampak makro secara nasional dan berjangka panjang. Dialog eksternal sering dilaksanakan secara sporadis, namun dialog internal di dalam kelompok sendiri malah lebih sulit dijalankan dengan tulus. Antar tiga unsur perubahan di dalam organisasi menurut teori Vijay Sathe, yaitu kepemimpinan, struktur organisasi, serta iklim kerja atau budaya organisasi gereja dan lembaga-lembaganya tidak bergerak seirama.

Dengan kata lain, di dalam pelayanan berbagai terobosan harus terjadi sesuatu yang menghasilkan dampak pada generasi yang akan datang. Di sini, pada dasarnya memang kita perlu mengkaji apakah perubahan di bidang komunikasi serta pergerakan manusia ke kota-kota di Indonesia merupakan alat Tuhan untuk memberikan kita kesempatan membuat terobosan serupa itu atau merupakan ancaman yang dapat menyulitkan kita.

 VII. TANTANGAN DAN APA YANG DAPAT DILAKUKAN?

Pada zaman yang lalu, ketika para misionaris memasuki suatu ladang yang baru, mereka pada umumnya bekerja dengan pola yang serupa yaitu membentuk sistem pendidikan, rumah sakit/kesehatan, percetakan dan kemudian tempat pemeliharaan iman/gereja. Demikianlah kajian Thomas van den End. Jelaslah mereka menggunakan pendekatan yang holistik yang masih relevan untuk zaman ini yaitu melalui pendidikan, sistem pemeliharaan kesehatan, sistem komunikasi, serta sistem pemeliharaan dan pembinaan iman untuk menggarami masyarakat di mana mereka melayani. Namun apakah cara kerja kita untuk menggarami lingkup-lingkup tadi perlu diubah? Tentunya masih harus diperjelas. Untuk itu, kita perlu merangkum situasi pelayanan masa kini.

Bagaimana dengan situasi kini? Masyarakat kini jelas digarami oleh media massa. Selain itu pluralitas di dalam tubuh gereja terus menjadi-jadi di samping usaha pengembangan kerja sama. Untuk situasi yang dinamis dengan perkotaan sebagai pusat orientasi, maka cara kerja pelayanan yang berabad-abad tidak pernah diubah agaknya perlu pengkajian ulang. Cara yang lama mungkin tidak lagi dapat meraih kesepian orang-orang yang sedang bingung, tergoyah (displaced), serta lelah mengkaji alternatif jalur hidup karena perubahan yang demikian cepat sehingga mereka melarikan diri dengan mencari-cari kenikmatan dan hal-hal yang baru. Gereja yang lahir dari dalam budaya lisan dan menyelam ke budaya tulisan kini harus meraih manusia yang berbudaya elektronis. Gereja mungkin mengalami kesulitan untuk memahami manusia yang berbudaya elektronis, apalagi untuk mampu berkomunikasi dengan mereka tentang Injil dan menyimak mereka. Mengapa Tuhan membiarkan hal ini terjadi tentu merupakan tantangan besar yang bersifat teologis dan budaya yang menuntut kerendahan hati kita di dalam menjawabnya. Kita perlu menggumuli apakah yang merupakan inti pelayanan dan di manakah yang dapat di tawar karena merupakan alat dalam menjalankan pelayanan tadi.

Tantangan lain terjadi pada tingkat manajerial pelayanan. Bila pada abad pertengahan dan zaman sebelum abad X, gereja-gereja menguasai kota bersama para bangsawan dan kemudian bersama para pedagang, kini keadaan sudah menjadi lain. Tidak lagi mungkin sistem sekolah, rumah sakit, media massa dan gedung-gedung gereja dimiliki oleh satu kelompok gereja yang bercorak iman yang sama walaupun gereja tadi berpusat di perkotaan di mana segala sumber daya dan dana tersedia. Biaya overhead dan operasional akan terus berkembang melebihi daya dukung finansial yang dapat dikumpulkan oleh gereja dari warga dan donatur-donatur besarnya. Kompleksitas dan ragam pelayanan yang semakin membutuhkan pelayan-pelayan spesialist dan bukan hanya generalist membuat pembiayaan untuk SDM semakin cepat meningkat pula.

Keadaan serupa ini menuntut gereja dan umat Kristen untuk menempuh strategi yang berbeda dari abad pertengahan dan abad lain sebelum abad XX. Pertama, pelayanan harus ditangani, baik oleh gereja maupun oleh organisasi yang bercorak Kristen, walaupun organisasi tadi tidak dimiliki oleh gereja. (pertanggungjawaban dan kaitan organisasi tadi ke gereja adalah melalui pertanggungjawaban moral spiritual, bukan lagi struktural dan organisasional.) Dengan demikian, hubungan antara church dan parachurch yang secara notabene sudah ada Lama di tanah air ini harus dijadikan synergi dari pada dipandang selaku persaingan, serentak dengan semakin lancarnya komunikasi antara pribadi orang Kristen yang saling berbeda serta, telah ditembusinya batas-batas denominasi dan gaya spiritual serta gaya kerja pelayanan masing-masing.

Kedua, hubungan sinergistis antar gereja sendiri menjadi hal yang tidak lagi dapat di tawar dalam rangka mewujudkan pelayanan yang berdaya raih luas dan mendalam. Hal ini tidak berarti bahwa gereja harus meleburkan diri dengan wujud yang besar. Pendekatannya harus bagaikan internet, yaitu independen namun interdependen dalam network. Tidak lagi mungkin pada zaman yang berubah cepat ini kita berkomunikasi sendiri, mengatur jalur kerja dan pelayanan sendiri, serta membuat pelayanannya sendiri pula. Zaman ini menuntut kerja sama dan aliansi strategis seperti yang disampaikan konsultan internasional Keniichi Ohmae. Menarik sekali bahwa berita ini disampaikan dari luar gereja dan sangat menggemakan apa yang disampaikan oleh firman Tuhan. Jadi pengelolaan dan pembangunan rumah sakit, wisma pelatihan, atau sharing gedung gereja besar, dan sebagainya perlu dipikirkan sebagai suatu pilihan. Hal ini semakin mendesak terutama dengan terbukanya kesempatan untuk pengabaran Injil secara utuh melalui media massa, suatu usaha yang membutuhkan modal, sumber daya manusia, dan network yang sangat besar dan tidak mungkin dikelola untuk jangka panjang oleh satu dua kelompok Kristen.

Ketiga, network merupakan salah satu tiang utama dalam usaha apa Baja di Indonesia. Tanpa network yang memadai di dalam di luar negeri, maka informasi serta relasi yang dimiliki tidak akan cukup membuat terobosan inovasi yang bersifat nasional dan berdampak untuk jangka panjang. Di sini kita sadari bahwa kebutuhan untuk membuat pusat informasi bersama untuk seluruh kelompok Kristen akan menjadi tugas besar dalam waktu dekat. Pusat ini mungkin tidak harus besar dalam arti fisik, namun besar di dalam kemampuannya mengolah data dan memperoleh data dari berbagai sentra informasi yang telah ada. Teknologi komunikasi jelas sangat memungkinkan hal tadi. Network juga membuat kita terhindar dari duplikasi. Misalnya, antar sekian banyak sekolah teologi dan perpustakaannya di Jawa Barat dapat dilakukan sistem sharing peminjaman majalah, sistem transfer kredit dan sebagainya.

Keempat, keseluruhan kemungkinan pelayanan yang dipaparkan di atas memanggil kita untuk menoleh sepenuhnya kepada Salib Kristus dan tidak terpaku untuk memandang diri sendiri, gereja sendiri, atau luka-luka hubungan antara gereja dan organisasi parachurch pada masa lalu. Selanjutnya kita harus mengadopsi apa yang disebut oleh Taichi Sakaiya sebagai sikap outward looking. Untuk menyiapkan sikap mental tadi dan sikap iman serupa itu, maka suatu crash program dapat dilaksanakan, khususnya dalam pelatihan pembentukan wadah muda-mudi Kristen antar gereja atau menghidupkan salah satu wadah yang masih berpotensi. Masa depan kota dengan teknologi dan pluralitasnya membutuhkan kaum pemimpin muda yang memiliki karakteristik sebagai berikut:

A. memiliki sikap ingin kerja sama

B. berporos pada visi kerajaan Allah lebih dari visi yang terikat hanya pada denominasi, mampu membuat konsep pelayanan bersama para teolog.

C. mampu mengenali kesempatan melayani, antara lain melalui dunia komunikasi dan melalui lingkup kota-kota,

D. handal dalam menyusun strategi,

E. Mampu menjamin pelaksanaan operasionalisasinya serta mampu memiliki hati yang peka pada kehendak dan kuasa Allah bagi kenyataan di Indonesia, yaitu antara lain lajunya pertambahan jumlah penduduk serta meningkatnya jumlah mereka yang lebih lemah secara pendidikan, ekonomi, dan politis dari pada kita.

F. mampu menangani pertumbuhan iman pribadinya secara serius.

 VIII. PENUTUP

Kesimpulan sejauh ini ialah dunia Asia dan Indonesia bergerak ke kota dengan berbagai pola komunikasi dan pluralitas yang dihasilkannya. Kota berarti kebutuhan untuk pegangan hidup dan peta PerJalanan iman di tengah dinamika yang sering membingungkan. Teknologi komunikasi dan polanya yang beragam berarti tersedianya kemungkinan kita meningkatkan daya jangkau dalam usaha penginjilan dalam arti yang holistik. Pluralitas berarti kita perlu menggunakan pendekatan network dalam menjalin keesaan dan bukan pendekatan struktural birokratis. Di pihak lain, perkembangan kota, teknologi komunikasi, dan pluralitas juga dapat menghasilkan manusia yang bingung, mau enak saja, dan terbius kesan.

Dari mana kita memulainya? Berbeda dari lembaga lain dan umat lain, gereja dan orang percaya tidak bisa tidak harus mulai berespon terhadap perubahan yang ada dengan kaitan yang kian mendalam dengan Allah di dalam Tuhan Yesus. Kerinduan untuk mengungkapkan kasih dan perasaan berhutang pada karya keselamatan dan kasih-Nya yang demikian luhur harus menjadi tumpuan dari segala karya pelayanan dan strategi baru yang akan ditempuh dalam rangka kita melaksanakan tugas sebagai saksi-Nya. Lebih lanjut lagi, perubahan yang ada harus dipandang selaku kesempatan untuk lebih mengkaji dan lebih mendalami makna hubungan kita dengan sang Bapa. Dengan demikian perubahan tidak dilihat sebagai ancaman yang harus di tangkal, tetapi sebagai kesempatan mencari kehendak-Nya dan menjalani lagi langkah kepatuhan bagi Kristus dan KerajaanNya, serta sekaligus menunjukkan kasih kita bagi-Nya. Dengan kata lain, perubahan yang terjadi dan demikian mendasar mempertanyakan sedalam-dalamnya siapa diri kita dan sejauh mana kita bersedia bergantung kepada kehendak-Nya.

 DAFTAR PUSTAKA

Braxton, Wedward K., The Wisdom Community: A Framework and A Program for Renewing Communication and Understanding Between Priest, Bishops, Theologians, and the People in the Pews. New York: Paulist Press, 1980.

Budiarjo, Miriam, ed., Aneka Pemikiran tentang Kuasa dan Wibawa. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1991.

Burrus, Daniel. Technotrends: How to Use Technology to Go Beyond Your Competition. New York: Harper Business, 1993.

Cox, Harvey, The Secular City: Secularization and Urbanization in Theological Perspective. New York: Macmillan, 1966.

Dance, Frank EX, Human Communication Theory: Comparative Essays. New York,: Harper & Row, 1982.

Ellul, Jacques, The Meaning of the City. Grand Rapids: Eerdmans, 1970.

Foster, Mary LeCron and Botscharow, Lucy Jane, The Life of Symbols. Oxford: Westview, 1990.

Godhaber, GI dan Barnet G., Handbook of Organizational Communication. Norwood: Ablex, 1987.

Jay, Eric George. The Church: Its Changing Image Through Twenty Centuries. Atlanta: John Knox, 1977, 1978.

Ohmae, Keniichi, The Borderless World. New York: Harper Bussiness, 1991.

McDermott, John. Corporate Society: Classs, Property, and Contemporary Capitalism. Oxford: Westview, Press, 1991.

Monge, P.R. Theoritical and Analytical Issues in Studying Organizational Processes. Organization Science 1:406-431.

Ong, Walter J. SJ. The Presence of the Word: Some Prolegomena for Cultural and Religious History. New York: Macmillan, 1966.

_______, Orality and Literacy: The Technologizing of the World. London: Macmillan, 1982.

Poole, MS & De Sanctis, G. "Understanding The Use of Group Decision Support Systems: The Theory of Adaptive Structuration", in J. Fulk & C. Steinfeld (eds.) Organization and Communication Technology. 173-191. Newbury Park, CA, Sage 1990

Rogers, Everett M. A History of Communication Study: A Biographical Approach. New York: Free, 1994.

Sakaiya, Taichi. The Knowledge Value Revolution or a History of the Future. Tokyo, New York, London: Kodansha International, 1991.

Schwartz, Tony. The Second God. New York: Anchor, 1978.

Thung, Maudy A. The Precarious Organization: Sociological Explorations of the Church's Mission and Structure. Hague: Moutan, 1976.

Weick, K.E., "Technology as Equivoque: Sensemaking in New Technologies". In P.S. Goodman, L.S. Sproul, and Associates (eds.) Technology and Organizations. San Franscisco: Jossey-Bass.



TIP #02: Coba gunakan wildcards "*" atau "?" untuk hasil pencarian yang leb?h bai*. [SEMUA]
dibuat dalam 0.03 detik
dipersembahkan oleh YLSA